04 January 2019

SETAN KOBER 66

SETAN KOBER 66
Karya : Apung Swarna
Arya Penangsangpun telah berdiri tegak, kedua kakinya sedikit merenggang, jari tangannya mengepal, mukanya memerah, Sang Adipati menjadi sangat marah ketika mendengar Hadiwijaya menobatkan dirinya sendiri menjadi Sultan Pajang.
"Prajurit, kau bilang Hadiwijaya sekarang telah menyebut dirinya sebagai Sultan Pajang ?!" tanya Penangsang dengan suara bergetar.
Prajurit sandi itu tidak mampu menjawab, mulutnya menjadi kaku tidak bisa untuk berbicara, dia hanya mengangukkan kepalanya.

"Hadiwijaya !! Kau menganggap hanya kau lah satu-satunya laki-laki di tanah Jawa ini !!" kata Penangsang yang suaranya bergetar, seakan-akan saat itu Sultan Hadiwijaya sedang berada didepannya.

Andaikan saat itu Sultan Hadiwijaya berada dihadapannya, Penangsang pasti sudah menghantam dadanya dengan aji Panglebur Jagad.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun, lalu iapun bertanya kepada prajurit itu :"Prajurit, apakah masih ada yang akan kau laporkan ?".
Prajurit sandi itu masih ketakutan, ia tak mampu menjawab, hanya mengelengkan kepalanya saja.
"Kalau begitu kau boleh pulang sekarang" kata Patih Matahun.
Tanpa berkata apapun prajurit sandi itu segera turun dari pendapa, kemudian iapun melangkah cepat meninggalkan dalem Kadipaten.
Di pendapa, Adipati Jipang itu masih berdiri, mukanya merah, matanya melotot seperti akan menelan orang yang berada didepannya.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih yang telah tua itu.
"Paman Matahun !! Secepatnya kau persiapkan pasewakan Kadipaten Jipang, untuk mempersiapkan berdirinya Kasultanan Jipang !!" teriak Penangsang.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Nderpati !! Kau pergi ke Kudus, bilang kepada Kanjeng Sunan Kudus, aku akan segera mendirikan Kasultanan Jipang !!" teriak Arya Penangsang.
Anderpati hanya duduk terdiam saja, ia merasa bingung menghadapi Adipati Jipang yang sedang marah.
"Nderpati !! Kau dengar perintahku ??!! teriak Penangsang.
"Ya, Kanjeng Adipati" kata Anderpati.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Paman Matahun, aku akan menjadikan Kadipaten Jipang ini menjadi sebuah Kasultanan !!" kata Arya Penangsang keras
"Sabar Kanjeng Adipati, saya punya rencana lain" kata Patih Matahun.
"Apa rencanamu ?" tanya Penangsang yang masih dalam keadaan marah.
"Sabar dulu Kanjeng Adipati, silakan duduk kembali" kata Patih Jipang.
Arya Penangsangpun kemudian duduk kembali, meskipun wajahnya masih memerah.
"Sebaiknya kita menerima dan takluk kepada Kasultanan Pajang, kita tidak usah mendirikan Kasultanan Jipang" kata Patih Matahun.
Amarah Arya Penangsang yang telah mereda, kembali menyala seperti api tersiram minyak, tangannya bergetar menunjuk ke wajah Patih Matahun.
"Kau... Kau kira aku takut dengan Hadiwijaya ?!!" teriak Penangsang seakan-akan mau menelan Patih Matahun.
"Sabar Kanjeng Adipati, kalimat saya belum selesai, kita tidak usah menolak pembentukan Kasultanan Pajang, kita terima dan kita tunggu saja nanti pada waktu diadakan pasewakan, nanti di Sasana Sewaka Kasultanan Pajang, Kanjeng Adipati bisa menantang perang tanding kepada Sultan Hadiwijaya, sedangkan mengenai Pemanahan, Penjawi dan teman-temannya, itu nanti saya yang akan mengurusnya" kata Patih Matahun.
Perlahan-lahan rasa amarah Penangsangpun mereda, wajahnya berangsur angsur kembali seperti semula.
"Didalam Sasana Sewaka, Sultan Hadiwijaya pasti akan menerima tantangan Kanjeng Adipati, dia tidak akan bisa menolak tantangan perang tanding dihadapan semua nayaka praja dan para bebahu Kasultanan Pajang" kata Patih Matahun.
"Ya" kata Arya Penangsang.
"Kalau Kanjeng Sultan Hadiwijaya menolak perang tanding, berarti dia adalah pengecut, Kanjeng Adipati bisa menangkap dia, dan Kanjeng Adipati bisa mengambil alih Kasultanan Pajang, nanti bisa digabung menjadi satu dengan Kadipaten Jipang, dan akan menjadi sebuah Kasultanan, Kasultanan Jipang yang besar" kata Patih Matahun
Arya Penangsang menganggukkan kepalanya, ia bisa mengerti jalan pikiran Patih Matahun, didalam pasewakan nanti, ia akan menuding wajah Sultan Hadiwijaya dengan keris Kyai Setan Kober sambil menantang perang tanding di alun-alun Pajang dan disaksikan oleh segenap kawula Pajang.
"Meskipun Hadiwijaya mempunyai ilmu kebal, tetapi dengan bersenjatakan keris Kyai Setan Kober dirangkapi dengan aji Panglebur Jagad, Hadiwijaya pasti mati ditanganku, dan senjata Hadiwijaya tak akan mampu menembus aji Tameng Waja milikku" kata Penangsang dalam hati.
"Kalau Kanjeng Adipati bisa bertanding melawan Sultan Hadiwijaya, maka untuk menghadapi nayaka praja Kasultanan Pajang, nanti cukup saya bersama Anderpati ditambah Sorengrana dan Sorengpati" kata Patih Matahun.
"Ya" kata Adipati jipang.
"Kita juga dapat minta tolong kepada Panembahan Sekar Jagad untuk terlibat dalam persoalan ini" kata Patih Matahun.
"Kau kira Jipang tidak dapat menyelesaikan persoalannya sendiri ? Kau meragukan kemampuanku ? Aku tidak setuju, aku akan menyelesaikan persoalan Jipang dan Pajang tanpa melibatkan orang lain" kata Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Patih Jipang itu, kemudian iapun berkata :"Biasanya satu candra setelah penobatan, akan diadakan pasewakan dengan acara asok bulu bekti para kawula"
"Ya, tinggal besok kita tunggu kedatangan utusan dari Pajang yang akan datang ke Jipang" kata Sang Adipati.
"Paman Matahun, mulai sekarang Nderpati, Sorengrana maupun Sorengpati, dan beberapa prajurit pilihan lainnya lagi, kau latih olah kanuragan yang lebih keras lagi, supaya mampu menghadapi Pemanahan, Penjawi dan nayaka praja Kasultanan Pajang lainnya" kata Adipati Jipang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Baik, sekarang aku mau istirahat dulu paman" kata Arya Penangsang, iapun bangkit berdiri lalu berjalan menuju ruang dalam.
Siangpun telah berlalu, haripun berganti menjadi gelap, kemudian kegelapan malampun telah hilang, dan muncullah matahari di ufuk timur, dan pada pagi hari itu, bumi Jipangpun telah kembali menjadi terang.
Siang itu, Kadipaten Jipang kedatangan tamu dari lereng gunung Lawu, pemimpin padepokan Sekar Jagad, kakak seperguruan Patih Matahun, Panembahan Sekar Jagad.
Panembahan Sekar Jagad beserta tiga orang muridnya yang sedang bepergian ke Lasem telah singgah di Jipang, dan mereka diterima secara baik di dalem Kadipaten Jipang.
Arya Penangsang sadar, Panembahan Sekar Jagad adalah seorang yang berilmu tinggi, yang bisa diajak bekerja sama, bergabung dengan Jipang Panolan, tetapi Penangsang masih mempunyai keyakinan kalau Jipang akan dapat menyelesaikan persoalannya sendiri.
Ketika senja telah datang, perlahan-lahan suasana dalem Kadipaten Jipang mulai terlihat gelap, seorang prajurit meyalakan lampu minyak, nyala apinya terus bergerak tertiup angin.
Malam itu, di pendapa, Arya Penangsang bersama Patih Matahun, duduk menemani tamunya, Panembahan Sekar Jagad,
"Silakan diminum Panembahan" kata Penangsang mempersilahkan tamunya meminum minuman hangat yang telah disediakan .
"Terima Kasih Kanjeng Adipati" kata Panembahan Sekar Jagad.
"Kapan akan meneruskan perjalanan ke Lasem, Panembahan ?" tanya Adipati Jipang.
"Besok pagi Kanjeng Adipati, saat ini aku masih kangen dengan adikku, Matahun" jawab Panembahan Sekar Jagad.
Penangsangpun menganggukkan kepalanya, tetapi pembicaraan mereka terhenti ketika Anderpati naik ke pendapa bersama seorang yang berpakaian prajurit.
"Ada apa Nderpati ?" tanya Penangsang.
"Ada seorang prajurit utusan dari Pajang ingin menghadap, Kanjeng Adipati" jawab Anderpati
"O ya, baik, kau majulah kesini prajurit Pajang" kata Arya Penangsang.
Prajurit Pajang itu bergeser maju kedepan, tetapi ia sedikit terkejut ketika ia mengetahui orang yang sedang duduk disebelah Patih Matahun, seorang tua yang bermata tajam, semua rambutnya telah memutih, kumis dan jenggotnya juga telah memutih serta memakai ikat kepala berwarna hitam.
"Hm ternyata Panembahan Sekar Jagad berada disini" katanya dalam hati.
"Kalau aku terikat pertarungan dengan Panembahan Sekar jagad, dengan terpaksa aku harus melarikan diri, karena sebentar lagi tempat ini akan dipenuhi para prajurit Jipang" kata utusan itu didalam hatinya
Utusan itu adalah Kebo Kanigara yang memakai pakaian prajurit Pajang, menunduk ketika berhadapan dengan Arya Penangsang.
Meskipun menunduk, Kebo Kanigara tidak kehilangan kewaspadaan, apalagi ia mengetahui Panembahan Sekar Jagad berada di pendapa ini.
Dibawah cahaya lampu minyak yang apinya bergerak terus ditiup angin, Arya Penangsang memperhatikan prajurit Pajang itu, seorang yang sudah agak tua berkumis tebal, dimukanya ada benjolan sebesar biji buah rambutan
"Kapan kau berangkat dari Pajang, prajurit" kata Penangsang.
"Kemarin siang Kanjeng Adipati" kata utusan dari Pajang itu.
"Lalu apa keperluan adimas Hadiwijaya mengutus kau ke Jipang ?" tanya Sang Adipati.
"Ya Kanjeng Adipati, saya disuruh menyampaikan surat ini" kata prajurit Pajang.
Prajurit itu mengeluarkan sebuah bambu kecil yang berisi surat dari Sultan Hadiwijaya, lalu surat itupun diberikan kepada Arya Penangsang.
Setelah menyampaikan surat itu, maka Kebo Kanigara bersiap untuk menerima amarah dari Arya Penangsang, bahkan iapun bersiap untuk menerima hantaman Aji Panglebur Jagad yang mungkin akan dilepaskan oleh Penangsang.
Arya Penangsang menerima surat itu, lalu iapun membacanya dengan tenang, setelah selesai membaca, surat itupun diletakkan di atas meja, dan iapun berkata :"Bagaimana kabar adimas Hadiwijaya sekarang ?"
Kebo Kanigara terkejut, ia mengira Arya Penangsang akan marah, tetapi yang terjadi adalah diluar dugaannya.
"Kanjeng Sultan Hadiwijaya dalam keadaan baik, Kanjeng Adipati" kata Kebo Kanigara.
"Baik prajurit, suratnya sudah aku terima, dan memang sudah sepantasnyalah kalau Kadipaten Pajang sekarang berubah menjadi sebuah Kasultanan yang besar" kata Adipati Jipang.
Arya Penangsang berhenti sejenak, dipandanginya prajurit Pajang itu, lalu iapun meneruskan kalimatnya
"Sebagai menantu Sultan Trenggana, adimas Hadiwijaya memang sudah sepantasnya menjadi seorang Sultan" kata Sang Adipati.
Prajurit Pajang itu hanya berdiam diri mendengar kata-kata Arya Penangsang.
"Kapan adimas Hadiwijaya akan mengadakan pasewakan agung ?" tanya Arya Penangsang.
"Saya tidak tahu Kanjeng Adipati" kata prajurit Pajang itu.
Arya Penangsang menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Masih ada lagi yang akan kau sampaikan, prajurit ?"
"Tidak ada Kanjeng Adipati" kata Kebo Kanigara.
"Ya, kalau begitu, sampaikan jawabanku kepada adimas Hadiwijaya, kalau Kadipaten Jipang bersedia berada dibawah Kasultanan Pajang" kata Penangsang.
Kebo Kanigara masih menundukkan kepala, lalu iapun mendengar Adipati Jipang itu bertanya :"Malam ini kau akan tidur dimana prajurit ?"
"Dipinggir hutan, Kanjeng Adipati" jawab Kebo Kanigara.
"Sebaiknya kau tidur disini, prajurit" kata Penangsang.
"Terima kasih Kanjeng Adipati, saya tidur di hutan saja" kata prajurit Pajang,
"Nderpati ! Kau beri bekal secukupnya untuk utusan Sultan Hadiwijaya ini" kata Arya Penangsang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Anderpati, lalu iapun mengajak prajurit itu keluar.
"Saya mohon pamit Kanjeng Adipati" kata prajurit itu.
"Ya" jawab Adipati Jipang.
Kebo Kanigara kemudian menggeser duduknya kebelakang, lalu bersama Anderpati, mereka berdua menuju halaman belakang.
Tak lama kemudian, Kebo Kanigara telah berada di punggung kudanya meninggalkan dalem Kadipaten Jipang, tangan kanannya memegang kendali kuda, tangan kirinya memegang sebatang obor, sedangkan di pelana kudanya, tersangkut sebuah bungkusan yang berisi bahan makanan pemberian Anderpati.
"Hm aneh sekali Adipati Jipang kali ini, sikapnya yang sabar sungguh mengherankan, dan itu bukan sifat Arya Penangsang sesungguhnya, tindakannya yang berpura-pura sangat mencurigakan, apa maksud dia sesungguhnya ?" kata Kebo Kanigara didalam hati sambil melepas kumis dan benjolan diwajahnya.
"Yang ditanyakan adalah kapan diadakan pasewakan agung di Kasultanan Pajang, mungkin dia sudah merencanakan sesuatu pada acara pasewakan agung nanti" kata Kebo Kanigara dalam hati.
"Berbahaya" desisnya perlahan-lahan.
Setelah mematikan obornya, malam itu Kebo Kanigara akan bermalam ditepi hutan, agak jauh dari dalem Kadipaten Jipang, berselimut kain panjang, dan tidur bersandar pada sebuah pohon,
Sementara itu, pada hari itu juga, utusan dari Adipati Hadiwijaya telah sampai di beberapa daerah, di Ásem Arang, Demak, Danaraja, Kudus, Pati, Juwana, dan Lasem.
Di Demak, utusan dari Pajang telah diantar oleh prajurit Demak menghadap Patih Wanasalam.
"Kau utusan dari Pajang ?" tanya Patih Wanasalam.
"Betul Gusti Patih" kata prajurit itu.
"Ada keperluan apa kau datang kemari prajurit ?" tanya Patih Wanasalam.
