15 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 33

KERIS KYAI SETAN KOBER 33
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG 2
"Wenang Wulan akan menginap semalam didesa Tingkir, besok paginya baru rombongan dari Tingkir berangkat ke kotaraja, setelah nenginap semalam di jalan kira-kira disekitar Mrapen, esoknya lagi baru sampai di Kadilangu"
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
"Ada lagi yang perlu kita bicarakan?" tanya Adipati Hadiwijaya :"Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, maka pertemuan ini sudah selesai dan lusa kita mempunyai acara yaitu peresmian kesatuan prajurit Wira Tamtama, Wira Braja, pasukan tombak dan pasukan sandi Kadipaten Pajang" setelah berkata demikan, maka Adipati Hadiwiijaya kemudian masuk kedalam kamar, dan para nayaka prajapun kemudian berdiri dan kembali ke ruang Sasana Sewaka. 
Malampun semakin larut, Hadiwijaya sedang berbaring di kamarnya, alam pikirannyapun melayang-layang, mengembara, menyusup dan singgah di beberapa persoalan yang telah dialaminya. Hadiwijaya bersyukur, uwanya, Kebo Kanigara telah menyatakan bersedia pergi bersamanya pada adi cara lamaran sampai pahargyan pengantin di Kraton Demak sehingga ia merasa tidak sendiri dalam menghadapi persoalan pernikahannya dengan Sekar Kedaton.
Setelah belasan tahun Kebo Kanigara menarik diri dari pergaulan masyarakat Demak, sekarang uwanya telah bersedia untuk bertemu dengan Kanjeng Sultan Demak. 

Kebo Kanigara yang berilmu kanuragan yang tinggi, mempunyai bermacam-macam aji jaya kawijayan guna kasantikan, senang mengembara dari ujung utara ke ujung selatan tanah Jawa, berjalan dari bang wetan ke bang kulon, telah melihat persiapan belasan perahu armada Kasultanan Demak yang akan digunakan untuk berperang dari laut, telah siap di pesisir Wedung dan Keling.
"Demak segera akan nglurug perang, tetapi kemana?" desis Hadiwijaya. 
Uwanya juga memperhitungkan dan menyarankan kepadanya, sebelum prajurit Wira Manggala Demak ditarik ke kotaraja, maka prajurit Pajang harus sudah siap, menjaga kedaulatan Kadipaten Pajang. Kebo Kanigara juga sering lewat di tlatah Jipang, dan menurut uwanya, Jipang telah mempunyai beberapa puluh calon prajurit yang berasal dari sebuah padepokan di lereng gunung Lawu, murid-murid Panembahan Sekar Jagad.
"Kadipaten Pajang jangan sampai kalah oleh Kadipaten Jipang" kata Adipati Pajang dalam hati.
Kemudian angan-angannya melayang kembali, singgah ke desa Tingkir, ia merasa tidak tega melihat biyungnya yang sejak ia masih anak-anak, sangat menyayanginya, dan iapun membayangkan bagaimana sedih biyungnya ketika bangun tidur ternyata anak angkatnya yang disayanginya telah pergi tanpa pamit.
"Hm mungkin biyung telah menangis mencariku sepanjang hari, dari bangun tidur tadi siang sampai malam ini" katanya dalam hati. 
Angan-angannya terhenti ketika dari jauh terdengan suara kentongan yang terdengar lamat-lamat, kemudian disambung oleh suara kentongan yang ditabuh keras di pendapa Sasana Sewaka. 
"Biasanya Wenang Wulan yang menabuh kentongan itu" katanya dalam hati.
Kentongan itu ditabuh dengan pukulan yang keras, tetapi dengan irama yang lambat, lambat, lalu iramanya berubah, semakin lama menjadi semakin cepat, cepat sekali, kemudian berangsur-angsur kembali menjadi agak lambat, lambat, dan akhirnya suara kentongan itupun berhenti.
"Irama dara muluk, irama seekor burung merpati yang sedang terbang di angkasa, sebuah tanda kalau saat ini sudah waktunya tengah malam" desis Adipati Hadiwijaya, selama beberapa saat angan-angannya masih terus melayang-layang, sampai tak terasa Sang Adipatipun telah tertidur.
