15 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 38

KERIS KYAI SETAN KOBER 38
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 14 : PAHARGYAN PENGANTIN 2
Matahari terus memanjat langit, hari semakin siang, Sasana Handrawinapun sudah disiapkan, dibeberapa tempat sudah dihias dengan hiasan janur. 
Demikian juga di Sasana Sewaka, sebuah tempat duduk pade-pade yang dihias telah disiapkan, diletakkan disudut sebelah barat, sedangkan di dekat tiang luar telah dipasang sebuah tarub.
Para tamu dari jauh yang sudah datang sejak tadi pagi, ditempatkan di kraton wetan, dan mereka dilayani oleh Patih Wanasalam, dibantu oleh Tumenggung Suranata, Tumenggung Surapati dan dijaga oleh beberapa prajurit Wira Tamtama lainnya. 
Duduk di kursi didekat ruang dalam, terlihat Adipati Jipang Arya Penangsang yang sudah datang sejak tadi pagi bersama gurunya Kanjeng Sunan Kudus, disebelahnya ada beberapa tamu penting yang diundang Kanjeng Sultan. Ada beberapa tamu dari Cirebon, terlihat Kanjeng Sunan Gunung Jati, didekatnya terlihat Kanjeng Sunan Muria, lalu disebelahnya duduk Bupati Asem Arang, bersama beberapa bupati dari bang kulon dan bang wetan. 

Para tamu itu tidak datang ke Sasana Sewaka mengikuti acara ijab kabul, tetapi mereka menunggu acara panggih, yg sebentar lagi akan dilaksanakan. 
Waktupun semakin siang, acara panggih akan segera dimulai, para tamu sudah banyak yang datang, hanya tamu penting yang berada di dalam Sasana Sewaka, sedangkan para pengombyong maupun pengikut beberapa Adipati dan Bupati, nantinya akan duduk di luar Sasana Sewaka. Setelah itu rombongan pengantin putripun telah berada di Sasana Sewaka setelah dijemput oleh dua puluh orang prajurit Patang Puluhan.
Sementara itu di bangsal Kesatrian, Adipati Hadiwijaya bersama rombongan serta dikawal oleh dua puluh prajurit Patang Puluhan, siap untuk berangkat ke Sasana Sewaka. Seseorang yang berpakaian abdi dalem mengenakan sebuah topeng kayu, telah bersiap berjalan sebagai cucuk lampah.
Ketika sayup-sayup terdengar bunyi alunan sebuah gending gamelan yang ditabuh, tahulah Tumenggung Jaya Santika, bahwa Kanjeng Sultan sedang memasuki Sasana Sewaka untuk menyaksikan acara Panggih. Sesaat kemudian Ki Tumenggung Jaya Santika memerintahkan rombongan untuk segera berangkat, dan berjalanlah Adipati Hadiwijaya bersama para pengombyong menuju Sasana Sewaka.
Di ujung rombongan paling depan, sebagai cucuk lampah, berjalan sambil menari, seorang abdi dalem yang mengenakan sebuah topeng kayu, lalu dibelakangnya berjalan sang Adipati yang menjadi pengantin, disebelah kirinya, siwanya Kebo Kanigara yang telah bersedia mendampingi kemenakannya, yang diharapkan dapat menjunjung tinggi darah keturunan Pengging, kemudian disebelah kanannya, Kanjeng Sunan Kalijaga yang berpakaian serba hitam, yang mendampingi muridnya untuk menjalani adicara pawiwahan pengantin 
Dibelakangnya, berjalan Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, Ki Buyut Banyubiru bersama para pengombyong yang lain.
Ketika melihat seorang abdi dalem yang menari sambil mengenakan topeng, Ganjurpun berkata kepada Prayoga yang berada disebelahnya :"Coba kalau dari dulu aku mau belajar menari" 
"Ki Ganjur bisa menari?" tanya Prayoga.
"Tidak, tapi aku ingin bisa menari seperti itu, jadi kalau kemenakanku menjadi pengantin, aku bisa menari di depan sendiri sebagai cucuk lampah" kata Ganjur.
Sesampai di depan Sasana Sewaka, gamelan yang ditabuh telah mengalunkan nada dan irama gending yang khusus diperuntukkan untuk adicara panggih pengantin.
Adipati Hadiwijayapun berhenti diluar berada disebelah tarub, bersiap menjalani panggih pengantin yang sebentar lagi akan dilaksanakan, dan ditelapak tangan Adipati Hadiijaya telah menggenggam sebuah daun sirih yang telah dilipat beberapa kali sehingga menjadi agak kecil,
Kanjeng Sultan beserta Kanjeng Prameswari yang berada didalam Sasana Sewaka mengetahui pengantin laki-laki sudah berada di depan, dan sesaat kemudian, dua orang patah yang terdiri dari dua orang gadis kecil segera berjalan ke depan Sang Pengantin laki-laki dari Pajang.
Di belakang sepasang patah, Sang Bunga Cempaka, pengantin putri yang cantik sambil menundukkan kepala, dan ketika tiba didepan suaminya, Adipati Hadiwijaya dengan cepat tangannapun terayun kedepan.
Adipati Hadiwijya yang sedang memandang istrinya, terkejut ketika dadanya terkena lemparan sirih yang di lipat menjadi kecil. Hampir pada saat yang bersamaan tangan Adipati Hadiwijayapun terayun melempar sirihnya tepat mengenai badan istrinya.
Merasa telah melempar sirih terlebih dulu dan tepat mengenai badan Adipati Hadiijaya, pengantin putripun mengangkat memandang ke arah suaminya sambil tersenyum manis, tetapi sesaat kemudian dengan cepat wajah itupun menunduk kembali.
Acara balang-balangan suruh telah selesai, kemudian dilanjutkan dengan acara memecahkan telur yang dipecahkan diatas ranuprada, setelah itu, acara dilanjutkan dengan acara wijikan, kedua pengantin mendekati sebuah bokor kencana yang berisi air, lalu Adipati Hadiwijayapun menyelupkan kakinya di bokor lalu pengantin putripun segera mencuci kaki suaminya.
Beberapa saat kemudian maka selesailah adicara Panggih, kemudian kedua mempelai itupun berjalan bersama menuju ke sebuah pade-pade, sebuah kursi pelaminan yang telah dihias dan dibuat khusus untuk mereka berdua. Setelah pengantin berdua duduk di pade-pade, maka Kebo Kanigarapun duduk di kursi yang telah disediakan, sedangkan Kanjeng Sunan Kalijaga duduk bersama Sunan Kudus, Sunan Muria dan Sunan Gunung Jati, ditemani oleh Patih Wanasalam.
Sebelum Kanjeng Sultan meninggalkan Sasana Sewaka, maka kedua pengantin itu melakukan sungkeman kepada Kanjeng Sultan, Kanjeng Prameswari, beserta Kebo Kanigara, kemudian Kanjeng Sultanpun memberikan nama baru bagi Putri Mas Cempaka, yaitu Ratu Mas Cempaka.
Hanya sebentar kedua pengantin duduk di pelaminan, kemudian bersama Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari beserta keluarga Kraton, mereka berjalan keluar menuju ruangan dalam untuk menikmati hidangan diikuti oleh Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang.
Dibelakangnya menusul Kebo Kanigara, Kanjeng Sunan Kalijaga, Kanjeng Sunan Kudus, Kanjeng Sunan Muria, Kanjeng Sunan Gunung Jati dan beberapa tamu penting lainnya, sedangkan beberapa Bupati dan Adipati, beserta para pengombyong dan para tamu lainnya berjalan menuju Sasana Handrawina yang dilayani oleh Patih Wanasalam. Disana telah tersedia beberapa makanan yang dihidangkan oleh pihak Kraton, untuk dinikmati, kembul bujana Handrawina.
"Ki Ganjur, kenapa kau lewati saja makanan ini?" tanya Prayoga ketika diihatnya Ganjur hanya mondar mandir saja.
"Gigiku ada beberapa buah yang sudah tanggal, aku akan mencari makanan jajan pasar saja, yang empuk-empuk" kata Ganjur.
Didekat sudut sasana, disebelah pohon belimbing, salah seorang tamu dari Jipang, Rangkud, bertanya kepada orang yang berdiri bersamanya :"Ki Patih Matahun, kenapa Ki Patih tidak mengambil makanan?" 
"Nanti saja" jawab Ki Patih Matahun sambil menunjuk seseorang dengan dagunya.
Rangkudpun kemudian mengikuti arah dagu Ki Patih Matahun, dan terlihatlah didekat meja tempat hidangan terdapat Pemanahan beserta Penjawi sedang mengambil makanan, 
Beberapa saat kemudian, selesailah semua rangkaian adicara Panggih, kemudian kedua pengantinpun mohon diri kepada Kanjeng Sultan untuk berjaan menuju tempat yang disediakan untuk mereka berdua, sebuah kamar pengantin di Kraton Kilen.
Dengan dikawal oleh Tumenggung Jaya Santika beserta para prajurit Patang Puluhan, kedua mempelai berjalan menuju Kraton Kilen. Adipati Hadiwijaya dan Ratu Mas Cempaka memasuki sebuah kamar dan tidak jauh dari pintu, telah dijaga oleh dua orang prajurit Wira Tamtama. 
"Akhirnya yang kita inginkan tercapai juga Ratu" kata Adipati Hadiwijaya. 
"Ya Kanjeng Adipati, kalau hamba tidak bisa menjadi istri Kanjeng Adipati, lebih baik hamba tidak usah hidup di dunia ini Kanjeng" kata Ratu Mas Cempaka sambil tersenyum.
"Ya Ratu, untung saja, dulu aku tidak jadi membawamu lari keluar Kraton, kau selalu tidak sabar Ratu" kata Sang Adipati sambil tersenyum 
"Ya Kanjeng Adipati, itu karena hamba terlalu mencintai Kanjeng Adipati" kata Ratu Mas Cempaka.
Waktupun telah berjalan terlalu cepat, mataharipun seakan-akan ingin cepat-cepat masuk ke cakrawala bang kulon.
Malampun segera menyelimuti bumi Demak, dan pengantin baru yang berada di Kraton Kilen tidak menghiraukan sayup-sayup suara kentongan yang ditabuh dengan nada dara muluk.
Ketika fajar telah menyingsing, di dalem Gajah Birawan, Kebo Kanigara bersama para pengombyong telah bersiap untuk menyaksikan adi cara pahargyan pengantin yang terakhir, Kirab Pengantin. Di sudut pendapa, Ganjur bertanya kepada orang yang berada disebelahnya ;"Kenapa kita tidak ikut kirab? Aku sebetulnya ingin ikut Kirab Pengantin"
Orang yang berada disebelahnya, Prayuda, menjawab dengan perlahan :" Ki Ganjur, ini adalah Kirab Pengantin, bukan Kirab Pengombyong"
Sekali lagi Ganjurpun berbicara sendiri dengan suara yang mendegung seperti lebah.
"Sudahlah Ki Ganjur, nanti kita akan bersama-sama menyaksikan adi cara yang terakhir yang sebentar lagi akan lewat didepan, Kirab Pengantin"
Sementara itu adicara yang terakhir, adalah Kirab Pengantin, yang akan mengelilingi Kraton, sudah siap untuk diberangkatkan. Disepanjang jalan yang akan dilalui sepasang pengantin telah penuh dengan ribuan orang yang telah menunggu acara Kirab Pengantin pagi ini. Mereka bukan hanya kawula Demak yang tinggal di kotaraja saja, tetapi juga dari dusun-dusun disekitar kotaraja, yang telah mendengar hari ini akan diadakan kirab Pengantin.
Didepan Kraton Kilen telah siap sebuah tandu Joli Jempana beserta seekor kuda putih, sepuluh prajurit Wira Tamtama, sepuluh prajurit Wira Braja dan empat puluh prajurit Patang Puluhan. Semua prajurit telah bersiap, delapan orang abdi dalem telah berdiri disamping kanan dan kiri tandu, disebelahnya tampak seorang abdi dalem sedang memegang kendali seekor kuda berwarna putih. 
Disebelahnya terdapat sebuah songsong yang berwarna kuning dengan sebuh garis berwarna hijau melingkar, itulah songsong Kadipaten Pajang yang baru.
Sebuah bende telah ditabuh untuk yang pertama kali, dan Tumenggung Jaya Santika terlihat memasuki pintu depan kraton Kilen, dan tak lama kemudian Ki Tumenggung keluar bersama Sang Pengantin, Adipati Hadiwijaya bersama Gusti Ratu Mas Cempaka.
Setelah terdengar suara bende yang kedua kali, maka Gusti Ratu Mas Cempaka dipersilahkan untuk naik di tandu Joli Jempana, dan Adipati Hadiwijayapun dipersilahkan untuk naik di atas punggung kuda putihnya. Setelah itu terdengar suara bende yang ketiga kalinya, maka berangkatlah barisan Kirab Pengantin.
Didepan sendiri berjalan seorang prajurit Wira Tamtama yang membawa sebuah bendera Gula Kelapa, lalu dibelakangnya berjalan seorang prajurit Wira Tamtama yang membawa sebuah bendera kesatuan Wira Tamtama, Cakra Baskara.
Dibelakangnya, sepuluh prajurit Wira Tamtama berbaris tegap melangkah kedepan.
Dibelakangnya seorang prajurit Wira Braja membawa sebuah bendera kesatuan Wira Braja, Trisula Sakti, diikuti oleh sepuluh prajurit Wira Braja. Setelah itu terlihat tandu Joli Jempana yang tirainya terbuka, yang dipikul oleh delapan orang, yang didalamnya berisi Putri Pengantin yang cantik, Gusti Ratu Mas Cempaka, sedangkan disebelahnya naik di punggung seekor kuda putih, Sang Pengantin yang tampan, Adipati Hadiwijaya.
Dibelakang Sang Pengantin, berjalan seorang abdi dalem yang membawa sebuah Songsong Kadipaten Pajang. Setelah itu seorang prajurit dari kesatuan Patang Puluhan yang membawa bendera kesatuan Patang Puluhan, Sardula Seta kemudian disusul oleh barisan prajurit dari kesatuan Patang Puluhan.
Rombongan Kirab Pengantin telah keluar dari pintu gerbang Kraton, terlihat ribuan kawula Demak yang berdiri disepanjang jalan yang dilalui Kirab Pengantin, Didalam tandu Joli Jempana yang tirainya dalam keadaan terbuka, Gusti Ratu Mas Cempaka tersenyum manis kepada semua rakyat Demak yang sedang berdiri disepanjang jalan. 
Ketika Joli Jempana dan seekor kuda putih melewati dalem Gajah Birawan, maka Adipati Hadiwijaya dan Gusti Ratu Mas Cempaka melambaikan tangan kepada para pengombyong yang bercampur dengan puluhan rakyat Demak lainnya. 
Ganjur yang menonton agak dibelakang, kemudian mendesak maju dan berhasil berdiri di jajaran paling depan. Betapa bangganya Ganjur, kemenakannya telah menjadi menantu Kanjeng Sultan Trenggana.
Sang Pengantinpun melambaikan tangannya kepada Ganjur, dan Ki Ganjurpun membalas lambaian tangannya sampai hilang di tikungan wetan Kraton. 
Setelah beberapa saat, maka Kirab Pengantin telah selesai mengelilingi Kraton, dan barisan yang paling depan, pembawa bendera Gula Kelapa telah memasuki pintu gerbang Kraton, lalu barisan itupun kemudian bergerak menuju Kraton Kilen. 
Didepan Kraton Kilen, rombongan Kirab Pengantinpun menyelesaikan kirabnya, Adipati Hadiwijaya kemudian menghentikan kudanya, dan joli Jempanapun telah diturunkan dan diletakkan diatas tanah. Adipati Hadiwijaya turun dari kuda dan segera menghampiri Joli Jempana, membimbing istrinya keluar dari tandu, lalu oleh Tumenggung Jaya Santika, keduanya diantar memasuki Kraton Kilen.
Matahari pagi terus merayap naik, suasana didepan Kraton Kilenpun menjadi sepi kembali.
Ketika matahari mencapai puncaknya, seorang prajurit Wira Tamtama yang menjaga Kraton Kilen mengetuk pintu kamar pengantin, dan sesaat kemudian Adipati Hadiwijaya keluar dan bertanya;" Ada apa prajurit?" 
"Di pendapa telah menunggu Ki Kebo Kanigara beserta dengan rombongan pengombyong Kanjeng Adipati" kata prajurit Wira Tamtama itu.
"Baik, aku segera kesana" kata Adipati Hadiwijaya. 
Prajurit Wira Tamtama itupun kembali ke tempatnya bertugas, berjaga didepan Kraton Kilen, sedangkan Adipati Hadiwijayapun masuk kedalam kamarnya, dan sesaat kemudian Sang Adipati keluar lagi menuju ke pendapa menemui Kebo Kanigara yang telah menunggunya.
Adipati Hadiwijaya segera menemui uwanya yang duduk bersila di tikar bersama dengan beberapa orang yang lain.
"Kita datang kemari akan mohon pamit, karena acara pahargyan pengantin sudah selesai" kata uwanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, acara terakhir, boyongan yang akan dilaksanakan sepasar setelah ijab kabul, berarti kami akan berangkat ke Pajang empat hari lagi" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ya mudah-mudahan semuanya berjalan lancar, sekarang, aku bersama Ki Buyut Banyubiru, Ki Majasta, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Nis Sela, akan mohon pamit kembali ke rumah masing-masing" kata Kebo Kanigara.
"Baik wa, saya juga mengucapkan terima kasih kepada Ki Buyut dan Ki Ageng semuanya, yang telah berkenan mengikuti acara pahargyan pengantin sampai selesai" kata sang Pengantin.
"Ya, Hadiwijaya, selain itu, nanti pada waktu acara boyongan, bagaimana rencana perjalananmu bersama Gusti Ratu Mas Cempaka?" tanya Kebo Kanigara 
"Nimas Ratu akan naik tandu joli jempana, saya akan naik kuda, beberapa kuda kami berada di Kadilangu, besok Prayuda dan Prayoga akan mengambilnya dan membawanya ke Kraton" kata Adipati Hadiwijaya.
"Lalu bagaimana dengan barang-barang yang dibawa dari Kraton?" tanya Kebo Kanigara.
"Rencana semula, barang-barang akan dibawa naik pedati atau naik rakit wa, hanya satu amben berukir, dan beberapa gledeg tempat pakaian Nimas Ratu" kata Adipati Hadiwijaya.
"Pedati, biasanya kesulitan kalau dipakai untuk menyeberangi sungai, maka barang-barang bisa juga akan diangkut dengan menggunakan rakit, tidak melalui hutan Sima, tetapi rakit pengangkut akan terus sampai di Rawa, disana kembali naik pedati yang akan disiapkan oleh Ki Suta dari desa Tingkir, tetapi rakit akan kesulitan kalau melawan arus sungai, sesudah melewati desa Tempuran, air sungai mengalir deras, banyak batu-batu besar kecil, sehingga yang paling mudah mengangkut barang-barang adalah memakai kuda beban" kata Adipati Hadiwijaya
"Untuk memudahkan pengangkutannya, amben dan gledeg harus dilepas satu persatu, nanti setelah sampai di Pajang, tukang kayu dari Kraton yang akan merakit kembali potongan-potongan kayu yang sudah dilepas tadi" kata Sang Adipati.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya dan iapun bertanya :"Kapan kuda beban akan berangkat dari Kraton?" tanya uwanya.
"Besok pagi wa" jawab Adipati Pajang.
"Ya kalau begitu aku bersama Ki Buyut dan Ki Ageng mohon diri sekarang" kata Kebo Kanigara sambil berdiri diikuti dengan yang lain.
"Ya Wa, terima kasih Ki Buyut, Ki Ageng " kata Adipati Hadiwijaya. 
Setelah bersalaman, maka Kebo Kanigarapun segera berjalan turun dari pendapa, diikuti oleh Ki Buyut Banyubiru, Majasta, Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Butuh, dan Ki Ageng Nis Sela.
Saat ini yang berada dipendapa tinggal Sang Adipati bersama Pemanahan, Penjawi, Ngabehi Wuragil, Prayoga, Prayuda, Wenang Wulan, Suta dan Ganjur.
"Wenang Wulan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
"Kau berangkat besok pagi, mengantar paman Ganjur dan paman Suta ke Tingkir, setelah sampai disana persiapkan dua buah pedati di ujung hutan Sima" kata Hadiwijaya.
"Meskipun besok pagi barang-barang akan diberangkatkan dengan menggunakan kuda beban, tetapi tidak ada salahnya kalau dipersiapkan juga sebuah pedati" kata Sang Adipati.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" jawab Wenang Wulan..
Adipati Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, lalu kanjeng Adipatipun berkata :"Prayoga dan Prayuda besok pagi, kalian berdua pergi ke Kadilangu untuk mengambil kuda-kuda kita yang berada disana" 
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Prayoga dan Prayuda hampir bersamaan.
"Kakang Pemanahan, kakang Penjawi, Ngabehi Wuragil beserta Prayoga dan Prayuda supaya tetap tinggal di dalem Gajah Birawan hingga acara boyongan nanti” kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
Beberapa saat mereka berbincang, dan tak lama kemudian merekapun pamit akan kembali ke dalem Gajah Birawan.
"Hadiwijaya, aku mohon pamit, aku besok akan kembali ke Tingkir" kata Ganjur.
"Ya paman, hati-hati dijalan" kata Sang Adipati.
Siangpun telah berganti malam, dan malampun telah berganti menjadi pagi.
Pagi itu, ada beberapa kesibukan di dalam Kraton, beberapa orang Tumenggung terlihat memasuki ruang dalam Kraton. Di ruang dalam, Kanjeng Sultan Trenggana duduk di kursi, dihadapannya duduk bersila beberapa orang Tumenggung. 
Di lantai ruangan, duduk bersila Ki Tumenggung Gagak Anabrang dari kesatuan Wirabraja, disebelahnya duduk Tumenggung Siung Laut dari kesatuan tempur laut, Jala Pati, Tumenggung Ranapati dari kesatuan Wira Radya, Tumenggung Surapati dari kesatuan Wira Manggala, Tumenggung Palang Nagara dari kesatuan Wira Yudha, dan Tumenggung Jaya Santika dari kesatuan Patang Puluhan.
Dibelakangnya, duduk beberapa orang Panji dari kesatuan tempur Narapati dan pasukan penggempur Wirapati, kesatuan pasukan panah Wira Warastra, dan kesatuan pasukan berkuda Turangga Seta, disamping Kanjeng Sultan, duduk pula dua orang Tumenggung dari pasukan pengawal raja, Wira Tamtama. 
Disebelah kiri duduk Tumenggung Suranata, sedangkan disebelah kanan duduk Tumenggung Gajah Birawa. Sesaat kemudian masuklah Patih Wanasalam, setelah menyembah, iapun kemudian duduk di depan Kanjeng Sultan.
"Semua sudah lengkap Kanjeng Sultan" kata Patih Wanasalam.
Kanjeng Sultan mengedarkan pandangannya berkeliling, ketika dilihatnya semua yang hadir sudah lengkap, maka Kanjeng Sultan Trengganapun berkata ;"Ki Patih, Para Tumenggung dan para Panji yang hadir disini, pahargyan pengantin putriku Sekar Kedaton yang sekarang bernama Gusti Ratu Mas Cempaka telah selesai dilaksanakan, dan acara boyongan ke Pajang akan dilaksanaan tiga hari lagi" 
"Setelah itu, aku akan segera memberikan hukuman kepada daerah yang telah mbalela terhadap Kasultanan Demak, daerah yang tidak hadir seba beberapa kali pada saat pisowanan di Kraton Demak" kata Kanjeng Sultan. 
"Tiga pasar lagi, aku akan memberangkatkan prajurit segelar sepapan untuk menggempur Panarukan" kata Sultan Trenggana.
"Panarukan" kata beberapa orang yang hadir didalam hati
"Panarukan akan kita jepit dari darat dan dari arah laut,…Tumenggung Siung Laut!" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Siung Laut.
"Kita berangkatkan dua puluh perahu untuk mengepung Panarukan, sisanya untuk cadangan yang bisa diberangkatkan setiap saat ke bang wetan, apakah pasukan tempur laut, kesatuan Jala Pati sudah siap untuk diberangkatkan?" kata Sultan Trenggana.
"Sendika dawuh, sudah siap Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Siung Laut.
"Semua kesatuan prajurit berangkat ke Panarukan, kecuali prajurit Patang Puluhan dibawah pimpinan Tumenggung Jaya Santika, ditambah sebagian prajurit Wira Tamtana dan sebagian prajurit Wira Manggala" 
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumemggung Jaya Santika.
"Tumenggung Surapati" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Surapati.
"Beberapa hari lagi, kirim utusan prajurit Wira Manggala, ke Cirebon, Bagelen, Tegal Arang, Asem Arang, Tuban, Jepara dan beberapa daerah lainnya, tarik semua prajurit yang bertugas di daerah-daerah, dan nanti sebagian prajuritnya ikut berangkat menggempur Panarukan"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Tumenggung Surapati.
"Untuk daerah Cirebon dan beberapa daerah lainnya yang jauh dari kotaraja, prajurit Wira Manggala sudah bisa diberangkatkan besok pagi" kata Sultan Trenggana.
"Sedangkan untuk Kadipaten Jipang dan Pajang, tugasmu hanya menarik prajurit Wira Manggala yang bertugas disana saja, tidak usah minta bantuan prajurit karena mereka belum mempunyai prajurit, nanti akan aku buatkan nawala untuk semua Bupati dan Adipati supaya mengirim sebagian prajuritnya untuk ikut berangkat ke Panarukan. Untuk para prajurit dari daerah bang wetan, tidak perlu berkumpul di kotaraja Demak, mereka nanti bisa bergabung di Tuban dan di daerah Gresik" kata Sultan Trenggana.
"Bagaimana pendapatmu para Tumenggung dan para Panji?" tanya Kanjeng Sultan. 
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata semua yang hadir di ruangan itu. 
"Nanti anakku Sunan Prawata dan menantuku Pangeran Hadiri dan Adipati Hadiwijaya, termasuk Adipati Jipang Arya Penangsang tidak usah ikut berperang, nanti aku sendiri yang akan menjadi Senapati Agung Kasultanan Demak, dibantu oleh beberapa Tumenggung yang menjadi Senapati Pengapit" kata Kanjeng Sultan. 
"Selama aku menggempur Panarukan, semua urusan Kasultanan Demak aku serahkan kepada Ki Patih Wanasalam" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Patih Wanasalam.
"Para Tumenggung dan para Panji" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan"
"Rencana keberangkaan ke Panarukan ini supaya di rahasiakan dulu, jangan sampai menyebar ke semua kawula Demak"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan"
Beberapa saat kemudian, Kanjeng Sultan Trenggana menganggap pembicaraan itu sudah cukup, lalu Kanjeng Sultanpun meninggalkan ruangan dikawal oleh Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata. 
Sementara itu, Wenang Wulan bersama Ganjur dan Suta baru saja meninggalkan dalem Gajah Birawan, pulang ke desa Tingkir. 
Bersama Prayoga dan Prayuda, mereka berlima berjalan ke arah selatan, lalu berbelok ke timur menyeberangi sungai Tuntang, mereka akan singgah di Kadilangu untuk mengambil kuda-kuda mereka yang dititipkan disana.
Kuda-kuda yang dititipkan di Kadilangu sebagian akan dibawa pulang ke Tingkir, sedangkan sebagian lagi oleh Prayoga dan Prayuda akan dibawa ke Kraton, dan akan dipergunakan nanti pada saat boyongan ke Pajang.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment