16 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 32

KERIS KYAI SETAN KOBER 32
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG1
Ketika pagi hari itu di Kadipaten Jipang, para prajurit Wira Manggala sedang sibuk berkeliling diseluruh Jipang, serta mempersiapkan acara pasewakan yang pertama, di Kadipaten Pajang di ruang dalam, Adipati Hadiwijaya sedang berbincang dengan para nayaka praja Kadipaten Pajang.
Adipati Hadiwijaya duduk dikursi, dan dihadapannya duduk dibeberapa dingklik pendek, semua nayaka praja Kadipaten Pajang ditambah Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela yang saat itu masih berada di Pajang. 
"Kakang Pemanahan, bagaimana dengan rencana peresmian pembentukan prajurit Pajang?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Peresmian prajurit akan kita adakan tiga hari hari lagi Kanjeng Adipati, Prajurit yang lulus pendadaran semuanya dua ratus empat puluh orang, sedangkan saat ini senjata kita hanya seratus buah pedang pendek dan dua puluh buah mata tombak" kata Ki Pemanahan.
"Baik, nanti dibagi menjadi dua kesatuan, masing-masing terdiri dari seratus orang bersenjata pedang pendek, sedangkan yang dua puluh orang menjadi prajurit bersenjatakan tombak, sisanya dua puluh orang nanti akan dilatih secara khusus untuk menjadi pasukan sandi, pasukan telik sandi Kadipaten Pajang" kata Adipati Hadiwijaya. 

15 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 33

KERIS KYAI SETAN KOBER 33
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG 2
"Wenang Wulan akan menginap semalam didesa Tingkir, besok paginya baru rombongan dari Tingkir berangkat ke kotaraja, setelah nenginap semalam di jalan kira-kira disekitar Mrapen, esoknya lagi baru sampai di Kadilangu"
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
"Ada lagi yang perlu kita bicarakan?" tanya Adipati Hadiwijaya :"Kalau tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, maka pertemuan ini sudah selesai dan lusa kita mempunyai acara yaitu peresmian kesatuan prajurit Wira Tamtama, Wira Braja, pasukan tombak dan pasukan sandi Kadipaten Pajang" setelah berkata demikan, maka Adipati Hadiwiijaya kemudian masuk kedalam kamar, dan para nayaka prajapun kemudian berdiri dan kembali ke ruang Sasana Sewaka. 
Malampun semakin larut, Hadiwijaya sedang berbaring di kamarnya, alam pikirannyapun melayang-layang, mengembara, menyusup dan singgah di beberapa persoalan yang telah dialaminya. Hadiwijaya bersyukur, uwanya, Kebo Kanigara telah menyatakan bersedia pergi bersamanya pada adi cara lamaran sampai pahargyan pengantin di Kraton Demak sehingga ia merasa tidak sendiri dalam menghadapi persoalan pernikahannya dengan Sekar Kedaton.
Setelah belasan tahun Kebo Kanigara menarik diri dari pergaulan masyarakat Demak, sekarang uwanya telah bersedia untuk bertemu dengan Kanjeng Sultan Demak. 

KERIS KYAI SETAN KOBER 34

KERIS KYAI SETAN KOBER 34
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG 3.
Kemudian kedua kuda itupun kembali berlari menjelajah ke segenap arah di tanah lapang, kedua prajurit penunggang kuda itu kemudian menghentikan kudanya di depan panggung dengan kedua kaki kuda itupun terangkat keatas.
Kembali terdengar sorak dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton yang berada di pinggir bulak amba, dan beberapa saat kemudian kedua prajurit itupun kembali ke pinggir lapangan, dan keduanya menerima sebuah tongkat sepanjang dua depa, yang ujungnya berupa bola kayu sebesar buah manggis. Sambil membawa tongkat berujung bola kayu, keduanya kemudian menjalankan kudanya saling menjauh, kuda putih berlari ke arah utara sedangkan kuda yang berwarna coklat berlari kearah selatan, 
Orang bercaping yang menonton dipinggir lapanganpun melihat kedua prajurit berkuda itu akan saling menyerang menggunakan tongkat berujung bola kayu, yang seakan-akan mereka akan bertempur menggunakan sebatang tombak tajam.

KERIS KYAI SETAN KOBER 35

KERIS KYAI SETAN KOBER 35
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 13 : MELAMAR SEKAR KEDATON 1
Setelah membersihkan diri disungai serta merawat kuda-kuda mereka dengan memberi makan rumput yang banyak terdapat disekitar tempat itu, maka semua orang yang ikut di dalam rombongan itupun segera mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan ke Kadilangu. Disebelah kanan dan kiri punggung tiga ekor kuda telah diberi beban enam buah bungkusan besar yang berisi padi dan hasil palawija dari desa Tingkir.
Tenda kecil sudah dibongkar, kain panjang yang dipakai untuk menutupi tenda sudah dilipat dan dimasukkan kedalam bungkusan yang dibawa oleh Prayoga dan Prayuda, dan ketika dilihatnya semua sudah siap untuk berangkat, Adipati Hadiwijaya kemudian naik ke atas punggung kudanya, kemudian diikuti oleh ki Buyut Banyubiru, Ki Ageng Nis Sela dan semua orang yang ada di dalam rombongan itu. 
Ganjurpun kemudian berjalan menuju kudanya, lalu iapun bersiap akan naik keatas punggung kudanya.

KERIS KYAI SETAN KOBER 36

KERIS KYAI SETAN KOBER 36
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 13 : MELAMAR SEKAR KEDATON 2
"Ternyata Ki Kebo Kanigara memang orang yang pinunjul, tetapi apakah ia mengenal salah seorang guruku, pertapa di Segara Anakan yang mengajarkan ilmu Segara Muncar?" kata Wenang Wulan dalam hati.
Wenang Wulan terdiam, diapun masih menebak-nebak, hingga terdengar Kanjeng Sunan Kalijaga berkata:" Kita berangkat sekarang anakmas Kanigara?" 
"Silakan Kanjeng Sunan" kata Kebo Kanigara.
Kanjeng Sunanpun kemudian berbicara dengan dua orang prajurit Wira Manggala, lalu salah seorang prajurit itupun berkata kepada semua orang yang berada di halaman:"Kita berangkat menuju dalem Gajah Birawan sekarang, nanti akan kita atur semuanya kalau kita sudah berada di dalem Gajah Birawan"
Setelah semuanya mempersiapkan diri, maka berangkatlah rombongan itu berjalan menuju ke arah barat.

KERIS KYAI SETAN KOBER 37

KERIS KYAI SETAN KOBER 37
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 14 : PAHARGYAN PENGANTIN 1 
"Pada saat acara pinangan tadi pagi, Kanjeng Sunan telah datang dengan beberapa orang santri Kadilangu, tetapi besok pada acara ijab kabul, Kanjeng Sunan Kalijaga akan datang ke kraton bersama dengan dua orang santri Kadilangu" kata Prayuda.
"Ya, tidak apa-apa, lalu Kanjeng Sunan berpesan apa lagi?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Hanya itu yang dikatakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Prayoga.
"Ya, cukup jelas, silahkan kalau kalian akan istirahat" kata Sang Adipati.
"Terima kasih Kanjeng Adipati, kami akan ke rumah samping dulu" kata Prayuda.
Setelah berkata demikian, maka Prayoga dan Prayuda segera mundur dan berjalan menuju rumah samping, berkumpul bersama dengan yang lain.
Tak lama kemudian, setelah keduanya meninggalkan pendapa, masuklah Tumenggung Gajah Birawa ke dalem Gajah Birawan, setelah sejak pagi bertugas mendampingi Kanjeng Sultan. 
Setelah membersihkan dirinya, maka Ki Tumenggung menemui Adipati Hadiwijaya dan Kebo Kanigara di ruang belakang.

KERIS KYAI SETAN KOBER 38

KERIS KYAI SETAN KOBER 38
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 14 : PAHARGYAN PENGANTIN 2
Matahari terus memanjat langit, hari semakin siang, Sasana Handrawinapun sudah disiapkan, dibeberapa tempat sudah dihias dengan hiasan janur. 
Demikian juga di Sasana Sewaka, sebuah tempat duduk pade-pade yang dihias telah disiapkan, diletakkan disudut sebelah barat, sedangkan di dekat tiang luar telah dipasang sebuah tarub.
Para tamu dari jauh yang sudah datang sejak tadi pagi, ditempatkan di kraton wetan, dan mereka dilayani oleh Patih Wanasalam, dibantu oleh Tumenggung Suranata, Tumenggung Surapati dan dijaga oleh beberapa prajurit Wira Tamtama lainnya. 
Duduk di kursi didekat ruang dalam, terlihat Adipati Jipang Arya Penangsang yang sudah datang sejak tadi pagi bersama gurunya Kanjeng Sunan Kudus, disebelahnya ada beberapa tamu penting yang diundang Kanjeng Sultan. Ada beberapa tamu dari Cirebon, terlihat Kanjeng Sunan Gunung Jati, didekatnya terlihat Kanjeng Sunan Muria, lalu disebelahnya duduk Bupati Asem Arang, bersama beberapa bupati dari bang kulon dan bang wetan. 

KERIS KYAI SETAN KOBER 39

KERIS KYAI SETAN KOBER 39
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 15 : BOYONGAN 1
"Yah, hari ini kita bertiga akan naik kuda sehari penuh menuju ke desa Tingkir" kata Ganjur.
"Kenapa kakang Ganjur?" tanya Suta.
"Kalau naik kuda sehari penuh, pinggangku terasa seperti patah" jawab Ganjur.
"Apakah nanti Ki Ganjur tidak mau naik kuda? Ya sudah tidak apa-apa, kami berdua yang akan naik kuda, nanti Ki Ganjur berjalan kaki saja" kata Wenang Wulan. 
"Tidak, tidak, aku bersedia naik kuda sehari penuh juga tidak apa-apa" kata Ganjur.
Setelah menyeberangi sungai Tuntang, tak lama kemudian merekapun tiba didepan regol pesantren Kadilangu. 
"Sebelum kita pulang ke Tingkir, kita harus pamit dulu kepada Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Ganjur.
"Ya " kata Wenang Wulan :"Mudah-mudahan Kanjeng Sunan berada di pesantren.
Ketika mereka berlima memasuki halaman pesantren, pada saat yang bersamaan, di depan bangsal Kaputren, dua orang tukang kayu sedang bekerja melepas sebuah tempat tidur dari kayu jati yang diukir indah milik Ratu Mas Cempaka. 

KERIS KYAI SETAN KOBER 40

KERIS KYAI SETAN KOBER 40
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 15 : BOYONGAN 2
"Kalau suatu saat kalian sempat berada di Pajang, mampirlah di dalem Kadipaten" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik Kanjeng Adipati" jawab Tumpak.
Setelah itu Adipati Pajang kemudian naik ke punggung kudanya, sesaat kemudian terdengarlah suara bende yang ditabuh, maka bergeraklah barisan menuju perbatasan kotaraja yang sudah tidak terlalu jauh lagi. 

KERIS KYAI SETAN KOBER 41

KERIS KYAI SETAN KOBER 41
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 16 : PERSIAPAN PERANG 1
"Ya Kanjeng Adipati, menaklukkan Panarukan adalah bukan sebuah pekerjaan yang sulit bagi Demak. Kelihatannya Kanjeng Sultan memang menganggap perang ini bukan suatu perang yang berat" kata Patih Matahun.
"Ya paman, pasukan Demak menang dalam jumlah dan menang dalam perbandingan kemampuan tempur" kata Adipati Jipang. 
"Kalau Kanjeng Adipati Jipang tidak diperbolehkan ikut perang, kemungkinan besar semua anak dan menantunya tidak boleh ikut perang ke Panarukan" kata Patih Matahun.

KERIS KYAI SETAN KOBER 42

KERIS KYAI SETAN KOBER 42
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 16 : PERSIAPAN PERANG 2
"Tumenggung Surapati" kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Surapati dari kesatuan Wira Manggala.
"Di beberapa sungai yang lebar telah kau persiapkan beberapa rakit untuk menyeberang?" tanya Kanjeng Sultan.
"Sudah Kanjeng Sultan, semua sungai yang akan kita lewati sudah kita buatkan beberapa buah rakit yang akan disambung berjejer sehingga bisa dilewati oleh para prajurit" kata Tumenggung Surapati menjelaskan.
"Baiklah, lalu Ki Patih Wanasalam dan para Tumenggung semua, selama aku berangkat ke bang wetan, maka untuk sementara pemerintahan di Kasultanan Demak aku limpahkan kepada Ki Patih Wanasalam" kata Sultan Trenggana.

KERIS KYAI SETAN KOBER 43

KERIS KYAI SETAN KOBER 43
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 17 : MENGGEMPUR PANARUKAN 1
Beberapa saat kemudian ribuan pasukan Demakpun melanjutkan perjalanan, mereka berbaris meninggalkan Kadipaten Tuban menuju ke arah timur.
"Apakah kita nanti sore akan bisa sampai di tepi bengawan, Ki Lurah?" tanya seorang prajurit kepada Lurah Wirya yang berada disebelahnya. 
"Belum, kita masih bermalam sekali lagi, besok sore, baru kita sampai di bengawan" kata Lurah Wirya. 
Ketika malam telah tiba, pasukan Demakpun telah beristirahat dan bermalam di beberapa gubug tidak jauh dari tepi pantai. Di sebuah gubug yang didalamnya terdapat songsong kasultanan, Sultan Trenggana sedang duduk dihadap oleh Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata. 
"Jadi betul laporan prajurit sandi itu?" tanya Sultan Trenggana. 

KERIS KYAI SETAN KOBER 44

KERIS KYAI SETAN KOBER 44
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 17 : MENGGEMPUR PANARUKAN 2
"Kalau nanti aku tidak mampu melawan Senapati Pengapit pasukan Panarukan, kau ambil alih lawanku, lawan dia bersama enam atau tujuh orang prajurit" kata Tumenggung Gagak Anabrang,
"Baik Ki Tumenggung" kata Panji Kertapati. 
Tidak jauh dari tempat itu, di induk pasukan, Tumenggung Suranata memanggil seorang perwira Wira Tamtama, Rangga Pideksa.
"Ki Rangga, kau tetap berada di induk pasukan bersama aku, selama aku masih berada disamping Kanjeng Sultan, kau yang mengawasi gerakan pasukan induk lawan, kalau kau lihat Senapati Agung pasukan Panarukan sudah turun ke pertempuran, segera kau beritahu aku" kata Tumenggung Suranata. 
"Baik Ki Tumenggung" kata Rangga Pideksa.

KERIS KYAI SETAN KOBER 45*

KERIS KYAI SETAN KOBER 45

*masih menunggu

Disalin untuk melengkapi dari halaman
https://sekarmanis22a.wordpress.com/2019/01/16/kksk45/

KERIS KYAI SETAN KOBER 45
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 17 : MENGGEMPUR PANARUKAN 3

Lembu Ireng sangat terkejut, ia segera melompat untuk menghindari serangan tombak lawannya, dan dengan cepat ia membalas dengan serangan trisula yang terjulur lurus kearah leher.
Sesaat kemudian Tumenggung Ranapati dan Lembu Ireng telah terlibat dalam pertarungan yang sengit, sehingga beberapa prajurit yang bertempur di dekatnya telah menyingkir agak jauh, khawatir terkena ujung tombak atau ujung trisula yang bergerak cepat. Beberapa kali, dua landeyan dari kayu yang kuat saling berbenturan, sekejap kemudian ujung bilah tombak bergetar mengancam dada, lalu dibalas dengan ujung trisula yang bergerak cepat akan menusuk leher,
Sementara itu di induk pasukan Panarukan, Senapati Agung Tumenggung Jayarana mengamati jalannya pertempuran, yang sedikit berat sebelah, ternyata pasukannya dapat di desak mundur beberapa langkah oleh pasukan Demak.
“Jumlah prajurit Panarukan ternyata lebih sedikit dibandingkan jumlah prajurit Demak” katanya dalam hati.
“Trenggana akan aku tantang untuk berperang tanding, seorang lawan seorang” desis Senapati Agung Panarukan.
Ki Tumenggung yang mengenal watak Sultan Trenggana, mempunyai keyakinan kalau Sultan Demak itu tidak akan menolak tantangannya.
“Trenggana bukan seorang penakut, dia tidak pernah menghindar dari tantangan lawannya” kata Tumenggung Jayarana dalam hati.
“Meskipun Trenggana melindungi dirinya dengan aji Tameng Waja, aku pasti mampu menembusnya” desis Ki Tumenggung.
Tumenggung Jayarana mengedarkannya pandangannya berkeliling, tetapi ia terkejut ketika seorang penghubung yang datang menghadapnya telah mengatakan Menak Alit dan Lembu Ireng telah bertarung dan mendapat lawan yang seimbang.
“Hm Menak Alit dan Lembu Ireng belum berhasil membunuh Senapati Pengapit pasukan Demak” kata Tumenggung jayarana didalam hati.
“Bagaimana dengan sayap kanan? Coba kau lihat apakah Kebo Lajer sudah berada di tempat Sura Kalong” perintahnya kepada prajurit penghubung.
Penghubung itupun segera berlari ke sayap kanan pasukan Panarukan, dan dilihatnya Kebo Lajer yang ditangannya menggenggam sebuah pedang, sedang berjalan dengan cepat, mendekati pertarungan Sura Kalong melawan seorang perwira pasukan Demak.
Tetapi langkah Kebo Lajer terhenti ketika didepannya menghadang tiga buah pedang milik prajurit Wirapati telah siap mematuk dadanya.
“Tiga orang prajurit Demak, mereka harus dibunuh terlebih dulu, setelah itu aku bisa membantu Sura Kalong” kata Kebo Lajer didalam hatinya.
Tanpa berkata apapun Kebo Lajer segera menyerang ketiga prajurit Wirapati yang berada didepannya, pedangnya berkelebat cepat bergantian mengancam ketiganya.
Ketiga prajurit itu melangkah mundur mengambil jarak, lalu ketiganya bergantian menyerang Kebo Lajer dari tiga arah yang berbeda, tetapi Kebo Lajer sama sekali tidak mengalami kesulitan melawan tiga orang prajurit Wirapati, bahkan ia mampu membuat ketiga prajurit itu harus mengerahkan seluruh kemampuannya.
Pertarungan satu lawan tiga menjadi semakin sengit, bayangan pedang Kebo Lajer berkelebat kesana kemari, terlihat semakin mendekat ke tubuh lawan-lawannya, pedangnyapun diputar kencang seperti baling-baling dan tiba-tiba telah berubah arah menusuk dada salah seorang prajurit yang didepannya .
Prajurit itu terkejut, dengan sekuat tenaga dibenturkannya pedang ditangannya dengan senjata lawannya, akibatnya tangannyapun bergetar, dan tanpa dapat di cegah pedangnyapun terlempar ke tanah.
Kebo Lajer tertawa pendek, lalu iapun segera bersiap untuk membunuh lawannya, tetapi ia terkejut ketika mendengar suara disampingnya ;”Prajurit, minggirlah, biarlah aku yang melawan orang Panarukan ini”
Kebo Lajer menengok kesamping, dan disampingnya kini telah berdiri seorang yang memakai pakaian Tumenggung dan ditangannya telah tergenggam sebuah pedang. Orang itu kemudian berjalan menghampiri tiga orang prajurit Demak dan berkata :”Minggirlah”
Kebo Lajer memandang kedepan dan kini didepannya telah berdiri seorang yang membawa pedang, sedangkan disebelahnya, seorang prajurit sedang memungut senjatanya yang telah jatuh ketanah.
“Kau akan ikut campur urusan ini Ki Tumenggung?” kata Kebo Lajer.
“Aku Tumenggung Palang Nagara, kau anggap urusan prajurit ini bukan urusanku? Siapa namamu he orang Panarukan” kata Tumenggung Palang Nagara.
“Aku Kebo Lajer, kau Senapati Pengapit pasukan Demak, Ki Tumenggung?” tanya Kebo Lajer.
“Bukan” jawab Ki Tumenggung.
“Siapapun kau, seorang Senapati atau bukan, aku yang akan membunuhmu, bersiaplah Ki Tumenggung” kata Kebo Lajer sambil melangkah maju, ujung pedangnyapun telah bergetar.
“Minggirlah kalian, orang ini biar menjadi urusanku” kata Tumenggung Palang Nagara kepada tiga orang prajurit Wirapati.
Belum selesai Ki Tumenggung berbicara, Kebo Lajer sudah melompat menyerang Tumenggung Palang Nagara, pedangnya bergerak cepat menusuk leher, tetapi yang diserangnya adalah pandega pasukan khusus Wira Yudha, maka dengan mudah serangan itupun dihindarinya.
Tumenggung Palang Nagara melangkah mundur, lalu iapun menggerakkan pedangnya mendatar, kearah perut lawannya, sehingga Kebo Lajerpun terpaksa menangkis dengan pedangnya.
Terjadilah benturan yang keras yang menyebabkan tangan kedua orang yang memegang pedang menjadi bergetar, lalu dengan cepat keduanya melompat mundur dan segera bersiap untuk menyerang lawannya, dan sesaat kemudian terjadilah pertarungan yang sengit, Tumenggung Palang Nagara melawan Kebo Lajer, kedua pedang mereka berkelebat saling mengancam tubuh lawannya. Ujung pedang yang bergetar seakan mampu menari dan mengitari tubuh lawannya tanpa henti.
Sementara itu di sayap kanan, Senapati Pengapit pasukan Demak Tumenggung Gagak Anabrang yang bersenjatakan sebuah pedang pendek, sedang bertempur melawan seorang Senapati Pengapit pasukan bang wetan, Menak Alit dari Blambangan yang bersenjatakan sepasang pedang rangkap.
“Hati-hati Gagak Anabrang, kalau kau terlambat menghindar, pedang rangkapku akan menyobek perutmu” kata Menak Alit sambil menyerang lawannya.
“Kau tidak usah banyak bicara Menak Alit, kau urusi saja prajuritmu yang terus terdesak mundur, hee dengar Menak Alit, prajurit Panarukan tidak akan mampu melawan prajurit Demak” kata Tumenggung Gagak Anabrang. Menak Alit menggeram marah, dengan cepat ia menggerakkan pedang rangkapnya kedepan, bergantian menusuk leher dan dada lawannya.
Tumenggung Gagak Anabrang mundur selangkah, dengan cepat dibenturkannya pedang pendeknya ke pedang lawannya, dan terjadilah benturan keras disertai percikan bunga api, yang menyebabkan telapak tangan keduanya menjadi pedih, dan sekejap kemudian kedua Senapati itu telah terlibat kembali dalam sebuah pertarungan yang semakin sengit.
Semakin lama, Tumenggung Gagak Anabrang kelihatan sedikit diatas angin, ilmunya selapis tipis diatas ilmu Menak Alit, tetapi untuk mengalahkan Menak Alit tidak semudah kalau memijat wohing ranti. Menak Alitpun menjadi semakin marah, dikeluarkannya semua ilmu yang dimilikinya, dikeluarkannya semua kemampuannya sampai tuntas, sehingga pertarungan keduanya menjadi semakin ketat.
Sementara itu, hampir di semua medan petempuran, pasukan Demak mampu mendesak lawannya beberapa langkah ke arah timur.
Di tengah induk pasukan Demak, di barisan depan, Rangga Pideksa bersama para prajurit lainnya terus mendesak maju. Beberapa kali prajurit Panarukan harus melawan Ki Rangga dengan dua atau tiga orang prajurit bersama-sama.
“Senapati Agung Panarukan berada ditengah pasukan induk, masih agak jauh, dia dilindungi beberapa lapis prajurit” kata Ki Rangga dalam hati.
Ki Ranggapun mengeluarkan semua kemampuannya untuk dapat mendesak maju ke arah Senapati Agung Panarukan. Beberapa puluh langkah dibelakang Rangga Pideksa, Senapati Agung pasukan Demak, Sultan Trenggana sedang mengamati pertempuran keseluruhannya, di induk pasukan maupun di sapit kanan dan sapit kiri pada gelar Sapit Urang.
Kanjeng Sultan melihat meskipun pasukan Demak mampu mendesak mundur pasukan bang wetan beberapa langkah, tetapi belum mampu memecah dan menghancurkan gelar Cakra Byuha dari pasukan Panarukan.
Senapati Agung Kanjeng Sultan Trenggana akhirnya mengambil sebuah keputusan, lalu iapun berkata kepada Tumenggung Gajah Birawa :” Kibarkan dua buah bendera merah di ekor gelar Sapit Urang, sekarang”
Tumenggung Gajah Birawa memanggil dua orang penghubung lalu diperintahkan untuk mengibarkan dua bendera merah di ekor gelar Sapit Urang, di pesisir dan di barisan paling belakang pasukan Demak.
Seorang penghubung kemudian berlari menyusup diantara riuhnya pertempuran, berlari dengan cepat ke pantai yang terletak tidak jauh dari daerah pertempuran, menemui beberapa prajurit yang berjaga disana, dan beberapa saat kemudian salah seorang prajurit itu mengibarkan sebuah bendera berwarna merah yang berukuran besar, lalu menggerakkan kekanan dan kekiri sehingga dapat terlihat dari puluhan perahu pasukan Jala Pati yang berlabuh tidak jauh dari pesisir.
Diatas salah satu perahu, Tumenggung Siung Laut tanggap atas isyarat yang diberikan oleh para prajurit yang berada di pesisir, sehingga iapun memerintahkan untuk mengangkat sauh.
Di perahu yang lain, Ki Panji Sokayana dan Ki Rangga Pawira maupun Lurah prajurit lainnya, juga telah mengangkat sauhnya, siap menjalankan perintah Senapati Agung, dan tak lama kemudian, semua perahu Jala Pati telah didayung oleh para prajurit, telah bergerak menuju pantai.
Di dalam riuhnya pertempuran, seorang penghubung pasukan Demak lainnya segera berlari ke barisan paling belakang lalu menggerakkan bendera merah kekanan dan kekiri, dan beberapa saat kemudian, para prajurit Turangga Seta yang dipimpin oleh Panji Honggopati dengan pedang ditangannya, telah bergerak menuju ke barisan depan, siap menyerbu prajurit Panarukan.
Matahari semakin tinggi, seakan-akan tidak ingin menyaksikan darah tertumpah di medan pertempuran yang sedang berlangsung di dekat pesisir sebelah barat Panarukan.
Diinduk pasukan Panarukan, Senapati Agung pasukan Panarukan, Tumenggung Jayarana telah mendapat laporan dari beberapa penghubung secara terus menerus. Dua orang penghubung mengabarkan pasukan Panarukan di sayap kanan maupun sayap kiri telah terdesak, mereka terpaksa bergerak sedikit ke belakang karena jumlah pasukan lawan yang lebih banyak.
“Belum sempat aku menantang Trenggana untuk berperang tanding, pasukanku telah dapat didesak mundur” kata Tumenggung Jayarana dalam hati. Beberapa saat yang lalu Tumenggung Jayarana telah mendapat laporan bahwa Menak Alit dan Lembu Ireng telah bertarung sengit melawan dua orang perwira Demak, kini datang penghubung lainnya yang melaporkan Sura Kalong dan Kebo Lajer juga telah mendapatan dua orang lawan yang seimbang di sayap kanan.
“Ternyata tidak mudah untuk mengalahkan Senapati Pengapit pasukan Demak” desis Ki Tumenggung.
Baru saja Tumenggung Jayarana akan memikirkan keempat orang yang merupakan gerigi tajam gelar Cakra Byuha ternyata mendapatkan lawan yang seimbang, serta memikirkan pasukannya yang terdesak terus menerus, ia terkejut dan merasa khawatir ketika seorang penghubung lainnya baru saja memberitahukan bahwa puluhan perahu yang berada di arah utara telah bergerak mendekati pesisir.
“Melawan pasukan Demak yang didarat saja kita sudah kalah dalam jumlah prajurit dan bisa didesak mundur ke timur, apalagi nanti kalau ditambah dengan ratusan prajurit Jala Pati yang berada diatas perahu” kata Tumenggung Jayarana dalam hati.
“Kalau nanti ratusan prajurit laut Jala Pati sudah menusuk pasukan Panarukan di arah utara gelar Cakra Byuha, maka pasukan Panarukan sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk menyelamatkan diri, mereka akan dijepit dari arah barat dan utara” kata Tumenggung Jayarana mengeluh dalam hati.
“Kalau dibiarkan seperti ini, maka sebentar lagi pasukan Jala Pati yang segar akan menggilas prajurit Panarukan di sisi kanan gelar Cakra Byuha di dekat pesisir” desis Senapati Agung Panarukan. Belum sempat ia menemukan jalan yang terbaik untuk pasukannya, datang seorang penghubung lainnya yang mengatakan puluhan pasukan berkuda Demak telah bergerak kedepan dan siap menyerbu pasukan Panarukan.
“Ternyata pasukan Jala Pati dan Turangga Seta yang masih segar segera terjun ke peperangan, sebentar lagi mereka akan menyerang dan mengobrak-abrik pasukan Panarukan yang kelelahan” desis Tumenggung Jayarana.
Sekali lagi Tumenggung Jayarana mengedarkan pandangannya berkeliling, dilihatnya Pasukan Panarukan masih tetap terdesak dan sedikit mundur kebelakang.
“Apabila nanti pasukan Jala Pati dan Turangga Seta telah terlanjur bertempur melawan pasukan Panarukan, maka kekalahan pasukan Panarukan hanya tinggal sepenginang saja” kata Tumenggung Jayarana mengeluh dalam hati.
Senapati Agung Panarukan dengan cepat mengambil sebuah keputusan yang pahit, mumpung pasukannya masih mempunyai kesempatan untuk menyelamatkan diri. Tak lama kemudian terdengar suitan nyaring pendek dua kali dari arah Tumenggung Jayarana, lalu suitan itu diteruskan oleh beberapa penghubung keseluruh medan pertempuran
Mendengar suitan keras dua kali, maka seluruh pasukan gabungan Panarukan, Blambangan, Wengker dan Gelang-gelang perlahan-lahan mundur ke arah timur, mereka sekelompok demi sekelompok bergerak menuju pintu benteng. Perintah untuk mundur telah diberikan kepada semua pasukan Panarukan, dan sebagian dari mereka telah memasuki benteng kota melalui pintu gerbang yang masih terbuka.
“Jangan dikejar, biarkan mereka mundur masuk ke benteng kota, kita hindari korban yang terlalu banyak, disana banyak perempuan dan anak-anak” kata Senapati Agung Pasukan Demak, Kanjeng Sultan Trenggana yang juga berpikir pasukan Demak kurang mengenal lekuk liku sudut kota Panarukan.
Tumenggung Gajah Birawa yang berada disebelahnya segera bersuit nyaring, panjang, dan segera perintah dari Senapatipun telah menyebar keseluruh daerah pertempuran.
“Jangan dikejar, biarkan mereka mundur” teriak beberapa Lurah Prajurit.
Di sayap kanan pasukan Panarukan, Sura Kalong yang sedang bertempur dengan Tumenggung Surapati menjadi marah sekali karena baju kesayangannya telah robek sejengkal oleh tusukan tombak lawannya yang tajam.
“Senapati, kau atau aku yang akan mati disini” kata Sura Kalong dengan suara bergetar.
“Untung hanya bajumu yang robek Sura Kalong, sebentar lagi tombakku akan membuat kau tidak bisa pulang ke Wengker” kata Tumenggung Surapati.
Kemarahan Sura Kalong sudah sampai puncaknya, ia kemudian menggerakkan talinya untuk menyerang lawannya, Senapati Pengapit pasukan Demak. Keduanyapun kembali bertarung sengit, tetapi Sura Kalong menjadi terkejut ketika mendengar suitan isyarat mundur dari arah pasukan Panarukan.
Sura Kalongpun segera mengendorkan tekanannya dan bersiap menghentikan serangannya, tetapi ia masih tetap waspada terhadap serangan mendadak dari Tumenggung Surapati. Sura Kalong berdiri tegak, tangannya memegang tali pusakanya, matanya tajam menatap lawannya,Tumenggung Surapati yang masih tegak berdiri dengan memegang tombaknya, sesaat kemudian Sura Kalongpun mundur perlahan-lahan sambil tetap waspada, ia siap dan berjaga-jaga atas serangan dari pihak lawan.
Tumenggung Surapati yang juga mendengar perintah dari Senapati Agung Demak, ia sama sekali tidak mengejar lawannya, Ki Tumenggung membiarkan Sura Kalong mundur ke arah timur
“Aku belum kalah, kita bertemu lain kali Senapati” teriak Sura Kalong yang sudah berada didalam pasukan Panarukan.
Tidak jauh dari tempat Sura Kalong bergerak mundur, Tumenggung Palang Nagara masih bertarung sengit dengan Kebo Lajer, keduanya saling menyerang dan saat itu pundak Kebo Lajer telah tergores oleh pedang lawannya, hanya sebuah goresan yang kecil, tetapi telah menjadikan darah Kebo Lajer mendidih
Dengan berteriak keras, Kebo Lajer bersiap mateg aji kebanggaannya, ia sudah bertekad menggunakan ilmunya yang tertinggi untuk membunuh lawannya Tumenggung Palang Nagara.
Kedua kakinyapun segera direnggangkannya, ujung pedangnyapun telah menunjuk kedepan dan telah bergetar siap melumat tubuh lawannya.
Kebo Lajer berdiri terpaku, tanpa diduga, ketika baru saja ia akan memulai persiapan mateg aji kebanggaannya, tiba-tiba terdengar perintah berupa isyarat suitan pendek dua kali, yang merupakan isyarat dari Senapati Agung Tumenggung Jayarana, perintah yang mengharuskan semua pasukan bang wetan mundur dan berlindung di dalam benteng. Mendengar perintah itu, Kebo Lajerpun segera menarik napas panjang, meredakan gejolak darahnya yang terasa sudah hampir menggelora, seakan-akan sedang mencari penyaluran keluar untuk menghancurkan lawannya.
Kini Tumenggung Palang Negara dan Kebo Lajer berdiri berhadapan, tetapi perintah dari Senapati Agung mengharuskan Kebo Lajer untuk menghentikan pertarungannya, dan iapun bersiap untuk mundur bersama para prajurit lainnya. Tumenggung Palang Negara masih memegang senjatanya dengan erat, ketika ia melihat lawannya, Kebo Lajer melompat mundur, iapun tidak mengejarnya dan membiarkan lawannya mundur ke timur bersama para prajurit Panarukan lainnya.
Gerak mundur pasukan Panarukan terjadi di semua medan pertempuran, di induk pasukan, di sayap kiri maupun sayap kanan, terlihat ribuan prajurit perlahan-lahan mundur kearah timur.
Beberapa orang terlihat memapah prajurit yang terluka, mereka bergerak memasuki benteng kota Panarukan. Prajurit yang terluka telah berada dalam perlindungan para prajurit lainnya.
“Cepat lari !!!” teriak beberapa orang yang berada di pintu gerbang benteng kota, lalu puluhan prajurit bang wetan berlari memasuki jalan-jalan di kota Panarukan.
Dipihak pasukan dari Demak, semua prajurit patuh pada perintah Senapati Agung, semua prajurit tidak ada yang mengejarnya, mereka hanya berjalan dengan jarak sepuluh dua puluh langkah mengikuti langkah pasukan Panarukan yang mundur ke dalam benteng.
“Jangan dikejar !!” teriak Rangga Pideksa dari induk pasukan.
Sementara itu di sayap kiri pasukan Panarukan, Menak Alit yang mendengar suara suitan telah mengendorkan serangannya, lalu iapun berteriak keras kepada lawannya ;”Kita belum selesai Gagak Anabrang”
Tumenggung Gagak Anabrang tidak menjawab, tetapi ia melihat Menak Alit menghentikan serangannya, lalu perlahan-lahan bergerak mundur kebelakang dan Ki Tumenggungpun tidak mengejarnya, ia membiarkan lawannya bergerak mundur ke arah timur bersama ribuan prajurit Panarukan lainnya.
Tidak jauh dari tempat itu, Lembu Ireng yang sedang bertarung melawan Tumenggung Ranapati, dengan cepat menyerang lawannya seperti angin lesus, sehingga Tumenggung Ranapatipun terpaksa mundur kebelakang, dan kesempatan itu dipergunakan Lembu Ireng untuk melompat mundur, masuk kedalam kerumunan prajurit bang wetan yang sedang mundur ke benteng kota.
Tumenggung Ranapati yang kedua tangannya masih menggenggam senjatanya, berniat akan mengejarnya, tetapi perintah dari Senapati Agung Demak telah membuatnya hanya berdiri dan membiarkan Lembu Ireng menuju ke tengah prajurit bang wetan yang sedang bergerak mundur ke timur. Dengan cepat, ribuan prajurit gabungan Panarukan, Blambangan Wengker dan Gelang-gelang, semuanya bergerak memasuki benteng kota Panarukan.
“Cepat masuk kedalam, semuanya lari, cepat !!!” teriak seorang Lurah prajurit Panarukan di pintu benteng. Para prajurit yang telah mundur mendekati pintu gerbang, segera berlari cepat masuk kedalam benteng, sehingga gerak mundur pasukan bang wetan menjadi lancar.
Di induk pasukan bang wetan, Tumenggung Jayarana bersama Kanjeng Bupati perlahan-lahan juga mundur ke arah kota Panarukan.
“Apa boleh buat Kanjeng Bupati, kita terpaksa mundur, karena pasukan tempur laut Jala Pati dan pasukan berkuda Turangga Seta akan segera menyerang, kalau kita teruskan perang ini, kita bisa tumpes tapis tanpa sisa” kata Tumenggung Jayarana.
“Ya, mari kita semua mundur masuk ke dalam benteng” jawab Kanjeng Bupati.
Upaya mundur pasukan Panarukan berlangsung cepat, sebelum pasukan laut Jala Pati dan pasukan Turangga Seta menyerbu kedalam pertempuran, maka sebagian besar pasukan sudah berada di dalam benteng kota.
Pasukan Demakpun terlihat hanya mengikuti saja perjalanan prajurit bang wetan yang mundur ke dalam kota Panarukan.
Tak berapa lama semua pasukan bang wetan telah memasuki benteng kota Panarukan, lalu pintu gerbangpun ditutupnya dari dalam, daun pintu yang besar itupun diselarak dengan dua batang kayu yang berukuran besar dan kuat.
Para prajurit Demakpun kemudian bergerak kedepan, mendekat dalam jarak yang aman, dua puluh atau tiga puluh langkah dari benteng kota Panarukan. Senapati Agung pasukan Demak turun dari kudanya, kemudian dengan diapit oleh Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata mereka bertiga berjalan kedepan dan berhenti agak jauh dari pintu benteng.
Tak lama kemudian Kanjeng Sultan Trenggana memanggil Tumenggung Gajah Birawa.
“Tumenggung Gajah Birawa, kumpulkan semua Senapati dan para Tumenggung, sekarang” perintah Kanjeng Sultan.
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan” kata Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa kemudian memerintahkan beberapa prajurit untuk menghubungi para Senapati dan para Tumenggung, untuk segera menghadap Kanjeng Sultan. Beberapa saat kemudian datanglah kedua Senapati Pengapit, Tumenggung Surapati dan Tumenggung Gagak Anabrang, disusul kedatangan Tumenggung Ranapati dan Tumenggung Palang Nagara. Setelah iu, terlihat pula Tumenggung Siung Laut yang telah datang bersama beberapa orang prajurit Jala Pati.
Ketika semua Tumenggung sudah mendekat dan berkumpul dihadapannya, maka Sultan Trengganapun kemudian berkata kepada semua pandega pasukan Demak.
“Para Senapati dan para Tumenggung, saat ini kita mengalami kesulitan mengalahkan pasukan Panarukan yang telah mundur kedalam benteng, kalau kita kejar dan terjadi pertempuran di dalam benteng, maka akan jatuh korban yang banyak sekali, karena didalam benteng banyak perempuan dan anak-anak, disamping itu, para prajurit Demak belum mengenal liku-liku kota Panarukan, jangan sampai banyak korban dari pasukan Demak, karena di dalam kota Panarukan mungkin terdapat banyak jebakan, biarkan mereka berada di dalam benteng kota Panarukan, kita kepung mereka temu gelang sampai mereka kehabisan perbekalan dan menyerah kepada kita” kata Senapati Agung Sultan Trenggana
Tumenggung Gajah Birawa bersama para Tumenggung yang lain telah mendengar keputusan Kanjeng Sultan sebagai Senapati Agung, tetapi mereka menyadari saat ini memang keputusan Kanjeng Sultan ini adalah yang terbaik, meskipun semuanya akan mengalami kesulitan, baik yang didalam benteng maupun yang diluar benteng.
Bagaimanapun semua orang yang berada di dalam benteng kota Panarukan akan mengalami kesulitan, ribuan prajurit bang wetan maupun semua penduduk yang berada didalam benteng kota Panarukan, semuanya membutuhkan bahan makanan dan air setiap hari, demikian juga pasukan Demak dan pasukan dari bang kulon yang mengepung benteng kota secara temu gelang, mereka jumlahnya jauh lebih banyak daripada pasukan bang wetan, sehingga kebutuhan bahan makanan dan air adalah lebih besar.
“Nanti malam kita berkumpul lagi” kata Kanjeng Sultan.
Setelah itu Kanjeng Sultan segera memerintahkan kepada para Tumenggung untuk menggerakkan para prajurit untuk mengepung kota Panarukan temu gelang. Mulailah para prajurit Demak berjalan melingkar, mengepung benteng Panarukan temu gelang, sedangkan di empat pintu benteng, timur, barat, utara dan selatan, dijaga oleh para prajurit yang jumlahnya berlipat.
Beberapa saat kemudian, sebagian dari para prajurit bekerja untuk membuat ratusan gubug disepanjang lingkaran luar benteng, sebagian lagi kembali ke tempat pertempuran, mulai membersihkan bekas medan pertempuran, menolong prajurit yang terluka meskipun dari pihak lawan, dan mengubur mereka yang telah terbunuh di peperangan
Matahari telah tenggelam, rembang petang perlahan-lahan mulai menyelimuti bumi Panarukan, dan pada saat itu, beberapa puluh gubug telah selesai dibangun disepanjang lingkaran temu gelang kepungan prajurit Demak.
Senjapun telah berlalu, malam telah membayang, di angkasa bintang bertaburan berkerlip mesra tanpa menghiraukan ribuan perang yang masih akan terjadi di bumi ini.
Ketika malam semakin gelap, didalam gubug yang berukuran agak besar serta didalamnya terdapat songsong Kasultanan, Kanjeng Sultan dihadap oleh semua Tumenggung, sedang membicarakan langkah-langkah yang akan ditempuh oleh pasukan Demak selanjutnya, dan sesaat kemudian datang pula Bupati Surabaya yang telah mengikuti pasukan Demak berangkat ke Pasuruan.
“Para Senapati, Tumenggung, dan Bupati Surabaya, kita sudah mulai mengepung kota Pasuruan, kita tidak tahu berapa pasar atau berapa candra kita berada disini, dan selama kita disini, kita butuh bahan makanan yang banyak untuk ribuan prajurit Demak” kata Kanjeng Sultan
“Tumenggung Surapati” kata Kanjeng Sultan.
“Dawuh dalem Kanjeng Sultan” kata Tumenggung Surapati.
“Perintahkan kepada beberapa prajurit untuk meminta tambahan bahan makanan kepada Bupati Tuban, bahan makanan supaya dikirim setiap beberapa hari sekali, lalu kirim lagi dua orang penghubung ke kotaraja Demak menemui Ki Patih Wanasalam, untuk meminta tambahan bahan makanan. Disini hadir juga bupati Surabaya, nanti dari Surabaya juga akan diminta mengirim bahan makanan ke sini, selain itu, perintahkan kepada pemimpin pasukan cadangan, Arya Penangsang, untuk tetap siaga dengan pasukannya, setiap saat pasukan cadangan dapat diberangkatkan ke Panarukan untuk membantu mendobrak benteng Panarukan” kata Kanjeng Sultan.
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan” jawab Tumenggung Surapati.
“Tumenggung Siung Laut” kata Kanjeng Sultan.
“Dawuh dalem Kanjeng Sultan” jawab Tumenggung Siung Laut.
“Pasukan Jala Pati supaya dibagi dua, separo tetap di perahu, separo lagi ikut mengepung Panarukan”
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan” kata Tumenggung Siung Laut.
Malam itu para prajurit yang sedang mengepung kota Panarukan, separo diantaranya masih bertugas jaga, separo sisanya telah beristirahat di gubug dan disekitarnya dengan berkerudung kain panjang.
Keesokan harinya, ketika matahari telah memancarkan sinarnya, terlihat kesibukan di beberapa gubug pasukan Jala Pati.
“Ki Panji Sokayana, kau bawa semua perahu ketempat semula jangan terlalu jauh dari pesisir, kau pimpin separo prajurit Jala Pati di perahu, sedangkan para prajurit yg separo tetap berada disini bersamaku” kata Tumenggung Siung Laut.
“Baik Ki Tumenggung” kata Panji Sokayana.
Panji Sokayana segera mohon diri, akan segera mempersiapkan para prajurit yang bertugas diperahu.
Sesaat kemudian Panji Sokayana menemui Rangga Pawira, lalu terlihat keduanya berkeliling untuk mempersiapkan keberangkatan separo pasukan Jala Pati yang akan berjaga tidak jauh dari pesisir.
Beberapa saat kemudian, perahu-perahu Jala Pati yang dulu pernah dipakai berlayar ke Malaka dibawah pimpinan Pangeran Sabrang Lor, perlahan-lahan telah bergerak menjauhi pesisir, menuju ke arah Utara.

06 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 46

KERIS KYAI SETAN KOBER 46
KARYA : APUNG SWARNA#*#
BAB 18 : KERIS PUSAKA, TOMBAK PUSAKA 1
Dua puluh delapan perahu telah bergerak perlahan menjauh dari pesisir, didayung oleh para prajurit Jala Pati, sebagian dipimpin oleh Panji Sokayana, sebagian lagi dipimpin oleh Rangga Pawira.
Panji Sokayana memandang ke pesisir, ketika jarak yang terbentang dianggap sudah cukup maka sauhpun diturunkan ke dasar laut, supaya perahu tidak bergerak terseret arus laut maupun tertiup angin yang kencang.
Ketika perahu sudah menurunkan sauh pemberat dan berhenti tidak jauh dari pantai, maka di setiap perahu secara bergantian telah ditugaskan beberapa prajurit yang terus menerus memandang ke arah selatan, untuk melihat apakah ada isyarat yang nanti akan diberikan oleh Senapati Agung, apabila pasukan Demak akan mendobrak pintu benteng kota Panarukan.
Sementara itu disekitar lingkaran luar benteng kota Panarukan, terdapat pasukan Demak dan bang kulon memanjang temu gelang, yang sedang berkemah,

KERIS KYAI SETAN KOBER 47

KERIS KYAI SETAN KOBER 47
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 19 : KERIS PUSAKA, TOMBAK PUSAKA 2(dua)
"Baik Kanjeng Adipati, besok akan saya kumpulkan semua prajurit Jipang di depan dalem Kadipaten" kata Rangkud.
Setelah mereka berbicara beberapa saat, maka Adipati Jipangpun mengambil kerisnya lalu menuju ke ruang dalam untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, Rangkudpun telah meninggalkan Dalem Kadipaten untuk menemui beberapa orang yang akan mengabarkan ke semua prajurit Jipang untuk berkumpul semuanya di depan Dalem Kadipaten besok pagi.
Keesokan harinya, ketika matahari menyinarkan sinarnya di ufuk timur, seluruh tlatah Jipang seakan-akan telah terbangun, tiga ratus prajurit yang baru saja lulus dari pendadaran, telah bersiap untuk menuju Dalem Kadipaten.

KERIS KYAI SETAN KOBER 48

KERIS KYAI SETAN KOBER 48
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 17 : KERIS PUSAKA DAN TOMBAK PUSAKA 3

"Eyang, saya boleh bertanya sesuatu?" tanya Pemanahan.
"Apa yang akan kau tanyakan cucuku Pemanahan" kata Ki Ageng Sela.
"Eyang, tombak Kyai Pleret adalah tombak pusaka tertinggi keluarga Sela, kenapa harus dibawa juga ke Pajang? Apakah tidak cukup kalau yang dibawa hanya tombak Kyai Penatas saja?" kata Pemanahan.
"Pemanahan dan kalian anak cucuku semua, beberapa warsa yang lalu, salah seorang Walisongo, Kanjeng Sunan Giri Kedaton pernah berkata, kelak, nanti pada suatu saat anak keturunan Sela akan menjadi seorang raja di tanah Jawa" kata Ki Ageng Sela.

KERIS KYAI SETAN KOBER 49

KERIS KYAI SETAN KOBER 49
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 1

Kedua prajurit Jala Pati yang sedang menunggu diluar gubug, kemudian berjalan mengikuti Tumenggung Siung Laut yang sedang menuju perkemahan Jala Pati, dan tak lama kemudian sampailah Tumenggung Siung Laut di perkemahan prajurit Jala Pati, dan didepan gubug iapun segera disambut oleh Panji Sokayana.
"Bagaimana Ki Tumenggung?" tanya Panji Sokayana.
"Nanti setelah matahari terbenam, para Tumenggung akan menghadap Senapati Agung Kanjeng Sultan Trenggana" kata Tumenggung Siung Laut.
"Ya Ki Tumenggung, mudah-mudahan nanti bisa dicari jalan keluar yang terbaik" kata Panji Sokayana.

KERIS KYAI SETAN KOBER 50

KERIS KYAI SETAN KOBER 50
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 2

Satu persatu sisa makanan yang berada didalam beberapa mangkuk gerabah telah dicicipi oleh lidahnya yang peka,
"Makanan ini semuanya tidak ada yang mengandung racun" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Apakah ada kemungkinan Kanjeng Sultan makan makanan yang lain, atau terkena sumpit dan panah beracun? Tidak ada yang mengetahui, mungkin hanya para prajurit yang masih pingsan itu mengetahui apa yang telah terjadi" kata Ki Tumenggung.
Tumenggung Gajah Birawa kemudian memeriksa dinding gubug yang ternyata tidak ada kerusakan apapun, hanya ada beberapa lobang yang terjadi karena dindingnya yang usang.

KERIS KYAI SETAN KOBER 51

KERIS KYAI SETAN KOBER 51
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 3
"Dua hari yang lalu, Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia di Panarukan, jenazahnya saat ini dibawa naik perahu menuju kotaraja" kata prajurit itu.
Betapa terkejutnya Sunan Prawata ketika mendengar berita ayahandanya telah meninggal dunia. Sesaat Sunan Prawata tertegun, seakan tidak percaya pada perkataan prajurit yang duduk didepannya.
"Kau bilang ayahanda Sultan telah meninggal dunia?" tanya Sunan Prawata.
"Ya Kanjeng Sunan, Kanjeng Sultan Trenggana memang telah meninggal dunia" kata prajurit itu.
Sunan Prawata mendadak menjadi lemas, kepalanya tertunduk, mulutnya terkatub rapat, tidak tahu apa yang harus di kerjakan, kedua tangannya berusaha menahan tubuhnya yang akan jatuh kesamping.

KERIS KYAI SETAN KOBER 52*

*masih menunggu
Disalin untuk melengkapi dari 
https://sekarmanis22a.wordpress.com/2019/01/16/kksk52/

KERIS KYAI SETAN KOBER 52
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 4

Sesaat kemudian empat orang prajurit Jala Pati mengangkat bandusa yang berisi jenazah Sultan Trenggana, kemudian bandusa itupun dipikul melalui jembatan kayu yang telah dipasang di lambung perahu. Perlahan-lahan prajurit pemikul bandusa turun dari perahu, dibantu oleh beberapa prajurit Jala Pati yang berada di tepian.
Usungan bandusa yang dipikul oleh empat orang pajurit, bergerak ke barat menuju ke Kraton, sedangkan dibelakangnya berjalan Adipati Jipang, Arya Penangsang bersama para Tumenggung, diikuti oleh para prajurit Patang Puluhan, prajurit Jala Pati bersama prajurit Wira Manggala.
Perahu-perahu Jala Pati lainnya kemudian menyusul merapat di tepian, lalu para prajurit Jala Pati yang berada di dalam perahu segera keluar dan sebagian dari mereka menyusul prajurit yang berjalan dibelakang bandusa. Di tepi jalan yang dilewati jenazah, ribuan penduduk kotaraja, berdiri sambil menundukkan kepalanya, bahkan banyak diantaranya yang berjongkok, seperti kalau menghomati Sultan Trenggana ketika Sang Sultan Demak masih hidup.
Jarak yang tidak begitu jauh, yang terbentang dari tepi sungai Tuntang ke Kraton, hanya ditempuh dalam waktu yang tidak terlalu lama. Beberapa saat kemudian rombongan jenazah telah sampai di alun-alun, lalu berbelok memasuki gerbang Kraton Demak, lalu jenazah disambut oleh Patih Wanasalam beserta Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus, kemudian dibelakangnya telah berdiri Kanjeng Prameswari yang dipapah dan dijaga oleh beberapa orang emban. Disebelah Kanjeng Prameswari telah berkumpul beberapa anak dan menantu Kanjeng Sultan Trenggana.
Ketika bandusa yang dipikul oleh empat orang prajurit Jala Pati telah diletakkan di pendapa, maka hujan tangispun tak terbendung lagi. Ratu Kalinyamat dan Ratu Prawata menangis sambil berjalan mendekati bandusa, dibelakangnya para embanpun semuanya berurai air mata.
Kanjeng Prameswari yang sudah tidak mampu berdiri telah terkulai pingsan, lalu oleh para emban, Kanjeng Prameswari dibawa masuk ke ruang dalam, kemudian Ratu Kalinyamat dan Ratu Prawata menyusul masuk ke ruang dalam.
Beberapa saat kemudian, jenazahpun telah dimandikan, dan untuk pemakaman jenazah Sultan Trenggana, semua menunggu keputusan dari Kanjeng Prameswari. Ketika Kanjeng Prameswari telah sadar dari pingsannya, maka Kanjeng Sunan Kalijaga dan Kanjeng Sunan Kudus, beserta para putra, menemui Kanjeng Prameswari, merundingkan pemakaman jenazah Sultan Trenggana.
“Pemakamannya nanti menunggu kedatangan anakku Ratu Pajang, sedangkan anakku Pembayun, biar diberitahu oleh suaminya nanti kalau pulang dari bang wetan” kata Kanjeng Prameswari.
“Kanjeng Prameswari” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kanjeng Prameswaripun menggeser duduknya menghadap kearah Sunan Kalijaga.
“Kanjeng Prameswari, menurut perhitungan, utusan yang menuju ke Kadipaten Pajang, pagi ini belum bisa sampai di Pajang, kalaupun nanti siang utusan itu bisa menemui Adipati Hadiwijaya beserta Ratu Pajang, maka paling cepat besok malam Ratu Pajang baru bisa sampai ke kotaraja Demak, dan jenazah baru bisa dimakamkan esok lusa” kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kanjeng Prameswari menundukkan kepalanya, mendengar ucapan dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Sebaiknya jenazah Kanjeng Sultan segera dimakamkan sekarang juga” saran Kanjeng Sunan Kalijaga.
“Betul Kanjeng Prameswari” kata Kanjeng Sunan Kudus :”Tidak baik menunda pemakamam jenazah, kalau orang yang bekerja menyiapkan makam sudah selesai, sebaiknya jenazah segera dimakamkan sekarang juga”
Kanjeng Prameswari kemudian memandang kepada putra-putrinya yang berada disampingnya, seakan-akan minta pendapat tentang saran dari kedua Sunan itu.
“Ya kanjeng ibu, sebaiknya jenazah ayahanda Sultan dimakamkan sekarang juga” kata Ratu Kalinyamat. Sunan Prawatapun juga menyetujui kalau jenazah Sultan Trenggana dimakamkan sekarang juga.
Kanjeng Prameswaripun kemudian menganggukkan kepalanya, setuju atas saran dari Kanjeng Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Para kerabat dan para nayaka praja kemudian mempersiapkan pemakaman Raja ketiga Kasultanan Demak Bintara, Sultan Trenggana yang telah gugur di Panarukan.
Demikianlah, siang itu jenazah Sultan Trenggana segera dimakamkan di halaman masjid kotaraja Demak yang disaksikan oleh nayaka praja, para Tumenggung, Panji maupun Rangga yang berada di kotaraja, serta dihadiri oleh ribuan prajurit maupun penduduk kotaraja, sedangkan ribuan prajurit lainnya tidak dapat menyaksikaan pemakaman Rajanya, karena dalam perjalanan pulang dari Panarukan.
Ketika pemakamam jenazah Sultan Trenggana sudah selesai dilaksanakan, pada saat yang bersamaan, seorang prajurit Jala Pati yang berkuda menuju Pajang telah sampai di depan dalem Kadipaten Pajang.
Prajurit itupun turun dari kudanya kalu berjalan menuju pendapa dalem Kadipaten Pajang yang dijaga oleh dua orang prajurit Pajang.
“Saya utusan dari Panarukan, ingin bertemu dengan Kanjeng Adipati Hadiwijaya, akan menyampaikan berita mengenai Kanjeng Sultan Trenggana” kata prajurit Jala Pati itu.
“Kanjeng Adipati Hadiwijaya sedang mengadakan pertemuan dengan para nayaka praja Kadipaten Pajang diruang dalam, tunggulah sebentar, akan kusampaikan pesanmu kepada Kanjeng Adipati” kata prajurit itu.
Utusan itupun kemudian duduk di pendapa, sedangkan seorang prajurit penjaga dalem Kadipaten segera masuk ke ruang dalam.
Beberapa saat kemudian dari ruangan dalam muncul prajurit Pajang yang berjalan bersama Pemanahan, mendekati prajurit Jala Pati yang sedang duduk di pendapa.
“Kau prajurit Jala Pati yang baru saja datang dari Panarukan?” tanya Pemanahan.
“Ya Ki, saya diutus menghadap Sultan Hadiwijaya, untuk menyampaikan berita tentang Kanjeng Sultan Trenggana” kata prajurit itu.
“Baik, kau ikut aku” kata Pemanahan, lalu iapun berjalan menuju ke ruang dalam, sedangkan prajurit Jala Pati berjalan mengikutinya dari belakang.
Di ruang dalam, Adipati Hadiwijaya sedang duduk di kursi, sedangkan dihadapannya duduk semua nayaka praja Kadipaten Pajang, ditambah Juru Mertani dan Mas Ngabehi Sutawijaya yang telah dibuatkan sebuah rumah tersendiri, yang letaknya disebelah utara pasar, sehingga sering disebut juga sebagai Mas Ngabehi Loring Pasar.
Pemanahan dan utusan itu kemudian duduk di atas tikar di ruangan dalam bersama semua nayaka praja Pajang. dihadapan Adipati Hadiwijaya,
“Kau utusan yang datang dari bang wetan, yang akan membawa berita dari peperangan di Panarukan?” tanya Adipati Hadiwijaya.
“Ya Kanjeng Adipati” jawab utusan itu.
“Kapan kau berangkat dari Panarukan?” tanya Adipati Pajang.
“Kami berangkat pada saat tengah malam, lebih dari tiga hari yang lalu Kanjeng Adipati” jawab prajurit Jala Pati itu.
“Kabar apa yang kau bawa dari medan perang Panarukan, prajurit?” tanya Sang Adipati.
“Sebuah berita lelayu Kanjeng Adipati, Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia di Panarukan” kata utusan itu.
Semua yang hadir di ruangan dalam terkejut, mereka terdiam, semuanya tak menyangka, ternyata Sultan Trenggana gugur ketika perang di Panarukan.
Di ruangan, saat itu dalam keadaan hening, dan beberapa saat keheningan itu dipecahan oleh suara Adipati Hadiwiajaya.
“Kau bilang Kanjeng Sultan telah meninggal dunia di Panarukan?” tanya Adipati Hadiwijaya.
“Ya Kanjeng Adipati, memang sebenarnya Kanjeng Sultan telah terbunuh di Panarukan” kata utusan itu.
“Siapa orang bang wetan yang mampu membunuh Kanjeng Sultan?” tanya Adipati Pajang dengan nada tinggi.
“Saya tidak tahu Kanjeng Adipati, Kanjeng Sultan ditemukan telah terbunuh di dalam gubugnya” kata prajurit Jala Pati itu.
“Ya, kau dari Panarukan naik perahu Jala Pati? Kau turun dimana?” tanya Adipati Hadiwijaya.
“Ya Kanjeng Adipati, saya turun di Juwana kemarin fajar, dan tadi malam menginap di sebelah utara gunung Kemukus” kata prajurit itu.
“Kapan jenazah Kanjeng Sultan diberangkatkan naik perahu dari Panarukan?” tanya Kanjeng Adipati.
“Saya tidak tahu Kanjeng Adipati” jawab prajurit itu.
“Pasti jenazah segera diberangkatkan secepatnya, tidak lama setelah perahumu berangkat dari Panarukan” kata Sang Adipati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
Prajurit itupun tidak menjawab, perhitungannyapun sama dengan perhitungan Adipati Pajang.
“Kau tiba di Juwana kemarin fajar, kemungkinan jenazah Kanjeng Sultan telah tiba di kotaraja hari ini” kata Sang Adipati.
“Ya Kanjeng Adipati” kata prajurit itu,
“Baik prajurit, pesanmu sudah aku terima, dan sekarang kau boleh beristirahat” kata Adipati Pajang.
“Terima kasih Kanjeng Adipati” kata utusan itu.
“Kakang Pemanahan, silakan prajurit ini diurus keperluannya untuk bisa kembali ke Demak besok pagi” kata Adipati Hadiwijaya.
Pemanahanpun segera bangkit berjalan keluar bersama utusan itu, dan sesaat kemudian iapun masuk kembali ke ruang dalam, setelah menyerahkan urusan utusan itu ke salah seorang prajurit Pajang. Setelah Pemanahan duduk kembali di ruang dalam, maka Adipati Hadiwijaya berkata kepada semua nayaka praja yang duduk di hadapannya.
“Semua nayaka praja Kadipaten Pajang, dengan adanya berita lelayu tadi, maka aku dan Kanjeng Ratu akan berangkat ke kotaraja Demak sekarang juga” kata Adipati Pajang.
“Setelah pertemuan ini, aku akan memberitahu tentang kematian Kanjeng Sultan Trenggana kepada Kanjeng Ratu Pajang, sementara kalian mempersiapkan semua keperluan perjalanan ke kotaraja Demak”
“Patih Mancanagara, kau jaga Kadipaten Pajang selama aku pergi ke kotaraja” kata Adipati Hadiwijaya.
“Sendika dawuh Kanjeng Adipati” kata Patih Mancanagara.
“Kakang Pemanahan, Kakang Penjawi dan kau Wenang Wulan, kalian ikut pergi ke kotaraja, siapkan lima ekor kuda dan perbekalannya, kita berangkat sekarang” kata Adipati Pajang.
Adipati Hadiwijaya kemudian masuk ke kamarnya, sedangkan semua nayaka praja Pajang segera keluar dari ruang dalam, sebagian dari mereka mempersiapkan lima ekor kuda yang akan berangkat ke kotaraja,
Didalam kamar, Kanjeng Adipati berjalan mendekati Kanjeng Ratu Mas Cempaka yang sedang duduk ditepi pembaringan.
“Ratu” kata Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
“Ya Kanjeng Adipati, apakah pertemuannya sudah selesai?” kata Kanjeng Ratu Pajang.
“Sudah Ratu” jawab Adipati Pajang.
“Cepat sekali Kanjeng Adipati” kata Ratu Pajang.
“Ya Ratu, pertemuannya sudah selesai, karena ada yang berita yang lebih penting” kata Adipati Hadiwijaya.
“Berita apa Kanjeng Adipati?” tanya Ratu Mas Cempaka.
“Ratu, kita bersiap akan pergi ke kotaraja Demak sekarang” kata Adipati Pajang.
“Kenapa Kanjeng Adipati, kita pergi ke kotaraja?” tanya istrinya.
“Ratu, kita nanti berangkat ke Demak berlima naik kuda, Ratu sekarang sudah trampil naik kuda, jadi kita tidak usah menggunakan tandu” kata Adipati Pajang.
“Ya, tetapi Kanjeng Adipati, kenapa kita tiba-tiba harus pergi ke Demak? Ada berita apakah sehingga kita harus pergi ke Demak sekarang juga?” tanya Ratu Pajang.
Dengan hati-hati Adipati Hadiwijaya berkata perlahan, hampir berbisik kepada istrinya.
“Tadi ada utusan dari Panarukan membawa berita tentang Kanjeng Sultan” kata Adipati Pajang.
Dheg, dada Ratu Mas Cempaka seperti tertimpa reruntuhan gunung Merapi, denyut nadinya seperti berhenti berdenyut, dengan suara bergetar penuh kekhawatiran, iapun bertanya kepada suaminya :”Ada apa dengan Ayahanda Sultan?”
Adipati Hadiwijaya belum menjawab, istrinya sudah bertanya sekali lagi :”Ada berita apa tentang Ayahanda Sultan di Panarukan?”
“Ya, kuatkan hatimu, baru saja ada utusan dari medan perang Panarukan yang mengabarkan Kanjeng Sultan telah meninggal dunia” kata Adipati Hadiwijaya.
“Ayahanda !!” Ratu Mas Cempaka menjerit kecil, beberapa saat ia tertegun tidak bergerak, ketika mendengar berita tentang ayahandanya
Tak lama kemudian iapun segera berdiri, tangisnyapun pecah, lalu iapun memeluk suaminya.
“Ayahanda Sultan” katanya berulang-ulang sambi membasahi dada suaminya dengan air mata.
“Ayahanda Sultan” katanya perlahan, dan iapun teringat saat ayahandanya masih hidup, betapa Kanjeng Sultan sangat menyayanginya, memenuhi semua permintaannya, termasuk merestui kisah cintanya dengan seorang pemuda tampan pilihannya, Karebet.
Teringat ketika ia menderita sakit karena berpisah dengan Karebet yang diusir dari kotaraja Demak, ayahandanya telah memberi pengampunan terhadap kesalahan yang dilakukan oleh Karebet, bahkan memberi tempat bagi suaminya untuk bisa menjadi seorang Lurah Wira Tamtama lagi.
Betapa besar kasih ayahanda Sultan kepadanya, termasuk kepada pemuda Jaka Tingkir, sehingga orang yang dicintainya itu telah kasengkakake ing ngaluhur sebagai Adipati di Pajang, dan sekarang ia mendengar dari suaminya bahwa ayahandanya telah meninggal dunia di tempat yang jauh, medan perang Panarukan. Adipati Hadiwijaya membiarkan istrinya menangis di dadanya, dibiarkannya Sang Ratu menumpahkan segala kesedihannya karena kehilangan seorang Sultan sekaligus seorang ayah yang baik.
Beberapa saat kemudian setelah tangis Ratu Mas Cempaka mereda, maka perlahan-lahan Adipati Pajang berusaha untuk menenangkan perasaan istrinya.
“Sudahlah Ratu, jangan menangis, ikhlaskan kepergian Kanjeng Sultan” kata Adipati Hadiwijaya sambil mengelus punggung istrinya.
“Kita bersiap untuk berangkat ke kotaraja sekarang” kata suaminya.
Ratu Pajang menganggukkan kepalanya, iapun mengusap air matanya, lalu kembali duduk ditepi tempat tidur.
“Duduklah Ratu, aku akan mempersiapkan keperluan untuk keberangkatan kita” kata suaminya.
Ratupun mengangguk, meskipun masih berurai air mata kesedihan yang masih mengalir terus membasahi kedua kelopak matanya.
Di halaman belakang, ketika matahari telah mencapai puncak langit, Pemanahan, Penjawi dan Wenang Wulan, telah menyiapkan lima ekor kuda yang akan membawanya ke Demak.
Beberapa bungkusan yang berisi bekal makanan maupun barang-barang untuk keperluan bermalam telah tergantung di pelana kuda.
Nayaka praja yang lain, juga berada di halaman belakang meskipun tidak ikut ke kotaraja Demak.
Tak lama kemudian, Adipati Hadiwijaya dan Ratu Mas Cempaka telah turun ke halaman, berjalan menuju kuda yang telah dipersiapkan untuk perjalanan mereka ke Demak, dan ketika mengetahui Adipati Hadiwijaya telah turun ke halaman bersama Ratu Mas Cempaka, maka Patih Mancanagara diikuti oleh semua nayaka praja yang lain, berjalan menyongsong keduanya.
Ketika mereka berada didepan Sang Ratu Pajang, maka Patih Mancanagara bersama nayaka praja yang lain, mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ayahanda Sultan. Ratu Mas Cempaka tak mampu berkata apapun, Sang Ratu hanya menjawab dengan linangan air mata.
Beberapa saat kemudian, Sang ratupun berkata perlahan :”Terima kasih Ki Patih, terima kasih semuanya”.
Merekapun kemudian berjalan menuju kuda-kuda yang telah siap, sesaat kemudian keduanya telah naik di atas punggung kuda, lalu disusul Pemanahan, Penjawi dan Wenang Wulan yang juga naik di pungung kuda lainnya.
“Hati-hati diperjalanan Kanjeng Adipati” kata Ngabehi Wuragil.
“Hati-hati ayahanda” kata Mas Ngabehi Loring Pasar.
“Ya, jangan lupa kau tetap berlatih olah kanuragan Sutawijaya” kaya Adipati Hadiwijaya.
“Ya ayahanda” kata Mas Ngabehi Sutawijaya.
Beberapa saat kemudian, lima ekor kuda berlari keluar dari dalem Kadipaten Pajang menuju ke kotaraja Demak.
Dua ekor kuda yang ditunggangi Adipati Pajang bersama istrinya Ratu Mas Cempaka berada di urutan paling depan, dibelakangnya menyusul kuda yang ditunggangi tiga orang nayaka praja Kadipaten Pajang.
“Mudah-mudahan sebelum senja kita sudah sampai di hutan Sima” kata Adipati Hadiwijaya kepada Ratu Mas Cempaka yang berkuda disebelahnya.
Ratu Pajang tidak menjawab, perasaannya masih belum tenang, pikirannya masih belum bisa terlepas dari berita tentang kematian Kanjeng Sultan Trenggana.
Matahari telah condong ke barat, sinarnya menjadi agak kemerah-merahan, dan merekapun telah sampai di hutan Sima yang tidak begitu lebat.
“Kakang Pemanahan” panggil Sang Adipati sambil memperlambat kudanya.
Pemanahanpun yang berada di belakangnya segera mempercepat lari kudanya mendekati kuda Sang Adipati.
“Matahari masih belum terbenam, kita masih mempunyai waktu sedikit, kita bermalam disini atau di dalam hutan Sima?” tanya Adipati Hadiwijaya. Pemanahanpun lalu memandang matahari yang masih agak tinggi diatas pepohonan di daerah Sima.
“Sebaiknya kita masuk hutan yang tidak begitu rapat ini, nanti didekat sebuah mata air, ada sedikit tempat untuk mendirikan tenda, kita bisa bermalam disitu Kanjeng Adipati” kata Pemanahan.
“Baiklah, mari kita maju sedikit lagi” kata Adipati Hadiwijaya yang segera menjalankan kudanya maju kedepan, masuk ke dalam hutan yang tipis, hutan di daerah Sima.
Ketika senja telah membayang, suasana di hutanpun telah menjadi agak gelap, rombongan dari Pajang berhenti di sebelah sebuah mata air kecil, di sebuah petak tanah yang tidak begitu luas, tetapi cukup untuk mendirikan sebuah tenda, tempat untuk bermalam Adipati Hadiwijaya bersama Ratu Mas Cempaka.
“Wenang Wulan, kau pasang tenda disini” kata Adipati Pajang.
“Baik, Kanjeng Adipati” kata Wenang Wulan, lalu dengan cepat Wenang Wulan segera memasang bentangan beberapa kain di tempat itu.
Malam itu mereka menghabiskan waktu bermalam di hutan Sima yang tidak begitu lebat, hanya nyala kecil dari sebuah lampu minyak yang bisa memberi sedikit cahaya di malam gelap di dalam hutan.
Malam itu, tak banyak yang bisa mereka lakukan, selain menunggu datangnya fajar.
“Beristirahatlah Ratu” kata Adipati Hadiwijya kepada Ratu Mas Cempaka.
“Ya Kanjeng Adipati” kata Sang Ratu yang masih belum dapat memejamkan matanya.
“Tidurlah, besok kita masih berkuda sehari penuh, dari pagi sampai sore hari” kata Adipati Pajang.
Sang Ratu tidak menjawab, tetapi iapun kemudian memejamkan matanya, berusaha untuk bisa tidur meskipun hanya sekejap.
Malam yang membosankan segera berakhir, meskipun mereka berada di dalam hutan, dan langitpun tertutup oleh pepohonan, tetapi masih ada celah yang dapat untuk melihat datangnya sang fajar.
Langit yang semakin terang, telah mengiringi langkah kaki kuda yang perlahan berjalan menerobos pepohonan, maju ke arah utara.
Tak lama kemudian hutan yang tipispun telah dapat mereka lewati, dan mulailah mereka mulai berpacu menyusuri sungai Tuntang menuju kotaraja Demak.
Untunglah, Adipati Hadiwijaya telah memperhitungkan adanya sebuah perjalanan ke Demak yang akan dilakukan oleh Ratu Mas Cempaka, sehingga Sang Ratupun selama tiga candra ini telah dilatih untuk dapat trampil mengendarai seekor kuda
“Ratu sekarang telah trampil mengendarai seekor kuda, betapa repotnya kalau setiap pergi ke kotaraja harus selalu naik sebuah tandu” kata Adipati Hadiwijaya dalam hati.
Setelah beristirahat beberapa kali, di saat matahari berada di atas kepala, merekapun beristirahat di pinggir jalan sambil makan bekal yang telah mereka bawa.
“Ratu kita baru akan masuk ke kotaraja setelah hari menjadi gelap” kata Adipati Hadiwijaya,
Ratu Mas Cempaka hanya menganggukkan kepalanya, iapun berusaha untuk makan makanan bekal, meskipun hanya sedikit.
“Makanlah, supaya badanmu tidak masuk angin” kata suaminya.
“Ya Kanjeng Adipati” kata Sang Ratu, dan iapun berusaha untuk menelan beberapa makanan yang mereka bawa.Tak lama kemudian setelah selesai beristirahat, mereka berlima telah memacu kudanya ke utara menuju kotaraja.
Matahari telah condong ke barat, ketika mereka telah melewati saerah Mrapen,
Adipati Hadiwijaya yang berkuda paling depan memperlambat laju kudanya, ketika jauh didepan mereka, seorang yang duduk diatas punggung kuda, telihat seperti menunggu sesuatu.
“Siapakah orang itu?” tanya Adipati Hadiwijaya seakan-akan kepada diri sendiri.
“Kakang Pemanahan dan kakang Penjawi” kata Adipati Hadiwijaya.
Pemanahan dan Penjawi segera menjalankan kudanya mendekat ke samping Adipati Pajang.
“Didepan, di tepi jalan, ada seseorang yang duduk dipungung kuda, kalian berdua temui dia, pastikan dia kawan atau lawan” kata Adipati Hadiwijaya.
“Baik Kanjeng Adipati” kata Pemanahan dan Penjawi, lalu mereka bedua memacu kudanya menemui orang yang berada di pinggir jalan, di depan mereka,
Adipati Hadiwijaya kemudian melanjutkan perjalanan, menyusul kuda yang ditunggangi Pemanahan dan Penjawi yang telah berada jauh didepan.
Pemanahan dan Penjawi segera memperlambat kudanya ketika mendekati orang yang duduk diatas punggung kudanya, yang telah berhenti dipinggir jalan.
Dengan hati-hati keduanya menjalankan kudanya semakin mendekat, mereka berdua mendekati orang itu dengan kesiagaan tertinggi.
Ketika kuda yang mereka tunggangi semakin dekat dengan orang itu, maka orang itupun telah turun dari punggung kudanya, dan saat itu Pamanahan dan Penjawi kelihatannya telah mengenal orang itu.
“Aku telah mengenal wajahnya, kelihatannya dia prajurit Pajang” kata Pemanahan.
“Ya, ia seorang prajurit sandi Pajang yang ditugaskan ke Panarukan” kata Penjawi.
Ketika keduanya sudah dekat, maka orang itu membungkukkan badannya menghormat kepada dua orang pimpinannya.
“Kau prajurit sandi Pajang?” tanya Pemanahan.
“Ya Ki Pemanahan, saya prajurit sandi Kadipaten Pajang” kata prajurit itu.
“Ya, ada apa kau berada disini?” tanya Pemanahan.
“Menunggu Kanjeng Adipati Hadiwijaya, melaporkan perkembangan keadaan di Panarukan” kata prajurit sandi itu.
“Baik, kita tunggu disini, sebentar lagi Kanjeng Adipati akan tiba disini” kata Pemanahan.
Pemanahan dan Penjawi kemudian turun dari kudanya, lalu mereka bertiga menunggu kedatangan Adipati Hadiwijaya.
Dari kejauhan Adipati Hadiwijaya melihat Pemanahan dan Penjawi sedang berbicara dengan orang yang berdiri di pinggir jalan, yang telah turun dari kudanya.
“Ternyata dia bukan dari pihak lawan” guman Adipati Hadiwijaya.
Jarak merekapun semakin dekat, dan tak lama kemudian, ketika jarak tinggal beberapa puluh langkah lagi, maka Adipati Hadiwijaya berkata kepada pengikutnya :”Wenang Wulan, kau disini dulu, kau jaga Kanjeng Ratu, aku akan menemui orang itu”
“Baik Kanjeng Adipati” kata Wenang Wulan.
Kuda Wenang Wulan kemudian berhenti bersama kuda Ratu Mas Cempaka, sedangkan kuda Adipati Hadiwijaya berjalan terus menuju ke tempat Pemanahan, Penjawi bersama orang yang berdiri di tepi jalan.
Ketika kuda Adipati Hadiwijaya sampai di dekat ketiga orang itu, maka Sang Adipatipun kemudian turun dari kudanya.
“Dia prajurit sandi Pajang yang ditugaskan ke Panarukan Kanjeng Adipati” kata Pemanahan.
“O ya, kau datang dari Panarukan?” tanya Adipati Hadiwijaya kepada prajurit sandi itu.
“Ya Kanjeng Adipati, kami tiga orang berangkat dari Panarukan, masih ada dua orang prajurit sandi yang masih berada di Panarukan, dan kami dapat mendahului perjalanan pasukan Demak sewaktu bermalam di Tuban” kata prajurit Wira Sandi Yudha.
“Ya, lalu berita apa yang kau bawa dari Panarukan?”
“Tentang penyebab kematian Kanjeng Sultan” kata prajurit sandi.
“Ya, apa yang menyebabkan Kanjeng Sultan terbunuh? Siapa yang membunuhnya?” tanya Adipati Pajang.
“Menurut beberapa orang Panarukan yang behasil kami hubungi, desas desus yang beredar di Panarukan ternyata Sultan Trenggana memang telah terbunuh oleh orang bang wetan” kata prajurit Wira Sandi Yudha itu.
“Ya, lalu bagaimana selanjutnya?” tanya Adipati Hadiwijaya.
“Kanjeng Adipati, menurut ceritera yang beredar di Panarukan, ketika Kanjeng Sultan Trenggana sedang mengadakan pertemuan bersama para Tumenggung dan para Bupati mengenai rencana serangan ke dalam benteng, saat itu yang menjadi pelayannya adalah seorang anak kecil yang tertarik pada jalannya pertemuan sehingga tidak mendengar perintah Kanjeng Sultan Trenggana kepadanya, kemudian Kanjeng Sultan marah dan memukulnya, lalu anak itu kemudian membalas dengan menusuk dada Kanjeng Sultan Trenggana memakai pisau, akibatnya Kanjeng Sultan itupun terbunuh di tendanya” demikian cerita prajurit sandi itu.
“Begitu mudahnya membunuh Sultan Trenggana? Siapa anak kecil itu?” tanya Kanjeng Adipati.
“Putra Kanjeng Bupati Surabaya” jawab prajurit itu.
“Berapa umurnya” tanya Adipati Hadiwijaya.
“Sepuluh warsa”
“Anak kecil yang masih berusia sepuluh warsa mampu membunuh seorang Sultan Demak?” tanya Adipati Hadiwijaya dengan nada tinggi.
“Ya Kanjeng Adipati, dada Kanjeng Sultan ditusuknya dengan pisau” kata prajurit sandi.
“Cerita yang ngayawara” kata Kanjeng Adipati.
“Ya, demikian kabar yang beredar di Panarukan, Kanjeng Adipati” kata prajurit sandi.
“Baik, kau boleh kembali pulang ke Pajang” kata Kanjeng Adipati.
“Terima kasih Kanjeng Adipati, saya mohon pamit kembali ke Pajang” kata prajurit Wira Sandi Yudha.
Setelah berpamitan dengan Pemanahan dan Penjawi, maka prajurit itupun kemudian naik ke punggung kuda, lalu kudanyapun dilarikan ke arah selatan, kembali ke Pajang.
Setelah prajurit itu tidak terlihat, maka Adipati Hadiwijaya berkata :”Kakang Pemanahan dan kakang Penjawi, apa pendapatmu tentang cerita penyebab kematian Kanjeng Sultan?’

(bersambung)

KERIS KYAI SETAN KOBER 53

KERIS KYAI SETAN KOBER 53
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 4
"Memang kelihatannya cerita yang dibawa oleh prajurit sandi tadi adalah sebuah cerita yang ngayawara Kanjeng Adipati, tidak mungkin anak kecil yang baru berumur sepuluh warsa diperbolehkan masuk ke tenda Kanjeng Sultan yang dijaga oleh para prajurit Wira Tamtama, prajurit yang menjaga keselamatan Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
"Apalagi saat itu sedang ada pertemuan penting dengan para Senapati Demak maupun para Tumenggung, untuk menggempur benteng kota Panarukan" kata Penjawi.

KERIS KYAI SETAN KOBER 54

KERIS KYAI SETAN KOBER 54
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 20 : SUNAN PRAWOTO SEDA 1
Keesokan harinya, di dalam kotaraja terutama di dalam Kraton Demak, terjadi kesibukan yang luar biasa, karena pada saat itu adalah hari pelantikan Sunan Prawata sebagai Sultan Demak yang ke empat.
Sasana Sewaka telah penuh oleh para undangan beserta para kerabat Kraton, para nayaka praja Kasultanan Demak, para Tumenggung, para Panji, dan Rangga, sedangkan para prajuritpun telah berjaga mengamankan lingkungan Kraton.

KERIS KYAI SETAN KOBER 55*

*masih menunggu

Biasa ga terbit, mungkin biar cepat selesai. Tapi bisa ditebak seri 55 isinya pembunuhan yang dilakukan oleh Rangkud. 


Disalin untuk melengkapi dari halaman 

https://sekarmanis22a.wordpress.com/2019/01/16/kksk55/

KERIS KYAI SETAN KOBER 55
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 20 : SUNAN PRAWATA SEDA 2

“Baik Kanjeng Adipati” jawab Rangkud dengan suara bergetar.
“Dulu Sunan Prawata membunuh ayahanda Sekar Seda Lepen menggunakan keris Kyai Setan Kober, kini ia juga akan mati oleh keris yang sama” kata Adipati Jipang.
Arya Penangsang kemudian mencabut keris Kyai Setan Kober yang terselip di lambung kirinya, lalu iapun memberikan keris pusaka itu kepada Rangkud, dan dengan kedua tangan yang gemetar Rangkudpun menerima keris pusaka sipat kandel Kadipaten Jipang, Kyai Setan Kober.
Jantung Rangkudpun masih terasa berdebar, kedua tangannya yang memegang keris pusaka masih gemetar, dan iapun terkejut ketika Arya Penangsang berkata :”Kalau kau takut menerima tugas membunuh Sunan Prawata, kau dapat mengembalikan keris itu kepadaku, Rangkud”
“Saya tidak takut Kanjeng Adipati, akan saya bunuh Sunan Prawata yang pengecut itu dengan keris pusaka ini” kata Rangkud dengan suara yang masih bergetar.
“Bagus, besok pagi berangkatlah ke pesanggrahan Prawata bersama dua orang prajurit sandi Jipang” kata Arya Penangsang,
“Sendika dawuh Kanjeng Adipati” kata Rangkud.
“Setelah dari sini kau bisa mencari dua orang prajurit sandi yang akan berangkat bersamamu besok pagi” kata Arya Penangsang.
“Ya Kanjeng Adipati” jawab Rangkud.
“Paman Matahun” kata Adipati Jipang.
Patih Matahun menggeser duduknya maju kedepan,
“Aku akan membersihkan diri dan akan beristirahat dulu” kata Arya. Penangsang.
“Silakan, Kanjeng Adipati” kata Patih Matahun.
Arya Penangsangpun kemudian bangkit berdiri, lalu berjalan menuju ke pakiwan, membersihkan dirinya setelah sehari penuh berkuda dari Kudus ke Jipang.
Malam itu juga Rangkud segera menghubungi dua orang prajurit sandi yang besok pagi akan diajaknya ikut berangkat ke pesanggrahan Prawata.
“Kita berangkat pagi hari pada saat matahari terbit, supaya kita bisa sampai di pesanggrahan Prawata tidak terlalu gelap” kata Rangkud kepada dua orang prajurit sandi.
“Baik Ki Rangkud” kata prajurit sandi itu.
Malam yang dingin, suasana sepi menyelimuti dalem Kadipaten Jipang, hanya suara cengkerik yang terdengar tanpa henti, kadang-kadang diselingi oleh suara kepak sayap kelelawar yang sedang mencari makan di pohon jambu.
Ketika dari jauh terdengar sayup-sayup suara kentongan, seorang prajurit Jipang yang bertugas di pendapa bangkit berdiri, kemudian iapun memukul kentongan yang terletak disudut pendapa dengan keras tetapi dengan irama yang lambat, semakin lama iramanya semakin cepat, kemudian melambat lagi, setelah itu suara kentonganpun berhenti.
“Dara muluk, sudah tengah malam” kata seorang nenek yang sedang berbaring sambil mendekap cucunya yang sedang tidur nyenyak disampingnya, yang rumahnya tidak jauh dari dalem Kadipaten. Ketika kegelapan malam sudah hampir berakhir, suara kokok ayam jantanpun telah terdengar bersahutan, diselingi kicau burung yang riang meyambut datangnya pagi.
Matahari baru berjarak sejengkal diatas cakrawala sebelah timur, ketika tiga ekor kuda berlari meninggalkan halaman Kadipaten Jipang menuju ke arah utara.
Penunggang kuda yang berlari paling depan, salah seorang kepercayaan Arya Penangsang yang menjadi pemimpin prajurit Jipang, Rangkud, sedang mengemban tugas yang berat dari Adipati Jipang, membunuh Sultan Demak di pesanggrahan Prawata,
Rangkudpun berbesar hati, semangatnya bertambah tinggi, Adipati Jipang telah memberi bekal yang cukup untuk melaksanakan tugas itu, iapun juga telah membawa sebuah pusaka sipat kandel Kadipaten Jipang, keris Kyai Setan Kober.
Dengan menggunakan tangan kanannya, Rangkud meraba lambungnya sebelah kiri, dan tangannyapun menyentuh warangka keris yang ngedab-edabi, keris yang telah diselipkan di lambung depan lalu ditutupi dengan ujung bajunya.
“Ternyata aku diperintahkan untuk membawa Keris Kyai Setan Kober, dan tugasku hanya menggores tubuh Sunan Prawata yang matanya buta itu dengan keris pusaka ini, cukup dengan sebuah goresan kecil” kata Rangkud dalam hati, dan ketika tangannya menyentuh warangka keris Kyai Setan Kober, hati Rangkudpun menjadi tenang,
“Tidak seorangpun yang masih bisa bertahan hidup apabila tubuhnya telah tergores keris Kyai Setan Kober, meskipun hanya seujung rambut” desis Rangkud.
Angin dingin yang menerpa wajahnya, tidak dihiraukannya, kudanyapun masih tetap berlari, meninggalkan debu-debu yang beterbangan di belakangnya.
Dua ekor kuda lainnya, dengan dua orang petugas sandi berada dipunggungnya, berurutan berpacu dibelakangnya.Tiga buah bungkusan tergantung disisi pelana kuda mereka, bungkusan yang berisi perbekalan dan keperluan mereka selama menjalankan tugas di pesanggrahan Prawata.
Beberapa sungai kecil telah dilewati, beberapa bulak yang panjang dengan mudah mereka lampaui, kini mereka memasuki sebuah hutan tipis, jauh di sebelah utara Jipang. Meskipun ketiga kuda itu tidak bisa lari kencang didalam hutan yang tidak begitu lebat, tetapi jalan yang sudah terbuka memudahkan ketiga kuda itu untuk terus berjalan menuju arah utara.
Ketika matahari hampir berada dipuncak langit, mereka bertiga telah jauh meninggalkan hutan disebelah utara Jipang dan merekapun kini telah menempuh lebih dari setengah perjalanan.
“Gendon, kita beristirahat di depan, di bawah pohon Waru itu” kata Rangkud kepada salah seorang prajurit sandi.
“Ya Ki” kata salah seorang dari mereka yang berbadan agak gemuk yang dipanggil Gendon.
“Ki Rangkud, kuda-kuda kita perlu minum” kata prajurit sandi yang seorang lagi, yang bertubuh agak kurus.
“Ya didekat pohon Waru itu ada sungai kecil yang melintang dijalan, nanti kuda-kuda kita bisa diberi minum disana, Ranu” kata Rangkud.
“Ya Ki” jawab Ranu sambil terus menjalankan kudanya menuju sebatang pohon Waru yang berdaun rindang.
Ketiga orang Jipang itu telah sampai dibawah pohon Waru, lalu merekapun berhenti dan beristirahat duduk dibawah pohon Waru yang tumbuh dipinggir jalan, dan ketika bungkusan yang berisi bekal makanan telah dibuka, maka Ranu segera mengambil nasi dan sayur kacang panjang, diletakkannya diatas daun pisang, lalu iapun segera memakannya dengan lahap.
“Makanmu banyak sekali Ranu, kenapa badanmu tak dapat gemuk?” tanya Gendon yang mengambil daun pisang lalu iapun membuat sebuah pincuk.
Ranu tidak menjawab, ia tidak menghiraukan pertanyaan Gendon, mulutnya masih penuh berisi nasi.
“Kalau Ki Rangkud nanti malam tidak bisa masuk ke kamar Sunan Prawata, saya bisa membuatkan jalan masuknya, nanti saya yang akan nggangsir rumah itu Ki” kata Gendon sambil tangannya mengambil nasi lagi.
“Kau bisa membuat lubang gangsiran Gendon?” tanya Rangkud.
“Bisa Ki” jawab Gendon malu-malu.
“Nggangsir, itu memang pekerjaan Gendon, Ki” kata Ranu sambil tertawa.
“Itu waktu dulu Ki Rangkud, dulu sebelum saya menjadi prajurit, tetapi sekarang, pekerjaan lama itu sudah saya tinggalkan” kata Gendon.
“Di daerah mana saja dulu kau pernah mencuri Gendon” tanya Rangkud
“Jauh Ki, sepanjang pantai utara, mulai dari Demak sampai Tuban” kata Gendon.
“Gendon, kau bisa membuka pintu yang diselarak kayu dari dalam?” tanya Rangkud.
‘Kadang-kadang saya bisa Ki, tetapi kadang-kadang juga gagal” kata Gendon.
“Kau nanti ikut aku masuk ke ruang dalam, tugasmu adalah membuka pintu kamar Sunan Prawata” kata Rangkut.
“Baik Ki” kata Gendon.
Mereka bertiga masih melanjutkan makan, menghabiskan bekal yang mereka bawa, setelah itu merekapun memberi minum tiga ekor kuda yang kehausan. Tak lama kemudian, setelah mereka beristirahat sejenak, ke tiga kuda itu kembali berpacu menuju ke arah utara, ke hutan Prawata.
Matahari memancarkan panasnya sambil perlahan-lahan bergeser ke barat, dan ketika matahari sudah mendekati cakrawala, merekapun hampir sampai di pinggir hutan Prawata.
“Kita terus masuk sedikit ke hutan Prawata” kata Rangkud, dan ketika senja menjelang, merekapun telah sampai di hutan Prawata.
“Kita cari tempat yang agak terlindung untuk menyimpan kuda-kuda kita” kata Rangkud.
Merekapun kemudian agak masuk sedikit kedalam hutan Prawata untuk menyembunyikan ke tiga kuda mereka.
Setelah mendapatkan sebuah tempat yang terlindung dibalik pohon dan gerumbul, maka merekapun lalu mengikat tali kendali kuda pada sebatang cabang pohon. Setelah itu mereka bertiga kemudian mengganti pakaian yang mereka kenakan dengan pakaian yang berwarna hitam.
Setelah memakai pakaian yang berwarna hitam, Gendon lalu membuka bungkusan miliknya dan mengambil beberapa buah besi berbentuk pipih yang ujungnya seperti pengait, serta mengambil beberapa peralatan yang lain.
“Kau bawa apa itu?” tanya Ki Rangkud.
Gendon tersenyum, iapun memasukkan beberapa peralatannya di dalam ikat pingangnya yang lebar.
“Peralatan untuk membuka pintu kamar Sunan Prawata sudah saya persiapkan Ki” kata Gendon
Rangkut tidak berkata apapun, ia kemudian berjalan menuju pesanggrahan Prawata yang sudah tidak begitu jauh lagi, diikuti oleh kedua orang prajurit sandi Jipang.
‘Kita berhenti disini, kita tunggu sampai hari menjadi gelap” kata Rangkud.
Kemudian mereka bertiga duduk ditempat yang agak terlindung, menunggu gelap malam yang sebentar lagi akan menyelimuti pesanggrahan Prawata, saat itu langit terlihat gelap, bulanpun sama sekali tidak terlihat ketika tiga sosok tubuh berpakaian serba hitam mengendap-endap menuju pesanggrahan Prawata, mereka segera mencari tempat yang terlindung, dan ketika dilihatnya sebuah tempat yang gelap, maka mereka kemudian berhenti disamping gerumbul pohon didekat pagar pesanggrahan.
“Hati-hati, ada beberapa prajurit Wira Tamtama disana” bisik Rangkud kepada kedua orang prajurit sandi Jipang, sambil jari telunjuknya menujuk ke arah pendapa. Kedua temannya menganggukkan kepalanya, merekapun melihat ada beberapa prajurit Wira Tamtama yang berada di pendapa.
“Kita tunggu disini sampai nanti wayah sepi wong” kata Rangkud.
“Ya Ki” sahut Gendon, dan beberapa saat kemudian iapun menggeremang :”Disini nyamuknya banyak”
Prajurit sandi Jipang yang seorang lagi, Ranu, melihat ke arah Gendon yang menggeremang, tetapi ia tidak berkata apapun juga. Rangkud kemudian mengambil sebuah batu sebesar telur ayam yang terletak di dekat kakinya, kemudian batu itupun diberikan kepada Ranu.
“Bawalah Ranu, nanti batu ini ada gunanya” kata Rangkud.
Tanpa berkata apapun, Ranu menerima batu itu, tetapi kembali pandangannya tertuju ke arah para prajurit Wira Tamtama yang berada di pendapa. Rangkud menajamkan pandangan matanya, di pendapa dilihatnya empat orang prajurit Wira Tamtama yang sedang berjaga. Gendon dan Ranu juga melihat kearah pendapa, perhatiannya tertuju kepada para prajurit Wira Tamtama yang menjaga pesanggrahan Prawata.
“Yang berjaga ada empat orang prajurit Ki” kata Gendon.
“Terlalu sedikit, hanya ada empat orang prajurit Wira Tamtama yang berjaga disini, pasti di halaman belakang masih ada beberapa orang prajurit Wira Tamtama lainnya” bisik Rangkud kepada kedua temannya. Gendon dan Ranu hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, beberapa saat mereka hanya berdiam diri.
“Sebentar lagi” kata Ranu.
“Ya, kita harus sabar, kita tunggu nanti sampai prajurit Wira Tamtama itu nganglang” kata Rangkud, dan kedua orang temannyapun terdiam.
Rangkud masih memandang tajam ke arah pendapa, empat orang prajurit Wira Tamtama masih duduk di pendapa, dan ketika tangan Rangkud menyentuh hulu keris pusaka kyai Setan Kober yang terselip di lambungnya, maka keberaniannya menjadi bertambah berlipat ganda.
“Bukan salahku kalau empat orang prajurit Wira Tamtama itu harus mati terkena keris Kyai Setan Kober” kata Rangkud dalam hati.
“Aku harus mampu menggores tubuh Sunan Prawata dengan keris kyai Setan Kober” kata Rangkud dalam hati, lalu iapun berkata perlahan-lahan :”Gendon, kita nanti akan masuk dan membuka pintu kamar yang paling besar, itu adalah kamar Sunan Prawata”.
“Ya Ki” jawab Gendon.
“Itu tugasmu, membuka pintu” bisik Rangkud.
“Ya Ki” jawab Gendon perlahan.
Beberapa saat kemudian, Rangkudpun melihat ke arah sekelilingnya yang gelap, hanya di pendapa terlihat seberkas nyala api minyak yang kecil, tidak cukup untuk menerangi halaman disekitarnya.
“Sekarang sudah masuk wayah sepi wong, kita bersiap untuk masuk, kita tunggu sampai prajurit Wira Tamtama berangkat nganglang” kata Rangkud.
“Ranu, kalau aku sudah berada di samping pendapa, kau lempar batu itu ke arah gerbang” kata Rangkud.
“Baik Ki” jawab Ranu.
“Kau tahu maksudku menyuruh kau melempar batu ke arah regol, Ranu?” tanya Rangkud.
“Ya Ki, saya tahu” kata Ranu.
Sementara itu didalam salah satu kamar di pesanggrahan Prawata, Sultan Demak bersama Kanjeng Prameswari yang dulu disebut sebagai Ratu Prawata masih belum tidur, mereka masih berkumpul dengan anaknya yang laki-laki, Pangeran Pangiri yang telah berusia hampir lima warsa.
Mereka bertiga bermain-main diatas dipan berukir, sedangkan tidak jauh dari tempat Sunan Prawata, tersimpan keris pusakanya Kyai Bethok yang disimpan di blawong yang menempel di dinding.
Sunan Prawata dan Kanjeng Prameswari, beserta Pangeran Pangiri yang belum merasa mengantuk, masih bergurau, mereka tidak menyadari kalau diluar pagar pesanggrahan, tiga orang Jipang sedang berusaha untuk dapat masuk ke dalam kamar di pesanggrahan Prawata.
Saat itu diluar pagar, Rangkud masih sabar masih menunggu datangnya kesempatan untuk bisa masuk kedalam ruang dalam pesanggrahan.
Rangkud kemudian mengambil dua lembar kain berwarna hitam yang berukuran empat jengkal, lalu bersama Gendon, kain itu dipakai untuk menutupi wajah mereka.
Ketika Rangkud melihat dua orang prajurit Wira Tamtama yang di pendapa telah berdiri, maka iapun kemudian bersiap untuk masuk ke dalam pesanggrahan..
“Gendon, kita bersiap masuk ke halaman, kita harus bisa melompati pagar ini” kata Rangkud.
“Ya Ki” kata Gendon sambil menganggukan kepalanya.
“Ranu, kalau aku sudah berada di dekat pintu, kau lempar batu itu ke arah pintu gerbang” perintah Rangkud.
“Baik Ki” kata Ranu sambil menimang-nimang batu pemberian Rangkud.
Dua orang prajurit Wira Tamtama telah berjalan, mereka berdua berjalan, nganglang mengitari halaman pesanggrahan. Dua orang prajurit Demak yang nganglang itu telah lewat didepan Rangkud dan mereka berdua terus berjalan menuju halaman belakang,
Rangkud bergerak cepat, iapun segera melompati pagar bersama Gendon, dan sesaat kemudian mereka berdua telah berdiri di kegelapan dekat dengan pendapa. Pakaian keduanya yang berwarna hitam sangat membantu gerak gerik mereka sehingga tidak terlihat didalam gelapnya malam.
Dua orang prajurit Wira Tamtama yang masih berjaga di pendapa, terkejut ketika di dekat regol terdengar suara kemerosak di arah gerumbul, dan dengan sigap, kedua orang prajurit itu urun dari pendapa, perhatiannya tertuju kearah regol, dan waktu yang sekejap itu telah di gunakan oleh Rangkud dengan sebaik-baiknya. Selagi perhatian dua orang prajurit tertuju ke arah regol, dengan cepat kedua orang Jipang itu masuk ke ruang dalam.
Dua orang prajurit Wira Tamtama yang menghadap ke arah regol telah bersiaga, keduanya telah mencabut pedang pendeknya.
“Kau pergilah kesana, lihat apa yang telah terjadi di dekat regol, biar aku yang jaga disini” kata salah seorang prajurit Wira Tamtama sambil menunjuk ke arah regol.
“Baik, Ki Lurah” kata prajurit yang berada di halaman.
Prajurit itupun kemudian berjalan dan memeriksa di sekitar pintu regol, mencari kesana kemari, pedang pendeknya telah digengam erat, ia bersiaga penuh menghadapi penyerang yang berada di kegelapan.
Sementara itu dua orang prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas di ruang dalam, yang sedang duduk disamping pintu kamar Sunan Prawata, terkejut ketika melihat dua orang yang berpakaian serba hitam serta memakai tutup wajah dari secarik kain yang berwarna hitam, tiba-tiba saja telah berada dihadapannya.
Dengan cepat kedua prajurit itu melompat berdiri, tangannyapun bergerak akan mencabut pedang pendeknya, tetapi baru saja tangan kedua prajurit itu menyentuh hulu pedangnya, sebuah pukulan yang keras telah menghantam ulu hati prajurit yang seorang, sedangkan yang seorang lagi terkena hantaman dadanya, sehingga pandangan kedua prajurit itu menjadi gelap.
Kedua tubuh prajurit itupun terjungkal jatuh ke lantai, pingsan, dan dengan cepat Rangkud dan Gendon menuju pintu kamar yang terbesar, kamar Sunan Prawata.
“Cepat Gendon, buka pintunya, sebelum para prajurit Wira Tamtama yang lain datang kemari” kata Rangkud, dan saat itu, didalam kamar, Sunan Prawata yang matanya hampir buta, masih bermain dengan anaknya, tetapi pendengaran Sunan Prawata adalah pendengaran yang baik, bahkan sangat baik.
Telinganya telah menangkap suara benda berat yang jatuh tepat didepan pintu kamarnya, lalu disusul beberapa kali terdengar suara suara aneh dari arah pintu kamarnya. Pintu yang tertutup dan telah dipasang palang pintu dari dalam seperti sedang bergesekan dengan sebuah benda keras.
Dengan cepat diraihnya keris pusakanya, Kyai Bethok yang terselip di blawong, yang menempel didinding dekat dipan berukirnya.
“Sssstt” desis Sunan Prawata, sambil menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Kanjeng Prameswari dan Pangeran Pangiri terdiam, mereka berdua gemetar ketakutan mendengar suara suara perlahan yang berasal dari arah pintu kamarnya.
“Pangiri” bisik Sunan Prawata kepada anaknya, Pangeran Pangiri.
Pangeran Pangiri memandang ke arah ayahandanya dengan pandangan ketakutan.
“Pangiri, kau sembunyi dulu dibawah dipan, cepat” kata Sunan Prawata.
Dengan cepat Prameswari menurunkan Pangeran Pangiri supaya bersembunyi di kolong tempat tidur.
Pangeran Pangiri, satu-satunya anak laki-laki Sultan Demak yang belum berusia lima warsa, merangkak masuk ke kolong dipan, lalu anak kecil yang ketakutan itu berdiam diri disana.
Didepan pintu, Gendon berusaha membuka pintu yang sudah dipasang sebatang kayu sebagai palang pintu, lalu ia mengeluarkan dua buah peralatan, yang sebuah diberikannya kepada Rangkud.
Dari sela-sela kedua daun pintu yang sempit, Gendon memasukkan besi pipih berkait, setelah kait itu menancap pada palang pintu, maka dengan sekuat tenaga kayu itu di angkat keatas.
Palang pintu itu bisa terangkat keatas, lalu dengan besi pipih satunya lagi, Rangkud mendorong palang pintu itu kedalam, sehingga palang pintu itupun lepas dari tempatnya, dan tanpa disengaja palang pintu itu terlepas dari kaitannya, lalu jatuh ke bawah dengan mengeluarkan suara cukup keras, akibatnya kedua daun pintupun telah terbuka
Rangkud terkejut, iapun cepat mencabut keris Kyai Setan Kober, lalu iapun berkata :”Gendon, cepat kau lari keluar lewat halaman belakang sebelum para prajurit Wira Tamtama datang kemari, nanti kita bertemu di hutan, di tempat kuda-kuda kita”
Dengan cepat Gendon berlari menuju halaman belakang, sedangkan Rangkud segera masuk kedalam kamar sambil membawa keris terhunus. Dihalaman belakang, hati Gendon berdebar keras, dilihatnya empat orang prajurit Wira Tamtama berada di halaman belakang ditambah dua orang prajurit yang sedang nganglang.
“Enam orang” kata Gendon dalam hati.
Dengan cepat Gendon menyelinap kesamping, dan sebelum para prajurit sadar apa yang terjadi, Gendon telah lari sekencang-kencangnya menerobos beberapa orang prajurit Wira Tamtama yang sedang berdiri di halaman belakang.
Para prajurit itu terkejut, mereka kehilangan waktu sekejap, dan ketika mereka sadar, orang yang berhasil menerobos mereka telah melompat dan sekarang telah berada didekat pagar.
Gendon melihat beberapa orang prajurit berlari mengejarnya, tetapi Gendon yang dulu adalah seorang pencuri ulung, telah terbiasa dikejar orang, bahkan ia pernah dikejar seluruh penduduk satu desa tanpa pernah tertangkap.
Para prajurit yang mengejar, hanya melihat orang yang berpakaian serba hitam itu melompat pagar dan hilang di kegelapan malam.
Seorang prajurit yang mengejar juga telah menyusul melompat pagar, tetapi sesampai diluar, ia tidak melihat apapun juga, hanya suasana gelap yang terlihat menyelimuti daerah disekitar pesanggrahan Prawata.
“Siapa orang itu? Pencuri? ” kata prajurit itu, kemudian iapun berjalan memutar pintu belakang, kembali menemui prajurit lainnya yang berada di halaman belakang.
Dihalaman, para prajurit mendengar pemimpinnya berkata :”Pukul kentongan, periksa semua kamar di ruang dalam, cepat!!” kata salah seorang prajurit.
Empat orang prajurit segera naik ke dalem pesanggrahan, seorang menuju ke kentongan yang tergantung disudut belakang, sedangkan tiga orang lainnya berlari masuk keruang dalam.
Sementara itu, setelah berhasil masuk ke dalam kamar, Rangkud melihat Kanjeng Prameswari yang ketakutan sedang memeluk Sunan Prawata dari belakang. Prameswari menjerit tertahan, ketika melihat seorang berpakaian serba hitam dan menutup wajahnya dengan secarik kain hitam, menuju kearahnya dengan membawa sebilah keris terhunus.
“Siapa kau?” tanya Sunan Prawata, matanya yang hampir buta melihat sebuah bayangan hitam yang berjalan mendekatinya.
“Sunan Prawata, kau masih punya hutang nyawa kepada seseorang, hari ini aku akan menagih kepadamu” kata Rangkud yang siap menggoreskan keris Kyai Setan Kober ke tubuh Sunan Prawata.
Sunan Prawata terkejut, seumur hidup ia hanya pernah membunuh seorang saja, yaitu Pangeran Sekar Seda Lepen, dan sekarang ada seseorang yang akan menuntut balas atas kematian orang yang telah dibunuhnya.
“Kau Penangsang? Bukan, kau bukan Penangsang, suaramu bukan suara Penangsang” kata Sunan Prawata.
“Sunan Prawata, Kau tidak perlu tahu siapa aku, bersiaplah aku akan membunuhmu” kata Rangkud sambil perlahan-lahan maju mendekati Sunan Prawata, ujung bilah keris Kyai Setan Kober telah bergetar siap membunuh lawan.
“Baiklah, aku memang bersalah, silakan kau bunuh aku, tetapi aku mohon hanya aku saja yang kau bunuh, kau jangan bunuh keluargaku yang lain” kata Sunan Prawata yang tangannya masih memegang keris Kyai Bethok yang belum dicabut dari wrangkanya.
Rangkud melangkah setapak maju, mendekati Sunan Prawata yang sedang dipeluk oleh Kanjeng Prameswari dari belakang, tetapi Rangkud terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar suara kentongan tanda bahaya di pesanggrahan yang dipukul dengan irama cepat tanpa henti. Titir.
Mendengar suara titir yang keras, sesaat Rangkud menjadi gugup, ia harus bergerak cepat, kalau terlambat, maka ia bisa tertangkap oleh para prajurit Wira Tamtama Demak yang akan segera berdatangan ke ruang dalam.
Dengan sekali lompat, Rangkud telah berada didepan Sunan Prawata, tangannya yang memegang keris Kyai Setan Kober, dengan sekuat tenaga ditusukkan ke perut Sunan Prawata hingga tembus ke belakang, sedangkan saat itu dibelakang Sunan Prawata terdapat Kanjeng Prameswari yang sedang memeluk suaminya.
Ternyata keris itu masih menggores tubuh Kanjeng Prameswari, tetapi goresan itu adalah goresan dari keris Kyai Setan Kober.
Kanjeng Prameswaripun menjerit, dan itu membuat Sunan Prawata menjadi marah karena istrinya juga terkena senjata milik orang yang masuk ke kamarnya.
Semuanya terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Rangkud yang khawatir dengan adanya suara titir, dan telah menusuk tubuh Sunan Prawata segera melompat mundur, kemudian iapun berlari menuju ke arah pintu.
Sunan Prawata yang marah karena Kanjeng Prameswari juga terkena keris orang itu, dengan cepat mencabut keris Kyai Bethok, lalu dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, keris itu kemudian dilemparkan ke arah bayangan hitam yang hampir mencapai pintu.
Tanpa disangka oleh Rangkud, dari arah belakang, keris Kyai Bethok yang dilempar dengan tenaga terakhir Sunan Prawata, meluncur berputar-putar menuju ke tubuhnya.
Rangkud yang sedang berlari akan keluar dari pintu, telah berhenti ketika ia melihat diluar kamar ada beberapa orang prajurit Wira Tamtama berlari menuju kamar Sunan Prawata, maka Rangkudpun telah bertekad akan membunuh semua prajurit yang menghalanginya.
Rangkud yang bersiap akan melompat, menerjang para prajurit Wira Tamtama dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober, terkejut ketika kakinya terasa seperti digigit ular Weling, akibatnya sesaat kemudian salah satu kakinya telah lumpuh, masih dilihatnya beberapa orang prajurit Wira Tamtama masuk ke kamar, setelah itu Rangkudpun merasa kehilangan semua tenaganya, sehingga tubuhnyapun terjatuh kelantai.
Keris Kyai Setan Kober yang berlumuran darah masih erat dalam genggamannya, dilihatnya beberapa buah kaki para prajurit Wira Tamtama telah berada didekatnya, tetapi pandangan matanya semakin lama semakin kabur, dan sesaat kemudian, semuanya telah berubah menjadi gelap.
Empat orang prajurit Wira Tamtama yang masuk kedalam kamar, terkejut ketika melihat diatas dipan, Sunan Prawata dan Kanjeng Prameswari tergeletak berlumuran darah, dan didekat pintu, seorang yang berpakaian serba hitam memakai tutup wajah secarik kain berwarna hitam tergeletak dilantai dengan tangan masih erat memegang sebuah keris yang berumuran darah, sedangkan dikakinya telah tertancap sebilah keris.
Keempat prajurit itu segera mendekati Sunan Prawata yang berlumuran darah beserta Permaisuri yang tergeletak di atas dipan. Salah seorang prajurit Wira Tamtama yang memakai kain cinde berwarna merah, memeriksa beberapa bagian tubuh Sunan Prawata yang masih meneteskan darah, sedangkan dibelakangnya tergeletak tubuh Kanjeng Prameswari.
“Bagaimana Ki Lurah Wirya?” tanya salah seorang pajurit.
“Kanjeng Sunan Prawata dan Kanjeng Prameswari telah meninggal dunia, coba kau periksa orang yang memakai pakaian hitam yang tergeletak di dekat pintu” kata Lurah Wirya.
Salah seorang prajurit Wira Tamtama kemudian memegang dada orang yang tergeletak didekat pintu, yang tangannya masih memegang keris terhunus yang berlumuran darah.
“Ki Lurah Wirya, orang ini sudah mati” kata prajurit yang memeriksa tubuh orang yang tergeletak didekat pintu memakai tutup wajah dari kain berwarna hitam, yang di kakinya telah tertancap sebuah keris.
“Jangan dirubah letaknya, kita tunggu sampai Ki Rangga Pideksa datang” kata Lurah Wirya.
“Baik Ki Lurah” kata prajurit itu.
“Dimana Pangeran Pangiri ?” kata Lurah Wirya.
“Cari Pageran Pangiri sampai ketemu” kata Ki Lurah.
Para prajurit kemudian mencari Pangeran Pangiri, dan ketika seorang prajurit menengok kekolong dipan, dilihatnya Pangeran Pangiri tertelungkup ketakutan.
“Pangeran Pangiri, ini paman, mari kesini Pangeran, nanti kita bermain-main lagi” kata prajurit itu yang telah terbiasa bermain dengan Pangeran Pangiri.
Pangeran Pangiripun merangkak keluar dari kolong dipan, kemudian prajurit itupun menggendong Pangeran Pangiri keluar dari kamar Sunan Prawata. Suara titir sudah lama berhenti, belasan prajurit Wira Tamtama telah datang di ruang dalam, tetapi para prajurit itu juga tidak diperkenankan masuk.
“Sepuluh orang dari kalian, cari orang yang berhasil lolos dari kejaran para prajurit, pakai beberapa obor, cepat!” kata Lurah Wirya.
Beberapa prajurit berlari keluar, mereka menyalakan beberapa obor yang telah tersedia di sudut pendapa, kemudian para prajurit itu berjalan mengitari daerah diluar pesanggrahan, diperiksanya beberapa gerumbul perdu, tetapi tidak menemukan apapun juga, bahkan jejaknyapun sudah tidak kelihatan.
“Orang itu sudah meninggalkan daerah pesanggrahan” kata seorang prajurit Wira Tamtana yang ikut mencari.
Lurah Wirya yang masih berada didalam kamar bersama dua orang prajurit, bergegas ke arah pintu, ketika dilihatnya Rangga Pideksa telah tiba di ruang dalam.
Mereka berdua kemudian masuk kedalam kamar, lalu kedua prajurit yang masih berada didalam kamar itupun telah diperintahkan untuk keluar kamar, sehingga yang berada didalam kamar tinggal Lurah Wirya dan Rangga Pideksa.
Setelah pintu ditutup, maka Lurah Wirya berkata kepada Rangga Pideksa :”Kanjeng Sunan dan Kanjeng Prameswari telah meninggal dunia, orang yang membunuhnyapun juga telah mati”
“Ya, coba kau buka kain hitam penutup wajahnya” kata Rangga Pideksa.
Ki Lurah kemudian membuka kain penutup wajah orang itu, dan keduanya terkejut ketika mengetahui wajah orang yang di tangannya masih tergenggam sebuah keris yang berlumuran darah.
“Orang Jipang” kata Rangga Pideksa.
“Ya Ki Rangga, dia orang Jipang, namanya Ki Rangkud, saya pernah melihatnya beberapa kali di kotaraja Demak, sewaktu ia sedang berjalan bersama Adipati Jipang, Arya Penangsang” kata Lurah Wirya.
“Rangkud, orang kepercayaan Arya Penangsang, kalau begitu……” kata Rangga Pideksa terhenti, iapun tidak melanjutkan kalimatnya,
Lurah Wirya hanya berdiam diri, ia menunggu kalimat selanjutnya dari Ki Rangga Pideksa.

(bersambung)