Pagi harinya, Adipati Hadiwijaya melakukan keliling di daerah Pajang dengan berkuda, melihat beberapa orang yang sedang membabat alas, sedang membangun rumah baru, pindah dari rumah asalnya yang jauh, mencoba peruntungan di Pajang setelah mendengar Pajang sudah menjadi sebuah Kadipaten. 
"Hari ini aku akan berkeliling Pajang, upacara peresmian prajurit Pajang baru akan diadakan besok pagi" desis Adipati Pajang.
Sementara itu di Kadipaten Jipang, Adipati Arya Penangsang sedang mengadakan persiapan untuk acara pasewakan di Sasana Sewaka.
"Besok diadakan pasewakan yang pertama, paman" kata Arya Penangsang kepada Matahun. 
"Ya Kanjeng Adipati" kata Matahun.
"Kelihatannya dulu kita masih punya selembar kulit kambing paman Matahun?" kata Arya Penangsang. 
"Kulit kambing itu masih ada Kanjeng Adipati" jawab Matahun.
"Coba kau bawa kemari Paman Matahun" kata Sang Adipati. 
Matahunpun kemudian masuk ke kamar belakang, dan tak lama kemudian iapun datang dengan membawa selembar kulit yang tidak terlalu lebar.
"Kulitnya hanya kecil saja Kanjemg Adipati" kata Matahun.
"Tidak apa-apa, kulit itu cukup untuk membuat serat kekancingan paman"
"Ya Kanjeng Adipati" kata Matahun yang dulu ikut pula hadir di pisowanan agung yang dilaksanakan di Sasana Sewaka Kadipaten Demak dan telah melihat Arya Penangsang telah mendapat serat kekancingan yang terbuat dari kulit kambing, dari Kanjeng Sultan Trenggana.
Adipati Arya Penangsangpun kemudian memasuki kamarnya, lalu iapun segera membuat beberapa serat kekancingan untuk nayaka praja Kadipaten Jipang. Matahunpun kemudian keluar dari dalem Kadipaten, untuk mengawasi pembangunan dalem kadipaten dan bertemu dengan seorang pemuda yang menarik perhatiannya dan telah diangkat menjadi murid tunggalnya, Anderpati.
Matahari memanjat langit semakin tinggi ketika Matahun berjalan menuju tempat dalem kepatihan yang sedang dibangun. 
Matahun, yang mendapat tugas dari Adipati Jipang, Arya Penangsang untuk membangun dan mengawasi pembangunan dalem kepatihan, menyempatkan diri untuk melihat sampai dimana pekerjaan yang telah menjadi tanggung jawabnya. Di tempat itu perataan tanah sudah selesai dikerjakan, beberapa batang kayu yang akan dipergunakan untuk tiang saka, tergeletak disana.
Ki Matahunpun kemudian menghampiri orang-orang yang bekerja, lalu iapun berkata kepada tukangnya :"Ada kesulitan?" 
"Tidak ada Ki Matahun, semua pekerjaan berjalan lancar" kata tukang yang bekerja disana.. 
"Bagus" kata Matahun, lalu kepada Anderpati iapun berkata :" Nderpati, besok kau ikut hadir di pasewakan?"
"Tidak Ki, saya bukan seorang bebahu Jipang" kata Anderpati.
"Tidak apa-apa Nderpati, kau datang saja, kau bisa duduk di barisan belakang atau kau bisa berada diluar Sasana Sewaka" kata gurunya.
"Baik Ki Matahun" kata Anderpati.
Agak lama Matahun berada di sana, ketika matahari sudah berada di puncak langit, maka Matahunpun berjalan pulang kembali ke dalem Kadipaten. 
Di dalem Kadipaten sudah ada beberapa orang bebahu Jipang yang membawa beberapa hasil bumi untuk diserahkan ke Kadipaten Jipang.
Para bebahu banyak yang telah menyerahkan beberapa ikat padi ataupun hasil palawija mereka, bahkan ada yang menyerahkan beberapa binatang peliharaan. Hingga sore hari, utusan para bebahu masih ada beberapa orang yang datang menyerahkan hasil bumi ke dalem Kadipaten. 
Ketika bumi Jipang telah diselimuti oleh kegelapan, malampun telah berjalan beberapa waktu dan saat itu telah memasuki wayah sepi wong, Matahunpun kemudian berbaring di sebuah amben di sebuah ruang di bagian belakang dalem Kadipaten.
Baru saja ia pulang dari melatih dan mengajarkan olah kanuragan kepada Anderpati di sebuah tanah lapang di tepi Bengawan Sore. Anderpati seorang pemuda yang rajin dan cerdas, yang mempunyai sorot mata seperti seekor macan, dengan tekad yang kuat, mau belajar menyerap ilmu yang diajarkan oleh gurunya.
Mata yang belum mau terpejam hingga lewat tengah malam, hanya ada satu pertanyaan yang berputar putar dalam pikirannya, siapakah nanti yang akan diangkat menjadi patih Kadipaten Jipang?. Ketika hampir fajar, Matahun baru bisa terlelap sesaat, bisa tidur sebentar. 
Waktu terus berjalan, malam telah berganti pagi, matahari terlihat semakin tinggi, ruang Sasana Sewaka sudah hampir penuh dengan para bebahu di seluruh Kadipaten Jipang.
Sejak puluhan tahun yang lalu, keluarga Sunan Ngudung, eyang Arya Penangsang adalah keluarga yang terhormat di Jipang, sehingga ketika Penangsang diangkat menjadi Adipati Jipang, tidak seorang bebahupun yang merasa berkeberatan.
Ketika Sasana Sewaka semakin penuh, pasewakanpun akan segera di mulai, Matahun tampak duduk bersila didepan, disebelah kirinya duduk orang kepercayaan Arya Penangsang, seorang anak muda yang umurnya sebaya dengan junjungannya, Rangkud, sedangkan di sebelah kanannya duduk adik Adipati Jipang, Arya Mataram, dan ketika Matahun menengok kebelakang mencari sosok muridnya, terlihat Anderpati sedang berada diluar ruang Sasana Sewaka.
Seorang prajurit Wira Manggala yang menjadi pranata adi cara, mengatakan Kanjeng Adipati Jipang Arya Penangsang akan segera memasuki ruangan Sasana Sewaka, diharap semua para bebahu dan yang hadir di Sasana Sewaka agar berdiri, menghormat kedatangan Sang Adipati. Para bebahu yang hadir semuanya telah berdiri dengan tangan bersikap ngapurancang, menunggu kedatangan Adipati jipang di ruangan Sasana Sewaka.
Tak lama kemudian, Adipati Jipang Arya Penangsang yang bermata tajam dengan kumis melintang, terlihat mengenakan busana ksatrian, memakai keris yang menjadi sipat kandel Kadipaten Jipang, Kyai Tilam Upih, berjalan perlahan-lahan memasuki Sasana Sewaka, di kawal oleh Lurah Radya dari kesatuan Wira Manggala Kasultanan Demak, sedangkan dibelakangnya berjalan dua orang prajurit Wira Manggala lainnya. 
Semua yang hadir tangannya bersikap ngapurancang dan membungkukkan badannya serta menundukkan kepala serta menyembah ketika Sang Adipati lewat didepannya. Perlahan-lahan Arya Penngsang berjalan kedepan, kemudian duduk di kursi yang menghadap ke semua bebahu yang hadir di ruangan Sasana Sewaka.
Setelah Adipati Jipang duduk di kursi, para bebahu yang hadir kemudian kembali duduk bersila dilantai, dengan kepala tetap menunduk.
Setelah mengantar Adipati Jipang duduk di kursi, Lurah Radya kemudian duduk di belakang Sang Adipati, sedangkan dua orang prajurit Wira Manggala segera duduk bersila dilantai, di belakang Lurah Radya.
Prajurit Wira Manggala yang menjadi pranata adi cara, mengatakan pasewakan akan segera dimulai, dan semua para bebahu yang hadir diharap mendengarkan titah yang akan diucapkan oleh Kanjeng Adipati Arya Penangsang.
Dengan pandangannya yang tajam, Arya Penangsang memandang kepada semua para bebahu yang hadir dihadapannya, lalu dilanjutkan dengan sambutannya, yang diucapkan dengan kalimat yang keras dan tegas, singkat kata-kata yang diucapkannya, tidak berbasa-basi, Adipati Arya Penangsang hanya menjelaskan, saat ini ia sebagai Adipati Jipang adalah diangkat oleh Kanjeng Sultan Trenggana, yang bertindak sebagai seorang Raja di Demak, yang mempunyai kekuasaan hampir di seluruh tanah Jawa.
Selanjutnya Adipati Arya Penangsang mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan kesetiaan para bebahu diseluruh Kadipaten Jipang, serta pemberian asok hulu bekti yang telah dibuktikan dengan datang di pasewakan. Setelah itu acara dilanjutkannya dengan acara yang di tunggu-tunggu oleh semua yang hadir di pasewakan, yaitu pengangkatan beberapa nayaka praja Kadipaten Jipang.
"Tidak banyak nayaka praja Jipang yang aku angkat, tetapi orang yang nanti akan menjadi nayaka praja, adalah orang-orang yang telah teruji kesetiaannya terhadap Kadipaten Jipang" kata Sang Adipati.
"Yang aku angkat menjadi seorang Penatus prajurit Jipang adalah seorang yang terbukti setia terhadap Kadipaten Jipang, yaitu Rangkud" kata Adipati Jipang. 
Rangkud, yang duduk bersila bergeser setapak dan menundukkan kepalanya di hadapan Sang Adipati, tetapi terlihat seperti sedang tersenyum ketika mendengar dirinya diangkat menjadi seorang nayaka praja dengan pangkat Penatus.
"Penatus, sebuah kedudukan yang tidak rendah, bisa memimpin para prajurit paling sedikit seratus orang, kalau begitu, nanti yang akan menjadi pimpinan semua prajurit Jipang adalah aku" kata Rangkud dalam hati, senyum masih terlihat disudut bibirnya.
Matahun yang berada disebelahnya, melihat Rangkud tersenyum, iapun merasa senang dan berkata dalam hati :" Bagus, Rangkud adalah orang yang sangat setia terhadap Kadipaten Jipang" 
"Selanjutnya akan aku angkat Arya Mataram sebagai penasehat Adipati" kata Adipati Arya Penangsang.
Arya Mataram mengeluh dalam hati, selama ini pendapatnya sering tidak sejalan dengan kakaknya, Kanjeng Adipati Jipang :"Ah, dalam banyak hal aku sering berselisih paham dengan kakangmas Penangsang".
"Banyak pertimbanganku tidak dihiraukan oleh kakangmas, beberapa kali aku dibilang seorang yang penakut, tetapi biarlah, semua ini adalah kemauan kakangmas Penangsang" katanya sambil menundukkan kepala. 
"Yang terakhir adalah pengangkatan seorang Patih di Kadipaten Jipang" kata Adipati Jipang. 
"Patih adalah kedudukan yang tinggi, ia adalah sebagai orang kedua di Kadipaten Jipang, tugas dan tanggung jawabnya berat dan ia harus orang yang berilmu tinggi dan sangat setia terhadap Jipang Panolan" kata Adipati Jipang.
Arya Penangsang berhenti sebentar, diedarkan pandangannya ke semua yang hadir di Sasana Sewaka.
"Yang akan aku angkat sebagai Patih Jipang sekaligus penasehat Adipati adalah Ki Matahun" kata Adipati Jipang.
Matahunpun menarik nafas dalam-dalam, ia yang sejak semula telah diperintahkan untuk mengawasi pembangunan dalem kepatihan, ternyata ia juga yang diangkat menjadi Patih Kadipaten Jipang. 
"Hm, ternyata aku yang diangkat menjadi Patih Kadipaten Jipang" katanya dalam hati.
Rangkud yang mendengar Matahun diangkat menjadi patih, menjadi gembira.
"Ki Matahun adalah orang yang berilmu tinggi, saat ini di seluruh tlatah Jipang, selain Kanjeng Adipati Jipang, tidak ada orang yang mampu mengimbangi ilmu kanuragannya" kata Rangkud dalam hati, memuji Matahun yang telah belasan tahun bersamanya mengabdi di keluarga Arya Penangsang. 
Setelah acara pembentukan nayaka praja Kadipaten Jipang sudah selesai dibacakan, maka acara pasewakan dilanjutkan dengan pemberian Serat Kekancingan. Adipati Jipang kemudian mengambil dari saku bajunya, tiga buah Serat Kekancingan yang akan diberikan kepada nayaka praja yang telah diangkatnya.
Para nayaka praja yang baru diangkat, Arya Mataram, Rangkud dan Patih Matahun kemudian berdiri dan siap menerima Serat Kekancingan dari Adipati Jipang. 
Setelah mereka bertiga menerima Serat Kekancingan dari Adipati Jipang, merekapun kembali ketempatnya, duduk bersila dihadapan Arya Penangsang. Setelah acara pembentukan nayaka praja selesai, maka Adipati Jipang mengatakan kesetiaan para nayaka praja Jipang adalah setia sampai mati. Tidak ada yang mampu mematahkan kesetiaan mereka kepada tanah kelahirannya, kecuali nyawa mereka telah berpisah dari raganya. 
Setelah beberapa acara lagi, pasewakanpun telah selesai, Adipati Arya Penangsangpun telah kembali ke dalem Kadipaten, dan pada saat yang bersamaan, di Kadipaten Pajang, di tanah lapang di depan dalem Kadipaten, telah dibuat sebuah panggung kecil dari kayu dan bambu, dan didepan panggung telah berkumpul dua ratus empat puluh calon prajurit yang segera akan diresmikan oleh Adipati Hadiwijaya, sedangkan di pinggir tanah lapang, ratusan rakyat Pajang melihat dan menonton acara peresmian para prajurit Pajang.
Dua kelompok besar para prajurit yaitu seratus orang calon prajurit Wira Tamtama Pajang telah berdiri tegak ditanah lapang yang dipimpin oleh Penatus Pemanahan dan seratus orang calon prajurit Wira Braja Pajang yang dipimpin oleh Penatus Penjawi, 
Tidak mudah bagi mereka untuk bisa menjadi seorang prajurit, pendadaran yang dijalani tidaklah ringan, dan dengan bangga sekarang mereka berdiri menanti Sang Adipati yang sebentar lagi akan meresmikannya.
Mereka belum mempunyai seragam keprajuritan, hanya berpakaian sederhana, separo dari mereka membawa sebuah pedang pendek yang disangkutkan di ikat pinggangnya, telah berdiri tegap di tanah lapang menunggu kedatangan Adipati Hadiwijaya.
Disebelahnya, sebuah kekompok kecil yang terdiri dari dua puluh orang calon prajurit yang bersenjatakan tombak, itulah kelompok kecil pasukan bertombak Kadipaten Pajang yang diberi nama Wira Kalantaka yang dipimpin oleh Wenang Wulan.. 
Sedangkan yang dua puluh calon prajurit lainnya tergabung dalam pasukan sandi yang bernama Wira Sandi Yudha, menjadi pasukan telik sandi Kadipaten Pajang, mereka tidak berbaris di tanah lapang, tetapi mereka berbaur menjadi satu dengan ratusan rakyat Pajang yang menonton dipinggir tanah lapang. 
Beberapa orang prajurit berpakaian Wira Manggala Demak berjaga didepan panggung, beberapa orang lainnya berjaga di beberapa tempat disekitar tanah lapang. Tak lama kemudian dari dalem Kadipaten terlihat Kanjeng Adipati Hadiwijaya berjalan menuju panggung, disebelah kirinya berjalan Lurah Wasana dari prajurit Wira Manggala Kasultanan Demak, sedangkan disebelah kanannya berjalan Ki Ageng Nis Sela.
Dibelakangnya berjalan Patih Mancanagara, Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta, paling belakang berjalan dua orang prajurit Wira Manggala Demak. 
Sang Adipati kemudian naik diatas panggung, duduk di kursi diapit oleh Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela, disebelah kanan kirinya duduk Patih Mancanagara, beserta Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil, sedangkan dua orang prajurit Wira Manggala berdiri dibelakangnya.
Diatas panggung, Adipati Hadiwijaya mengedarkan pandangannya keseluruh tanah lapang, dilihatnya tanah lapang yang luas yang berisi para calon prajurit Pajang.
"Tanah lapang ini luas, nanti kalau Kadipaten Pajang sudah bukan menjadi sebuah Kadipaten lagi, tetapi telah menjadi semakin besar, tanah lapang ini bukan hanya sekedar disebut tanah lapang atau bulak amba, tetapi harus sudah boleh disebut sebagai sebuah alun-alun, dan nanti ditengahnya dapat ditanam dua buah pohon beringin kurung yang besar" kata Kanjeng Adipati sambil melihat ke tengah tanah lapang.
"Pada saat sekarang, hanya bangunan Kraton saja yang didepannya boleh mempunyai sebuah alun-alun dan mempunyai dua buah pohon beringin kembar yang berada di tengahnya" kata Sang Adipati sambil menarik napas dalam-dalam.
"Suatu saat Pajang pasti mempunyai sebuah lapangan yang disebut alun-alun, dan pada suatu saat nanti dalem Kadipaten Pajang akan disebut sebagai Kraton Pajang" demikian tekad Sang Adipati.
Dilapangan, ketika terlihat semua sudah siap, maka Ki Pemanahan dan Ki Penjawipun kemudian berjalan menuju panggung, Ketika mereka tiba dihadapan Adipati Hadiwijaya, merekapun kemudian berjongkok menyembah, lalu menunggu perintah dari penguasa Pajang, Adipati Hadiwijaya. 
Hadiwijayapun kemudian mengambil dua buah pedang pendek, dan diberikan kepada Pemanahan dan Penjawi, lalu kedua orang itupun lalu menerima pedang itu, lalu disangkutkan di ikat pinggangnya masing-masing.
Dengan diterimanya kedua pedang itu, maka resmilah Pajang mempunyai prajurit Kadipaten yang dipimpin oleh Pemanahan dan Penjawi. Setelah menerima pedang, maka Pemanahan dan Penjawi kembali ketempatnya semula, bergabung ketempat dua ratus orang prajurit Wira Tamtama dan Wira Braja Pajang.
Sesaat kemudian barisanpun bergeser ketepi lapangan, untuk memberi kesempatan kepada para prajurit memperlihatkan kemampuannya.
Adipati Hadiwijaya bersama para nayaka praja di atas panggung menyaksikan beberapa orang keluar dari barisan para prajurit, mereka adalah para prajurit yang pernah berguru olah kanuragan di beberapa perguruan kecil yang tersebar di beberapa desa di sekitar Pajang.
Petama kali yang akan memperlihatkan kemampuannya adalah dua orang prajurit, yang seorang bertubuh agak gemuk sedangkan yang seorang lagi bertubuh sedang. Kedua orang prajurit itu melangkah maju kedepan panggung, keduanya membungkukkan badannya, lalu menyembah Kanjeng Adipati, setelah itu iapun mundur dan bersiap memperlihatkan kemampuannya.
Keduanya lalu berdiri berjejer, setelah menghormat ke penonton dengan membungkukkan badannya, maka keduanyapun mulai memperlihatkan kemampuannya memperagakan jurus-jurus yang pernah diajarkan oleh perguruannya.
Dengan tangan mengepal, mereka memukul lurus kedepan, memukul dagu dari bawah ke atas, menyiku, maupun menangkis, lalu tangan yang terkepal berubah menjadi ayunan keras sisi telapak tangan, lalu berubah lagi menjadi cengkeraman lima jari seakan-akan mencekeram leher lawannya setelah itu berubah menjadi tusukan dua jari kearah kepala lawannya.
Keduanya ternyata memang saudara seperguruan yang bersama-sama lulus dari pendadaran prajurit Pajang, gerakan yang mereka peragakan ternyata seragam, mereka berdua bisa bergerak bersamaan, runut dan indah dilihat.
Setelah memperagakan gerakan tangan, merekapun mempertunjukkan kelincahan gerak, mereka berdua dengan tangkasnya memperagakan gerakan menendang, melenting, menggunting dan berguling seakan-akan menghindari serangan lawan, lalu sambil berjongkok, kakinyapun bergerak menyapu kaki lawan, sebuah serangan yang dapat membuat lawannya jatuh terpelanting.
Kedua prajurit itu lalu bediri berjajar, kemudian bersiap mengambil ancang-ancang, lalu dengan cepat keduanya lari dan melompat kedepan dengan kaki kanan terjulur lurus dan kaki kiri ditekuk kedalam, seakan-akan mereka akan mengancurkan lawan dengan tendangan terbangnya, dan ketika kakinya menyentuh tanah, merekapun berguling sekali, lalu melompat dan berdiri siap untuk menyerang lagi.
Tepuk tangan terdengar riuh dari penonton yang berada di pinggir lapangan.
Beberapa saat mereka berdua masih bergerak memperlihatkan kemampuan olah kanuragan yang didapat dari perguruan mereka, dan setelah dianggap cukup, maka mereka berdua mengakhiri peragaan yang telah dilihat oleh ratusan rakyat Pajang. Riuh rendah sorak sorai dan tepuk tangan penonton yang ada di tanah lapang, ketika mereka menyaksikan akhir dari peragaan olah kanuragan keduanya, 
Disudut lapangan, seorang tua berjenggot panjang bewarma putih, yang memakai caping dengan pandangannya yang tajam, memperhatikan peragaan olah kanuragan itu, lalu iapun berkata dalam hati ;" Hadiwijaya harus bekerja lebih keras lagi, semua gerakan yang diperlihatkan oleh prajurit Pajang itu kalah jauh, kalau dibandingkan dengan kemampuan calon prajurit Jipang yang berasal dari lereng gunung Lawu, murid-murid Panembahan Sekar Jagad".
Di atas panggung, Ki Ageng Nis Selapun berkata perlahan seakan-akan kepada diri sendiri :"Semua gerakan olah kanuragan kedua prajurit itu masih gerakan dasar, masih mentah, untuk membuat prajurit yang berkemampuan tinggi, Pemanahan dan Penjawi harus bekerja lebih keras lagi"
Adipati Hadiwijaya yang mendengar perkataan itu hanya menganggukkan kepalanya :"Ya, untuk meningkatkan ketrampilan dan kemampuan prajurit Pajang, bukan hanya kakang Pemanahan dan kakang Penjawi saja yang harus bekerja keras, tetapi tugas ini harus dibantu oleh seluruh nayaka praja Kadipaten Pajang"
Ketika kedua orang itu telah mengakhiri peragaannya, maka iapun segera menghormat ke arah Adipati Hadiwijaya dan ke arah penonton, lalu keduanyapun kembali ke tempat semula ke dalam barisan para prajurit, dan sesaat kemudian, majulah kedepan, seorang prajurit yang bertubuh tinggi kurus.
Dengan membawa sebatang pedang pendek, prajurit itu melangkah maju kedepan panggung, membungkukkan badannya, kedua tangannya menyembah ke arah Kanjeng Adipati, setelah itu iapun mundur dan kembali ketanah lapang bersiap memperlihatkan semua kemampuannya.
Prajurit itupun berdiri tegap, setelah menghormat pada penonton, dengan cepat prajurit itu menggerakkan pedangnya dalam permainan pedang tunggal.
Sesaat kemudian prajurit yang bertubuh kurus itupun menusukkan pedangnya kedepan, lalu dengan cepat, ditariknya pedang itu kebelakang, lalu arah tusukan pedang berubah menjadi sabetan kesamping, lalu kembali berubah menjadi tusukan ganda ke depan, dan dengan tangkasnya ia melompat, lalu melenting kesamping, berguling sambil mengerakkan pedangnya seakan-akan menyapu kaki lawan.
Tak lama kemudian badannya berputar cepat, lalu iapun berlompatan kian kemari seperti seekor kijang, prajurit itu memutar pedangnya seperti baling-baling, pedang tunggalnya seakan-akan berubah menjadi sebuah perisai yang rapat, sehingga tidak mudah ditembus oleh serangan lawan. 
Setelah ia menyelesaikan permainan pedang tunggalnya, terlihat baju prajurit itu menjadi basah terkena keringat yang mengucur deras dari tubuhnya, tetapi prajurit yang bertubuh tinggi kurus itu tersenyum, ketika ia mendengar tepuk tangan yang keras dari para penonton di pinggir tanah lapang.Setelah memghormat dan menyembah kearah Adipati Hadiwijaya lalu iapun membungkukkan badannya kearah penonton, maka prajurit itupun kemudian berjalan ketempatnya semula, bersatu dengan para prajurit lainnya. 
Peragaan selanjutnya segera akan diperlihatkan oleh seorang prajurit yang bertubuh tegap, dengan penuh percaya diri, iapun maju kedepan dengan membawa dua buah pedang pendek. Setelah menghormat ke arah panggung dan menyembah ke Adipati Pajang, lalu iapun membungkukkan badannya kearah penonton, maka mulailah ia memperlihatkan permainan pedang rangkapnya. 
Pajurit itupun menggerakkan kedua pedangnya mendatar, lalu saling berurutan kedua pedang itu menusuk kedepan, kemudian pedangnya ditarik lagi untuk menusuk lawan yang berada di samping, semakin lama gerakannya semakin cepat.
Kedua pedangnya bergerak cepat disekeliling tubuhnya, seakan- akan melindungi dirinya dari serangan lawan. Pemainan pedang rangkapnya tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, bergerak cepat sekali, kedua kakinyapun melenting kesana kemari, bahkan prajurit itu mampu berguling tanpa melepas kedua pedangnya..
Tangan kanan dan tangan kirinya yang masing-masing memegang sebuah pedang ternyata sama baiknya dan sama lincahnya, dan keduanya dapat saling mengisi untuk menyerang maupun untuk bertahan. Kedua pedangnya berkelebat bergantian di sekeliling tubuhnya, dan ketika pedang rangkapnya terkena sinar matahari, pantulan sinarnya terlihat seperti sebuah sinar putih yang bergerak membentengi dirinya. 
Sorak dan tepuk tangan rakyat Pajang yang menonton di tanah lapang terdengar mbata rubuh, melihat sebuah permainan pedang rangkap yang cepat dari salah seorang prajurit Pajang.
Prajurit itupun mengakhiri permainannya, kemudian iapun membungkuk dan menyembah kearah panggung, lalu membungkukkan badannya kearah penonton, seteah itu iapun berjalan menuju kelompoknya di tepi lapangan.
Orang yang memakai caping yang menonton dari pinggir lapangan, melihat permainan pedang rangkap prajurit itu, kemudian iapun berkata dalam hatinya ;" Kemampuan prajurit ini seimbang dan bisa disejajarkan dengan murid dari perguruan Panembahan Sekar Jagad, tetapi dari seluruh prajurit Pajang, ada berapa orang yang mempunyai kemampuan seperti dia"
Sedangkan Pemanahan yang meiihatnya, hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya ;"Itu Damar, ternyata kemampuan olah kanuragannya cukup baik, nantinya dia bisa maju untuk mengikuti pendadaran menjadi seorang lurah prajurit"
Setelah tepuk tangan penonton mereda, majulah dua orang prajurit keduanya bertubuh sedang yang menuntun dua ekor kuda, seekor kuda yang berwarna coklat dan seekor kuda yang berwarna putih. Kedua prajurit itu menghormat dan menyembah ke arah panggung, lalu membungkukkan badannya ke arah penonton, dan keduanyapun segera bersiap, akan memperlihatkan ketrampilannya mengendarai kuda, 
"Itu Prayuda dan Prayoga, dua orang bersaudara yang trampil menunggang kuda" kata beberapa orang yang menonton di pinggir tanah lapang.
Kedua prajurit itu kemudian naik ke atas punggung kuda, seorang prajurit menaiki punggung kuda yang berwarna putih, sedangkan prajurit yang seorang lagi menaiki kuda yang berwarna coklat. Mereka berdua kemudian melarikan kudanya tidak terlalu cepat, dan memperlihatkan betapa trampilnya mereka menunggang kuda.
Kedua prajurit itu menunggang kuda berkeliling tanah lapang dengan memiringkan badannya kekiri, sesaat kemudian badannyapun telah dimiringkan kekanan. 
Salah seorang prajurit itu menggelantungkan badannya kesebelah kiri punggung kuda, dengan berpegangan pada leher kudanya, prajurit itupun mampu memiringkan badannya disamping punggung kudanya. Sedangkan prajurit yang seorang lagi, mampu berkuda dengan tanpa memegang tali kendali kudanya, kudanya terus berlari mengelilingi tanah lapang.
Tepuk tangan dan sorak soraipun kembali bergema di bulak amba ketika prajurit itupun berhasil berdiri maupun berjongkok diatas pelana kudanya. 
(bersambung)

No comments:

Post a Comment