"Saya diutus untuk menyerahkan surat ini Gusti Patih" kata prajurit itu.
Utusan itu lalu menyerahkan surat yang berada didalam bambu kepada Ki Patih, dan setelah membaca, maka Patih Wanasalampun berkata dalam hati :"Adipati Hadiwijaya telah mengangkat dirinya sebagai Sultan, nanti hal ini akan aku bicarakan dengan Tumengung Gajah Birawa dan beberapa Tumenggung yang lain".
"Baik prajurit, suratnya sudah aku terima, masih ada hal lainnya yang akan kau katakan ?" tanya Ki Patih.
"Tidak ada Ki Patih, dan saya mohon pamit" jawab utusan itu.
"Ya" kata Patih Wanasalam,
Prajurit itupun segera keluar dari pendapa kepatihan, dan tak lama iapun sudah berada di punggung kudanya, berlari meninggalkan kotaraja,
Sementara itu utusan yang menuju bukit Danaraja telah diterima oleh Ki Wasesa, lalu oleh Ki Wasesa, surat itu diberikannya kepada seorang emban dan diteruskan kepada Kanjeng Ratu Kalinyamat.
Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa disebuah krobong, membaca surat ang dibawa oleh seorang emban, setelah itu iapun berkata dalam hati :"Adimas Hadiwijaya telah mengangkat dirinya sendiri sebagai seorang Sultan di Pajang"
Ratu Kalinyamat menghela napas panjang, dan sesaat kemudian Sang Ratupun tersenyum.
"Adimas Hadiwijaya mampu menaklukkan seekor macan gembong di hutan Prawata dan seekor buaya besar di muara sungai Tuntang, dia juga mampu membunuh dua orang perampok ganas kakak beradik, Klabang Ireng dan Klabang Ijo, dan kelihatannya hanya adimas Hadiwijayalah yang mampu menandingi Penangsang" kata Ratu Kalinyamat.
"Aku sangat berharap adimas Hadiwijaya mampu membunuh Penangsang, dan saat ini aku berharap banyak padanya" kata Ratu Kalnyamat dalam hati.
"Besok akan aku panggil adimas Hadiwijaya ke Danaraja" kata Ratu Kalinyamat.
Sementara itu di Panti Kudus, Sunan Kudus sedang merenungkan apa yang sebaiknya ia lakukan untuk membantu gegayuhan muridnya.
Terbayang ketika siang tadi, ketika ia sedang diruang dalam, seorang santri mengabarkan ada seorang utusan yang datang dari Pajang.
Sunan Kudus lalu berjalan keluar menemui prajurit Pajang, dan prajurit Pajang itupun menyerahkan bambu kecil yang berisi surat dari daun lontar.
Sunan Kudus terlihat terkejut ketika membaca surat itu, lalu Kanjeng Sunanpun berkata :"Kasihan Penangsang, sekarang Hadiwijaya telah menjadi seorang Sultan"
Saat ini, dimalam yang sepi, kembali Sunan Kudus teringat akan permintaan muridnya.
"Saya ingin memperjuangkan hak saya Bapa Sunan, bantu saya untuk membunuh adimas Hadiwijaya, selama adimas Hadiwijaya masih hidup, hak saya sebagai Sultan Demak tidak akan dapat terlaksana, Bapa Sunan" pinta Penangsang waktu itu.
"Kasihan Penangsang, dia kalah cepat dibandingkan dengan Sultan Hadiwijaya" kata Sunan Kudus.
"Apakah aku harus membantu Penangsang ?" tanya Sunan Kudus kepada dirinya sendiri, dan Kanjeng Sunanpun menggeleng-gelengkan kepalanya.
''Kasihan Penangsang" kata Kanjeng Sunan, lalu iapun membulatkan tekadnya, dan berkata perlahan :"Apa boleh buat, aku harus membantu Penangsang, aku terpaksa membunuh Sultan Hadiwijaya"
"Sultan Hadiwijaya memang harus dibunuh dan aku akan mengusahakan Penangsang menjadi seorang Sultan di Demak" tekad Sunan Kudus.
"Apa boleh buat, Sultan Hadiwijaya memang harus mati" kata Sunan Kudus perlahan.
Sunan Kuduspun masih berpikir, mencari sebuah cara yang akan dipakainya untuk membunuh Sultan Hadiwijaya.
"Kalau Penangsang melakukan perang tanding melawan Sultan Hadiwijaya, Penangsang pasti kalah, dia harus dibantu supaya bisa mendapatkan kemenangan" kata Sunan Kudus dalam hati.
"Penangsang seorang pemarah, seorang brangasan yang perhitungannya kurang cermat, hanya menuruti panasnya hati, kemauannya harus terlaksana, dia tidak bisa bersabar, itu yang akan membuat dia kalah dari Sultan Hadiwijaya" keluh Kanjeng Sunan.
"Sudah berulang kali disuruh lebih bersabar tetapi sampai saat ini kelihatannya tidak pernah berhasil" keluh Sunan Kudus.
"Sultan Hadiwijaya memang harus dibunuh, tetapi dimana aku bisa membantu Penangsang untuk membunuhnya ? Di Pajang, Jipang, Demak, atau di Kudus ?" desis Sunan Kudus yang belum menemukan sebuah cara untuk membunuh Sutan Hadiwijaya.
Tetapi tiba-tiba Sunan Kudus tersenyum, ia telah menemukan sebuah cara yang dapat dipakai untuk membunuh Sultan Hadiwijaya.
"Mudah-mudahan Penangsang bisa membunuhnya, keris Kyai Setan Kober dirangkapi aji Panglebur Jagad akan mampu melukai tubuh Sultan Hadiwijaya" kata Kanjeng Sunan.
"Kalau Penangsang bisa menggores tubuh Hadiwijaya dengan keris Kyai Setan Kober, Penangsang akan memetik kemenangan" kata guru Arya Penangsang itu.
Malam semakin larut, Sunan Kudus masih saja berpikir dan mencari waktu yang tepat yang dapat dipergunakan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya, dan tanpa terasa, beberapa saat kemudian Kanjeng Sunanpun telah tertidur lelap.
Ketika di bang wetan telah membayang semburat warna merah, kokok ayampun bersahut-sahutan, dan haripun berangsur-angsur menjadi terang,
Siang dan malam silih berganti, beberapa hari telah berlalu, pada suatu malam di pendapa Pajang, Sultan Hadiwijaya sedang duduk berdua dengan uwanya Kebo Kanigara, dan Kanjeng Sultanpun telah menerima laporan dari Kebo Kanigara mengenai hasil perjalanannya menemui Arya Penangsang di dalem Kadipaten Jipang.
Dikatakan juga oleh Kebo Kanigara tentang kecurigaannya tentang sikap Penangsang yang tidak marah ketika menerima pemberitahuan tentang berdirinya Kasultanan Pajang.
"Aneh, seharusnya Penangsang marah kepadaku, tetapi saat itu dia sangat ramah, itu berarti sebuah sikap pura-pura, kemungkinan Arya Penangsang sudah mendengar tentang berdirinya Kasultanan Pajang" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, mungkin dari pasukan sandi Jipang yang tersebar di seluruh Pajang, atau bisa juga dari bakul sinambi wara" kata Sultan Hadiwijaya.
"Tidak mungkin para pedagang bisa mengabarkan secepat itu" kata uwanya.
"Ya wa"
"Yang ditanyakan adalah kapan Kasultanan Pajang akan mengadakan pasewakan agung" kata uwanya.
"Lalu sebaiknya bagaimana wa ?" tanya Sultan Hadiwijaya.
"Tunda dulu acara pasewakan agung, kita beradu sabar dengan Penangsang" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, kita harus sabar dan kita lihat nanti apa yang akan dilakukan oleh Penangsang" kata Sultan Hadiwijaya.
"Hadiwijaya, hati-hati, di sana aku melihat ada Panembahan Sekar jagad bersama Patih Matahun" kata uwanya.
"Panembahan Sekar Jagad adalah orang berbahaya, ia orang yang berilmu tinggi" kata Kanjeng Sultan
"Ya, mudah-mudahan ia segera kembali ke gunung Lawu" kata Kebo Kanigara.
Sultan Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, dan iapun membandingkan ilmu kanuragan Panembahan Sekar Jagad dengan ilmu perguruan Pengging yang dikuasai oleh uwanya.
"Mudah-mudahan siwa bisa mengimbangi ilmu kanuragan Panembahan Sekar Jagad" kata Sultan Hadiwijaya didalam hatinya.
Mereka berdua masih berbincang, malam semakin dalam, udara semakin dingin, suara cengkerik terdengar terus menerus tanpa henti, kadang-kadang diselingi suara pekikan burung malam.
Kerlip bintangpun terlihat cemerlang, beberapa kali terlihat bintang yang berpindah tempat, terlihat jelas di kegelapan malam.
Setelah kegelapan malam sampai di ujungnya, lintang panjer rinapun mulai bersinar cemerlang, bintang timur memancarkan kerlip kemilau, bersinar paling cemerlang dibandingkan dengan ribuan bintang lainnya.
Pagi yang sejuk di Jipang Panolan, sudah satu candra Arya Penangsang menanti, menunggu pemberitahuan tentang pasewakan agung di Kasultanan Pajang.
Di halaman belakang Kadipaten Jipang, dua orang laki-laki sedang berjalan di keceriaan pagi.
"Paman Matahun" kata salah seorang dari mereka, Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati" jawab orang yang satunya lagi, Patih Matahun.
"Sejak utusan dari Pajang datang ke Jipang, sampai sekarang sudah satu candra yang lalu, paman, tetapi Sultan Hadiwijaya belum juga mengadakan pasewakan agung" kata Arya Penangsang.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Ya, akan aku tunggu dalam beberapa hari lagi" kata Arya Penangsang.
Ketika dua hari sudah terlewati, maka Arya Penangsangpun berkata kepada Matahun :"Paman Matahun, aku akan menunggu sepasar lagi, kalau tidak ada kabar tentang pasewakan agung di Pajang, aku akan berbuat sesuatu".
Sepasar kemudian, kesabaran Arya Penangsang sudah habis, pagi itu di pendapa Kadipaten Jipang, Penangsang menjadi sangat marah, sebuah meja dihadapannya digebrak hingga Anderpati yang berada tak jauh darinya terloncat kaget.
"Paman Matahun !!!" teriak Arya Penangsang.
Patih Matahun yang berada diluar dalem Kadipaten, datang dari halaman dengan cepat berlari memasuki pendapa, lalu iapun segera duduk bersila didepan Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Hari ini sudah sepasar sejak aku bicara kepadamu, tetapi tetap belum ada berita tentang Pasewakan Agung Pajang" kata Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Nderpati !!" teriak Penangsang.
Anderpati menggeser duduknya maju kedepan.
"Nderpati, kau panggil empat orang pajineman Jipang, Singaprana dan tiga orang saudaranya, cepat !!" perintah Adipati Jipang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Anderpati, kemudian ia bergeser mundur, keluar dari pendapa berjalan menuju ke arah kudanya.
Tak lama kemudian Anderpati melarikan kudanya menuju ke arah barat, pergi kerumah bekas pencuri yang telah berhenti menjalankan pekerjaannya.
Setelah melewati tikungan randu alas, maka kuda Anderpati berbelok ke sebuah rumah yang besar berhalaman luas.
Seorang yang berbadan tegap bertelanjang dada, yang sedang membelah kayu bakar, menghentikan pekerjannya, meletakkan kapaknya, lalu berjalan menghampiri Anderpati yang telah turun dari kudanya.
"Ada apa Nderpati ?" tanya orang itu.
"Paman Singaprana, paman dipanggil Kanjeng Adipati sekarang juga" kata Anderpati.
"Aku ? Aku dipanggil Kanjeng Adipati ?" tanya Singaprana sambil mengenakan bajunya.
"Ya, bersama paman Wanengpati, paman Jagasatru dan paman Kertijaya" kata Anderpati.
"Baik, aku panggil dulu yang lain, kita kesana sekarang" kata Singaprana.
"Kita bersama sama, kalau aku pulang ke dalem Kadipaten tanpa paman berempat, Kanjeng Adipati pasti marah kepadaku" kata Anderpati.
"Ya" kata Singaprana, lalu dengan cepat ia masuk kedalam rumah, lalu beberapa saat kemudian ia telah keluar lagi bersama tiga orang saudaranya.
"Mari Nderpati kita berangkat sekarang" kata Singaprana.
"Ya, paman berempat bisa berjalan cepat atau berlari" kata Anderpati sambil naik di punggung kudanya.
Singaprana dengan cepat lari keluar halaman, diikuti oleh ketiga saudaranya, menuju dalem Kadipaten.
Dibelakangnya, kuda Anderpati berlari mengikuti Singaprana dan tiga orang saudaranya.
Saat itu di dalem Kadipaten Jipang, Arya Penangsang masih menunggu kedatangan Anderpati.
"Paman Matahun, lihat muridmu itu, hanya diutus kerumah pajineman Jipang, sehari suntuk belum juga kembali" kata Arya Penangsang sambil bersungut-sungut,
Patih Marahunpun terdiam mendengar kata-kata dari Arya Penangsang.
Beberapa saat kemudian, yang ditunggu Sang Adipatipun telah datang, Anderpati terlihat naik ke pendapa bersama empat orang pajineman Jipang.
Mereka berlima segera duduk di hadapan Adipati jipang, menundukkan kepala dan siap untuk mendengarkan perintah Sang Adipati.
"Singaprana, Wanengpati, Jagasatru dan kau Kertijaya" kata Arya Penangsang.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata mereka berempat
"Sebagai kawula Jipang Panolan, apakah kau bersedia menjalankan perintah dari Adipati Jipang ?" kata Arya Penangsang,
"Bersedia Kanjeng Adipati" jawab Singaprana.
"Berat maupun ringan ?" kata Arya Penangsang.
"Bersedia Kanjeng Adipati" jawab Singaprana.
"Bagus, dulu kau pernah mengembara mulai dari daerah di kaki gunung Semeru sampai ke gunung Ciremai, pasti kau pernah juga pergi ke Pajang, berapa kali kau pernah kesana ?" tanya Arya Penangsang.
"Tiga kali Kanjeng Adipati" kata Singaprana.
"Untuk kepentingan Jipang Panolan, ada sebuah tugas berat dari Adipatimu, apakah kau bersedia Singaprana ?" tanya Arya Penangsang.
"Bersedia Kanjeng Adipati" kata Singaprana.
Arya Penangsang menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Bagus, apakah kau mempunyai ilmu sirep ?" 
"Ya Kanjeng Adipati, kami berempat memang mempunyai ilmu sirep Megananda" kata Singaprana.
"Bagus, gabungan empat kekuatan ilmu sirep itu akan sangat membantumu dalam melaksanakan tugas nanti, Singaprana, kalian berempat aku utus ke Kraton Pajang" kata Arya Penangsang.
Singaprana berdebar-debar ketika mendengar perintah pergi ke Pajang, dan iapun terkejut ketika Arya Penangsang mengambil keris Kyai Setan Kober yang terselip di tubuh Sang Adipati.
"Bawalah keris pusaka Kyai Setan Kober ini, dan sekarang juga berangkatlah kalian berempat ke Pajang" kata Arya Penangsang sambil memberikan keris Kyai Setan Kober kepada Singaprana.
"Bunuh Sultan Hadiwijaya !!" perintah Arya Penangsang.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment