04 January 2019

SETAN KOBER 67

SETAN KOBER 67
Karya: Apung Swarna
Tangan Singaprana gemetar ketika menerima keris Kyai Setan Kober dari Arya Penangsang, dan setelah keris itu diterimanya, maka iapun berkata :"Baik Kanjeng Adipati, kami terima tugas ini, hari ini juga kami berempat akan berangkat ke Pajang"
Singaprana lalu menyelipkan keris Kyai Setan Kober di tubuh bagian depan, lalu keris itupun ditutupinya dengan bajunya.
"Kalau kau berhasil Singaprana, maka kau dan ketiga saudaramu akan mendapat hadiah, dan bisa mukti wibawa di Jipang ini" janji Penangsang.
"Terima kasih Kanjeng Adipati.

"Baik, berangkatlah, hati-hati, Sultan Hadiwijaya adalah orang yang berilmu tinggi, ingat, gabungkan kekuatan ilmu sirep kalian" kata Arya Penangsang.

"Nderpati !!" kata Arya Penangsang :"Sediakan kuda dan bekal yang cukup buat pajineman Jipang ini"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Anderpati.
"Kami mohon pamit Kanjeng Adipati" kata Singaprana dan ketiga saudaranya.
"Ya"
Sesaat kemudian Anderpati mengantar Singaprana, Wanengpati, Jagasatru dan Kertijaya ke halaman belakang, disana mereka berempat memilih kuda yang akan mereka pergunakan untuk pergi ke Pajang.
"Kita pulang kerumah dulu, nanti dari rumah kita berangkat ke Pajang" kata Singaprana kepada ketiga saudaranya.
"Ya" jawab Wanengpati.
Tak lama kemudian empat ekor kuda telah keluar dari halaman dalem Kadipaten Jipang, menuju ke rumah Singaprana dan ketiga saudaranya.
Ketika mereka berempat sampai di rumahnya, terlihat seorang tua yang memegang tongkat sedang duduk di pendapa rumahnya.
"Kau akan pergi kemana Singaprana ?" tanya orang tua itu ketika Singaprana dan ketiga saudaranya telah turun dari kudanya.
"Kami semua akan pergi ke Pajang ayah" kata Singaprana kepada orang tua itu yang ternyata adalah ayahnya.
"Kau akan pergi ke Pajang ? Jangan pergi sekarang, pergilah besok pagi, hari ini adalah hari tali wangke, naga dina ada disebelah barat, kalau kau pergi ke barat, kau bisa dimakannya, pekerjaanmu bisa gagal semuanya, dan kau tak akan berhasil Singaprana" kata ayahnya.
"Tetapi ayah, aku sebetulnya lebih takut kepada Kanjeng Adipati" kata Singaprana.
"Kau jangan pergi ke barat, pergilah ke utara, ke timur atau ke selatan" kata ayahya.
"Ayah, aku tidak ada kepentingan apapun ke Juwana, atau ke gunung Lawu, atau ke Wengker atau ke daerah bang wetan lainnya, aku diutus Kanjeng Adipati pergi ke arah barat, ke Pajang" kata Singaprana.
"Kau tidak apa-apa pergi ke barat tetapi berangkatlah besok pagi, jangan hari ini" kata ayahnya.
"Tidak ayah, aku tetap berangkat ke Pajang sekarang" kata Singaprana, lalu iapun meninggalkan ayahnya, masuk kedalam rumahnya bersama ketiga saudaranya.
Matahari semakin tinggi, dan ketika matahari hampir mendekati puncak langit, empat ekor kuda keluar dari rumah Singaprana, berlari menuju arah barat, menuju Pajang.
"Mudah-mudahan gabungan empat kekuatan sirep Megananda bisa membuat tidur semua orang di Kraton Pajang" kata Singaprana dalam hati, dan ketika tangannya tersentuh ukiran keris Kyai Setan Kober, maka hatinyapun semakin tatag.
"Aku tidak menyangka, kalau Kanjeng Adipati memberi kepercayaan kepadaku untuk membawa keris yang ngedab-edabi, Kyai Setan Kober" kata Singaprana dalam hati.
