01 January 2019

SETAN KOBER 81

SETAN KOBER 81
Karya: Apung Swarna

Di tepi barat Bengawan Sore, keseimbangan pertempuran para prajurit Pajang melawan prajurit Jipang, perlahan-lahan telah berubah, laskar Sela bersama prajurit Pajang yang berjumlah lebih banyak telah berhasil mendesak prajurit Jipang untuk bergeser mundur ke arah utara.
Anderpati, pemimpin prajurit Jipang bertahan sekuat tenaga dari tekanan para prajurit Pajang :"Waktu untuk mempersiapkan dan mengumpulkan pasukan Jipang sangat singkat, sehingga Ki Patih tidak mampu mengumpulkan semua prajurit Jipang yang tersebar diseluruh Kadipaten" katanya dalam hati.
Para prajurit Jipang yang dipersiapkan secara mendadak tidak berhasil berkumpul seluruhnya, sehingga ratusan prajurit Jipang yang masih berada di tempat yang agak jauh dari dalem Kadipaten belum berhasil bergabung dengan para prajurit yang sekarang sedang bertempur di tepi Bengawan Sore.

Gelar perang Garuda Nglayang berhasil mendesak mundur gelar Dirada Meta, beberapa korban dari Pajang maupun Jipang telah jatuh, tetapi prajurit Pajang bersama laskar Sela terus bergerak maju menekan prajurit Jipang.
Beberapa prajurit Jipang yang mampu bergerak cepat, terutama Soreng bersaudara dan para prajurit yang berasal dari padepokan Sekar Jagad, mampu menggerakkan pedangnya terayun cepat ke arah lawannya, sehingga beberapa prajurit Pajang dan laskar dari Sela telah jatuh tergeletak menjadi korbannya.
Di induk pasukan, Patih Kadipaten Jipang Panolan, Matahun, masih bertempur seru melawan dua orang Senapati Pajang, Pemanahan, Penjawi, beberapa saat kemudian terlihat Juru Martani berlari mendekati lingkaran pertempuran.
"Orang Pajang memang licik, tidak berani berperang secara jantan beradu dada, Juru Martani, kau datang kesini hanya untuk mengantar nyawamu" kata Patih Matahun
"Kalian bunuh junjunganku dengan cara yang licik, sekarang kalian tidak berani bertempur satu lawan satu, kalian cuma berani mengeroyok aku" kata Patih Matahun sambil menunjuk wajah Pemanahan dengan ujung pedangnya.
"Kita bukan berperang tanding, kita berada di peperangan, Ki Patih" kata Pemanahan.
"Kalian tiga orang dari Sela, Pemanahan, Penjawi dan kau Juru Martani yang baru saja datang, ayo keroyoklah aku" kata Patih Matahunpun sambil menunjuk wajah ketiga orang itu dengan ujung pedangnya.
Juru Martani menggerakkan pedang kearah lawannya, dan sekejap kemudian terjadi pertarungan satu lawan tiga.
Melihat tiga orang yang berasal dari Sela mengeroyoknya, dan diantara para prajurit Pajang, terdapat ratusan laskar yang tidak memakai pakaian prajurit, Patih Matahun yang cerdik mengangguk-anggukkan kepalanya.
Setelah berpikir sejenak, Ki Patihpun melompat mundur sambil berkata :"Ternyata yang menjadi Senapati Pajang adalah tiga orang yang berasal dari Sela, dan ratusan laskar yang kau bawa ini pasti laskar dari Sela, aneh. Berapa puluh rakyat Sela yang mati kau korbankan untuk kepentinganmu".
"He Pemanahan, seharusnya yang bertempur disini adalah Hadiwijaya dan Patih Mancanagara beserta semua prajurit Pajang segelar sepapan, bukan laskar dari Sela, aneh, he Penjawi, hadiah apa yang akan kau terima setelah kau berhasil membunuh junjunganku Adipati Jipang ?!!" teriak Patih Matahun.
"Menyerahlah Ki Patih" jawab Pemanahan tanpa menghiraukan perkataan Patih Matahun, iapun menjulurkan pedangnya kearah dada Patih Matahun.
Matahun melompat mundur, dan Ki Patih masih terus berbicara :"He apakah kalian bertiga sedang mengikuti sayembara yang diadakan oleh Karebet yang gila itu ? kalian bertiga akan mendapat hadiah bumi Pati dan alas Mentaok ?!".
"Hahahaha Pemanahan akan mendapat bumi Pati dan Penjawi akan mendapat alas Mentaok, dan apa yang akan kau dapatkan Juru Martani ?!!" teriak Ki Patih.
"Dimana Karebet, anak Pengging yang tidak berani turun ke medan peperangan ? Ternyata kau tega mengorbankan rakyat Sela hanya untuk kepentinganmu sendiri, Pemanahan, rakyat Sela tidak tahu menahu tentang sayembara membunuh Adipati Jipang !!" lanjut Matahun.
"Nah sebagai ganti junjunganku Kanjeng Adipati Arya Penangsang yang telah gugur karena kelicikan kalian, salah satu dari kalian harus mati di tepi Nggawan ini" kata Ki Patih Matahun.
"Menyerahlah Ki Patih" kata Pemanahan.
"Dimana kau sembunyikan Sutawijaya he, dimana anak kecil yang telah kau ajari bertindak pengecut itu ?!!" teriak Patih Matahun.
Pemanahan tidak menjawab, tetapi ia bersama Penjawi dan Juru Martani kembali melancarkan serangan, mengeroyok Patih Matahun, tetapi mereka melihat, betapa tangguhnya Patih Jipang itu, belum ada tanda-tanda mereka segera memenangkan pertarungan satu lawan tiga ini.
"He Pemanahan, dimana kau sembunyikan jenazah Kanjeng Adipati Jipang ?!!" teriak Patih Matahun sambil menyerang kearah lawannya.
Pemanahan tidak menjawab, ia melihat hari telah semakin sore, tetapi matahari di arah barat masih memancarkan sinarnya yang ke merah-merahan.
"Masih lama" keluh Pemanahan dalam hati, tetapi ia beharap, sebelum hari menjadi gelap, semua prajurit Jipang sudah bisa dihancurkan dan prajurit Pajang mendapat kemenangan.
"Jumlah prajurit Pajang ditambah laskar dari Sela jauh lebih banyak dari jumlah prajurit Jipang" kata Pemanahan dalam hati.
"Hampir senja" desis Matahun.
Sambil bertempur, Patih Matahunpun menjadi cemas, ia bukan mencemaskan diri sendiri, tetapi ia mencemaskan para prajurit Jipang yang terdesak hebat karena harus melawan prajurit Pajang ditambah laskar dari Sela yang jumlahnya jauh lebih banyak.
"Kalau aku biarkan seperti ini, sebentar lagi semua prajurit Jipang akan tumpes tapis tanpa sisa di tepi Nggawan ini" katanya dalam hati.
"Sebentar lagi aku pasti bisa membunuh Pemanahan, tetapi bagaimana dengan semua prajurit Jipang yang terus terdesak ? Berapa ratus prajurit Jipang yang akan gugur kalau perang ini berlangsung sampai matahari terbenam ?" kata Ki Patih yang sedang bimbang, dan iapun segera mempertimbangkan semua tindakannya dan menghitung semua untung ruginya.
Di sayap kiri, Anderpati bertahan sekuat tenaga dari tekanan Lurah Prayuda yang dibantu oleh beberapa kawannya, tetapi ia terkejut ketika didengarnya sebuah suitan panjang yang berasal dari arah gurunya, Patih Matahun.
Dengan segera Anderpati bersuit nyaring, menjawab suitan dari gurunya, sesaat kemudian terdengar ia bersuit lagi, suitan dua ganda, dan di beberapa tempat di pertempuran, suitannya disahut oleh Soreng bersaudara beserta prajurit yang berasal dari gunung Lawu dengan suitan yang sama, dua ganda,
Setelah suara suitan mereda tak lama kemudian, perlahan-lahan semua prajurit Jipangpun bergerak mundur ke arah utara dalam beberapa kelompok yang teratur.
"Jangan di kejar, berbahaya" kata Lurah Prayuda berteriak.
Di induk pasukan, Patih Matahun melihat ratusan prajurit Jipang mundur besama-sama kearah utara.
"Bagus, kalian mundur dalam beberapa kelompok besar, tidak tercerai berai" kata Patih Matahun sambil menangkis serangan dari Juru Martani.
Ki Patih melihat sekelilingnya, dia bergerak cepat mencari celah untuk mundur bersama pasukan Jipang yang lain, tetapi langkahnya terhenti ketika dilihatnya puluhan prajurit Pajang yang kehilangan lawan, semua berdiri berjajar mengelilinginya, semua tombak dan pedang telah teracu kepadanya.

Di lingkaran pertempuran lainnya, di depan bendera Gula Kelapa yang berkibar megah terkena sinar matahari senja, lima orang prajurit Jipang yang sedang bertempur melawan lima orang prajurit Wira Tamtama Pajang, terkejut ketika mendengar suitan panjang dari Anderpati, setelah itu didengarnya pula beberapa kali suara suitan dua ganda.
Lawannya, lima orang prajurit Wira Tamtama Pajang berdiri bersiaga, pandangannya tertuju pada gerak gerik lawannya, mereka tidak tahu arti dari suitan yang datang dari arah para prajurit Jipang.
Sesaat kemudian, kelima prajurit Jipang itupun bergerak mundur dan tiba-tiba mereka berlari melingkar, lari kencang menghindari prajurit Pajang, mereka berlari menuju hutan disebelah utara medan pertempuran.
Lima orang Wira Tamtama yang menjadi lawannya tidak mengejarnya, mereka membiarkan prajurit Jipang itu mundur dan bergabung dengan ratusan prajurit Jipang yang lainnya.
Disayap kiri, orang tua berjenggot putih masih bertarung melawan Panembahan Sekar jagad dengan sengitnya, silih ungkih singa lena, siapa yang lengah akan menderita kekalahan.
Panembahan Sekar Jagad mengalami kesulitan untuk mengalahkan lawannya, tetapi orang berjenggot putih itu juga tidak mudah untuk mendesak Panembahan yang berasal dari sebuah padepokan di lereng gunung Lawu itu.
Di dekat pertarungan mereka, beberapa orang telah tergeletak luka parah ataupun telah gugur dan disekitarnya terdapat beberapa potongan pedang, perisai yang terlepas, ataupun tombak yang patah, ada juga beberapa landeyan yang berserakan.
Ketika Panembahan Sekar Jagad menyerang dengan tendangan kaki kearah dada, maka lawannyapun menangkis dengan tangan kirinya yang mengepal, sesaat kemudian hantaman sisi telapak tangan kanannya dengan cepat berubah menjadi lima jari tangan yang mengembang, menyambar kaki Panembahan Sekar Jagad.
Panembahan Sekar Jagad terkejut, ia segera menarik kakinya :"Wuah, itu jurus Panca Bayu dari perguruan Pengging Witaradya, kalau aku terlambat menghindar, kakiku bisa terkelupas"
"Aku kenal gerakan itu, ternyata dia mempergunakan ilmu kanuragan dari perguruan Pengging Witaradya, padahal Adipati Dayaningrat dan anaknya Ki Ageng Pengging telah lama meninggal dunia, siapakah orang ini sebenarnya" kata Panembahan dalam hati.
"Orang ini sangat berbahaya" desis Panembahan Sekar Jagad.
Sesaat kemudian Panembahan Sekar Jagad melompat mundur dan berkata :"Apa boleh buat Ki Sanak, aku terpaksa mempergunakan senjataku, kalau kau mati karena tergores pusakaku, itu bukan salahku karena kau dengan sengaja telah berani mencampuri urusanku".
Tangan Panembahan Sekar Jagad bergerak cepat, lalu Panembahan mengeluarkan dari dalam bajunya, sebuah keris yang masih berada didalam wrangkanya.
Orang tua yang berjenggot putih itu memandang tajam ketika Panembahan menarik keris itu dari wrangkanya, dan dilihatnya sebuah keris lurus berwarna hitam buram, pamornya seperti bintang berkedip terkena pantulan sinar matahari senja.
"Keris itu berbahaya, kelihatannya diberi warangan yang kuat sekali" kata orang tua berjenggot putih itu.
"Ki sanak, sudah lebih dari sewindu aku tidak pernah mempergunakan keris pusakaku ini untuk sebuah pertarungan, tetapi kali ini terpaksa aku gunakan untuk membunuhmu" kata Panembahan Sekar Jagad.
"Tidak ada seorangpun yang bisa selamat apabila tubuhnya terkena kerisku Kyai Kalamisani" kata Panembahan dari gunung Lawu.
Lawannya tidak menjawab, terlihat ujung jari kakinya bergerak, dan tiba-tiba sebuah tongkat terlontar ke atas, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sebuah batang tombak yang panjangnya tinggal sedepa, sebuah landeyan yang patah, yang sebelumnya tergeletak berada di dekat kakinya.
"Landeyan yang patah ini terbuat dari kayu Nagasari, kayu yang cukup kuat untuk digunakan sebagai senjata menghadapi keris yang berwarna hitam buram itu" kata orang tua itu dalam hati.
"Bersiaplah ki sanak, aku akan menyerangmu" kata Panembahan Sekar Jagad.
Lawannyapun telah bersiap, digenggamnya potongan landeyan itu erat-erat, dan pandangannyapun tidak bergeser dari ujung keris lawannya.
"Paling tidak, landeyan ini jauh lebih panjang dari pada senjatanya, dan aku harus bisa memukul pergelangan tangan kanannya yang memegang keris Kyai Kalamisani" kata orang itu didalam hati, lalu iapun segera bersiap dengan kesiagaan tertinggi.
Ketika Panembahan Sekar Jagad mulai menggerakkan keris Kyai Kalamisani yang berwarna hitam buram untuk menyerang dan lawannyapun telah bersiap melawannya, tetapi tiba-tiba gerakannya terhenti, ia terkejut ketika mendengar beberapa kali suara suitan dua ganda.
Panembahan Sekar Jagad mengangkat wajahnya, suitan dua ganda dari Senapati Agung Jipang yang memerintahan semua pasukan Jipang untuk mundur, maka Panembahan Sekar Jagad segera membatalkan niatnya untuk menyerang lawannya, yang dilakukannya sekarang adalah berusaha mundur kearah utara.
"Ki Sanak, aku mundur bukan berarti aku takut kepadamu, aku mundur karena patuh pada perintah Senapati Agung Jipang" kata Panembahan Sekar Jagad.
Lawannya, orang yang ditangannya masih menggenggam sebuah landeyan yang patah, membiarkan Panembahan Sekar Jagad mundur dan masuk ke dalam barisan prajurit Jipang.
"Pulanglah Panembahan, pulanglah ke gunung Lawu, kau tidak usah ikut campur persoalan Jipang dan Pajang, biarkan Patih Matahun menyelesaikan persoalkannya sendiri" kata lawannya, Panembahan Sekar Jagadpun tidak menjawab, dia bergerak mundur dan telah bergabung dengan para prajurit Jipang yang berada didekatnya
Ketika Panembahan Sekar Jagad bergerak mundur, lawannya membiarkan orang itu masuk ke dalam kelompok besar prajurit Jipang yang bersama-sama bergerak mundur ke hutan.
Orang yang tadi mengenakan caping merasa bahwa akan sangat berbahaya bagi prajurit Pajang dan laskar Sela, apabila berani mengejar prajurit Jipang yang mundur kedalam hutan :"Jangan di kejar !!" teriak orang tua itu.
Lurah Prayogapun berteriak memberi perintah :"Tetap ditempat, jangan dikejar !"
Prajurit Jipang yang lebih mengenal medan, akan dapat menyergap mereka di kegelapan malam, sehingga di khawatirkan para prajurit di pihak Pajang akan jatuh korban yang banyak sekali.
Senja telah menjelang, sebentar lagi matahari akan terbenam di cakrawala, langitpun telah berangsur-angsur redup, awan dilangit ada yang berwarna jingga terkena sinar matahari senja, ber gumpal-gumpal membentuk sebuah lukisan alam yang indah.
Di tepi barat Bengawan Sore, setelah seluruh prajurit Jipang berhasil mundur ke hutan, saat ini yang tersisa hanya satu lingkaran pertempuran antara Ki Patih Matahun melawan tiga orang Senapati Pajang dan tempat itu telah dikepung oleh ratusan tombak dan pedang prajurit Pajang yang mengelilinginya,
Patih Matahunpun bersuit nyaring pendek panjang, dan lamat-lamat dari jarak yang agak jauh, beberapa kali terdengar ada yang meneruskan pesannya dengan suitan yang sama, suitan pendek panjang.
Tak lama kemudian dari arah hutan disebelah utara Bengawan Sore telah meluncur ke udara, sebuah panah sendaren, suaranya bergaung terdengar ke semua orang yang masih berada di sekitar daerah tanah lapang ditepi barat Bengawan Sore.
Mendengar suara panah sendaren itu, Patih Matahunpun tertawa terkekeh-kekeh :" Bagus Nderpati, bagus, kalian semua berhasil lolos, semua prajurit Jipang telah selamat, he Pemanahan, kau dengar, itu suara panah sendaren dari muridku Nderpati, itu adalah pemberitahuan, semua prajurit Jipang telah selamat sampai di hutan"
Setelah tertawanya selesai, maka ki Patih Matahunpun berkata keras : 
"Prajurit Jipang semuanya telah berhasil sampai di hutan, bagus, sekarang aku tak mungkin bisa lolos, aku akan mati disini, mari, mari, majulah, siapa satu atau dua orang Senapati Pajang yang akan mati sampyuh bersamaku ?!" teriaknya.
"Menyerahlah Ki Patih, kau hanya sendiri disini, kau telah dikepung ratusan prajurit Pajang" kata Ki Pemanahan.
Patih Matahun tertawa :"Pemanahan, kau tahu siapa aku, kau telah mengenal siapa Matahun, hidup matiku untuk tanah pusaka Jipang Panolan, kau telah berani menyerang Jipang, sedhumuk bathuk senyari bumi totohane pati, ayo siapa Senapati Pajang yang akan mati sampyuh bersamaku di tepi Nggawan ini ?"
"Menyerahlah Ki Patih, kau tak mungkin bisa lolos dari kepungan para prajurit Pajang" kata Senapati Agung Pajang.
"Majulah kalian, inilah Patih Jipang Panolan, ayo orang-orang Pajang keroyoklah aku" kata Patih tua itu, lalu ia segera melintangkan pedang didepan dadanya.

Pemanahan tidak menjawab, tetapi ia bersiap menyerang lawannya dengan kekuatan penuh, tangannya yang memegang pedang segera diayunkan ke leher Patih Matahun.
Tetapi Pemanahan terkejut ketika melihat Matahun tidak berusaha mengelak, tetapi ia akan membalas serangannya dengan serangan balik yang mematikan, menjulurkan pedangnya kearah dada lawannya.
"Mari Pemanahan majulah, kita akan mati bersama !!" teriak Patih Matahun yang tidak berusaha menghindari serangan, tetapi ia membalas menyerang dengan menusuk dada lawannya.
Pemanahan terkejut, ia segera menarik serangannya, lalu senjatanya digunakan untuk menangkis pedang lawannya, dengan cepat Pemanahan melompat mundur, mengambil jarak dan menjauh dari Patih Matahun.
Setelah itu, Patih Matahun melihat sebuah serangan datang dari Penjawi, sebuah tusukan pedang kearah perutnya.
"Bagus Penjawi, ternyata kau yang akan menemaniku mati disini" kata Patih Matahun menyambut serangan Penjawi dengan sebuah serangan pula.
Penjawipun dengan cepat menarik serangannya, terlalu berat untuk beradu ilmu melakukan benturan langsung dengan Patih Matahun yang telah berputus asa.
Patih Matahun masih berada ditengah lingkaran para prajurit Pajang, Juru Martani yang masih mengepungnya, berkata pada seorang prajurit yang membawa senjata tombak disebelahnya :"Prajurit, aku pinjam tombakmu, kau mundurlah"
Prajurit itu memberikan tombaknya kepada Juru Martani, lalu iapun mundur kebelakang lalu mencabut pedang pendek yang dibawanya.
Juru Martani memasukkan pedang pendeknya kedalam warangkanya, menerima tombak dari prajurit itu, lalu iapun berteriak :"Adi Pemanahan dan Penjawi, mari kita bermain rampogan !!"
Pemanahan dan Penjawi tanggap atas teriakan Juru Martani, keduanya mengganti senjata pedang pendeknya menjadi senjata panjang, meminjam tombak yang digunakan oleh para prajurit Pajang.
"Mari adi Penjawi, kita bermain rampogan bersama kakang Juru Martani !" teriak Pemanahan.
"Baik kakang Pemanahan !" teriak Penjawi.
"Semua yang bersenjata tombak maju kedepan, yang bersenjata pedang, mundur kebelakang !!" teriak Pemanahan.
Sesaat kemudian, puluhan prajurit bersenjata tombak yang semula dipersiapkan untuk melawan Panembahan Sekar Jagad maju membentuk lingkaran dengan semua ujung tombak mengacu kepada Patih Matahun.
Puluhan prajurit Pajang yang bersenjata pedang pendek, mundur ke belakang, mereka melapis para prajurit yang bersenjata tombak.
Patih Matahun menggeram, ia merasakan kepungan yang semakin rapat, ia tidak melihat sebuah celahpun yang bisa membawa dirinya lolos dari kepungan prajurit Pajang yang bersenjata tombak.
Dengan menghentakkan tenaganya, Ki Patih menyerang ke arah Pemanahan, iapun segera melompat kedepan, sebuah tombak yang menjulur ke arah lehernya berhasil di tebas oleh pedangnya hingga landeyannya patah, tetapi enam buah ujung tombak lainnya segera mengancam dadanya.
Ki Patih melompat mundur, ia mengalihkan serangannya ke Penjawi, tetapi dilihatnya belasan prajurit mengangkat tombaknya setinggi dada, sehingga Ki Patih membatalkan niatnya untuk menyerang Penjawi.
"Menyerahlah Ki Patih, atau kami akan bermain rampogan, kau yang menjadi macannya !!" teriak Pemanahan.
"Ayo prajurit Pajang, majulah semuanya, kau anggap aku takut kepadamu ?!!" kata Patih Matahun.
"Pasukan panah, semuanya menyebar satu lingkaran !!" teriak Pemanahan.
Puluhan prajurit yang bersenjatakan panah bergerak menyebar ke semua arah, mereka bersiap menunggu perintah dari Senapati Agung Pajang.
Patih Matahun mencoba bergerak menyerang Juru Martani, tetapi belasan ujung tombak segera mengacu kepadanya, sehingga Ki Patih menjadi mundur kembali.
"Menyerahlah Ki Patih !!" teriak Pemanahan, dan tak ada jawaban apapun dari Patih Matahun, maka Pemanahanpun memberi perintah kepada pasukan panah.
"Panah dia !!" perintah Pemanahan sambil menunjuk wajah Patih Matahun dengan tombaknya.
Puluhan prajurit yang membawa busur dan anak panah segera bersiap, dan sesaat kemudian beberapa anak panah telah beterbangan ke arah Patih Jipang yang perkasa itu, kemanapun Ki Patih menghadap, anak panah selalu menyambarnya dari berbagai arah.
Patih Matahunpun memutar pedangnya seperti baling-baling, belasan anak panah telah patah dan jatuh ketanah terkena sabetan pedangnya.
Patih yang perkasa itupun menjadi bingung, kemanapun ia bergerak, beberapa anak panah selalu menyambar dirinya, dan ketika pedangnya sedang menangkis anak panah dari arah samping, sebuah anak panah mengenai pahanya, setelah itu Ki Patih terkejut ketika sebuah anak panah telah menancap di pundak kanannya.
Ki Patih menggeram marah, geraknya sekarang tidak selincah dan sekuat semula, meskipun tidak terlalu dalam, anak panah yang menancap di pundak dan pahanya ternyata mampu mengurangi sebagian tenaganya, dan gerakannya semakin lama menjadi semakin lamban.
Pemanahanpun melihat perubahan itu, dengan cepat ia memerintahkan untuk menghentikan serangan panah ke arah Patih Matahun.
"Berhenti !!" teriak Pemanahan.
Ketika serangan anak panah telah berhenti dan tidak ada lontaran anak panah lagi terhadap dirinya, dengan menggeretakkan giginya, Patih Matahun segera mencabut anak panah yang tertancap ditubuhnya dan darahpun telah menetes dari pundak dan pahanya yang terluka.
Pemanahanpun maju kedepan, ujung tombaknya telah bergetar, kedua tangannya telah memegang landeyan tombaknya, bersiap menghadapi Patih Matahun yang telah terluka.
Pemanahanpun berteriak nyaring menyerang Ki Patih, tombaknya berkelebat cepat memainkan ilmu tombak perguruan Sela, iapun memutar tombaknya sekali, lalu dengan cepat bilah tombaknya mematuk dada lawannya.
Ki Patih mundur selangkah, pedangnya digerakkan untuk menangkis serangan tombak lawannya dan terjadilah benturan keras, pedang pendek Patih Matahun membentur bilah tombak Pemanahan, dan tangan keduanyapun telah tergetar.
"Uh lukaku terus keluar darahnya, sekarang tenagaku sudah jauh susut" kata Ki Patih dalam hati.
Pemanahan melihat kekuatan tenaga Patih Matahun sudah berkurang, pada saat terjadi benturan senjata, tenaga Ki Patih sudah tidak mampu lagi untuk melemparkan bilah tombaknya atau mematahkan landeyannya, maka iapun segera menggerakkan tombaknya, menusuk, menekan dan menyerang lawannya.
Penjawi dan Juru Martanipun segera berlari memasuki tempat pertarungan, mereka berdua segera melibatkan diri dengan memainkan tombaknya, menyerang Patih Jipang itu dari dua arah.
Terlihatlah sebuah pertempuran satu lawan tiga yang tidak seimbang, Patih Matahun yang bersenjatakan pedang pendek dengan tubuh yang telah terluka melawan tiga orang yang memainkan ilmu tombak yang sama, ilmu tombak dari perguruan Sela.
Darah yang mengalir perlahan dari pundak dan pahanya yang terluka, telah menguras tenaga tuanya.
Patih Jipang Panolan yang cerdik berusaha untuk mati sampyuh bersama salah satu Senapati Pajang yang mengeroyoknya.
"Pemanahan, kau sebentar lagi akan mati sampyuh bersamaku" kata Patih Matahun dalam hati, dan Ki Patihpun bersiap untuk melemparkan pedang pendeknya untuk membelah dada Pemanahan.
"Hanya dengan lemparan pedang yang cepat dan kuat, yang bisa membunuh Pemanahan" katanya dalam hati.

Tetapi ketiga Senapati Pajang itu tidak membiarkan Matahun bergerak bebas, tiga orang dari Sela itu mengurung Matahun dengan gerakan tombak yang cepat dari segala arah.
Patih Jipang Panolan itu mengeluh, darah masih menetes dari luka di pundak dan pahanya, dan ia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk melempar pedang pendeknya ke arah Pemanahan, dengan tenaga yang sudah jauh berkurang, Matahun yang tua bertahan sekuat tenaga terhadap serangan tiga buah ujung tombak yang selalu bergerak mengelilingi tubuhnya.
Matahari hampir tidak terlihat lagi, sinar kemerah merahan yang menghiasi awan di langit bang kulon sudah banyak yang menghilang.
Akhirnya ketika hari menjadi semakin redup dan remang-remangpun telah membayang di sekitar tanah lapang di tepi barat Bengawan Sore, maka sampailah Patih Matahun, Patih Jipang yang perkasa, pada sebuah batas yang akan dialami oleh semua manusia.
Tubuhnya telah terluka, tenaganya sudah terkuras habis, kekuatannya sudah jauh berkurang dan gerakannya sudah semakin lambat, sehingga ketika pedang Matahun berbenturan dengan tombak Pemanahan, tangan Matahunpun bergetar, pedang itu masih dapat dipertahankan dalam genggamannya, tetapi ketika disusul benturan beruntun dengan tombak Penjawi lalu ditambah dengan hantaman pangkal landeyan tombak Juru Martani yang mengenai pergelangan tangan kanannya, maka pedangnyapun telah terlempar jatuh ketanah, lepas dari genggamannya.
Patih Jipang yang gagah berani itu terkejut, satu-satunya senjatanya telah terlempar jatuh, dengan cepat ia melompat ke samping, tetapi ketiga orang Senapati Pajang itu terus mengejarnya.
Pemanahan, Penjawi dan Juru Martani tidak memberinya kesempatan untuk bernapas, ketiganya bersama-sama menyerang Ki Patih yang telah kehilangan senjatanya, tombak mereka berkelebat menusuk tubuh Patih Matahun dari tiga penjuru.
Matahun masih bisa menggerakkan tangannya menangkis dan memukul kesamping sebuah tombak yang akan menusuk dadanya, tetapi serangan dua buah tombak lainnya tak dapat dihindarinya.
Sesaat kemudian di tepi Bengawan Sore terdengarlah sebuah teriakan nyaring, ketika dua buah ujung tombak dalam waktu yang hampir bersamaan telah menusuk tubuh Ki Patih yang sudah tidak bersenjata.
Patih Matahun yang gagah berani tak mampu bergerak lagi, ketika salah satu tombak yang menusuk tubuhnya telah mengenai jantungnya.
Hari semakin gelap, tiga orang Senapati dari Sela berdiri melingkar saling berhadapan, sedangkan di tengah-tengah mereka, tergeletak sesosok tubuh yang berlumuran darah, Matahun, yang telah gugur membela Jipang dan membela junjungannya
"Ki Matahun telah meninggal dunia" kata Pemanahan sambil berjongkok, setelah memeriksa tubuh Patih Matahun yang tergeletak di tanah.
"Perang telah selesai" kata Pemanahan setelah memastikan Patih Jipang itu meninggal dunia.
Perang Pajang melawan Jipang telah berakhir, ratusan prajurit Jipang yang mengalami kekalahan, mundur dan lari bersembunyi di dalam hutan, sedangkan jenazah Patih Matahun telah diangkat oleh beberapa orang prajurit dan di letakkan di barisan belakang pasukan Pajang.
Setelah itu terlihat belasan orang menyalakan obor untuk menerangi beberapa tempat di tanah lapang, di tepi Bengawan Sore,
Di tanah lapang itu telah berkumpul Pemanahan, Penjawi dan Juru Martani bersama dua orang Lurah Prajurit Pajang, beserta empat orang pimpinan laskar Sela.
"Perang telah selesai, tetapi kita harus tetap waspada, ratusan prajurit Jipang telah berhasil lari dan bersembunyi di hutan, dan jumlah mereka masih bisa bertambah dengan para prajurit yang baru bergabung malam ini atau besok pagi" kata Pemanahan.
"Malam ini juga, kita akan menyeberangi Bengawan Sore, kita menuju ke dalem Kadipaten Jipang" kata Pemanahan.
Pemanahan berhenti sebentar, lalu iapun melanjutkan perkataannya lagi :"Tadi kita tidak melihat adik Adipati Jipang yang bernama Raden Arya Mataram, mungkin Raden Mataram tidak ikut ke peperangan".
"Ya, Arya Mataram tidak ikut di dalam pasukan Jipang" kata Penjawi.
"Meskipun perang sudah selesai, tugas kita masih banyak, disamping kita merawat orang-orang yang gugur maupun yang terluka dari kedua belah pihak, besok pagi kita masih punya tugas mencari Sutawijaya dan merawat jenazah Arya Penangsang maupun Patih Matahun, disamping itu kita masih mencari kuda Gagak Rimang dan kuda betina yang telah lari masuk ke hutan" kata Pemanahan.
"Keris Kyai Setan Kober milik Arya Penangsang saat ini ada padaku, keris itu besok akan aku serahkan kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Pemanahan.
Penjawi, Juru Martani, para Lurah prajurit dan pimpinan laskar Sela mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Akhirnya keris yang luar biasa itu besok akan berada ditangan Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Lurah Prayoga dalam hati.
"Apakah nanti keris Kyai Setan Kober akan dikembalikan ke Kanjeng Sunan Kudus ?" tanya Lurah Prayuda kepada dirinya sendiri.
"Ki Lurah Prayoga" kata Pemanahan.
Lurah Prayoga maju kedepan sambil berkata :"Ya Ki"
"Besok pagi berangkatkan dua orang utusan ke Sela dan ke kotaraja Pajang, untuk memberitahukan hasil perang ini ke Eyang Sela dan kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya" perintah Pemanahan
"Baik Ki" jawab Lurah Prayoga.
Tiba-tiba Penjawi teringat sesuatu, lalu iapun berkata :"Dimana orang tua yang tadi bertarung dengan Panembahan Sekar Jagad ? Orang itu bertarung di sayap kiri, dimana dia sekarang ? Ada yang melihatnya ?"
Semua orang saling berpandangan, keliihatannya orang tua bercaping itu secara diam-diam telah pergi meninggalkan daerah pertempuran.
"Ilmunya mampu mengimbangi ilmu Panembahan Sekar Jagad, siapakah orang itu sebenarnya ?" tanya Penjawi, dan tak seorangpun yang mampu menjawabnya.
Sementara itu, puluhan orang prajurit Pajang telah merawat para korban yang terluka maupun yang telah gugur, bukan hanya korban dari pihak Pajang dan Sela saja, tetapi juga korban dari pihak Jipangpun telah ditolong oleh para prajurit Pajang.
Sementara itu, setelah mengetahui Patih Matahun telah gugur, dua orang nayaka praja Kasultanan Pajang yang diutus oleh Sutan Hadiwijaya untuk melihat pertempuran itu, Ngabehi Wilamarta dan Wenang Wulan, perlahan-lahan meninggalkan daerah bekas pertempuran di tepi Bengawan Sore, mereka kembali ke tempat mereka menyembunyikan kuda-kudanya.
Dua pasang kaki terus melangkah, berjalan di kegelapan malam menuju ke arah matahari terbenam, suara cengkerik mulai terdengar di gerumbul perdu yang berada tidak jauh dari tanah lapang ditepi Bengawan Sore.
"Perang telah selesai, Jipang telah kalah, Arya Penangsang dan Patih Matahun telah gugur, malam ini kita bisa beristirahat dan besok pagi aku akan berangkat ke bukit Danaraja menemui Kanjeng Ratu Kalinyamat" kata Wenang Wulan.
"Ya, besok aku juga akan pulang ke kotaraja Pajang" jawab Ngabehi Wilamarta.
Wenang Wulan menghela bapas panjang :"Banyak yang jatuh korban, gugur ataupun terluka parah"
"Ya, dari dulu perang memang selalu begitu" kata Ngabehi Wilamarta.
"Sebentar lagi kakang Pemanahan, kakang Penjawi dan kakang Juru Martani akan menyeberangi Bengawan Sore, mereka akan pergi menuju dalem Kadipaten Jipang sebagai seorang Senapati Agung yang telah memenangkan pertempuran" kata Wenang Wulan.
"Setelah ini bumi Pati dan alas Mentaok akan menjadi milik kakang Pemanahan dan kakang Penjawi" kata Ngabehi Wilamarta.
"Ya, hadiah bumi Pati dan alas Mentaok tidak datang begitu saja, mereka mendapatkan kedua tlatah itu dengan berjuang bertaruh nyawa, puluhan orang telah menjadi tumbal, baik dari pihak Jipang, Pajang maupun Sela" kata Wenang Wulan.
Ngabehi Wilamarta mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian iapun berkata :"Perang Pajang melawan Jipang meskipun tidak sebesar perang Panarukan, tetapi di dalam perang ini, banyak orang yang menjadi korban, termasuk seorang Adipati dan Patihnya".
"Ya, dengan kematian Arya Penangsang, klilip di dalam Kasultanan Pajang telah hilang, tetapi setelah perang ini, apakah di tanah Jawa tidak akan pernah terjadi perang lagi ?" tanya Wenang Wulan.
Ngabehi Wilamarta menengok kebelakang, di daerah bekas terjadinya pertempuran di tanah lapang, tampak kerlip cahaya dari puluhan obor yang telah dinyalakan.
Malam itu tlatah Jipang menjadi semakin gelap, rembulan di angkasa terlihat belum bulat sempurna, dan ribuan bintangpun berkerlip indah dilangit.
Ngabehi Wilamarta tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan Wenang Wulan, kakinya masih terus melangkah di kegelapan malam, suara cengkerikpun masih terdengar digerumbul perdu.
Bulan sedikit tertutup awan, mereka berdua masih berjalan ke arah barat, kaki-kaki mereka masih terus terayun, melangkah semakin jauh dari tanah lapang di tepi Bengawan Sore.

No comments:

Post a Comment