02 January 2019

SETAN KOBER 80*

*belum ada
disalin untuk melengkapi dari halaman
https://sekarmanis22a.wordpress.com/2019/01/20/kksk80/

KERIS KYAI SETAN KOBER 80
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 44 :

“Sejak tadi perhatian kita terpancang pada jenazah Arya Penangsang, sehingga kita melupakan Gagak Rimang, tetapi tidak apa-apa, besok kuda itu akan kita cari” kata Juru Martani.
Sementara itu, ketika gabungan prajurit Pajang beserta laskar Sela mengadakan persiapan untuk benturan pertama, pada saat itu, di sebelah utara, pasukan Jipang telah menyeberangi sungai disebelah pohon randu kembar.
Setelah tiba diseberang, semua prajurit telah berkumpul di tepi barat Bengawan Sore, dan mereka juga mendengar gaung suara panah sendaren yang terdengar dari arah selatan.
“Panah sendaren, dari prajurit Pajang, mereka telah melihat kita” kata seorang prajurit Jipang yang berada di induk pasukan.
“Biar saja, ada suara panah sendaren ataupun tidak ada, akhirnya sama saja, nanti kita akan tetap bertempur” kata prajurit disebelahnya.
Prajurit Jipang yang berada di barisan paling depan, terkejut ketika melihat seorang prajurit Jipang sedang berlari-lari menyusuri Bengawan Sore.
“Ada apa ? Kenapa kau datang dari selatan ?” tanya prajurit itu kepada temannya yang berlari menyusuri sungai.
“Aku ingin bertemu dengan Ki Patih Matahun, ada berita penting yang harus aku sampaikan kepada Ki Patih” kata prajurit itu.
“Berita mengenai apa ?” tanya prajurit itu.
“Berita mengenai Kanjeng Adipati” jawab prajurit yang baru datang,
“Baik, aku bawa kau menghadap Ki Patih” kata prajurit yang bertanya.
Prajurit itu kemudian dipertemukan dengan patih Matahun yang saat itu sedang berbicara dengan Panembahan Sekar Jagad, sedangkan disebelahnya berdiri Anderpati bersama Sorengrana dan Sorengpati.
Setelah bertemu dengan Patih Matahun bersama para senapati Jipang, maka prajurit itupun menceritakan semua yang telah dilihatnya, tentang gugurnya Adipati Jipang Arya Penangsang.
“Jadi kau melihat lawannya adalah seorang anak muda yang belum dewasa naik kuda betina ?” tanya Matahun dengan suara bergetar.
“Ya Ki Patih” jawab prajurit itu.
“Anak itu pasti Sutawijaya, aku pernah bertemu di Panti Kudus, anak angkat Sultan Hadiwijaya, orang-orang Pajang memang licik” kata Patih Matahun
“Jadi kau lihat sendiri kalau Kanjeng Adipati telah gugur ?” tanya Patih Matahun dengan suara perlahan.
“Ya Ki, jenazahnya di kelilingi oleh empat orang termasuk pemuda itu” kata prajurit itu.
“Ya Kanjeng Adipati telah gugur, kalau Kanjeng Adipati masih hidup, tidak mungkin orang Pajang bisa merubung Kanjeng Adipati” kata Matahun dengan suara hampir tidak terdengar.
“Sayang sekali, Kanjeng Adipati tidak mau berangkat bersama-sama dengan pasukan Jipang, lalu sekarang jenazah Kanjeng Adipati berada dimana ?” tanya Patih Matahun
“Saya tidak tahu Ki, setelah Kanjeng Adipati gugur, kami bertiga berpencar mencari keberadaan Ki Matahun bersama pasukan Jipang” kata prajurit itu.
“Baik, kakang Panembahan, kita tetap seperti rencana semula, karena Kanjeng Adipati telah gugur, maka saya yang akan menjadi Senapati Agung, saya berada di induk pasukan sebagai belalai dalam gelar Dirada Meta” kata Patih Matahun.
“Baik adi Matahun, aku tetap berada di gading kanan” kata Panembahan Sekar Jagad.
“Nderpati, umumkan kepada semua prajurit Jipang, Kanjeng Adipati Arya Penangsang telah gugur karena kelicikan orang Pajang, setelah itu kau bersiap di gading sebelah kiri sebagai Senapati pengapit” kata Patih Matahun.
Anderpati segera berjalan menemui beberapa pemimpin kelompok dan memberitahukan tentang gugurnya Arya Penangsang.
“Orang Pajang licik, mereka menggunakan kuda betina yang membuat Gagak Rimang menjadi tak terkendali” kata Anderpati.
Setelah memberitahukan tentang kematian junjungannya, maka Anderpati berjalan ke gading sebelah kiri, iapun bersiap untuk bertempur sebagai Senapati pengapit kiri dalam gelar perang Dirada Meta.
“Semua yang membawa perisai berada didepan !” teriak Patih Matahun.
Puluhan orang yang membawa perisai telah maju di barisan paling depan.
“Kita berangkat sekarang, kita balas kematian Kanjeng Adipati Arya Penangsang!!” teriak Patih Matahun.
Sesaat kemudian pasukan Jipang telah bergerak, para prajurit berjalan menuju ke selatan, menuntut balas atas kematian junjungannya Arya Penangsang.
Sementara itu, ketika pasukan Jipang sedang mendekat ke tempat lawannya, didalam pasukan Pajang, gabungan prajurit Pajang bersama laskar Sela juga telah mengadakan persiapan.
“Kelihatannya pasukan Jipang sudah semakin dekat, kita bersiap dalam gelar, jangan lupa pasukan yang bersenjatakan tombak kita persiapkan untuk melawan Panembahan Sekar Jagad” kata Pemanahan.
“Kita gunakan gelar Garuda Nglayang, aku sebagai paruh garuda, akan berada di induk pasukan sebagai Senapati Agung, bersama Wirasuta dan Wiraseca, ada sedikit perubahan karena Ki Lurah Sakri dan Ki Lurah Kastawa tidak bersama pasukan” kata Pemanahan.
“Adi Penjawi sebagai senapati pengapit berada di sayap kiri bersama Ki Lurah Prayoga dan Wirataka, sedangkan di sayap kanan Ki Juru Martani sebagai senapati pengapit kanan, dibantu oleh Ki Lurah Prayuda dan Wiranala” kata Pemanahan.
“Prajurit Jipang sudah semakin dekat, mari kita semua bersiap dalam gelar Garuda Nglayang” kata Pemanahan, setelah itu Penjawi bersama Lurah Prayoga dan Wirataka bergerak ke sayap kiri, sedangkan juru Martani bersama Prayuda dan Wiranala bergerak ke sayap kanan.
“Pasukan panah berada didepan !!” perintah Pemanahan dan para prajurit yang bersenjatakan panah segera maju di barisan yang paling depan.
Sesaat kemudian Pemanahan membawa pasukannya bergerak maju menyongsong gerak pasukan lawan.
Matahari semakin condong kebawah, meskipun masih lama untuk tenggelam di cakrawala, tetapi sinarnya telah berubah menjadi sedikit berwarna kemerahan.
Ketika kedua pasukan menjadi semakin dekat, sekali lagi terdengar suara panah sendaren bergaung ditepi barat Bengawan Sore.
“Kita semakin dekat dengan pasukan Jipang, bersiaplah untuk memanah !!” teriak Pemanahan.

Tak lama kemudian pasukan Pajang telah dapat melihat pasukan Jipang dikejauhan, dan jarak keduanya semakin lama menjadi semakin dekat.
“Tunggu !! Jangan melepaskan anak panah dulu !!” teriak Pemanahan.
Ketika jarak keduanya sudah masuk dalam jarak jangkauan anak panah, maka Pemanahanpun memerintahkan untuk mulai memanah, dan lontaran anak panahpun beterbangan menuju ke arah pasukan Jipang.
Satu dua orang prajurit Jipang telah terkena lontaran anak panah, tetapi pasukan Jipangpun tidak mengenal takut, dan Pemanahanpun terkejut ketika pasukan Jipang justru berlari mendekat untuk memperpendek jarak, sekejap kemudian kedua pasukan itu telah saling berhadapan.
Pasukan panah prajurit Pajang mundur dua langkah, dan merekapun segera mencabut pedang pendeknya bersiap untuk bertempur dalam jarak dekat.
Di barisan depan, telah bersiap para prajurit yang bersenjatakan pedang dan tombak, dan sesaat kemudian kedua pasukanpun bertemu dan terjadilah benturan kedua pasukan disebuah tanah lapang di tlatah Jipang.
Mataharipun semakin condong kebarat, beberapa burung terlihat beterbangan akan pulang ke sarangnya, burung-burung itu tidak menghiraukan hiruk pikuk pertempuran para prajurit Pajang bersama laskar Sela melawan prajurit Jipang yang baru saja terjadi di tepi barat Bengawan Sore.
“Cerdik, Ki Patih Matahun membawa para prajurit Jipang tidak menyeberang di tempat ini, mereka menyeberangi Bengawan Sore jauh di utara” kata seorang prajurit Pajang sambil menggerakkan pedangnya menyerang prajurit Jipang yang berada didekatnya.
Gelar perang Garuda Nglayang yang telah digunakan para prajurit Pajang, adalah sebuah gelar perang yang kuat, sebagai paruh Garuda Nglayang sekaligus menjadi Senapati Agung pasukan Pajang dipegang oleh Pemanahan yang berada di induk pasukan bersama Wirasuta dan Wiraseca.
Senapati pengapit sebagai cakar garuda di sayap kiri, dipandegani oleh Penjawi dibantu Lurah Prayoga bersama Wirataka, dan senapati pengapit sebagai cakar garuda di sayap kanan, telah bersiap Juru Martani dibantu lurah Prayuda bersama Wiranala.
Dipihak Jipang, meskipun mereka dengan tergesa-gesa berangkat ke utara menyeberangi Bengawan Sore disebelah pohon randu kembar, tetapi Patih Matahun masih sempat memerintahkan mereka menggunakan gelar Dirada Meta yang dapat mengimbangi gelar Garuda Nglayang pasukan Pajang.
Di daerah gading kanan didalam gelar Dirada Meta pasukan Jipang, telah bersiap seorang tua dengan nama yang membuat gentar setiap prajurit Pajang, Panembahan Sekar Jagad sebagai Senapati Pengapit kanan, yang akan mematahkan dan menghancurkan siapapun yang akan menjadi Senapati Pengapit di sayap kiri gelar Garuda Nglayang pasukan Pajang.
Di induk pasukan Jipang, Patih Matahun yang menyimpan dendam atas kematian Arya Penangsang, bertindak sebagai Senapati Agung sekaligus menjadi belalai dalam gelar Dirada Meta dari pasukan Jipang.
Patih tua itu menjadi geram, marah, sedih, dan kecewa ketika mendengar kabar gugurnya junjungannya, meskipun Patih Matahun juga menyesalkan ketergesaan Adipati Jipang yang tidak menghiraukan nasehatnya.
“Semua sudah terlanjur terjadi, andaikan Kanjeng Adipati lebih bersabar sedikit, dan bersedia berangkat bersama para prajurit Jipang, tentu tidak begini jadinya, tetapi orang Pajang memang licik, tidak berani beradu dada, gabungan kekuatan tiga orang di pihak Jipang, Kanjeng Adipati Arya Penangsang dan kekuatan Panembahan Sekar Jagad bersamaku tidak akan dapat ditahan oleh orang-orang Pajang” geram Patih Matahun.
“Hampir saja prajurit Jipang lainnya juga menjadi korban, untung para prajurit Jipang semuanya menyeberang di sebelah utara didekat pohon randu kembar, kalau semua menyeberang ditempat ini, beberapa puluh prajurit Jipang akan mati karena dihujani panah dan tombak dari seberang Bengawan Sore” kata Patih Matahun sambil terus bertempur melawan beberapa prajurit Pajang.
Lima orang prajurit Pajang bersatu, bergerak bersama-sama menahan ayunan pedang dari Patih Matahun.
Tidak ada yang berani mendekati Patih tua dari Jipang yang sedang marah itu, tiga orang prajurit bersenjata tombak menggantikan beberapa prajurit yang pedangnya terlepas setelah berbenturan dengan pedang Patih Matahun.
Gabungan para prajurit Pajang bersama laskar Sela menjadi bertambah semangat dan berbesar hati, karena pihak Jipang saat ini bertempur tanpa Arya Penangsang yang gugur dalam pertempuran berkuda seorang lawan seorang menghadapi Sutawijaya.
Sekarang, merekapun kemudian berusaha untuk mengalahkan prajurit Jipang di tanahnya sendiri.
Patih Matahun yang sedang bertempur melawan sekelompok prajurit Pajang, menggerakkan pedangnya ke kanan dan kekiri, beberapa senjata lawannya telah terbentur dan jatuh ke tanah, tenaganya yang tersalur di pedangnya sangat besar, sehingga tidak ada prajurit Pajang yang mampu menahan kekuatan ayunan pedangnya.
Sambil bertempur melawan beberapa orang prajurit Pajang, Patih Jipang itu sempat beberapa kali mengedarkan pandangannya, mencari orang yang pantas menjadi lawannya, ia mencari Senapati Agung yang memimpin semua pasukan Pajang.
Patih Jipang yang telah tua itu merasa gembira, ketika ia melihat Senapati Agung yang menjadi paruh dalam gelar Garuda Nglayang adalah Pemanahan yang terlihat berada tidak jauh di depannya, di induk pasukan Pajang.
“Bagus, itu Senapati Agung Pajang, Pemanahan, kau akan kubunuh sebagai ganti Kanjeng Adipati yang telah gugur karena kelicikanmu” kata Patih Jipang itu.
Setelah melihat Senapati yang akan menjadi lawannya adalah Pemanahan, maka Patih Matahun kemudian berteriak kepada muridnya :”Nderpati, kau sebagai Senapati Pengapit gading kiri, cepat kau lawan Senapati Pengapit Ki Juru Martani di sayap kanan Pajang, aku akan segera melumat orang dari Sela, Pemanahan”
Anderpati yang berada dibelakangnya kemudian melompat dan lari kesebelah kiri, lalu iapun segera menempatkan diri melawan Senapati pengapit di sayap kanan Pajang, Juru Martani.
Juru Martani, sebagai cakar Garuda Nglayang di sayap kanan, waspada ketika dari dalam barisan prajurit Jipang muncul seorang pemuda yang bermata tajam setajam mata seekor macan, membawa sebatang pedang dan langsung menyerangnya.
“Kau Nderpati, murid Patih Matahun” kata Juru Martani.
“Ya, orang-orang Pajang memang licik, kenapa Sutawijaya bertempur bukan sebagai seorang laki-laki? Dia hanya berani bertempur memakai kuda betina” kata Anderpati, setelah itu iapun dengan cepat menusukkan pedangnya ke arah dada lawannya.
Juru Martani tidak menjawab, ia mundur setapak, kemudian dengan tangkasnya iapun memukul pedang lawannya kesamping, disusul dengan menjulurkan pedangnya kedepan, membalas serangan Anderpati dan sesaat kemudian keduanya telah terlibat pertarungan seru, satu lawan satu.
Perlahan-lahan Juru Martani mampu mendesak Anderpati mundur, tetapi Juru Martani tidak mampu mendesak lebih dalam lagi, karena Anderpati bergerak mundur dan masuk ke dalam lindungan para prajurit Jipang.

Juru Martani terpaksa bergerak mundur kebelakang ketika Anderpati maju menyerangnya bersama empat orang prajurit Jipang lainnya.
Disekeliling tempat itu, beberapa orang telah menjadi korban, jatuh berserakan, gugur maupun luka parah, mereka adalah para prajurit Pajang, laskar Sela maupun prajurit Jipang.
Suara beradunya berbagai senjata, pedang maupun tombak, terdengar terus menerus diselingi teriakan kemenangan, rintih kesakitan serta helaan nafas putus asa, seperti alunan nafas dari sebuah tembang yang merindukan kematian.
Perang antara Pajang dan Jipang telah berlangsung riuh rendah, kidung kematian telah terdengar nyaring, namun apapun hasil akhir dari perang itu, siapapun yang akan memenangkan peperangan, korban akan selalu berjatuhan, gugur ataupun terluka parah.
Besok pagi akan ada cerita tentang seorang perempuan tua yang menangisi kematian anak laki-lakinya, akan ada seorang janda yang menangis karena kehilangan suaminya, dan akan ada seorang anak kecil yang menangis, terus menerus memanggil nama ayahnya yang tak akan pernah kembali pulang ke rumahnya.
Di pihak Pajang, ada beberapa korban dari laskar Sela yang gugur maupun luka-luka, mereka adalah rakyat kawula Sela, mereka hanya sekedar pengawal biasa, sekedar murid sebuah perguruan olah kanuragan, bukan seorang prajurit yang harus mengabdi pada rajanya.
Mereka sama sekali tidak mengetahui mengapa perang seperti ini bisa terjadi, merekapun juga sama sekali tidak mengetahui bahwa perang ini berkaitan dengan adanya sebuah sayembara yang berhadiah bumi Pati dan alas Mentaok, mereka juga tidak mengetahui kalau perang ini adalah merupakan kelanjutan dari rangkaian sebuah syarat tentang berdirinya Kasultanan Pajang.
Mereka tidak tahu, apa yang akan didapat dan dihasilkan dari perang yang berlangsung saat ini, yang telah mengakibatkan belasan orang gugur membela Pajang maupun membela Jipang.
Sementara itu perangpun semakin lama semakin sengit, mereka masih bertempur dengan riuhnya, teriakan kesakitan telah bercampur dengan teriakan kemenangan, dan saat itu di induk pasukan Jipang, Patih Matahun yang telah lanjut usia ternyata masih mampu menyibak beberapa prajurit Pajang yang menghalangi jalannya, Patih tua itu mampu membuat mundur beberapa prajurit yang menghadang didepannya.
Tetapi tiba-tiba pandangannya tertuju pada sebuah tiang yang tinggi, diatasnya terikat bendera Gula Kelapa Kasultanan Pajang yang berukuran besar yang berkibar megah tertiup angin kencang dan terkena sinar matahari senja.
Bendera Gula Kelapa Kasultanan Pajang yang terikat pada sebuah tiang yang diujung tiang ternyata sudah terpasang sebuah bilah tombak pusaka pancasula Kyai Wajra, pusaka yang pernah dibawa Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di tanah seberang.
Bendera Gula Kelapa yang berkibar megah itu terletak di belakang pasukan Pajang itu dijaga oleh belasan prajurit Wira Tamtama Pajang yang membawa sebuah pedang pendek di lambungnya.
Disebelah bendera Gula Kelapa, ia melihat berkibarnya umbul-umbul, klebet, panji dan beberapa bendera kecil, sedangkan didepannya berkibar bendera kesatuan Wira Braja Kasultanan Pajang, yang mempunyai dasar warna pare anom bergambar sebuah Trisula berwarna hitam, Trisula Sakti.
Disebelahnya kanannya berkibar bendera yang mempunyai dasar warna hitam, bergambar sebuah Cakra berwarna kuning emas, itulah bendera kesatuan Wira Tamtama Kasultanan Pajang, Cakra Baskara.
Ketika pandangannya melihat beberapa bendera dari kesatuan Wira Yudha dan Wira Manggala Kasultanan Pajang, maka bendera itu tidak berpengaruh apapun bagi Patih Matahun, tetapi ketika ia melihat bendera Gula Kelapa yang sedang berkibar megah, darahnyapun mengalir kencang, dada Patih Matahunpun terasa bergetar.
Dengan suara keras Patih Jipang yang gagah perkasa itupun berteriak sambil menuding bendera Gula Kelapa itu dengan pedangnya :” Hai Prajurit Jipang yang gagah berani, lihatlah bendera Gula Kelapa itu, bendera itu bukan milik Hadiwijaya, bukan milik Pajang, bendera itu adalah milik Kasultanan Demak, ayo kalian rebut bendera itu, aku akan segera membunuh Senapati Agung Pajang”
Beberapa prajurit Jipang bergerak maju menuju ke arah bendera Gula Kelapa, tetapi mereka tertahan oleh beberapa prajurit Pajang yang telah berdiri didepannya, dan dengan teriakan keras disertai ayunan pedang, prajurit Jipang itu mendesak maju
“Bagus, kalian rebut bendera Gula Kelapa itu, aku yang akan membunuh Senapati Agung Pajang, Pemanahan” kata Ki Patih.
“Sorengrana, kau pimpin dulu prajurit di induk pasukan, aku akan membunuh Pemanahan” kata Patih Matahun.
“Baik Ki !!” teriak Sorengrana, lalu iapun bergerak mendekati tempat Patih Matahun.
Dengan pedang di tangan, Patih Jipang yang tua itu memutar pedangnya menghalau prajurit Pajang yang berada didekatnya, lalu sesaat kemudian iapun melenting tinggi, badannya berputar sekali diudara, kemudian dengan cepat ia telah berada didepan Pemanahan.
Pemanahan terkejut, di usia yang sudah tua, Patih Matahun masih memiliki ketangkasan dan kelincahan yang luar biasa.
“Kau orang Sela, Pemanahan, kau akan kubunuh sebagai ganti junjunganku yang telah gugur karena kelicikanmu” kata Patih Matahun dan dengan cepat pedangnya terjulur ke dada Senapati Agung yang menjadi paruh gelar Garuda Nglayang.
Pemanahanpun menangkis dengan pedangnya, dengan sekuat tenaga dipukullah pedang Patih Matahun yang terjulur ke arah dadanya, dan terjadillah benturan dua buah pedang pilihan, sebuah benturan dua buah logam yang keras, akibatnya hampir saja pedang Pemanahan terlepas dari genggaman tangannya.
Pemanahan terkejut melihat betapa besar kekuatan Patih Matahun yang hampir saja bisa menjatuhkan pedangnya, dan sesaat kemudian keduanya telah saling menyerang, tetapi ilmu Patih Matahun yang tinggi, mampu membuat Senapati Agung pasukan Pajang itu terdesak mundur.
“Kelincahannya dan kekuatannya sama seperti sewaktu Ki Patih masih muda, orang tua ini sangat berbahaya” kata Pemanahan dalam hati.

“Ayo, kau serang aku Pemanahan, atau kalau tidak, aku yang akan menyerangmu, orang Pajang yang licik, kau akan merasakan pembalasanku, sebentar lagi akan aku hancurkan paruh Garuda Nglayang ini !!” teriak Patih Matahun.
Pemanahan tidak menjawab, tetapi ia bersiaga penuh, dan ketika Ki Patih mulai menggerakkan pedangnya, maka beberapa saat kemudian iapun telah mulai terdesak dan mengalami kesulitan menahan serangan Patih Jipang yang bertubi-tubi.
Dua orang pemimpin laskar dari Sela, Wirasuta dan Wiraseca yang berada di induk pasukan telah terikat dengan lawan masing-masing sehingga mereka berdua tidak dapat membantu Pemanahan yang sedang bertempur melawan Patih Matahun.
Ketika Ki Patih menggerakkan pedang mematuk dada, Pemanahan tidak berani menangkisnya, dia hanya mengelak kesamping, tetapi ia terkejut ketika patih tua itu bergerak kedepan sambil berteriak merubah serangannya menjadi tebasan menyilang, tak ada jalan lain, Pemanahanpun bergeser mundur selangkah sambil memukul pedang lawannya, dan sekali lagi pedangnyapun bergetar hampir terlepas dari tangannya.
Kedua pandangan mata Patih Jipang itu seakan-akan memancarkan sorot mata dendam kesumat sedalam lautan dan iapun bertekad akan mengadakan pembalasan karena telah kehilangan junjungannya.
“Sebelum matahari terbenam aku pasti berhasil membunuhmu Pemanahan !!” teriak Patih Matahun, setelah itu dengan cepat iapun memburu lawannya yang hanya mampu bertahan.
“Ingat Pemanahan, sebelum matahari terbenam !!” teriak Patih Jipang Panolan sambil memutar pedangnya cepat sekali, setelah itu pedangnya mematuk lurus kedepan mengancam dada.
Mengetahui Senapati Agung Pajang mengalami kesulitan, terdesak oleh lawannya yang tua, dua orang prajurit Wira Yudha bergerak maju untuk membantunya, tetapi ketika mereka berdua telah memasuki daerah lingkaran pertempuran, keduanya terkejut ketika tiba-tiba telapak tangannya bergetar lalu pedangnyapun terlempar, lepas dari genggaman tangannya.
Keduanya kembali melompat mundur kebelakang, dan berada dalam lindungan para prajurit Pajang lainnya.
Dua orang prajurit Wira Manggala yang bersenjata tombak segera menyerang Patih Matahun, mereka memainkan tombaknya untuk mengganggu gerakan Patih Jipang yang luar biasa itu.
Di sayap kiri pasukan Pajang, Senapati pengapit Penjawi bersama Lurah Prayoga dan pemimpin laskar Sela Wirataka beserta lima belas orang prajurit bersenjata tombak, telah bersiap menghadapi Panembahan Sekar Jagad yang menjadi gading kanan dalam gelar Dirada Meta pasukan Jipang, tetapi tiba-tiba telah terjadi sesuatu yang membuat ketiganya terkejut.
Dari arah belakang pasukan Pajang, muncul seorang laki-laki yang berlari kedepan menerobos puluhan prajurit Pajang dan dengan satu lompatan panjang, ia sudah berdiri dengan kedua kaki renggang di depan Panembahan Sekar Jagad.
Penjawi melihat, didepannya kini telah berdiri seorang laki-laki yang memakai caping dan segera menempatkan dirinya sebagai lawan dari Panembahan Sekar Jagad.
“Panembahan Sekar Jagad, sebaiknya kita orang tua tidak usah mencampuri urusan Pajang dan Jipang, biarlah mereka menyelesaikan urusannya sendiri, silakan Panembahan kembali ke gunung Lawu” kata orang bercaping itu.
“Buka capingmu Ki Sanak, akan kulihat siapa kau sebenarnya” tanya Panembahan Sekar Jagad dengan suara yang dalam.
Orang itu lalu membuka capingnya, tangan kanannya memegang tepi caping lalu dengan satu lemparan sendal pancing yang kuat, caping itupun terlempar, berputar di udara, melengkung, melayang jauh dan jatuh diluar daerah pertempuran, lalu didepan Panembahan Sekar Jagad tampaklah wajah seorang tua dengan kumis dan jenggot panjang yang berwarna putih.
“Kelihatannya aku belum mengenalmu Ki Sanak” kata Panembahan Sekar jagad.
“Aku memang orang yang tidak terkenal, jadi kelihatannya Panembahan memang belum mengenal aku” jawab orang yang berada didepan Panembahan Sekar Jagad,
Panembahan Sekar Jagad yang merasa tidak mengenal orang tua berjenggot itu, dengan cepat menggerakkan tangannya, dengan dua jarinya Panembahan menyerang dada lawannya, tetapi Panembahan Sekar Jagad terkejut ketika jari tangannya tidak dapat menyentuh orang itu.
Orang tua yang berdiri dihadapannya, mampu bergerak cepat, ia mampu mengelak kesamping, secepat gerakan jari tangan lawannya.
Panembahan Sekar Jagadpun mengulangi dengan pukulan tangannya secara beruntun, disusul dengan tendangan melingkar yang membuat lawannyapun sibuk menangkis dan sekejap kemudian kedua orang yang berilmu tinggi itu telah terlibat dalam suatu pertarungan yang sengit.
Dengan cepat Panembahan Sekar Jagad menyerang dengan kepalan tangan ke arah kepala, kemudian berubah menjadi hantaman sisi telapak tangan menyerang pundak, tetapi dengan lincah orang tua yang tadi memakai caping itu mengelak ke samping, kemudian ia berputar lalu iapun menyerang dengan ayunan kaki yang mendatar, sehingga kakinya menyambar dagu Panembahan Sekar Jagad.
Sang Panembahan mengelak dengan bergeser mundur kebelakang, ketika dilihatnya orang itu tidak mengejarnya maka ia segera melompat kedepan menyerang lawannya beruntun tanpa henti.
Senapati Pengapit di sayap kiri gelar Garuda Nglayang, Penjawi menjadi heran, ketika diluar perhitungannya, ada seseorang yang berani menempatkan dirinya seorang lawan seorang berhadapan dengan Panembahan Sekar Jagad.
“Siapa sebenarnya orang itu ?” kata Penjawi dalam hati.
Penjawi mengedarkan pandangannya berkeliling, dan ketika melihat ke tempat pasukan induk, ia terkejut melihat Pemanahan yang bertempur bersama dua orang prajurit Pajang yang bersenjata tombak, telah terdesak hebat oleh serangan Patih Matahun.
Dengan tergesa-gesa ia memanggil Lurah Prayoga yang berada disebelahnya.
“Ki Lurah Prayoga, kau pimpin pasukan kita di sayap kiri ini, aku akan ke induk pasukan, kalau ada kesulitan melawan Panembahan Sekar Jagad, lawan dia dengan lima belas orang prajurit bersenjata tombak” kata Penjawi
“Wirataka, kau bantu Ki Lurah Prayoga di sayap kiri ini” kata Penjawi kepada pemimpin laskar Sela.
“Baik Ki” teriak Wirataka.
Setelah berkata demikian, Penjawi kemudian melompat dan lari ke tempat pertarungan Matahun melawan Pemanahan, dan beberapa saat kemudian, iapun telah berada didepan Patih Matahun.
“Bagus, kau datang kemari Penjawi, kau akan membantu Pemanahan yang hampir mati ?” kata Patih Matahun setelah melihat Penjawi mendekatinya.
Penjawi tidak menjawab, dia bersiap sepenuhnya berhadapan dengan Patih Matahun.
“Ayo orang Pajang, keroyok aku, Penjawi, ternyata kau datang kesini hanya akan mengantar nyawamu” teriak Patih Matahun
“Jangan melawan Ki Patih, menyerahlah” kata Senapati Agung, Pemanahan yang disebelahnya berdiri dua orang prajurit Wira Manggala Pajang yang bersenjata tombak.
“Pemanahan !! Dimana anakmu Sutawijaya yang telah membunuh Adipati Jipang ? Dimana anak kecil itu kau sembunyikan hee ?” teriak Patih Matahun.
“Menyerahlah Ki Matahun” kata Pemanahan.

Patih Jipang Panolan itu tidak menjawab, ia menggerakkan pedangnya menyerang Penjawi, tetapi Pemanahan yang telah berdiri bebas, tidak membiarkan Penjawi diserang, iapun melompat menggerakkan pedangnya kedepan menyerang Patih Matahun.
Patih Matahun membatalkan gerakannya menyerang Penjawi, ia memutar tubuhnya kesamping, menyambut serangan Pemanahan, senjatanya digerakkan berusaha membentur pedang Pemanahan, tetapi pada saat yang bersamaan dari arah yang lain, datang serangan pedang pendek dari Penjawi
Pertarungan satu lawan dua berlangsung ketat, mereka saling serang, dan saling mengincar kelemahan lawan.
Dengan mengandalkan tenaganya yang kuat, Ki Patih selalu berusaha untuk membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.
Disayap kanan pasukan Pajang, Juru Martani yang sedang bertempur melawan Anderpati, juga melihat Patih Matahun bertempur melawan Pemanahan dan Penjawi, maka iapun memanggil Lurah Prayuda.
“Ki Lurah Prayuda, kau pimpin sayap kanan ini, kau lawan Nderpati bersama kelompokmu, aku akan ke pasukan induk, Wiranala kau bantu Ki Lurah Prayuda di sayap kanan ini, hati-hati dengan Senapati Jipang, Nderpati” kata Ki Juru, dan setelah berkata demikian, Juru Martani lalu melompat meninggalkan lawannya, berlari ke tempat Pemanahan dan Penjawi di induk pasukan.
Setelah ditinggalkan oleh lawannya, Anderpati sekarang menghadapi Lurah Prayuda yang bertempur bersama beberapa orang prajurit Pajang.
Anderpati menggerakkan pedangnya cepat sekali menyerang Lurah Prayuda, yang melawannya secara berkelompok.
Sebagai seorang yang memimpin seluruh prajurit Jipang, Anderpati menjadi sangat sedih dan marah ketika mengetahui junjungannya telah gugur di tepi Bengawan Sore.
“Orang Pajang memang licik, kenapa bukan Sultan Hadiwijaya sendiri yang turun ke medan menghadapi Kanjeng Adipati Arya Penangsang, apakah Hadiwijaya merasa gentar, tidak berani maju ke medan perang ?!!” teriaknya keras.
“Hati-hati Nderpati, jangan terlalu banyak berbicara, nanti dadamu bisa berlubang” kata Lurah Prayuda.
Anderpati semakin marah dan kemarahan Anderpati ditumpahkan kepada lawannya, Lurah Prayuda dan para prajurit Pajang yang berada didepannya.
Pedang Anderpati berkelebat cepat, tetapi lawannya terlalu banyak, sehingga sangat sulit untuk mengalahkan mereka.
Seorang prajurit Pajang bersenjatakan sebuah tombak mendesak maju, ia mencoba membantu Lurah Prayuda, tombaknya digerakkan cepat sekali menusuk lawannya, tetapi ia terbentur lawan yang tangguh, seorang lawan yang mampu menggerakkan pedangnya seperti baling-baling, Anderpati.
Di barisan belakang, belasan prajurit Wira Tamtama yang sedang menjaga bendera Gula Kelapa melihat lima orang prajurit Jipang berhasil menerobos para prajurit Pajang yang berada didepan, dan mereka kemudian berlari mendekat kearah bendera Gula Kelapa yang sedang berkibar.
Belasan prajurit Wira Tamtama yang menjaga bendera segera mencabut pedang pendeknya, bersiap mempertahankan bendera Gula Kelapa supaya tidak jatuh ke tangan musuh.
Ketika jarak kelima orang prajurit Jipang sudah dekat, maka lima orang Wira Tamtama Pajang maju kedepan dan menempatkan diri sebagai lawan mereka.
Sesaat kemudian terjadilah pertarungan lima orang prajurit Jipang melawan lima orang Wira Tamtama Pajang yang menjaga bendera Gula Kelapa, mereka saling serang secara berkelompok.
Di induk pasukan, Patih Matahun sempat melihat pertempuran di sayap kanan Jipang, ia melihat kakak seperguruannya, Panembahan Sekar Jagad sedang bertarung sengit melawan seorang tua yang tadi telah dilihatnya memakai sebuah caping, yang saat ini capingnya sudah dilepas.
“Siapakah orang itu ? Orang itu ternyata mampu mengimbangi ilmu kanuragan kakang Panembahan” kata Patih Matahun dalam hati.
Di sayap kanan gelar Dirada Meta, Panembahan Sekar Jagadpun menjadi heran, sudah beberapa saat ia bertarung dan saling menyerang, tetapi ia tak mampu mengalahkan orang itu.
“Siapakah sebenarnya orang ini ?” katanya dalam hati.
“Panembahan, ini untuk kedua kalinya aku peringatkan, silahkan kembali ke gunung Lawu, biarlah Jipang dan Pajang menyelesaikan persoalannya sendiri, kita orang tua tidak usah ikut campur urusan mereka” kata lawannya.
“Aku berhak ikut campur urusan didalam Kadipaten Jipang, aku mempunyai hubungan yang erat dengan Jipang, adik seperguruanku Matahun, menjadi Patih di Jipang” jawab Panembahan Sekar Jagad.
“Patih Matahun memang terlibat masalah Jipang, tetapi kau bukan orang Jipang” kata lawannya.
“Puluhan orang murid padepokan Sekar Jagad telah menjadi prajurit Jipang, aku harus membantunya” kata Panembahan Sekar Jagad.
“Yang menjadi prajurit Jipang adalah murid-muridmu, bukan kau Panembahan, di Jipang kau hanyalah seorang tamu” kata lawannya.
Panembahan Sekar Jagad tidak menjawab dengan perkataan, tetapi Panembahan itu menjawabnya dengan menyerang lawannya seperti angin ribut.
“Ut” keluh lawannya terkejut, dan orang tua itupun sibuk menangkis beberapa serangan yang beruntun dari Panembahan Sekar Jagad.
“Siapakah sebenarnya orang ini, ilmunya tinggi sekali, aku tak mampu menyentuhnya” desah Panembahan Sekar Jagad yang semua serangannya dapat ditangkis oleh lawannya,
Panembahan Sekar Jagad kemudian mengeluarkan semua ilmu yang telah mengendap dalam dirinya, didorongnya ilmu itu sekuat tenaganya untuk mengalahkan lawan yang belum pernah dikenalnya, tetapi telah membuatnya berdebar-debar
Tetapi lawannya, orang yang tadi dilihatnya memakai caping, telah melawan ilmunya dengan sebuah ilmu yang tak kalah kuatnya, sebuah ilmu yang telah berhasil diserap sampai tuntas.
“Kalau aku bertempur sampai besok pagipun belum tentu aku bisa mengalahkannya, tetapi aku kelihatannya pernah mengenal ilmu kanuragan yang dipergunakannya” katanya dalam hati.

(bersambung)

5 comments:

  1. Jadi penasaran dgn seri ke 80. Ceritanya semakin menarik

    ReplyDelete
  2. Cerita selanjutnya silahkan baca Api di bukit menoreh, karya SH Mintarja, walaupun buku itupun tdk selesai.

    ReplyDelete