15 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 34

KERIS KYAI SETAN KOBER 34
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG 3.
Kemudian kedua kuda itupun kembali berlari menjelajah ke segenap arah di tanah lapang, kedua prajurit penunggang kuda itu kemudian menghentikan kudanya di depan panggung dengan kedua kaki kuda itupun terangkat keatas.
Kembali terdengar sorak dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton yang berada di pinggir bulak amba, dan beberapa saat kemudian kedua prajurit itupun kembali ke pinggir lapangan, dan keduanya menerima sebuah tongkat sepanjang dua depa, yang ujungnya berupa bola kayu sebesar buah manggis. Sambil membawa tongkat berujung bola kayu, keduanya kemudian menjalankan kudanya saling menjauh, kuda putih berlari ke arah utara sedangkan kuda yang berwarna coklat berlari kearah selatan, 
Orang bercaping yang menonton dipinggir lapanganpun melihat kedua prajurit berkuda itu akan saling menyerang menggunakan tongkat berujung bola kayu, yang seakan-akan mereka akan bertempur menggunakan sebatang tombak tajam.

"Ternyata kedua prajurit itu akan bermain sodoran, apakah prajurit Pajang mampu bermain sodoran sebagus para prajurit Demak?" kata orang bercaping itu dalam hati.
Kedua penunggang kudapun sudah berhadapan dan telah bersiap untuk bermain sodoran, kedua kuda itu sudah berhenti, kedua prajurit itupun telah memegang sebatang tongkat sepanjang dua depa dan berujung bola kayu.
Penunggang kuda putih perlahan-lahan menjalankan kudanya, satu tangannya memegang tongkat, sedangkan tangan yang lain memegang kendali kuda, semakin lama semakin cepat, akan menyerang penunggang kuda berwarna coklat yang telah melarikan kuda menyongsong lawannya.
Penunggang kuda yang berwarna coklat sudah mengambil ancang-ancang untuk menyerang lawannya, tongkatnya sudah diangkat untuk menusuk tubuh kawannya, tetapi penunggang kuda putih dengan cepat membelokkan arah kudanya melingkar, sehingga kedua ekor kuda itu berlari saling menjauh. 
Kedua kuda itu kembali berputar dan berlari saling mendekat, dan ketika jarak keduanya semakin dekat, maka penunggang kuda berwarna coklat menyerang lawannya dengan sodokan tongkat ke arah lawannya. Sambil terus melarlkan kudanya, maka penunggang kuda putih memiringkan badannya hampir bergelantungan disamping kudanya, sehingga tongkat berujung bola kayu tidak mengenainya.
Kembali kedua kuda saling menjauh, lalu merekapun berbalik saling menyerang kembali, penunggang kuda putih bersiap menyerang, tetapi penunggang kuda coklat itu juga telah bersiap memukul tongkat lawannya. Dengan tangan kiri memegang kendali dan tangan kanan memegang tongkat, maka kedua tongkat itupun berbenturan, kedua tangan penunggang yang memegang tongkat bergetar, tetapi keduanya masih melarikan kudanya saling menjauh. 
Tanah lapang menjadi sunyi, semua perhatian tertuju kepada kedua prajurit yang bemain sodoran.
Kembali kedua kuda itu berputar dan berlari mendekat, prajurit penunggang kuda yang berwarna coklat menjulurkan tongkatnya, tetapi ia terkejut ketika jarak keduanya sudah dekat, ia melihat lawannya yang menunggang kuda putih tidak memegang tali kendali kudanya, tetapi kedua tangan lawannyapun telah memegang tongkatnya yang berujung sebuah bola kayu.
Sesaat kemudian terasa tangannya tergetar karena tongkatnya telah dipukul oleh lawannya, akibatnya tanpa dapat dicegah, tongkat yang dipegang bergetar dan jatuh ketanah. Kekuatan tangan kanannya yang memegang tongkat tidak kuat menahan benturan pukulan tongkat lawannya yang dipegang oleh kedua belah tangannya.
Belum hilang rasa terkejutnya, tiba-tiba pundaknya terasa sakit terkena bola yang berada diujung tongkat lawannya, dan sebuah kekuatan yang besar telah mendorong pundaknya, dan tanpa bisa dihindari dirinyapun terjatuh dari punggung kuda coklatnya.
Sorak dan tepuk tangan rakyat Pajang yang menonton di tanah lapang kembali terdengar mbata rubuh, melihat akhir dari sebuah permainan ketangkasan bermain sodoran dari dua orang prajurit Pajang. Mengetahui lawannya telah jatuh, prajurit penunggang kuda putih segera turun dari kudanya dan berlari menghampiri lawannya, kemudian iapun menolongnya berdiri.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya prajurit yang telah menjatuhkan lawannya.
"Punggungku terasa patah" kata lawannya, kemudian prajurit itupun membantu lawannya berdiri, dan dengan berjalan sambil memegangi pundaknya, mereka berdua memberi hormat dan menyembah kepada Adipati Hadiwijaya yang berada diatas panggung, lalu merekapun membungkuk hormat kepada penonton.
Kembali sorak sorai dan tepuk tangan rakyat Pajang yang menonton di pinggir lapangan terdengar terdengar riuh rendah, melihat kedua prajurit tidak mengalami luka yang berat meskipun salah seorang harus terjatuh dari kuda ketika bermain ketangkasan sodoran.
Dua orang prajurit yang lain keluar dari barisan dan berlari ketengah lapangan, untuk memegang tali kendali kuda dan membawa dua ekor kuda itu kembali ke tepi lapangan. Meskipun salah seorang dari prajurit itu merasa kesakitan karena terjatuh dari punggung kuda dan pundaknya terasa sakit terkena bola kayu, tetapi keduanya mampu berjalan sampai ke tempatnya semula. 
Setelah semuanya selesai, maka Adipati Hadiwijaya kemudian berdiri dan berjalan menuju dalem Kadipaten, diapit oleh Ki Ageng Nis Sela dan Lurah Wasana dari kesatuan Wira Manggala Demak, dan diikuti oleh nayaka praja Pajang beserta dua orang prajurit Demak. 
Pemanahan dan Penjawi kemudian membubarkan para prajurit yang masih berbaris di tanah lapang, dan perlahan-lahan penontonpun sedikit demi sedikit telah mulai beranjak pergi dari depan dalem Kadipaten, 
Kedua orang itupun lalu berjalan menghampiri prajurit yang terjatuh dari punggung kudanya 
"Kau baik-baik saja? " tanya Pemanahan kepada prajurit penunggang kuda berwarna coklat.
"Ya Ki, tidak apa-apa, hanya sedikit terkejut saja, sebentar lagi pasti sudah pulih kembali" kata prajurit itu.
"Hari ini kita sampai disini, tetapi jangan lupa, setiap hari kita akan berlatih, nanti akan diatur kapan kita latihan, beberapa kelompok akan berlatih secara bergantian" kata Pemanahan.
Para prajurit bersama penonton yang tersisa satu per satu berjalan meninggalkan bulak amba dan tak lama kemudian, tanah lapang didepan dalem Kadipatenpun telah menjadi sepi kembali. 
Demikianlah, telah selesai satu acara penting bagi Kadipaten Pajang yang sekarang telah mempunyai prajurit penjaga tlatah Pajang, bukan hanya sekedar laskar atau pengawal biasa, tetapi telah mempunyai ratusan prajurit Kadipaten.
Waktupun terus berjalan, mataharipun terus merambat naik, setelah sampai di puncak langit, maka iapun akan bergeser turun kebawah, semakin lama semakin cepat dan tak lama kemudian mataharipun akan hilang di cakrawala barat dan siang yang terang telah berganti menjadi malam yang gelap.
Keesokan harinya, diruang dalam Kadipaten Pajang, semua nayaka praja telah berkumpul, terlihat pula Ki Ageng Nis Sela dan Lurah Wasana telah berada di ruang itu..
Mereka membicarakan hal yang sangat penting bagi Kadipaten Pajang terutama bagi Adipati Hadiwijaya sendiri.
"Kita akan berangkat ke Kadilangu besok pagi setelah matahari terbit" kata Hadiwijaya.
"Hari ini Wenang Wulan akan mendahului berangkat dulu ke Tingkir, lalu bersama rombongan dari Tingkir yang membawa tiga ekor kuda yang berisi beberapa hasil bumi, mereka berangkat ke Kadilangu besok pagi, menginap semalam di jalan, lusa mereka akan sampai di Kadilangu" kata Sang Adipati. 
"Nayaka praja yang ditinggal di Pajang adalah Patih Mancanagara bersama Ngabehi Wilamarta, jangan lupa, rencana untuk melatih para prajurit masih tetap dilaksanakan, nanti untuk sementara Ki Patih bisa melatih para prajurit bergantian dengan Ngabehi Wilamarta" kata Sang Adipati.
"Selama aku pergi, sebelum para prajurit Pajang bisa berdiri sendiri, disini masih ada Ki Lurah Wasana yang menjaga ketenteraman diseluruh tlatah Pajang " kata Adipati Pajang.
"Lainnya, akan berangkat ke Kadilangu bersamaku besok pagi, nah ada lagi yang akan kita bicarakan? tanya Adipati Hadiwijaya.
"Apakah kita tidak mengajak beberapa orang prajurit Pajang sebagai pengawal, Kanjeng Adipati " kata Pemanahan. 
"Siapa prajurit yang akan diajak kakang Pemanahan" tanya Adipati Pajang.
"Dua orang prajurit yang trampil menunggang kuda, yang kemarin telah bermain sodoran, mereka berdua bersaudara, Prayuda dan Prayoga, kelihatannya mereka telah terbiasa berada di punggung kuda, paling tidak mereka bisa membawa beberapa bekal yang harus dibawa" kata Pemanahan.
"Baik, nanti kakang Pemanahan yang akan menghubungi mereka, dan kita besok akan berangkat tujuh orang" kata Hadiwijaya, dan setelah semuanya selesai, Kanjeng Adipatipun segera masuk kedalam kamar, dan pertemuan itupun kemudian dibubarkan.
Wenang Wulan segera mempersiapkan dirinya, iapun membawa beberapa bekal untuk keperluan dijalan, bumbung berisi air, dan sebuah bungkusan berisi beberapa pakaian terbaiknya yang akan dipergunakan untuk adi cara lamaran kemudian dilanjutkan dengan acara pahargyan pengantin nanti, ketika matahari telah memanjat langit agak tinggi, seekor kuda dengan sebuah bungkusan berisi pakaian tergantung di pelana, telah siap di halaman belakang dalem Kadipaten.
Setelah pamit kepada Adipati Hadiwijaya, maka Wenang Wulanpun segera naik ke punggung kuda, kemudian kuda itupun dijalankannya menuju keluar, lalu dilarikannya ke desa Tingkir. 
Malam harinya, di kamarnya, Hadiwijaya sedang mempersiapan barang-barang yang akan dibawanya besok pagi, sebuah kotak kecil dari kayu berukir berisi beberapa perhiasan yang dulu pernah dimiliki oleh eyang putrinya Dewi Asmayawati, kemudian satu kotak kayu berukir lagi yang agak besar berisi beberapa kain yang bagus, juga peninggalan eyangnya yang dibawanya dari Kraton Majapahit, tak lupa dibawanya pula keris Kyai Naga Siluman yang menjadi Sipat Kandel Kadipaten Pajang.
Kedua kotak kayu itu kemudian dibungkusnya dengan sebuah kain panjang, diikat erat dan rapi, sehingga tidak terlihat dari luar. Selain itu dibawanya pula beberapa pakaian terbaiknya, lalu dibungkusnya dengan sebuah kain panjang.
Malam semakin larut, malam ini Hadiwijaya sulit sekali tidur, bahkan sampai lewat tengah malam, setelah terdengar nada dara muluk dari kejauhanpun, Sang Adipati masih tergolek kesana kemari, setelah hampir fajar, meskipun sekejap, Hadiwijayapun bisa tertidur.
Setelah fajar menyingsing, semua telah bangun dan mempersiapkan diri untuk mengadakan sebuah perjalanan jauh. Hadiwijayapun telah bersiap, keris Kyai Naga Siluman telah diselipkan dilambung depan sebelah kiri, lalu ditutupinya dengan ujung bajunya, selain itu dua buah bungkusanya sudah disiapkan untuk dibawa ke Demak. 
Tujuh ekor kuda telah bersiap didepan pendapa dalem Kadipaten, semua nayaka praja sudah ada disana, ditambah dua orang prajurit Pajang yang trampil mengendarai kuda, Prayoga dan Prayuda. Beberapa bekal makanan, pakaian dan peralatan sudah disiapkan, semuanya telah diiikat tergantung di beberapa pelana kuda.
Tidak lama kemudian terlihat Adipati Hadiwijaya keluar dari ruangan dalam membawa dua buah bungkusan, lalu Pemanahan dan Penjawipun naik ke pendapa, menyongsong Sang Adipati, membawakan dua buah bungkusan yang akan dibawa ke Demak.
Dihalaman, Adipati Hadiwijaya berbicara sebentar dengan Patih Mancanagara serta Ngabehi Wilamarta, lalu Kanjeng Adipati segera naik kuda dikuti oleh Ki Ageng Nis Sela, Ngabehi Wuragil, Pemanahan, Penjawi, serta prajurit Prayoga dan Prayuda. 
Sesaat kemudian, setelah semuanya siap, tujuh ekor kuda keluar dari dalem Kadipaten Pajang menuju ke arah utara, dan didepan sendiri, berkuda Sang Adipati, diikuti oleh enam orang yang ikut pergi ke kotaraja Demak. Udara pagi yang segar dan dingin mengusap wajah mereka, kuda-kuda mereka berlari tidak terlalu kencang.
Matahari semakin tinggi, kuda-kuda itu masih tetap berlari, dan setelah menyeberangi beberapa sungai kecil yang melintang di jalan, maka setelah tiba dipertigaan, merekapun berbelok ke kanan, menuju arah desa Sima. 
Setelah dua kali mereka berhenti sebentar, sekedar untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk minum dan beristirahat, kini rombongan mulai memasuki hutan Sima, perjalananpun mulai tersendat, hutan Sima adalah sebuah hutan yang tipis, bukan hutan yang lebat, apalagi hutan gung liwang liwung, sato mara sato mati, jalma mara keplayu.
Di hutan kini telah terdapat jalan setapak yang tembus hingga ke tepi sungai Tuntang, lalu membelok ke kanan, ke jalan yang menuju ke arah Demak.
Perjalanan rombongan dari Pajang, saat ini tetap lancar, meskipun kuda-kuda mereka tidak bisa berlari, bahkan kadang-kadang penunggangnya harus turun untuk menuntunnya, tetapi perjalanan rombongan perlahan-lahan tetap bisa maju terus. 
Ketika matahari telah berada dipuncak langit, ke tujuh orang itu hampir keluar dari hutan dan ketika mereka melewati sebuah umbul kecil, sebuah mata air didalam hutan, Adipati Hadiwijayapun berkata kepada keenam orang lainnya :" Sebentar lagi kita akan keluar dari hutan, sekarang kita beristirahat dulu di umbul ini" 
Rombongan itupun berhenti, di dekat mata air, lalu mereka turun dari kudanya, Prayoga dan Prayuda kemudian mengambil bungkusan yang berisi bekal yang disangkutkan pada pelana kudanya, dan tak lama kemudian merekapun telah duduk bersama menikmati bekal yang dibawanya.
"Wenang Wulan seharusnya sudah berangkat tadi pagi dari desa Tingkir, rombongannya tidak bisa berjalan cepat karena membawa tiga ekor kuda yang membawa beban hasil bumi" kata Hadiwijaya setelah selesai makan. 
"Pada saat ini, kemungkinan rombongannya telah berada didepan kita" kata Adipati Hadiwijaya. 
Setelah beristirahat sejenak dan mengisi air minum di mata air di dalam hutan Sima, tak lama kemudian rombongan Adipati Hadiwijaya meneruskan perjalanannya. Mereka berjalan terus, dan setelah bertemu dengan sungai Tuntang, maka rombongan itupun dengan cepat melarikan kudanya melewati jalan ditepi sungai sebelah tenggara, menuju arah timur laut, setelah itu sungai Tuntang berbelok kearah utara, dan merekapun berjalan di tepi sungai sebelah timur. 
Matahari sudah rendah sekali di arah barat, panasnya sudah tidak lagi menyengat, sebentar lagi menjelang senja, dan alampun akan berubah, perlahan lahan alam menjadi suram.
Adipati Hadiwijaya menengadahkan kepalanya, di angkasa terlihat beberapa burung bangau berwarna putih yang pulang ke sarangnya, burung-burung itu terbang beraturan membentuk sebuah sudut, pemimpinnya berada di paling depan, diikuti oleh beberapa burung yang lain seperti garis memanjang agak condong kebelakang yang terletak disebelah kanan dan kirinya 
"Sebentar lagi matahari akan terbenam, kita akan beristirahat, dan mandi di sungai ini" kata Adipati Hadiwijaya dalam hati sambil memperlambat lari kudanya.
Matahari semakin rendah, tiba-tiba Adipati Hadiwijaya mengangkat tangan kanannya, dan kuda-kuda yang mengkutinya semuanya berhenti. Dengan matanya yang tajam Hadiwijaya melihat dari jauh, beberapa ratus langkah didepan mereka, ada beberapa kuda yang berhenti, seperti ada sesuatu yang mereka tunggu.
"Kakang Pemanahan" kata Sang Adipati.
Pemanahanpun lalu memajukan kudanya kedepan dan berhenti disebelah kanan Adipati Hadiwijaya. 
"Didepan ada serombongan orang berkuda, coba lihat siapakah mereka" kata Adipati Hadiwijaya sambil menunjuk serombongan orang berkuda yang jauh didepan mereka..
"Baik Kanjeng Adipati" kata Pemanahan, lalu iapun menengok kebelakang sambil berkata :" Prayoga dan kau Prayuda, mari kita lihat siapakah rombongan orang berkuda yang berada di depan kita" 
"Baik Ki" kata Prayoga dan Prayuda bersamaan.
Sesaat kemudian tiga ekor kuda telah berlari mendahului ke depan, dan di belakang mereka Adipati Hadiwijaya bersama tiga orang lainnya juga telah menjalankan kudanya.
Beberapa ratus langkah didepan mereka, tiga orang penunggang kuda yang sedang berhenti, setelah salah seorang dari mereka, ketika menengok kebelakang melihat debu mengepul dari belakang kaki kuda yang berlari, lalu orang itu memerintahkan lainnya untuk berhenti, menunggu rombongan berkuda yang bergerak menuju kearahnya.
Yang memberi perintah untuk menunggu rombongan berkuda yang berada dibelakang adalah seorang anak muda, sedangkan yang berada disampingnya terdapat dua orang tua yang duduk diatas punggung kuda. Selain itu, masih ada tiga ekor kuda yang dipunggungnya diberi beban, yang berdiri disampingnya. 
Pemanahan yang sedang berkuda mendahului rombongan dari Pajang, melihat seorang anak muda yang berada diatas punggung kudanya sedang tersenyum sambil melambaikan tangannya, maka iapun kemudian juga mengangkat tangannya sambil berkata :"Wenang Wulan bersama rombongan dari desa Tingkir"
Dari atas punggung kudanya, Adipati Hadiwijaya melihat Pemanahan berada disebelah rombongan berkuda yang terlihat sedang menunggunya. 
"Itu rombongan Wenang Wulan" kata Adipati Hadiwijaya.
Kemudian terlihat semua penunggang kuda yang menunggunya telah turun dari punggung kudanya dan ketika Adipati Hadiwijaya sudah berada didepan rombongan dari Tingkir, maka sang Adipatipun turun dari punggung kudanya, diikuti oleh semua rombongannya.
"Kau Wenang Wulan, bagaimana pejalananmu, lancar?" tanya Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, semuanya bejalan lancar, saya berangkat bersama Ki Suta dan Ki Ganjur" jawab Wenang Wulan. 
"Paman Suta, kapan paman berangkat dari Tingkir?" tanya Hadiwijaya. 
"Tadi kami berangkat setelah matahari terbit, perjalanannya agak lambat karena kita membawa tiga ekor kuda beban" jawab Suta
Adipati Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, lalu kepada Ki Ganjur iapun berkata :"Bagaimana Paman Ganjur, paman pasti lelah setelah berkuda dari pagi sampai senja" 
"Tidak Hadiwijaya, aku tidak lelah, badanku masih kuat, sekarangpun aku masih sanggup untuk meneruskan perjalanan ini sampai ke kotaraja Demak" kata Ganjur sambil memijit pinggangnya yang terasa seperti akan patah.
Tetapi Ki Ganjur terkejut, matanya terbelalak seperti tidak percaya ketika mendengar Adipati Hadiwijaya berkata :"Baik paman, mari kita teruskan perjalanan ini sampai kotaraja Demak, malam ini kita tidak perlu beristirahat"
"Kau, kau sedang bergurau Hadiwijaya?" tanya pamannya yang menjadi bingung mendengar perkataan kemenakannya.
"Aku tidak bergurau paman, yang aku khawatirkan hanya paman Ganjur yang sudah tua, tapi ternyata badan paman Ganjur masih kokoh kuat berada dipunggung kuda hingga sampai di kotaraja Demak, maka sebaiknya sekarang juga kita melanjutkan perjalanan ke Demak" kata Adipati Hadiwijaya.
Dengan cepat Ganjurpun menjawab :"Tidak bisa Karebet eh Hadiwijaya, meskipun badanku masih kuat melanjutkan perjalanan berkuda sampai Demak, tetapi sekarang mataku sudah mengantuk, jadi sebaiknya malam ini kita tidur saja, tidak usah meneruskan perjalanan, terlalu berbahaya kalau kita berjalan di malam hari, jalan setapak yang akan kita lalui akan terlihat gelap, aku takut kalau kecebur di sungai Tuntang ini"
"Baik, karena paman Ganjur takut kecebur di sungai Tuntang, malam ini kita beristirahat, kita maju ke utara sedikit lagi, nanti kita beristirahat di tanah yang agak lapang" kata Adipati Hadiwijaya. 
Ganjurpun tersenyum, dia terlihat senang karena usulnya di terima oleh Adipati Hadiwijaya, jadi semuanya bisa beristirahat, tidak perlu berkuda pada malam hari, tetapi mendadak senyumnya menghilang seperti awan yang tersapu oleh angin kencang, ketika terasa pinggangnya tersengat rasa sakit.
Beberapa saat kemudian kuda-kuda itu mulai bergerak maju untuk mencari tanah yang agak lapang untuk bisa beristirahat, dan ketika di depan mereka terdapat sebuah lapangan rumput, maka merekapun kemudian berhenti dan semuanya turun dari punggung kudanya. 
Pemanahan bersama dua orang prajurit, Prayoga dan Prayuda segera mencari beberapa bambu yang banyak tumbuh ditepi sungai, dengan pedang pendeknya dipotongnya beberapa bambu yang tidak terlalu besar, dan dengan beberapa utas tali yang dibawanya dari Pajang, maka diikatnya bambu-bambu itu membentuk sebuah ruangan kecil, sebuah tenda sederhana, lalu ditutupnya dengan kain panjang, sehingga dapat dipergunakan untuk tidur Sang Adipati.
Sementara itu beberapa orang dalam rombongan itu membantu Wenang Wulan menurunkan beban yang berada di samping punggung tiga ekor kuda dan setelah itu, semua orang secara bergantian mandi dan membersihkan badan di sungai Tuntang yang airnya terlihat bening.
Tak lama kemudian Adipati Hadiwijayapun telah selesai membersihkan dirinya, dan Sang Adipatipun kini telah berada di dalam tenda. Beberapa saat kemudian telinganya mendengar suara derap kaki kuda yang berlari tidak terlalu kencang, mendekat ke arah tenda. 
Suara derap kudapun telah berhenti didepan tenda, tak lama kemudian Wuragil telah berada didepan tenda dan berkata kepada Sang Adipati. 
"Kanjeng Adipati, yang datang adalah Ki Buyut Banyubiru dan kakang Majasta" kata Ngabehi Wuragil yang merupakan saudara termuda dari tiga bersaudara Ki Buyut Banyubiru. Hadiwijayapun kemudian berdiri dan keluar dari tenda menemui Ki Buyut Banyubiru dan Ki Majasta yang baru saja datang.
"Selamat datang Ki Buyut Banyubiru dan Ki Majasta, selamat bertemu lagi" kata Adipati Hadiwijaya sambil menyalami keduanya. 
"Bagaimana kabar angger Hadiwijaya" tanya Ki Buyut Banyubiru.
"Atas doa Ki Buyut dan Ki Majasta, saya dalam keadaan baik" kata Sang Adipati.
Setelah berbincang sebentar, maka Ki Buyut Banyubiru dan Majasta akan membersihkan badan di sungai.
"Mumpung hari belum gelap, kami akan mandi dulu angger Adipati" kata Ki Buyut Banyubiru.
"Silakan Ki Buyut" kata Sang Adipati, kemudian iapun kembali masuk ke tenda.
Alampun perlahan-lahan menjadi semakin suram, matahari telah tenggelam, prajurit Prayoga masuk kedalam tenda dan menyalakan sebuah pelita minyak yang diletakkan didekat sudut tenda. 
Tak lama kemudian Prayuda berada di depan tenda dan mengatakan Ki Buyut ingin bertemu, dan sesaat kemudian terlihat Ki Buyut Banyubiru dengan membawa sebuah bungkusan, masuk kedalam tenda.
Setelah berada didalam tenda. Ki Buyutpun kemudian dipersilahkan duduk di tikar pandan yang berada di depan Adipati Hadiwijaya, dan setelah Ki Buyut Banyubiru duduk di tikar, bungkusan yang dibawanya, telah diletakkan disampingnya.
"Angger Hadiwijaya" kata Ki Buyut Banyubiru.
"Ya Ki Buyut" kata Sang Adipati.
"Kami memang ingin menemui angger Adipati malam ini, kami berangkat dari Banyubiru agak siang, sehingga malam ini kami bisa menemukan angger di tempat anggger menginap" kata Ki Buyut Banyubiru.
"Ya, dimanapun saya berhenti, kalau Ki Buyut berkuda dibelakang rombongan Pajang, pasti Ki Buyut bisa menemukannya" jawab Adipai Hadiwijaya.
"Selain aku dan Ki Majasta, menjelang tengah malam nanti akan berangkat tiga orang yang membawa buah dan sayuran dari Banyubiru, mereka berangkat dengan membawa obor, dan diharapkan besok sore sudah bisa sampai di Kadilangu" 
"Ya Ki Buyut, berarti nanti yang berangkat dari Banyubiru ada enam ekor kuda?" tanya Hadiwijaya.
"Tidak angger Adipati, karena berangkatnya waktu malam hari, mereka lebih suka berjalan kaki sambil menuntun tiga ekor kuda".
"Tanpa menginap di jalan?" tanya Adipati Pajang.
"Ya, nanti yang mengantar ke Kadilangu adalah tiga orang pemuda yang bertubuh kuat, yang mampu berjalan sehari penuh" jawab Ki Buyut Banyubiru.
Adipati Hadiwijayapun menganggukkan kepalanya.
"Selain itu, aku akan memberikan sesuatu kepada angger Hadiwijaya" kata Ki Buyut Banyubiru sambil membuka bungkusan yang dibawanya. Adipati Hadiwijaya mengangkat wajahnya, dilihatnya bungkusan yang dibawa oleh Ki Buyut Banyubiru.
"Ada dua buah benda yang akan aku berikan kepada angger Adipati, kedua benda ini adalah dua buah pusaka yang aku terima dari ayahku" kata Ki Buyut. 
Ki Buyutpun mengeluarkan dari dalam bungkusan, sebuah keris berwrangka gayaman, kemudian perlahan-lahan iapun mengeluarkan keris itu dari wrangkanya. 
Kini tangan Ki Buyut Banyubiru memegang sebuah keris luk tujuh, yang berwarna hitam, dengan pamor yang terlihat bekerlip lemah, pamor beras wutah.
"Ini adalah keris Kyai Megantara, keris luk tujuh yang dapat dijadikan rangkapan pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang" kata Ki Buyut Banyubiru. 
"Menurut ayahku, dulu keris ini adalah buatan seorang empu yang berasal dari Pengging Witaradya, sehingga tepat sekali kalau sekarang keris ini menjadi milik angger Adipati Hadiwijaya" kata Ki Buyut.
"Ya Ki Buyut" kata Sang Adipati.
"Keris Kyai Megantara bisa menjadi rangkapan keris Kyai Naga Siluman, dan keduanya akan menjadi pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang" kata Hadiwijaya dalam hati.
Ki Buyut Banyubiru kemudian memasukkan kembali keris Kyai Megantara kedalam wrangkanya, kemudian Ki Buyut mengambil sebuah benda dari dalam bungkusannya, sebuah benda lentur, yang panjangnya kurang dari sedepa, berwarna ke coklat kehitaman, hampir selebar telapak tangan.
"Sebuah ikat pinggang" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ya ini adalah sebuah ikat pinggang sekaligus dengan sebuah timangnya" kata Ki Buyut Banyubiru.
Benda lentur yang dipegang oleh Ki Buyut Banyubiru ternyata adalah sebuah ikat pinggang yang lebar, terbuat dari kulit binatang yang tebal. Diujung ikat pinggang itu terdapat sebuah timang yang berwarna hitam, sebuah timang yang terbuat dari wesi aji.
"Ini adalah sebuah pusaka berupa ikat pinggang yang ada timangnya, bernama Jalu Sengara, menurut cerita orang-orang tua, timang ini sama seperti kutang Antakusuma milik Kanjeng Sunan Kalijaga, siapapun yang memakainya akan kebal dari tusukan senjata tajam" kata Ki Buyut Banyubiru.
"Hm sabuk Jalu Sengara, bisa membuat tubuh tak mempan ditusuk keris?" kata Adipati Hadiwijaya. 
"Ya, menurut tutur kata orang-orang tua memang begitu " kata Ki Buyut Banyubiru, lalu Ki Buyutpun masih melanjutkan kalimatnya :"Sabuk Jalu Sengara bisa angger Adipati pakai sebagai rangkapan ilmu kebal yang telah ada pada diri angger Hadiwijaya"
Adipati Hadiwijaya menganggukkan kepalanya.
"Angger Adipati jangan memakai sabuk Jalu Sengara ini setiap hari, tetapi pakaiah ikat pinggang pusaka ini, kalau angger Hadiwijaya membutuhkan rangkapan ilmu kebal"kata Ki Buyut menjelaskan.
"Baik Ki Buyut" kata Hadiwijaya,lalu iapun berkata dalam hati :"Sabuk Jalu Sengara bisa menjadi lapisan kedua dari ilmu kebal aji Lembu Sekilan"
Ki Buyut Banyubiru kemudian memasukkan kembali sabuk Jalu Sengara kedalam bungkusan yang dibawanya, dan dijadikan satu dengan keris pusaka Kyai Megantara, dan sesaat kemudian, Ki Buyut Banyubiru menyerahkan bungkusan itu kepada Adipati Hadiwijaya.
"Terima kasih Ki Buyut Banyubiru" kata Hadiwijaya selanjutmya.
Setelah memberikan bungkusan itu, maka Ki Buyut Banyubirupun kemudian keluar dari tenda, dan bergabung dengan orang-orang yang lain, dan ada beberapa orang sedang berjongkok mengelilingi sebuah api unggun yang telah dinyalakan tidak jauh dari tenda. Beberapa saat kemudian, Wenang Wulan mengantar makanan untuk Sang Adipati kedalam tenda, kemudian bersama dengan yang lainnya, Wenang Wulanpun makan makanan didepan api yang menyala.
Malam semakin dalam, semua orang sudah beranjak tidur, beberapa orang telah tertidur nyenyak, setelah sehari penuh mereka berada dipunggung kuda. 
Didalam tenda, Adipati Hadiwijaya sudah merebahkan badannya diatas tikar pandan, pikirannya menerawang jauh ke kotaraja Demak. 
Suasana menjadi sunyi senyap, tetapi kemudian Hadiwijaya mengangkat kepalanya ketika melihat kain dinding tendanya bergerak-gerak, dengan cepat iapun telah bangkit duduk di tikar dan bersiaga penuh menghadapi segala kemungkinan.
Tetapi Hadiwijaya terkejut ketika terlihat kepala pamannya, muncul di kain tenda yang disibak olehnya. 
"Hadiwijaya, aku tidak bisa tidur, aku kedinginan, boleh aku masuk di tenda?" tanya Ganjur.
"Silakan paman, masuklah" kata Hadiwijaya.
Ganjurpun kemudian masuk kedalam tenda, berselimut kain panjang sambil membawa sebuah bungkusan yang berisi pakaiannya.
"Aku boleh tidur didalam tenda?" tanya Ganjur.
"Silahkan paman, paman tidur di tikar ini, disebelahku" kata Sang Adipati.
Pamannyapun merebahkan badannya di tikar, bungkusannya lalu diletakkan untuk alas kepalanya, iapun berselimut kain panjangnya dan tak lama kemudian terdengar dengkur yang teratur, Ganjurpun telah tertidur. 
Hadiwijaya melihat Ganjur tidur dengan nyenyak, adik dari Nyai Ageng Tingkir itu telah terlihat tua, seorang paman yang lugu dan sayang kepadanya, yang mau membantunya sekuat tenaga ketika ia pertama kali datang ke Demak dengan keinginan untuk menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. 
"Aku terlalu sering menggoda paman Ganjur" kata Hadiwijaya dalam hati.
Hadiwijayapun teringat betapa pamannya menjadi sedih dan bingung ketika mengetahui ia diusir oleh Kanjeng Sultan Trenggana, dan malam itu juga ia harus meninggalkan kotaraja Demak, karena tanpa sengaja ia telah membunuh Dadung Awuk sewaktu di alun-alun ada pendadaran mencari calon prajurit Wira Tamtama Demak. 
"Hampir tengah malam" kata Hadiwijaya, lalu sang Adipatipun merebahkan badannya di samping pamannya Ganjur, dan sesaat kemudian Sang Adipatipun telah tertidur.
Sementara itu, pada saat yang sama, di Banyubiru, dirumah Ki Buyut, tiga orang pemuda Banyubiru telah bersiap untuk mengadakan perjalanan jauh, berjalan kaki dari Banyubiru ke Kadilangu Demak.
Tiga orang pemuda yang berbadan kokoh kuat, yang mampu berjalan sehari penuh, ditangan kirinya masing-masing telah memegang sebuah obor, sedangkan di tangan kanannya memegang tali kendali kuda yang dipunggungya telah diberi beban berupa buah dan sayur mayur dari Banyubiru.
Ketika semuanya sudah siap, maka ketiga orang itupun memulai perjalanannya ke arah timur laut menuju Kadilangu Demak.
Dengan obor di tangan, mereka menyusuri jalan di tepi rawa Pening menuju ke arah timur, berjalan menembus dinginnya udara malam di kaki gunung Telomoyo. 
"Dingin sekali" kata pemuda yang berada didepan.
"Ya " kata kawannya singkat.
Meskipun merasa kedinginan, rombongan itu tetap berjalan terus, dan tak lama kemudian mereka telah sampai di desa Gedangan, setelah sedikit berbelok ke utara, maka sampailah mereka di hulu sungai Tuntang. Ketika di arah timur langit telah berwarna merah, mereka bertiga telah berada jauh dari Banyubiru, berjalan menyusuri tepi sungai Tuntang menuju ke arah timur, 
Langitpun menjadi terang, oborpun dimatikan lalu ketiga obor itu di ikat menjadi satu, lalu disangkutkan di pelana kuda.
"Jangan dibuang, siapa tahu nanti kita masih memerlukan obor itu lagi" kata pemuda yang berada didepan.
Mereka terus berjalan sambil menuntun tali kendali kuda, sementara itu pada saat yang sama, rombongan dari Pajang dan dari Tingkir beserta dua orang dari Banyubiru, telah bersiap untuk meneruskan perjalanan ke Kadilangu. 
(bersambung)

No comments:

Post a Comment