Empat ekor kuda masih berlari, pada pelana kuda masing-masing telah terikat sebuah bungkusan berisi beka mereka, dan lari kuda-kuda itu semakin kencang dan hanya meninggalkan debu tipis yang mengepul diudara.
Sementara itu di Kraton Pajang, di ruang dalam, Sultan Hadiwijaya sedang membicarakan beberapa hal dengan para nayaka praja Pajang.
"Patih Mancanagara, kakang Pemanahan, kakang Penjawi dan nayaka praja lainnya, untuk mendukung berlangsungnya Kasultanan Pajang, maka prajurit kita jumlahnya harus ditambah, dan nantinya harus ditambah menjadi beberapa kesatuan, Wira Tamtama, Wira Braja, Wira Manggala, dan lain-lainnya" kata Sultan Hadiwijaya.
"Nanti, perlahan-lahan akan kita umumkan penerimaan prajurit ke beberapa daerah di Banyubiru, Asem Arang, Bagelen sampai Lasem, kecuali Jipang" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
"Wara-wara untuk daerah Jipang sementara kita tunda dulu, kita akan melihat situasi Jipang beberapa candra kedepan" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
Merekapun masih berbincang tentang beberapa hal, hingga mereka melihat ada seorang prajurit yang duduk menunggu didepan pintu.
"Masuklah prajurit" kata Sultan Hadiwijaya.
Prajurit itupun bergeser maju, lalu menyembah kepada Kanjeng Sultan.
"Ada apa prajurit" kata Sultan Hadiwijaya.
"Ada seorang pengawal utusan dari bukit Danaraja ingin menghadap, Kanjeng Sultan" kata prajurit itu.
"Ya, suruh dia masuk" kata Sultan Hadiwijaya.
Pengawal itu menyembah, lalu ia keluar dari ruang dalam, lalu sesaat kemudian, masuklah seorang pengawal dari pesanggrahan Danaraja.
Setelah pengawal itu menyembah, maka Sultan Hadiwijayapun bertanya :"Kau dari pesanggrahan Danaraja, pengawal ?"
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab pengawal itu.
"Ada keperluan apakah kau datang ke Pajang ?" tanya Kanjeng Sultan.
"Hamba diutus Kanjeng Ratu Kalinyamat untuk menyampaikan surat ini, Kanjeng Adipati" kata pengawal itu sambil menyerahkan sebuah bambu kecil berisi daun lontar.
Sultan Hadiwijaya menerima potongan bambu pendek yang berisi surat dari Kanjeng Ratu Kalinyamat, lalu setelah surat itu dibaca, maka Kanjeng Sultanpun berkata kepada pengawal itu :"Baik pengawal, suratnya sudah aku baca, kau bilang kepada Kanjeng Ratu Kalinyamat, aku akan ke pergi ke pesanggrahan Danaraja kira-kira empat atau lima pasar lagi"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata pengawal itu.
"Wenang Wulan, kau antar pengawal ini untuk beristirahat" kata Kanjeng Sultan.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Wenang Wulan, kemudian setelah keduanya menyembah, Wenang Wulan bersama pengawal itu keluar dari ruang dalam.
Setelah keduanya keluar, maka Sultan Hadiwijaya berkata kepada semua yang hadir :"Kanjeng Ratu Kalinyamat menghendaki aku datang ke bukit Danaraja untuk menjelaskan tentang berdirinya Kasultanan Pajang dan nanti kita akan berangkat kesana empat atau lima pasar lagi"
"Besok saja akan kita tentukan siapa yang ikut berangkat ke pesanggrahan Danaraja, dan siapa nanti yang akan di tinggal disini" kata Sultan Hadiwijaya,
Setelah semuanya selesai, Sultan Hadiwijaya membubarkan pertemuan itu lalu Kanjeng Sultanpun kembali masuk ke kamarnya.
Matahari terus bergerak ke barat, sebentar lagi akan tenggelam di cakrawala, saat itu empat ekor kuda yang berlari menuju Pajang yang dikendarai oleh Singaprana dan ketiga saudaranya telah berada jauh di daerah sebelah selatan Sela.
"Nanti kita bermalam di hutan didepan kita" kata Singaprana kepada Kertijaya yang berkuda disebelahnya.
"Ya kakang" kata Kertijaya sambil memperlambat laju kudanya
Setelah mereka berempat maju beberapa ratus langkah, maka tibalah mereka ditepi hutan, dan ketika mereka melewati sebuah sungai kecil, maka Singaprana memutuskan untuk bermalam di tempat itu
"Kita bermalam disini, besok pagi kita berangkat lagi, sore harinya kita akan sampai di Pajang" kata Singaprana lalu iapun menghentikan kudanya, lalu turun dari punggung kudanya diikuti oleh Wanengpati, Jagasatru dan Kertijaya.
Setelah menambatkan kudanya, mereka berempat segera membersihkan dirinya di sungai kecil yang mengalir tidak jauh dari tempat tambatan kuda mereka.
Malam harinya, setelah makan bekal yang mereka bawa dari rumah, maka merekapun berusaha untuk beristirahat, tidur berselimut kain panjang.
Malam semakin larut, suara belalang dan burung malam terdengar tidak jauh dari tempat mereka tidur, beberapa kelelawar sedang makan buah yang ada di atas pohon ditepi sungai.
Ketika langit bang wetan telah dihias semburat warna merah, maka orang-orang Jipang itu semuanya telah terbangun dari tidurnya, dan setelah membersihkan badannya serta makan makanan yang tersisa, maka merekapun bersiap untuk meneruskan perjalanan ke Pajang.
"Mari kita berangkat sekarang" kata Singaprana, lalu iapun naik keatas punggung kudanya, diikuti oleh ketiga saudaranya
Merekapun kembali memacu kudanya, bungkusan yang mereka bawa diikat erat di pelana kudanya, bungkusan itupun terlihat bergoyang mengikuti arah goyang tubuh kudanya.
Ketika matahari berada dipuncak langit, mereka berempat telah sampai disebelah utara gunung Kemukus.
Setelah beristirahat dan memberi kuda-kuda mereka makan rumput segar dan minum air sungai, maka mereka telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan.
"Nanti sore sebelum gelap kita sudah sampai di hutan pinggir kotaraja Pajang, nanti malam kita bermalam di hutan itu" kata Singaprana.
"Ya kakang, tetapi apakah kita tidak melihat situasi di Kraton Pajang ?" tanya Wanengpati.
"Ya, kita nanti harus melihat situasi di Kraton Pajang" kata Singaprana.
"Nanti saja, kalau sudah wayah sepi wong" kata Jagasatru.
"Ya" kata Singaprana, lalu iapun mengajak melanjutkan perjalanan sambil berkata :"Ayo kita berangkat"
Singaprana naik kepunggung kuda diikuti oleh Wanengpati, jagasatru dan Kertijaya.
Empat ekor kuda itupun kemudian berlari menyusuri tepi hutan menuju arah matahari terbenam.
Setelah dua tiga kali beristirahat lagi, maka ketika matahari hampir terbenam, mereka berhenti di tepi hutan tidak jauh dari kotaraja Pajang.
"Kita bermalam disini, kita masuk ke hutan, kuda kita harus disembunyikan di dalam hutan" kata Singaprana.
Mereka berempat kemudian menuntun kuda-kuda mereka masuk sedikit ke hutan, dan ketika dilihatnya ada sebuah pohon yang didekatnya ada sedikit daerah yang banyak tumbuh rerumputan, maka merekapun mengikat kuda mereka di pohon-pohon yang ada di sekitarnya.
Malam itu mereka membuat api untuk membakar bahan makanan yang telah mereka bawa.
"Apinya jangan terlalu besar, usahakan apinya agak terlindung dibalik pohon ini" kata Singaprana.
"Baik kakang" kata Wanengpati.
Ketika malam semakin dalam, wayah sepi bocah hampir berakhir, maka mereka berempat berjalan keluar dari hutan, berjalan menuju Kraton Pajang.
"Hati-hati, jangan sampai ketahuan prajurit Pajang" kata Singaprana.
Di jalan yang menuju ke Kraton Pajang, mereka berjalan mengendap-endap satu per satu melintas dibawah gelapnya bayangan pohon.
Setelah melewati beberapa halaman dan menyeberangi sebuah pertigaan, maka sampailah mereka di luar pagar Kraton Kasultanan Pajang.
Dengan berlindung dibawah bayangan sebatang pohon mereka berempat mengawasi Kraton Pajang yang sepi, hanya terlihat dua orang prajurit yang sedang berjaga di pendapa.
"Hanya ada dua orang prajurit yang sedang duduk di pendapa" bisik Singaprana.
Ketiga saudaranya menganggukkan kepalanya, mereka melihat kearah dua orang prajurit yang sedang duduk di pendapa.
"Besok malam, supaya kekuatan sirep Megananda kita bisa berlipat ganda maka posisi kita harus di keblat papat, empat arah mata angin, aku disini, di timur, lalu Wanengpati di sebelah utara, Jagasatru di sebelah barat dan kau Kertijaya disebelah selatan" kata Singaprana.
"Ya kakang" kata ketiganya perlahan.
"Kita berempat secara bersamaan mateg aji Sirep Megananda, nanti kita tujukan ke dalem Kraton, sehingga yang berada dirumah itu akan tidur semua" kata Singaprana.
Mereka masih terus mengawasi keadaan di Kraton Pajang, di pendapa, dua orang prajurit terlihat mengangguk hormat kepada tiga orang yang baru saja keluar dari ruang dalam.
Meskipun malam itu bulan belum purnama penuh, tetapi cahaya bulan masih bisa menerangi halaman Kraton Pajang, sehingga orang-orang yang berjalan di halaman masih bisa dikenali.
"Orang yang berjalan paling depan itu adalah Patih Kasultanan Pajang, namanya Patih Mancanagara, sedangkan dua orang yang berjalan dibelakangnya adalah orang yang berasal dari daerah Sela, Pemanahan dan Penjawi" kata Singaprana sambil memperhatikan Patih Mancanagara, Pemanahan dan Penjawi yang turun dari pendapa.
Sesaat kemudian dari ruang dalam, dua orang terlihat sedang berjalan keluar menuju pendapa, yang seorang adalah seorang pemuda yang belum dewasa yang seorang lagi pemuda yang bertubuh tegap, lalu dibelakangnya berjalan pula dua orang yang berusia kira-kira lima enam windu.
"Pemuda yg masih anak-anak itu adalah anak angkat Kanjeng Sultan, namanya Sutawijaya yang sering disebut sebagai Mas Ngabehi Loring Pasar, sedangkan pemuda yang berjalan disebelahnya adalah sentana dalem yang bernama Wenang Wulan" kata Singaprana.
Ketiga saudaranya menganggukkan kepalanya, tetapi pandangannya masih melekat pada orang-orang yang berjalan melintasi halaman.
"Dua orang yang berjalan dibelakang, yang sudah agak tua, itu adalah Ngabehi Wuragil, sedangkan satunya lagi adalah orang yang juga berasal dari Sela yang menjadi pemomong Sutawijaya, orang itu bernama Juru Martani" kata Singaprana.
Mereka masih memandang orang-orang yang keluar dari pendapa dan sebelum mereka keluar dari gerbang Kraton, mereka melihat Wenang Wulan memisahkan diri, berjalan melingkar menuju ke arah belakang Kraton.
"Rumah Wenang Wulan berada di agak jauh di belakang Kraton" kata Singaprana.
Beberapa saat kemudian semua nayaka praja Kasultanan Pajang sudah tidak kelihatan lagi, hilang di kegelapan malam.
Selama beberapa saat mereka berempat masih bersembunyi, setelah itu mereka mulai bergeser, berjalan mengendap-endap menuju tepi hutan tempat mereka menambatkan kuda-kudanya.
Malam itu Singaprana dan ketiga saudaranya berusaha tidur, istirahat untuk menghimpun tenaga yang akan mereka pergunakan besok malam.
Setelah fajar menyingsing dan matahari mulai naik ke langit, beberapa berkas sinar matahari masuk di sela-sela rimbunnya daun di dalam hutan.
Hari itu yang dikerjakan ke empat orang pajineman Jipang hanya merawat kuda dan beristirahat saja, dan ketika senja telah membayang, maka sebentar lagi kotaraja Pajang akan menjadi gelap,
Singaprana telah bersiap, keris Kyai Setan Kober telah terselip ditubuhnya, dilihatnya ketiga saudaranya juga telah siap untuk berangkat ke Kraton Pajang.
"Kita berangkat nantI saja, saat sepi bocah hampir berakhir" kata Singaprana.
"Baik kakang" kata Jagasatru.
Setelah menunggu beberapa saat, maka Singaprana dan ketiga saudaranya segera berangkat, mereka berjalan beriringan menuju ke Kraton Pajang.
Keempat pajineman Jipang berjalan mengendap-endap berlindung di bawah bayangan rimbunnya daun, melintas memasuki kebun dan melewati halaman para kawula di kotaraja Pajang.
Beberapa saat kemudian sampailah mereka berempat di luar pagar kraton, dan merekapun segera bersembunyi dibawah sebatang pohon.
Mereka berempat menunggu, melihat dan mengamati keadaan di halaman kraton, sambil menanti saat yang tepat untuk mulai mateg aji sirep Megananda.
Sementara itu, didalam kamar, Sultan Hadiwijaya yang saat itu tidak menyangka, kalau nyawanya sedang terancam oleh pajineman Jipang, sedang berbaring di peraduan, berbincang dengan Prameswari Gusti Mas Cempaka.
"Kasihan Ayunda Kanjeng Ratu Kalinyamat" kata Prameswari Kasultanan Pajang.
"Ya, kakangmbok Ratu Kalinyamat saat ini sedang bertapa telanjang di pesanggrahan Danaraja, dan aku diharapkan untuk kesana" kata Sultan Hadiwijaya.
"Lalu kapan Kanjeng Sultan akan pergi ke bukit Danaraja ?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Nanti Ratu, mungkin empat lima pasar lagi" jawab Sultan Hadiwijaya.
Sang Prameswari Mas Cempaka kemudian duduk di tepi pembaringan sambil menangis.
"Kasihan" kata Sang Prameswari perlahan.
Sultan Hadiwijaya kemudian juga bangkit dari tidurnya, kemudian duduk di tepi pembaringan, disamping Kanjeng Prameswari.
Sementara itu, diluar pagar Kraton, Singaprana telah bersiap untuk melontarkan sirep Megananda, dan ketika tangannya menyentuh keris Kyai Setan Kober yang diselipkan ditubuhnya, maka tekadnyapun telah menjadi bulat, keberaniannyapun bertambah untuk melaksanakan perintah Adipati Jipang, membunuh Sultan Hadiwijaya.
Singaprana kemudian memerintahkan kepada ketiga saudaranya untuk segera mempersiapkan diri :"Cepat kalian bergerak ke posisi empat arah mata angin, Wanengpati di sebelah utara, Jagasatru di sebelah barat dan Kertijaya disebelah selatan, dan aku tetap berada disini".
"Jagasatru dan Kertijaya, kalian melompat masuk ke halaman, hati-hati jangan sampai terlihat oleh prajurit yang berada di pendapa" kata Singaprana.
"Baik kakang" kata ketiganya, kemudian mereka bergeser dan berjalan mengendap-endap, menyebar menuju arah keblat papat.
Kertijaya dengan cepat berjalan menuju sebuah pohon yang terletak di arah selatan, kemudian iapun duduk bersila di kegelapan menghadap kearah pendapa, menunggu kedua saudaranya yang sedang mencari tempat yang gelap di arah barat dan utara.
Wanengpati dan Jagasatru dengan tangkas melompat pagar tanpa mengeluarkan suara, lalu keduanya berjalan di kegelapan mencari tempat yang agak terlindung untuk melontarkan sirep Megananda.
Wanengpati duduk bersila menghadap ke arah selatan, ia berada di kegelapan halaman dibalik rimbunnya pohon mangga, sedangkan Jagasatru berada disebelah barat, bersembunyi diantara tanaman yang banyak terdapat disana.
Ketika Singaprana melihat ketiga saudaranya sudah bersiap, maka iapun segera duduk bersila, matanya terpejam, mulutnya komat kamit membaca mantra yang pernah diajarkan oleh gurunya.
Singaprana merasa kekuatan ilmu sirepnya perlahan-lahan telah terkumpul dan telah dapat mempengaruhi keadaan di sekitarnya, semakin lama semakin kuat, lalu iapun memandang tajam kearah pendapa, sekejap kemudian terlontarlah ilmu sirep Megananda ke arah Kraton, yang dapat mempengaruhi semua orang yang berada didalam Kraton.
Ketiga saudaranya yang berada di tiga arah lainnya, juga telah berbuat hal yang sama, melontarkan iilmu sirepnya, sehingga gabungan kekuatan ilmu sirep itu menjadi berlipat ganda.
Di pendapa, dua orang prajurit telah tergeletak tertidur, tanpa menyadari di dekatnya ada empat orang yang bersiap akan membunuh Sultan Hadiwijaya.
Didalam kamar, Sultan Hadiwijaya sedang duduk di pinggir pembaringan, sedangkan disebelahnya, duduk pula Kanjeng Prameswari yang sedang menangis.
"Sudahlah Ratu, nanti aku yang akan menengok kakangmbok Ratu Kalinyamat ke pesanggrahan Danaraja empat lima pasar lagi" kata Sultan Hadiwijaya.
Kanjeng Prameswari masih menangis, tetapi ia masih melanjutkan bicaranya :"Ya Kanjeng Sultan, setelah kematian kakangmas Pangeran Hadiri, betapa sedih hati ayunda Ratu Ka..li..nya..."
Belum sempat Kanjeng Prameswari menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya telah bergerak kedepan hampir jatuh ke depan, dan dengan cepat Sultan Hadiwijaya menangkap tubuh istrinya sehingga tidak terjatuh di lantai.
Tubuh Kanjeng Prameswari lalu dibaringkan ke tempat tidur, dan betapa terkejutnya Kanjeng Sultan ketika ia memandang ke wajah istrinya, ia melihat Kanjeng Prameswari dalam keadaan tertidur.
"Sirep, ilmu sirep yang sangat kuat" katanya dalam hati, dan dengan cepat Sultan Hadiwijaya mateg ilmu kebal yang luar biasa, aji Lembu Sekilan yang berada di dalam dirinya.
Beberapa saat kemudian, setelah aji Lembu Sekilan telah manjing di dalam dirinya, maka Sultan Hadiwijaya berdiri dengan kaki sedikit direnggangkan, tangan mengepal, wajahnya sedikit menengadah, lalu terdengarlah ia berkata perlahan :"Sirep Megananda"
Panggrahitanya yang tajam telah mampu mengenali jenis ilmu yang telah menyerang dalem Kraton Pajang yang menyebabkan Kanjeng Prameswari telah tertidur nyenyak.
Teringatlah Kanjeng Sultan ketika ia masih berumur belasan tahun yang senang mendaki gunung menuruni lembah, pernah menjelajah dari bang wetan sampai bang kulon.
Suatu saat ketika ia berada di sebelah selatan alas Mentaok, ia mendengar di daerah laut kidul terdapat sebuah perguruan olah kanuragan, sebuah Padepokan yang terpencil, jauh dari percaturan kawula Demak yang bernama Padepokan Randu Tunggal yang terletak di ereng-ereng Segara Kidul.
Saat itu, selama beberapa pasar Karebet sempat berguru kepada Ki Ajar Randu Tunggal, sehingga Karebetpun telah menguasai ilmu sirep Megananda.
"Karebet" kata Ki Ajar Randu Tunggal waktu itu.
"Ya Ki Ajar" jawab Karebet.
"Kau sekarang sudah menguasai ilmu sirep Megananda, dan saat ini sudah waktunya kau kembali ke desa Tingkir, kasihan biyungmu kau tinggal sendiri disana" kata Ki Ajar Randu Tunggal.
"Ya Ki Ajar" kata Karebet.
"Setelah kau menguasai sirep Megananda, kau harus menggunakannya untuk hal-hal yang baik Karebet, jangan kau gunakan ilmu itu untuk menyakiti sesama" lanjut Ki Ajar Randu Tunggal.
"Ya Ki Ajar" kata Karebet.
"Mulai sekarang kau tidak akan bisa terpengaruh terhadap sirep Megananda yang dilepaskan lawanmu" kata Ki Ajar Randu Tunggal selanjutnya.
Karebet kemudian meninggalkan padepokan Randu Tunggal pulang kembali ke desa Tingkir dan kejadian itu sudah berlalu lama sekali, sedangkan pada saat ini, di dalam kamarnya, Sultan Hadiwijaya sedang menghadapi kekuatan sirep Megananda yang ternyata tidak mampu menyentuhnya.
"Ilmu sirep Megananda yang menyerang kali ini terasa kuat sekali" kata Sultan Hadiwijaya dalam hati, sambil meiihat kearah Prameswari yang sedang tertidur nyenyak sekali.
"Siapakah orang yang telah menyerangku dengan menggunakan ilmu sirep sekuat ini ? Apakah orang itu Penangsang ?" desis Sultan Hadiwijaya.
"Keliihatannya bukan Penangsang, apakah mungkin orang itu Panembahan Sekar Jagad ? Apakah Panembahan Sekar Jagad bersedia menjadi sraya dari Penangsang ?" kata Sultan Hadiwijaya dalam hati :"Tidak mungkin kalau sirep ini dari Panembahan Sekar Jagad, watak Penangsang bukan seperti itu, dia tidak gampang meminta bantuan orang lain"
Tangan Sultan Hadiwijaya kemudian menyentuh ikat pinggang yang sedang dipakainya, sebuah ikat pinggang yang lebar, terbuat dari kulit binatang yang tebal dan diujung ikat pinggang itu terdapat sebuah timang yang berwarna hitam, yang terbuat dari wesi aji.
"Sabuk Jalu Sengara pemberian Ki buyut Banyubiru, sebagai rangkapan disamping ilmu kebal aji Lembu Sekilan, mudah-mudahan semua ini bisa menahan tusukan keris Kyai Setan Kober" kata Sultan Pajang.
"Tetapi kalau yang datang kesini ternyata Arya Penangsang atau Panembahan Sekar Jagad, aku harus bersiap untuk menyambutnya" kata Sultan Hadiwijaya dalam hati, lalu Kanjeng Sultan mengambil keris Kyai Carubuk pemberian gurunya, Sunan Kalijaga, yang tersimpan di ploncon tempat untuk menyimpan keris.
Keris Kyai Carubuk kemudian dipegang di gandarnya, ukirannyapun telah disentuhnya, seakan-akan Sultan Hadiwijaya bertanya, apakah keris Kyai Carubuk telah siap bertanding melawan keris Kyai Setan Kober ?
"Sekali cabut, keris ini harus bisa menusuk dada Penangsang atau Panembahan Sekar Jagad" kata Kanjeng Sultan.
Sementara itu, dihalaman depan, Singaprana telah berkumpul dengan ketiga saudaranya, mereka berempat berjalan naik ke pendapa
Sesampai di pendapa, mereka melewati dua orang prajurit yang telah tertidur di lantai pendapa.
"Kedua prajurit ini telah tertidur dari tadi" kata Jagasatru.
"Ya" sahut Wanengpati.
"Cabut senjata kalian" perintah Singaprana kepada tiga orang saudaranya.
"Baik kakang" kata ketiga saudaranya.
Wanengpati, Jagasatru dan Kertijaya segera mengambil senjata dibalik baju yang dipakainya, sebuah pisau pendek mirip sebuah belati yang bilahnya mengkilat karena memantulkan pancaran nyala api dari lampu minyak di pendapa.
Keempat pajineman Jipang itu, tiga orang diantaranya masing-masing membawa sebuah pisau belati, kemudian berjalan memasuki ruang dalam, dan disana terlihat pula dua orang prajurit yang tertidur bergelimpangan didepan pintu sebuah kamar.
"Dua orang prajurit inipun juga sudah tertidur" kata Wanengpati.
"Ya kakang" sahut Kertijaya.
"Pintu yang dijaga oleh dua orang prajurit itu pasti kamar Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Singaprana.
"Ya, memang ini kamarnya kakang" kata Wanengpati.
"Jagasatru, kau buka palang pintu di kamar Kanjeng Sultan" kata Singaprana.
"Baik kakang" kata Jagasatru sambil mengeluarkan beberapa logam pipih dari dalam bajunya.
Dengan cepat Jagasatru berusaha untuk membuka palang pintu, kamar Kanjeng Sultan.
"Bisa dibuka ?" tanya Singaprana.
"Bisa, sedikit lagi" kata Jagasatru.
Ketika Jagasatru sedang berusaha untuk membuka pintu kamar Kanjeng Sultan, sementara itu, tidak jauh dari Kraton, dirumah Mas Ngabehi Loring Pasar, Pemanahan sedang berbincang dengan Penjawi dan Juru Martani
"Kakang Pemanahan, ada yang aneh, tidak biasanya Mas Ngabehi Sutawijaya tidur seenaknya di pendapa, tetapi sekarang terlihat terlentang ditengah pintu, menghalangi orang yang akan lewat" kata Penjawi.
"Ya, adi Penjawi, memang aneh, udara malam ini rasanya juga aneh, biasanya tidak seperti ini, rasanya aku juga ngantuk sekali, jangan-jangan....jangan-jangan.." kata Pemanahan
"Sirep !!" kata Juru Martani dan dengan cepat ia melompat berdiri, diikuti oleh Pemanahan dan Penjawi.
"Kakang Pemanahan, kita menuju ke kraton, cepat, Sutawijaya biar saja tidur disitu, kita tinggal tidak apa-apa" kata Penjawi, sekejap kemudian Penjawi mencabut pedang pendeknya dan berlari ke Kraton diikuti oleh Pemanahan dan Juru Martani yang keduanya juga telah mencabut senjatanya.
Mereka bertiga berlari cepat, sebagai orang yang menguasai ilmu jaya kawijayan guna kasantikan, mereka tidak mengalami kesulitan untuk melawan ilmu sirep yang telah menyebar disekitar Kraton Pajang.
Mereka masih terus berlari, dan mereka bertiga bersiaga, ketika didepan mereka tampak dua bayangan manusia yang sedang berdiri menunggunya.
Pemanahan dan Penjawi sambil berlari melihat ke arah orang yang menunggunya :"Itu Ki Ngabehi Wuragil dan Ki Patih Mancanagara"
Setelah dekat, Pemanahanpun kemudian berkata :"Ki Patih, ada yang melontarkan sirep"
"Ya, aku juga telah merasa ada sirep yang menyerang kita, sekarang mari kita berlari cepat menuju ke Kraton" kata Patih Mancanagara yang telah memegang sebuah pedang pendek.
Mereka berlima berlari, ketika didepan Kraton, terlihat seorang yang membawa senjata, sedang berdiri di halaman depan.
"Itu Wenang Wulan" kata Pemanahan.
Kelima orang itu dengan cepat berlari menemui Wenang Wulan yang menunggu di dekat pintu gerbang.
"Ada yang menyebarkan sirep" kata Wenang Wulan.
"Ya, mari kita naik ke pendapa" kata Pemanahan.
Sementara itu Jagasatru masih berusaha membuka pintu, dengan sedikit tenaga, logam pipih itu mampu mengungkit palang pintu dan dengan suara keras, palang pintu itupun telah jatuh dilantai.
Pintu kamarpun telah terbuka, kemudian Singaprana dan ketiga saudaranya segera masuk ke dalam kamar, dan di bawah cahaya lampu minyak yang cukup terang, mereka melihat Kanjeng Sultan Hadiwijaya sedang tidur mendengkur disebelah Kanjeng Prameswari.
"Ha ha ha tugas dari Kanjeng Adipati Jipang ternyata sangat mudah, lihat itu, Kanjeng Sultan Hadiwijaya telah tertidur nyenyak sampai mendengkur" kata Singaprana sambil tertawa.
"Ya kakang, ternyata gabungan kekuatan sirep kita berempat sungguh luar biasa" kata Wanengpati.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment