04 January 2019

SETAN KOBER 69

SETAN KOBER 69
Karya : Apung Swarna

Setelah sehari penuh mereka berempat berada diatas punggung kuda, maka ketika lembayung senja membayang di langit bang kulon, ke empat pajineman Jipang telah sampai di daerah sebelah selatan desa Sela.
"Kita bemalam disini" kata Singaprana kepada tiga orang saudaranya.
"Ya, perutku sudah lapar, aku ingin makan jagung bakar" kata Wanengpati.

Malam itu ke empat Pajineman Jipang bermalam ditepi hutan yang tipis tidak jauh dari desa Sela.

Suasana ditepi hutan yang sepi dan dingin, dihangatkan dengan dibuatnya sebuah perapian untuk membakar ketela pohon dan jagung muda.
"Jagungnya muda dan rasanya manis, ternyata makanan pemberian Kanjeng Sultan semuanya enak dan manis" kata Singaprana
"Ya, ketela pohon ini terasa mempur" kata Wanengpati sambil makan ketela pohon.
Malam yang dingin ditepi hutan, semuanya tidur berselimut kain panjang, dan dalam tidurnya ke empat orang Jipang tersenyum setelah menerima semua kebaikan hati dari Sultan Pajang.
Ketika malam telah sampai di ujungnya, mentari pagipun bersinar kemerahan d langit sebelah timur, ke empat orang Jipang bergantian membersihkan dirinya di sungai kecil tidak jauh dari tempat perapian mereka tadi malam.
"Airnya dingin sekali" kata Jagasatru.
"Masih untung kita bisa merasakan dinginnya air" kata Wanengpati
"Ya" kata Jagasatru sambil berjalan menuruni tebing sungai.
Ketika matahari semakin tinggi, mereka berempat telah meninggalkan daerah Sela, menuju ke timur, ke arah Kadipaten Jipang Panolan.
"Setelah lewat tengah hari nanti, kita sudah sampai di Jipang" kata Singaprana.
Ternyata Singaprana dan ketiga saudaranya tidak mengetahui, beberapa ribu langkah didepannya, telah berpacu diatas punggung kuda, seorang prajurit sandi Jipang yang telah ditugaskan oleh Adipati Arya Penangsang untuk mengamati gerak geriknya selama diutus membunuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
"Mereka berempat keluar dari Kraton Pajang sambil membawa dua buah bungkusan" kata prajurit sandi dalam hati.
"Aku harus cepat melaporkan hal ini kepada Kanjeng Adipati" kata prajurit itu sambil melecut kudanya untuk belari lebih cepat
"Kelihatannya ada yang tidak wajar" katanya dalam hati.
Menjelang tengah hari, prajurit sandi itu sudah memasuki halaman Kadipaten Jipang.
Setelah turun dari punggung kudanya, prajurit sandi itu berjalan menuju ke pendapa.
"Kau prajurit sandi yang ditugaskan pergi ke Pajang ?" tanya Anderpati yang berada di depan pendapa.
"Betul kakang Nderpati, aku akan menghadap Kanjeng Adipati" kata prajurit sandi itu.
"Ya, Kanjeng Adipati sedang berada di ruang dalam, mari aku antar kau masuk kedalam" kata Anderpati.
Keduanya naik ke pendapa, lalu Anderpatipun berkata :"Kau tunggu disini dulu"
Prajurit itu mengangguk, lalu perlahan-lahan Anderpati masuk ke ruang dalam, mohon ijin untuk menghadapkan seorang prajurit sandi yang akan melaporkan keadaan di Pajang.
"Suruh dia masuk" kata Arya Penangsang.
Anderpati segera bergeser keluar, lalu menyuruh pajurit itu masuk ke ruang dalam.
Perlahan-lahan prajurit itu masuk ke ruang dalam, dilihatnya Adipati Jipang duduk diatas dingklik besar, didepannya duduk bersila Patih Jipang yang tua, Patih Matahun.
Setelah menyembah, lalu prajurit sandi itu duduk bersila dihadapan Arya Penangsang, duduk disebelah Anderpati.
"Kau prajurit sandi yang ditugaskan ke Pajang ?" tanya Arya Penangsang.
"Betul Kanjeng Adipati" jawab prajurit itu.
"Apa yang akan kau laporkan, prajurit" kata Adipati Jipang.
Prajurit itu kemudian bercerita beberapa peristiwa yang telah dilihatnya di Kraton Pajang.
"Jadi kau mengikuti gerak-gerik pajineman Jipang itu ketika mereka berempat melontarkan aji sirep Megananda ?" tanya Arya Penangsang.
"Betul Kanjeng Adipati, saya terpaksa bergeser menjauh dari pengaruh sirep itu" kata prajurit itu.
"Mereka berhasil membunuh Sultan Hadiwijaya ?" tanya Arya Penangsang.
"Tidak Kanjeng Adipati, esok paginya, saya lihat mereka berempat dibawa menuju Kraton dengan tangan terikat" kata prajurit sandi itu.
"Mereka terangkap ?" tanya Arya Penangsang terkejut.
"Ya, mereka tertangkap, tetapi kelihatannya ada sesuatu yang tidak wajar Kanjeng Adipati" cerita prajurit itu.
"Apa yang tidak wajar ?" tanya Adipati Jipang.
"Setelah mereka masuk kedalam Kraton dengan tangan terikat, beberapa saat kemudian mereka keluar dari Kraton sambil membawa dua buah bungkusan besar" katanya melanjutkan ceritanya.
"Aneh, seharusnya mereka dihukum mati" kata Arya Penangsang.
Semua yang hadir hanya terdiam mendengar kata-kata Adipati Jipang.
"Paman Matahun" kata Arya Penangsang.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Paman Matahun, permainan apakah yang saat ini sedang dilakukan oleh adimas Hadiwijaya ?" tanya Arya Penangsang.

"Kanjeng Adipati, kita belum mengetahui maksud sebenarnya dari Sultan Hadiwijaya yang membebaskan empat orang pajineman Jipang itu, sebaiknya kita menunggu kedatangan mereka, dan apapun yang mereka laporkan, Kanjeng Adipati harus tetap bersabar" kata Patih Matahun.
"Ya paman, aku akan tetap bersabar mendengarkan cerita mereka" kata Adipati Jipang.
"Kalau Kanjeng Adipati bisa lebih bersabar, maka Kanjeng Adipati akan memenangkan permainan ini, dan bisa mengalahkan Sultan Hadiwijaya" kata Patih Matahun.
"Kita belum mengetahui permainan apa yang sedang dilakukan oleh adimas Hadiwijaya, tetapi dengan bersabar, aku akan memenangkan permainan ini" kata Arya Penangsang.
Patih Matahun mendengarkan kalimat yang telah diucapkan oleh Adipati Jipang, tetapi ia masih meragukan, apakah junjungannya masih bisa bersabar seperti yang telah beberapa kali diucapkannya.
"Baik prajurit, kalau laporanmu telah selesai, kau boleh pulang kerumahmu" kata Arya Penangsang.
Prajurit sandi itu segera menyembah, lalu iapun bergeser menuju pintu, selanjutnya iapun keluar dari ruang dalam.
Setelah prajurit itu keluar dari ruang dalam, Patih Matahunpun berkata kepada Sang Adipati :"Sebelum sore pajineman Jipang itu pasti sudah sampai di sini Kanjeng Adipati"
"Ya, paman tetap disini, aku akan istirahat dulu" kata Arya Penangsang, setelah itu Sang Adipati segera masuk kedalam kamarnya.
Perlahan-lahan matahari terus bergerak ke barat, setelah lewat tengah hari maka Anderpati berjalan didepan pintu kamar Adipati Jipang, lalu duduk bersila disitu sambil berkata :"Empat orang pajineman Jipang telah datang, Kanjeng Adipati"
"Ya" terdengar suara jawaban Adipati Jipang dari dalam kamar.
Arya Penangsang keluar dari kamar, dan dilihatnya Singaprana dan ketiga saudaranya duduk bersila dengan kepala menunduk, didekatnya terdapat dua buah bungkusan yang terikat rapi.
Patih Matahun yang berada disebelahnya, merasa khawatir kalau junjungannya marah, maka ia memberi isyarat agar Singaprana bergeser agak mundur, menjauh dari Adipati Jipang.
Singaprana kemudian bergeser mundur sedikit kebelakang, agak menjauh dari Arya Penangsang.
"Singaprana beserta ketiga saudaramu, kalian baik-baik saja ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, kami baik-baik saja" jawab Singaprana.
"Singaprana, kau berhasil membunuh Sultan Hadiwijaya ?" tanya Arya Penangsang.
"Tidak Kanjeng Adipati, kami gagal membunuh Sultan Hadiwijaya, meskipun kami berempat sudah menggunakan sirep Megananda" kata Singaprana.
"Lalu bagaimana dengan keris Kyai Setan Kober yang kau bawa ?" tanya Adipati Jipang.
"Mohon ampun Kanjeng Adipati, keris Kyai Setan Kober saat ini berada ditangan Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Singaprana
"Tidak apa-apa, mungkin lain kali harus aku sendiri yang menggunakan keris itu" kata Arya Penangsang sambil tersenyum.
Melihat junjungannya tersenyum, hati Singaprana dan ketiga saudaranya menjadi senang :"Ternyata Kanjeng Adipati tidak marah kepadaku"
Berbeda dengan Singaprana yang senang melihat Arya Penangsang tersenyum, Ki Patih Matahun yang melihat Adipati Jipang tersenyum menjadi khawatir, Ki Patih melihat senyum Arya Penangsang adalah senyum seseorang yang sedang murka.
"Itu bukan watak dari Arya Penangsang, Kanjeng Adipati seharusnya menjadi sangat marah karena kehilangan Kyai Setan Kober" kata Patih Matahun dalam hati.
"Kau bawa bungkusan apa Singaprana" tanya Arya Penangsang.
"Hadiah dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya, Kanjeng Adipati" kata Singaprana, lalu iapun membuka salah satu bungkusan yang berada dihadapannya.
"Hm bahan makanan" kata Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, sebagian bahan makanan ini sudah kami makan di perjalanan" kata Singaprana sambil membuka bungkusan lainnya.
"Kanjeng Adipati, ini empat potong kain panjang yang halus, ternyata Kanjeng Sultan Hadiwijaya adalah seorang Sultan yang baik hati" kata Singaprana.
"Ya, ini kain yang bgus, kain ini sama dengan kain yang aku pakai sekarang" kata Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Singaprana, lalu ia mengambil ikat pinggang dari dalam bungkusannya.
"Ini ikat pinggang dengan timangnya yang terbuat dari emas Kanjeng Adipati, ternyata Kanjeng Sultan Hadiwijaya adalah seorang yang murah hati" kata Singaprana.
"Ya, masih ada lagi ?" tanya sang Adipati.
"Masih Kanjeng Adipati, ini bahan baju dan ikat kepala, memang Sultan Pajang adalah seorang pengampun, bahkan kami diberi hadiah yang bagus-bagus" kata Singaprana.
"Ya" sahut Arya Penangsang yang suaranya menjadi semakin dalam.
Patih Matahun menjadi semakin khawatir mendengar suara Kanjeng Adipati Jipang yang menjadi semakin pelan dan dalam.
"Ini hadiah keris, Kanjeng Adipati, sebuah keris lurus berpamor beras wutah, kami baru tahu kalau Sultan Hadiwijaya ternyata adalah seorang Sultan yang ber budi bawa leksana, mengayomi seluruh rakyatnya" kata Singaprana.
Mendengar kata-kata dari Singaprana itu, telinga Arya Penangsang seperti disulut api, perlahan lahan ia berdiri dan berjalan mendekati tempat duduk Singaprana.
"Coba aku lihat keris pemberian Sultan Hadiwijaya itu" kata Adipati Jipang.
"Silakan Kanjeng Adipati, ini keris tangguh Pajang yang bagus" kata Singaprana, lalu iapun memberikan keris itu kepada Adipati Jipang, kemudian Arya Penangsang mencabut keris itu dari warangkanya.
"Ini memang keris yang bagus" kata Arya Penangsang, setelah itu keris itupun dimasukkan kedalam warangkanya.
"Kalian semua berjumlah empat orang, sedangkan keris ini hanya satu buah, nah diantara kalian berempat, siapa nanti yang akan memiliki keris ini ?" tanya Arya Penangsang.
Keempat orang pajineman itu mengangkat wajahnya, mereka semuanya ingin memiliki keris yang bagus itu, tetapi dengan cepat Singaprana berkata :"Keris itu milik saya Kanjeng Adipati"
"Bagus !" kata Adipati Jipang dengan suara bergetar.

Wanengpati, Kertijaya dan Jagasatru sedikit kecewa ketika mendengar perkataan Singaprana yang merasa berhak atas keris pemberian Sultan Hadiwijaya itu.
"Seharusnya diadakan pertandingan ilmu kanuragan antar kita berempat, siapa yang tak terkalahkan, dia yang akan memiliki keris itu" kata Wanengpati yang merasa ilmu kanuragannya tidak kalah dengan ketiga saudaranya.
"Jadi keris ini milikmu Singaprana ?" tanya Arya Penangsang.
"Betul Kanjeng Adipati, sayalah yang umurnya paling tua, sehingga sepantasnya kalau keris itu menjadi milik saya Kanjeng Adipati" kata Singaprana sambil melirik kearah ketiga saudaranya..
"Singaprana, coba kau berdiri disebelah sini, aku ingin tahu apakah barang-barang pemberian Sultan Hadiwijaya cukup bagus untuk dipakai, coba sekarang kau pakai ikat pinggang yang memakai timang dari emas itu" kata Sang Adipati.
Singaprana segera berdiri, diambilnya sebuah ikat pinggang yang diujungnya terdapat timang yang berkilauan, sebuah timang yang terbuat dari emas.
"Timang ini terlihat bagus sekali" kata Singaprana didalam hatinya.
"Coba kau pakai ikat pinggang itu di perutmu" kata Arya Penangsang.
Singaprana kemudian memakai ikat pinggang itu di perutnya, ikat pinggang yang lebar dari kulit binatang yang tebal, timang yang menempel di ujung ikat pinggangnyapun terlihat indah berkilauan.
"Pas Kanjeng Adipati, ikat pinggang ini terasa enak kalau dipakai" kata Singaprana.
Patih Matahun semakin khawatir, tidak biasana Kanjeng Adipati melayani orang setingkat Singaprana sedemikian baiknya.
"Kau terlihat pantas memakai ikat pinggang dengan timang dari emas, Singaprana" kata Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati, semuanya adalah hadiah dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang baik hati" kata Singaprana.
"Ikat pinggang yang dihiasi dengan sebuah timang yang terbuat dari emas, akan lebih serasi kalau kau mencoba memakai kerismu yang bagus ini" kata Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Singaprana bangga.
"Coba kau menghadap kesana Singaprana, aku pakaikan keris yang bagus ini dipunggungmu" kata Adipati Jipang.
Singaprana menghadap memutar tubuhnya membelakangi Arya Penangsang.
"Aku akan selipkan keris ini di ikat pinggangmu dibelakang" kata Sang Adipati.
Tiba-tiba, dengan tidak terduga, semua orang dikejutkan oleh teriakan nyaring dari Singaprana yang membuat ketiga jantung pajineman Jipang lainnya berdegup kencang.
Semuanya terjadi dengan cepat, tidak ada yang menduga, bahkan Patih Matahunpun terkejut, sehingga tidak mampu mencegah, dan terjadilah peristiwa yang mengejutkan semua orang yang hadir di ruang dalam.
Ketika Singaprana membalikkan badannya membelakangi sang Adipati, dengan cepat Adipati Jipang, Arya Penangsang, mencabut bilah keris itu dari warangkanya, keris yang mempunyai pamor beras wutah pemberian Sultan Hadiwijaya, ditusukkan ke punggung salah seorang pajineman Jipang yang berdiri membelakangi Arya Penangsang, Singaprana.
Tusukan Adipati Jipang dengan menggunakan kekuatan tangan kanannya, ternyata mampu membuat ujung keris itu tembus ke depan.
Singaprana terpelanting jatuh terduduk, tangan kirinya memegang dadanya yang terluka, sedangkan jari tangan kanannya menunjuk ke arah Arya Penangsang.
"Kau..." kata Singaprana, setelah itu iapun terjatuh dan tidak bangun kembali.
Semua orang yang hadir terkejut, sehingga tidak mampu berbuat apapun juga.
"He kalian tiga orang pajineman Jipang, cepat kalian angkat kaki dari sini, bawa mayat Singaprana ini keluar, cepat !" teriak Arya Penangsang,
Tidak perlu diperintah untuk yang kedua kalinya, Wanengpati dan Jagasatru yang duduk di dekat jatuhnya Singaprana, segera mengangkat jenazah Singaprana, membawanya keluar, dibelakangnya diikuti oleh Kertijaya.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Itulah upah bagi orang yang telah menghilangkan keris Kyai Setan Kober" kata Arya Penangsang.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Aku sudah sabar paman, kalau aku tidak sabar, Singaprana sudah aku bunuh dari tadi" kata Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, sekarang saya jadi mengetahui, ternyata seperti inilah permainan yang telah direncanakan oleh Sultan Hadiwijaya" kata Patih Matahun.
"Permainan bagaimana paman ?" tanya Arya Penangsang.
"Ternyata kematian Singaprana memang direncanakan dan telah diperhitungkan oleh Sultan Hadiwijaya, siapapun yang akan mencoba melakukan pembunuhan terhadap seorang Sultan memang seharusnya dihukum mati, nah dengan permainan ini, ternyata Sultan Hadiwijaya kelihatannya telah menyuruh Kanjeng Adipati untuk membunuh Singaprana" kata Patih Matahun.
"Maksud paman, jadi Adimas Hadiwijaya memberi hadiah-hadah ini mempunyai maksud supaya aku yang membunuh Singaprana dengan tanganku, begitu ?" tanya Arya Penangsang.
"Kelihatannya memang begitu maksud Sultan Hadiwijaya, Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"O begitu, keterlaluan Adimas Hadiwijaya, berani menyuruhku untuk membunuh orangku sendiri, paman Matahun !!" teriak Arya Penangsang.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" jawab Patih Matahun.
"Besok pagi siapkan semua prajurit Jipang, kita bergerak menggempur Pajang, desa-desa di Pajang kita jadikan karang abang" kata Adipati Jipang.
"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Siapkan pasukan Jipang segelar sepapan, nanti aku sendiri yang akan madeg Senapati Agung menghadapi Adimas Hadiwijaya" kata Arya Penangsang.

"Sabar Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Aku sudah cukup bersabar paman, kali ini tidak akan bisa ditunda lagi, besok pagi, semua prajurit Kadipaten Jipang harus sudah bergerak, berangkat menyerang Kasultanan Pajang" kata Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, tetapi apakah Kanjeng Adipati tidak meminta restu kepada Kanjeng Sunan Kudus untuk menggempur Pajang ? Tanpa restu dari Kanjeng Sunan Kudus, prajurit Jipang akan mengalami kesulitan di medan peperangan, kemungkinan besar kita akan kalah, Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
Arya Penangsang mengangguk-anggukkan kepalanya, yang dikatakan Patih Matahun semuanya betul, pamannya sekaligus gurunya, Sunan Kudus yang pernah menadi seorang Senapati Agung prajurit Demak, yang juga merupakan merupakan salah seorang dari Wali Sanga, memang perlu diberitahu dan diminta doa restunya karena para prajurit Jipang akan segera berangkat menyerang Kasultanan Pajang.
"Baik, aku akan minta ijin kepada Bapa Sunan Kudus untuk menyerang Pajang, paman Matahun, besok pagi aku akan berangkat ke Panti Kudus bersama Nderpati, sekarang aku akan beristirahat dulu di kamarku" kata Adipati Jipang, setelah itu iapun berjalan masuk ke kamarnya.
Ketika Patih Matahun melihat junjungannya telah memasuki kamarnya, maka iapun berkata :"Nderpati, kau perintahkan kepada beberapa orang prajurit untuk membersihkan noda darah yang banyak berceceran dilantai".
"Baik Ki Patih" kata Anderpati, kemudian iapun berjalan ke pendapa, menemui beberapa prajurit yang berjaga disana.
Tak lama kemudian senjapun perlahan-lahan mulai membayang di langit bang kulon, sang Suryapun sebentar lagi akan beristirahat, digantikan oleh redupnya sinar sang Candra, ditemani oleh ribuan kerlip sang Kartika.
Setelah dewi malam menyelesaikan tugasnya, dan ketika di langit sebelah timur telah membayang warna merah, maka pada saat fajar menyingsing, dua ekor kuda telah berlari membelah dinginnya pagi meninggalkan dalem Kadipaten Jipang.
Adipati Jipang Arya Penangsang bersama pandega prajurit Jipang, Anderpati, keduanya melarikan kudanya menuju arah utara.
"Di pagi hari yang dingin seperti ini, sebetulnya lebih enak tidur sambil berselimut kain panjang" kata Anderpati didalam hatinya.
"Hari ini, sehari penuh aku akan berada diatas punggung kuda, nanti sampai di Kudus sudah memasuki wayah sepi wong, atau bisa juga nanti sampai disana sudah menjelang tengah malam" kata Anderpati yang membawa bungkusan berisi pakaian dan membawa perlengkapan dua buah obor.
Gagak Rimang, seekor kuda gagah yang dikendarai oleh Adipati Arya Penangsang berlari melintasi sebuah bulak yang luas, dari kakinya terhambur debu-debu halus yang melayang diudara menjadi sebuah kabut yang tipis.
Dibelakangnya juga berlari cepat, seekor kuda yang gagah, sekuat Gagak Rimang, kuda berwarna coklat yang memang telah dipilih oleh Anderpati untuk berlari menempuh perjalanan yang jauh.
Beberapa kali mereka beristirahat, dan ketika matahari telah tenggelam di ufuk barat, gelap malampun membayang, Anderpatipun telah menyalakan dua buah obor, yang sebuah diberikan kepada junjungannya, Adipati Jipang.
Mereka berdua melanjutkan perjalanannya meskipun lari kudanya tidak bisa secepat sewaktu siang hari, karena saat ini gelap malam telah menyelimuti seluruh bumi Kudus.
"Ini sudah wayah sepi wong, sebentar lagi kita akan sampai di Panti Kudus" kata Anderpati dalam hati sambil terus menjalankan kudanya.
Tak lama kemudian kedua kuda itu telah sampai di depan regol Panti Kudus, dan terlihat seorang santri yang saat itu sedang duduk di pendapa, telah bangkit berdiri, lalu berlari menghampiri kedua orang berkuda itu.
Adipati Jipang mengucap salam, dan santri itupun telah membalas salamnya.
"Selamat datang Kanjeng Adipati Jipang, Kanjeng Sunan Kudus baru saja masuk ke ruang dalam, sekarang Kanjeng Sunan telah berada di kamarnya" kata santri itu.
"Ya, tolong urus kuda-kuda kami, aku akan langsung ke ruang dalam, menemui Bapa Sunan" kata Arya Penangsang, kemudian ia bersama Anderpati mencuci kaki, lalu naik ke pendapa, lalu mereka berdua berjalan memasuki ruang dalam.
Ketika Arya Penangsang masuk ke ruang dalam, disana dilihatnya Sunan Kudus baru saja keluar dari kamar, ternyata ada seorang santri yang memberitahukan kalau malam ini Adipati Jipang datang berkunjung ke Panti Kudus.
Arya Penangsang mengucap salam dan dijawab oleh Sunan Kudus beserta santrinya, Arya Penangsangpun maju kedepan mencium tangan gurunya.
"Kau selamat Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Atas pangestu Bapa Sunan, saya dalam keadaan baik" kata Adipati Jipang.
"Sampai larut malam kau baru tiba di Panti Kudus" kata Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Sekarang hampir tengah malam, besok saja kita saling bercerita, sekarang kau beristirahatlah dulu di kamar belakang" kata Sunan Kudus.
"Baik Bapa Sunan" jawab Penangsang, lalu ia bersama Anderpati berjalan menuju pakiwan.
Setelah dari pakiwan, lamat-lamat terdengar suara kentongan yang ditabuh dengan nada dara muluk.
"Sudah tengah malam" kata Arya Penangsang yang sedang menuju kamarnya, dan ketika Adipati Jipang telah berada diatas pembaringan, maka didalam angan-angannya hanya terdapat gambaran prajurit Jipang yang akan segera diberangkatkan menyerang Pajang.
"Mudah-mudahan besok pagi Bapa Sunan memberi ijin kepadaku untuk menggempur Pajang" kata Arya Penangsang dalam hati.

Tanpa terasa Arya Penangsangpun telah tertidur nyenyak, badannya terasa lelah setelah sehari penuh ia berkuda dari Jipang ke Panti Kudus.
Pagi harinya, setelah sholat subuh berjamaah, Sunan Kudus duduk di ruang dalam, sedangkan dihadapannya, duduk pula murid kesayangannya sekaligus kemenakannya, Arya Penangsang.
Saat itu Adipati Jipang Arya Penangsang sedang bercerita tentang usahanya membunuh Sultan Hadiwijaya dengan menggunakan tangan Singaprana beserta ketiga saudaranya, lalu iapun bercerita tentang hilangnya keris Kyai Setan Kober, kemudian Arya Penangang juga minta ijin untuk menggerakkan prajuritnya menyerang Pajang.
"Jadi Singaprana kau bunuh dengan menggunakan keris miliknya yang merupakan hadiah dari Sultan Hadiwijaya itu ?" tanya Sunan Kudus.
"Betul Bapa Sunan" kata Arya Penangsang.
"Hmm, kau tergesa-gesa Penangsang, kau malah membunuh orangmu sendiri" kata gurunya.
"Ya Bapa Sunan, itu semua karena Singaprana telah menghilangkan keris Kyai Setan Kober" jawab Penangsang.
"Penangsang, kalau kau tidak membunuh Singaprana, maka Sultan Hadiwijaya pasti kecewa, tetapi kelihatannya Sultan Hadiwijaya memang telah memperhitungkan kalau kau pasti membunuh Singaprana, dan Sultan Hadiwijaya telah menyediakan sebuah keris untuk membunuhnya" kata Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Kalau begitu, saat ini yang menguasai Keris Setan Kober adalah Sultan Hadiwijaya ?" kata Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan, itulah sebabnya saya minta ijin Bapa Sunan untuk menyerang Pajang" kata Arya Penangsang.
"Kau akan menyerang Pajang ?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" kata Penangsang.
"Siapa yang akan menjadi Senapati Agung pasukan Jipang ?" tanya Sunan Kudus,
"Saya sendiri Bapa Sunan, saya yang akan menjadi Senapati Agung Jipang" kata Penangsang.
"Kalau kau menjadi Senapati Agung pasukan Jipang, apakah kau sudah siap menghadapi perang tanding melawan Hadiwijaya ?" tanya Sunan Kudus.
Arya Penangsang memandang gurunya dengan heran, Sunan Kudus harusnya sudah mengetahui kalau ia tidak takut beradu ilmu dengan Hadiwijaya.
"Ya Bapa Sunan, sekarangpun saya besedia berperang tanding melawan adimas Hadiwijaya" kata Penangsang
"Setelah Kyai Setan Kober berada di tangan Hadiwijaya, pusaka apa lagi yang akan kau andalkan untuk di bawa ke medan pertempuran Penangsang ?" tanya gurunya.
"Tidak ada Bapa Sunan, yang ada cuma keris dapur Tilam Upih" kata Penangsang.
"Apakah keris Tilam Upih sudah bisa diandalkan untuk perang tanding sampai salah satunya kalah atau mati ?" tanya Sunan Kudus.
Arya Penangsang tidak menjawab pertanyaan gurunya, keris Tilam Upih miliknya memang belum setingkat dengan keris Kyai Setan Kober, tetapi ia terkejut ketika Sunan Kudus berkata :"Apa yang akan kau lakukan Penangsang, kalau dalam perang tanding nanti Sultan Hadiwijaya mempergunakan keris Kyai Setan Kober sebagai senjatanya ?".
Arya Penangsang tidak menjawab, ia hanya terdiam mendengarkan perkataan dari Sunan Kudus.
"Ingat Penangsang, setiap sentuhan keris Kyai Setan Kober ditubuhmu, meskipun hanya seujung rambut, akan dapat berakibat maut" kata Sunan Kudus.
"Tetapi Bapa Sunan, tetapi saya mempunyai aji Tameng Waja yang tidak mampu ditembus oleh senjata tajam" jawab Penangsang.
"Ya, itu kalau yang memegang keris Kyai Setan Kober adalah orang yang ilmu kanuragannya setingkat dengan Singaprana, tetapi kalau yang memegang keris Kyai Setan Kober adalah Sultan Hadiwijaya, ceritanya bisa menjadi lain, Penangsang" kata Sunan Kudus menjelaskan.
Arya Penangsang hanya terdiam ketika mendengar penjelasan gurunya, dan sesaat kemudian Sunan Kuduspun masih berbicara lagi :"Kau lupa Penangsang, dulu ketika berada di hutan Prawata, dihadapan Sultan Trenggana, Karebet mampu membunuh seekor kerbau yang mengamuk dengan sekali pukul, berarti nanti apabila Sultan Hadiwijaya memegang Kyai Setan Kober ditangannya, ia akan mampu menembus aji Tameng Waja milikmu"
"Ya Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Aku tidak ijinkan kau menyerang Pajang sekarang, saat ini kau bukan tandingan Sultan Hadiwijaya yang bersenjatakan keris Kyai Setan Kober" kata gurunya.
"Ya Bapa Sunan, lalu bagaimana dengan keris Kyai Setan Kober yang telah hilang, keris itu harus kembali ke padaku Bapa Sunan" tanya Arya Penangsang.
"Penangsang, apakah saat ini kau masih punya keinginan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya ?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan, dari dulu saya sudah minta bantuan Bapa Sunan untuk membunuh Adimas Hadiwijaya" kata Arya Penangsang.
"Baik, aku akan bantu membunuh Sultan Hadiwijaya untukmu, tetapi aku tidak akan turun tangan langsung membunuhnya, kau saja nanti yang membunuhnya, tetapi kau harus menurut apa yang aku perintahkan, kau harus tanggap dan memahami isyarat-isyarat yang akan aku berikan dihadapan Sultan Hadiwijaya" kata Sunan Kudus.
"Saya bersedia menuruti semua perintah dari Bapa Sunan" kata Adipati Jipang.
"Baik kalau begitu aku akan mengundang Sultan Hadiwijaya ke Panti Kudus untuk musyawarah ilmu, waktunya sehari setelah purnama penuh, kira-kira dua pasar lagi" kata Sunan Kudus.
"Besok dua orang santri Kudus akan aku utus ke kotaraja Pajang" kata Sunan Kudus.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment