05 January 2019

SETAN KOBER 65

SETAN KOBER 65
Karya: Apung Swarna
"Ke Bukit Danaraja, Kanjeng Adipati, sekarang Kanjeng Ratu Kalinyamat bertempat tinggal di pesanggrahan Danaraja, tidak di pesanggrahan Kalinyamatan lagi" kata prajurit sandi itu.
"Lalu dalem Kalinyamatan sekarang dalam keadaan kosong, prajurit ?" tanya Adipati Pajang.
"Hanya dijaga oleh dua tiga orang pengawal, Kanjeng Adipati" kata prajurit itu.
"Semua bahan makanan yang ada di Kalinyamatan semua dibawa ke bukit Danaraja ?"
"Ya Kanjeng Adipati, semua bahan makanan dan alat-alat memasak telah dibawa ke Danaraja dengan menggunakan dua buah gerobag" cerita prajurit itu.

Adipati Hadiwijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Kenapa pindah ke bukit Danaraja ?"

Prajurit sandi itu masih menunduk, dan sesaat kemudian iapun menjawab :"Yang saya dengar dari keluarga salah seorang pengawal Kalinyamatan, Kanjeng Ratu Kalinyamat pindah ke bukit Danaraja karena disana Kanjeng Ratu akan bertapa, tetapi......"
Cerita prajurit itu terhenti, suara yang akan dikeluarkan seakan-akan ditelannya kembali.
Semua orang memandang kepada prajurit sandi, lalu Adipati Hadiwijayapun berkata :"Tetapi kenapa ?"
"Kanjeng Adipati, di bukit Danaraja, Kanjeng Ratu Kalinyamat memang bertapa, tetapi cara bertapa tidak seperti umumnya orang bertapa" kata prajurit sandi itu.
"Bagaimana caranya bertapa ?" tanya Adipati Pajang.
Prajurit itu menghela napas panjang, lalu iapun meneruskan ceritanya :"Kanjeng Ratu Kalinyamat bertapa telanjang didalam sebuah gubah atau krobong, hanya rambutnya saja yang menutupi tubuhnya, Kanjeng Adipati"
Semua orang terkejut mendengar cerita prajurit sandi tentang keadaan Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang sedang bertapa di bukit Danaraja.
Suasana menjadi hening, setiap orang punya tanggapan yang berbeda-beda tentang laku bertapa telanjangnya Sang Ratu Kalnyamat.
"Ternyata Kanjeng Ratu Kalinyamat hatinya sedang kalut, ia sedang bertapa telanjang di pesanggrahan Danaraja, hanya rambutnya saja yang menutupi tubuhnya" demikian orang-orang itu berkata didalam hatinya.
Kesunyian itu dipecahkan oleh pertanyaan Adipati Hadiwijaya :"Apa sebabnya sampai Ratu Kalinyamat bertapa telanjang di bukit Danaraja?"
"Menurut yang saya dengar, Ki Wasesa pernah berkata kepada seorang pengawal, Ratu Kalinyamat bertapa telanjang karena dendam terhadap Adipati Jipang, Arya Penangsang" kata prajurit sandi.
"Hmm dendam kesumat Ratu Kalinyamat yang kehilangan kakak dan suaminya sekaligus karena dIbunuh oleh Penangsang, mengakibatkan jiwa Sang Ratu terguncang, sehingga iapun bertapa telanjang" kata Adipati Hadiwijaya dalam hati.
"Baik prajurit, masih ada lagi yang akan kau kaporkan ?" tanya Adipati Pajang.
"Tidak ada Kanjeng Adipatî, hanya itu yang saya laporkan" kata prajurit sandi.
"Ya kalau sudah selesai kau boleh pulang" kata Sang Adipati.
Prajurit itu mengeser duduknya kebelakang, lalu iapun keluar dari ruang dalam, menuju ke pendapa kemudian berjalan meninggalkan dalem Kadipaten Pajang.
Didalam ruangan, Adipati Hadiwijaya berkata kepada semua yang hadir :"Kalian dengar, perasaan Ratu Kalinyamat saat ini tertekan, Kanjeng Ratu sedang bertapa telanjang hanya berpakaian rambutnya sendiri, karena dendam kesumatnya terhadap Adipati Jipang Arya Penangsang"
Semua orang yang berada di ruang dalam terdiam, mereka menunggu kalimat yang akan diucapkan oleh Kanjeng Adipati.
"Nanti kalau ada kesempatan, setelah persoalan pembentukan Kasultanan Pajang selesai, aku sendiri yang akan menemui Ratu Kalinyamat di pesanggrahan Danaraja" kata Adipati Hadiwijaya.
Setelah itu, pertemuanpun diruang dalampun dibubarkan, dan semua nayaka praja telah keluar dari ruang dalam, dan setelah itu merekapun disibukkan dengan segala persiapan untuk mengadakan pasewakan di Sasana Sewaka Kadipaten Pajang empat pasar lagi.
Hari berganti hari, sepasar dua pasar akhirnya empat pasarpun telah tiba, tibalah saat yang dinanti-nanti oleh segenap nayaka praja dan para bebahu Kadipaten Pajang untuk menghadiri pasewakan.
Pagi itu satu persatu para bebahu datang ke Sasana Sewaka, ada yang dari tempat yang dekat, tetapi ada juga dari tempat yang jauh, Pengging atau Butuh bahkan Tingkir juga datang karena masih termasuk dalam wilayah Kadipaten Pajang.
Beberapa orang prajurit Pajang ada yang bertugas mencatat para bebahu yang hadir, ada pula yang mengantar mereka hingga ke depan Sasana Sewaka.
Di Sasana Sewaka, saat itu telah penuh oleh para bebahu, para lurah prajurit se Kadipaten Pajang
Beberapa nayaka praja Pajang telah terlihat berada di deretan paling depan di dalam ruangan Sasana Sewaka Kadipaten Pajang.
Diluar Sasana Sewaka, telah dipenuhi ratusan orang yang tidak masuk kedalam ruangan, karena mereka bukan para bebahu Kadipaten Pajang, tetapi mereka adalah orang-orang disekitar dalem Kadipaten Pajang yang ingin menyaksikan jalannya pasewakan di Kadipaten Pajang.
Bahkan bukan hanya orang-orang disekitar dalem Kadipaten saja, tetapi juga kawula Demak yang tinggal ditempat jauh, di kaki gunung Merapi dan Merbabu, bahkan ada juga yang datang dari daerah Gunung Kidul.
Diantara ratusan orang-orang yang berjalan kesana kemari didepan Sasana Sewaka, terdapat seorang tua bermata tajam, memakai caping dan membawa sebatang kayu yang digunakan sebagai tongkat.
Orang tua itu adalah uwa dari Adipati Pajang, Kebo Kanigara yang berbaur bersama kawula Pajang lainnya.
Dengan matanya yang tajam, Kebo Kanigara melihat situasi didalam Sasana Sewaka maupun ditempat-tempat sekitarnya.
Beberapa kali Kebo Kanigara memeriksa tempat disekitar dalem Kadipaten, bahkan iapun telah berjalan mengitari Sasana Sewaka beberapa kali.
Selain itu, ada seorang tua lainnya yang datang dari jauh, Ki Ageng Butuh, yang datang ke pisowanan kali ini duduk agak dibelakang, pandangannya melihat kedepan, mencari-cari keberadaan anaknya yang telah menjadi sentana Adipati, Wenang Wulan
"Hm itu anakku Wenang Wulan berada di deretan depan" kata Ki Ageng Butuh dalam hati.
Di dalam Sasana Sewaka, di deretan paling depan, duduk bersila para nayaka praja Kadipaten Pajang, Wenang Wulan, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilamarta, Juru Martani dan Sutawijaya.
Beberapa saat kemudian, Wenang Wulan berkata kepada yang hadir, bahwa sebentar lagi Kanjeng Adipati Hadiwijaya akan tiba di Sasana Sewaka, maka yang hadir diminta menundukkan kepalanya dan tetap duduk bersila di lantai.
Tak lama kemudian, Adipati Hadiwijaya telah keluar dari dalem Kadipaten, dengan mengenakan busana keprabon, memakai keris Kyai Carubuk yang menjadi sipat kandel Kadipaten Pajang, berjalan perlahan-lahan memasuki Sasana Sewaka, di sebelah kanan berjalan saudara seperguruannya, Pemanahan, lalu disebelah kirinya juga berjalan saudara seperguruannya, Penjawi, sedangkan dibelakangnya berjalan seorang prajurit yang membawa sebuah songsong Kadipaten Pajang.
Setelah itu, dibelakangnya berjalan Patih Mancanagara, lalu setelah itu berjalan Ratu Mas Cempaka bersama emban Nyai Madusari, dan yang paling belakang adalah dua orang prajurit Pajang, Prayuda dan Prayoga.
Ketika Sang Adipati berjalan memasuki Sasana Sewaka, maka semua orang didalam ruangan menunduk ketika Adipati Hadiwijaya lewat didepannya.
Setelah tiba di depan, maka Adipati Hadiwijaya duduk di dampar Kadipaten Pajang, yang menggunakan bekas dampar Kadipaten Pengging Witaradya, milik eyangnya Pangeran Dayaningrat.
Agak jauh disebelah kirinya, duduk Ratu Mas Cempaka, sedangkan seorang perempuan duduk bersimpuh dilantai agak kebelakang, ia adalah seorang emban setia yang dibawa dari Kraton Demak, Nyai Madusari
Agak di belakang, Songsong Kadipaten Pajang telah dimasukkan kedalam ploncon yang berada dibelakang Kanjeng Adipati.
Dua orang prajurit Pajang, Prayuda dan Prayoga, keduanya telah duduk dibelakang Sang Adipati, disebelah kanan dan kirinya.
Setelah Adipati Hadiwijaya duduk di dampar Kadipaten, Wenang Wulan mengatakan pasewakan akan segera dimulai, dan semua yang hadir supaya mendengarkan titah dari Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
Ketika Sang Adipati telah siap untuk berbicara, tiba-tiba ada sesuatu hal yang membuat semua orang yang hadir didalam Sasana Sewaka menjadi terkejut.
Dari luar, setelah mengucap salam, seseorang telah berjalan memasuki Sasana Sewaka, seorang laki-laki bertubuh agak tinggi, berpakaian berwarna wulung, memakai ikat kepala wulung, membawa sebuah tongkat cis, berjalan menuju ke tempat duduk Adipati Hadiwijaya.
Beberapa orang telah menjawab salamnya, dan orang itupun terus berjalan maju kedepan.
Adipati Hadiwijaya terkejut, ketika mengetahui seseorang telah menerobos masuk di Sasana Sewaka, tetapi senyum Sang Adipati segera mengembang ketika mengetahui siapakah sebenarnya orang yang berpakaian serba wulung dan membawa tongkat cis itu.
Dengan cepat Adipati Hadiwijaya turun dari dampar denta, lalu ia berjalan menyongsong orang yang berpakaian serba wulung.
Ketika Sang Adipati telah beada didepan orang yang memawa tongkat cis itu, maka Sang Adipatipun segera mencium tangannya.
"Selamat datang di Pajang, Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Adipati Pajang
Sunan Kalijaga tersenyum lalu Kanjeng Sunan dipersiahkan duduk di kursi di sebelah kanan Kanjeng Adipati.
Sekali lagi Wenang Wulan mengatakan pasewakan akan segera dimulai, dan semua yang hadir supaya mendengarkan titah dari Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
Adipati Hadiwijaya mengedarkan pandangannya kepada semua nayaka praja dan para bebahu yang duduk bersila dihadapannya, lalu terdengarlah kalimat-kalimat dari Sang Adipati yang diucapkan dengan suara yang jelas.
Tidak panjang lebar kalimat yang diucapkan oleh Adipati Hadiwijaya, Sang Adipati hanya menjelaskan, saat ini suasana Kasultanan Demak dalam keadaan tidak menentu karena setelah Sunan Prawata terbunuh, Sultan yang baru belum juga diangkat, dan sampai sekarang tahta Kasultanan Demak dalam keadaan kosong,
"Dengan melihat keadaan Kasultanan Demak yang saat ini tidak mempunyai seorang Sultan, maka Kadipaten Pajang perlu mengambil sikap" kata Adipati Hadiwijaya.
"Dengan tiadanya seorang Sultan di Demak, maka saat ini Kadipaten Pajang tidak berada dibawah Kasultanan Demak yang telah berakhir, atau dibawah Kasultanan atau Kerajaan dari manapun" kata Adipati Hadiwijaya.
Para bebahu masih menunduk, mereka mendengarkan kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh Adipati Hadiwijaya.
"Hari ini, saya Adipati Hadiwijaya, menyatakan mulai saat ini Kadipaten Pajang sudah tidak ada lagi" kata Hadiwijaya sambil melihat kepada semua yang hadir di Sasana Sewaka.
"Dan mulai saat ini, sebagai gantinya, saya mengumumkan berdirinya Kasultanan Pajang, dan yang menjadi Sultan adalah saya sendiri, Sultan Hadiwijaya" kata Sultan Hadiwijaya dengan suara yang tegas.
Sultan Hadiwijaya masih berbicara beberapa kalimat lagi, dan setelah dianggap cukup, maka acara di Sasana Sewaka dilanjutkan dengan pembacaan doa oleh Sunan Kalijaga.
Beberapa saat kemudian Sunan Kalijagapun telah selesai membaca doa, dan tak lama kemudian, setelah acara pembacaan doa, maka acara Pasewakan pembentukan Kasultanan Pajang telah selesai, Wenang Wulan kemudian mempersilahkan Sultan Hadiwijaya, untuk berdiri dan kembali ke ruang dalam
Setelah mendengar Sultan Hadiwijaya akan kembali ke ruang dalem Kadipaten, maka semua yang hadir di Sasana Sewaka segera menundukkan kepala, bersiap untuk menghormat kepada Sultan Hadiwijaya yang lewat di depannya.
Sultan Hadiwijaya mempersilahkan Sunan Kalijaga untuk berdiri dan berjalan menuju ruang dalam,
Pemanahan dan Penjawi, segera berdiri mengapit Sultan Pajang yang bersiap untuk berjalan ke ruang dalam, demikian juga dengan dua orang prajurit Pajang, Prayoga dan Prayuda, yang duduk dibelakangnya, mereka berdua telah berdiri, siap mengawal Sultan Hadiwijaya menuju ruang dalam.
Sesaat kemudian berjalanlah Sultan Hadiwijaya, diapit oleh Pemanahan dan Penjawi dan dibelakangnya berjalan prajurit yang membawa songsong Kasultanan Pajang, dibelakangnya Patih Mancanagara beserta Sunan Kalijaga, setelah itu Ratu Mas Cempaka bersama Nyai Madusari, paling belakang adalah dua orang prajurit Pajang, Prayoga dan Prayuda.
Demikianlah, pasewakan pembentukan Kasultanan Pajang telah selesai dilaksanakan, semua acara telah berlangsung lancar, setelah rombongan Sultan Hadiwjaya telah kembali ke ruang dalam, pasewakanpun selesai dan telah dibubarkan.
Beberapa puluh orang sudah pulang meninggalkan Sasana Sewaka, termasuk juga seorang tua yang memakai caping dan membawa tongkat, berjalan ke arah hutan disebelah barat bersama puluhan orang lainnya,
Orang itu, Kebo Kanigara merasa lega, pasewakan pembentukan Kasultanan Pajang berjalan lancar dan telah selesai dilaksanakan.
"Hm Kanjeng Sunan Kalijaga telah bersedia datang dalam acara pembentukan Kasultanan Pajang, mudah-mudahan semuanya bisa lancar" kata Kebo Kanigara di dalam hatinya.
"Tugasku sekarang tinggal ke Kadipaten Jipang, memberitahukan hasil pasewakan ke Arya Penangsang" guman Kebo Kanigara.
Kebo Kanigarapun melangkahkan kakinya dengan cepat, kembali ke Pengging.
Di depan Sasana Sewaka, Ki Ageng Butuhpun telah bertemu dengan anaknya, Wenang Wulan tetapi Ki Ageng Butuh hanya sebentar berada di Pajang, setelah rasa kangen pada anaknya terobati, maka Ki Ageng Butuhpun berjalan pulang ke Butuh diantar oleh Wenang Wulan sampai di tepi hutan.
"Tepat dugaanku, sekarang Pajang telah menjadi sebuah Kasultanan, mudah-mudahan nanti Wenang Wulan bisa diangkat menjadi seorang pangeran" kata Ki Ageng Butuh sambil tersenyum.
Di ruang dalam Kadipaten Pajang yang sekarang telah menjadi Kraton Pajang, Sunan Kalijaga hanya beristirahat sebentar, setelah itu Kanjeng Sunanpun meninggalkan Kraton Pajang, berjaan cepat menuju ke arah utara.
Demikianlah acara pasewakan pembentukan Kraton Pajang telah selesai, dan malam itu Sultan Hadiwijaya telah membuat beberapa tulisan dari daun lontar yang akan diberikan kepada beberapa orang pemimpin di beberapa daerah.
Pemberitahuan tentang berdirinya Kasultanan Pajang akan dilakukan besok pagi, dan tugas itu kan dilaksanakan oleh para prajurit Pajang, kecuali yang akan menuju Jipang, akan dilakukan oleh uwanya, Kebo Kanigara. 
Keesokan harinya, di ruang dalam Sultan Hadiwijaya dihadap semua nayaka praja Kasultanan Pajang, beserta belasan prajurit Pajang yang akan mengantarkan surat dari daun lontar, sebagai pemberitahuan tentang berdirinya Kasultanan Pajang.
"Kalian para prajurit Pajang" kata Sultan Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab beberapa orang prajurit.
"Kalian sebagai utusan dari Sultan Hadiwijaya, tugas kalian hanya menyampaikan surat pemberitahuan saja" kata Sultan Hadiwijaya.
"Kalian akan diutus ke Danaraja, Pati, Kudus, Demak, Asem Arang, Jepara, Lasem, Banyubiru, Soropadan, Bagelen, Tegalarang, Sela, Tarub, Jipang, Gunung Kidul, Tuban dan beberapa daerah lainnya, " kata Sultan Hadiwijaya selanjutnya.
"Prajurit yang akan menuju Demak, nanti kau berikan surat pemberitahuan ini kepada Ki Patih Wanasalam" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata prajurit yang akan pergi ke Demak.
Beberapa saat kemudian Sultan Hadiwijaya memberikan kepada Pemanahan, belasan daun lontar yang telah ditulis mengenai pembentukan Kasultanan Pajang, dan setiap surat sudah dimasukkan didalam sebuah bambu kecil yang dipotong pendek.
Pemanahanpun segera membagikan bambu yang berisi surat itu kepada para prajurit yang berada di ruang dalam Kasultanan Pajang.
Setelah itu Sultan Hadiwijaya masih memberikan arahan kepada para prajurit dan akhirnya Kanjeng Sultan berkata :"Kalian berhati-hatilah dijalan"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata para prajurit itu.
Setelah semuanya selesai, maka para prajurit semuanya menyembah kepada Sultan Hadiwijaya, lalu mereka mundur dan satu persatu keluar dari ruang dalam.
Setelah semua prajurit keluar dari ruang dalam, maka Sultan Hadiwijaya lalu berkata :"Wenang Wulan"
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Wenang Wulan.
"Pergilah kau ke Pengging sekarang, lalu kau berikan bungkusan ini kepada siwa Kebo Kanigara" kata Sultan Pajang sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Wenang Wulan.
Wenang Wulan kemudian bergeser maju, lalu iapun menerima bungkusan dari Kanjeng Sultan.
"Kalau siwa Kebo Kanigara sedang tidak berada ditempat, kau dapat meminta tolong kepada Wa Purwa, pembantu yang telah berada di dalem Pengging, ia mengabdi sudah empat windu lebih, sejak ayahanda masih ada" kata Sultan Pajang.
"Hamba berangkat sekarang Kanjeng Sultan" kata Wenang Wulan, lalu iapun segera menyembah dan mundur keluar dari ruang dalam.
"Mudah-mudahan pakaian itu ukurannya cukup, kalau dipakai oleh siwa Kebo Kanigara" kata Sultan Hadiwijaya..
Di halaman belakang, Wenang Wulan menyiapkan seekor kuda, dan sesaat kemudian ia sudah melarikan kudanya dijalan yang menuju Pengging
Kudanya terus dilarikan dipagi hari yang cerah dijalan yang agak menanjak ke arah Pengging.
Dari jauh terlihat berdiri megah gunung Merapi yang sedang dalam keadaan tenang, sedangkan disebelahnya tampak gunung Merbabu.
Wenang Wulan masih melarikan kudanya, ketika sampai di persimpangan jalan, maka kudanya dibelokkan kekiri, lurus menuju Pengging.
Daerah Pengging yang subur, mempunyai sebuah sumber air yang besar dan bersih, umbul Pengging, yang terus menerus mengeluarkan air sepanjang tahun, meskipun dimusim kemarau panjang sekalipun,
Kuda Wenang Wulan terus berlari, dan lari kudanya agak diperlambat ketika berpapasan dengan beberapa orang yang sedang berjalan didepannya.
Orang-orang dari desa Pengging yang berpapasan itu selalu mengangguk hormat, meskipun mereka tidak mengenal siapa orang yang sedang berkuda itu.
Ketika Wenang Wulan sampai disebuah rumah yang besar, rumah Ki Ageng Pengging, ayahanda Sultan Hadiwijaya, maka kudanyapun dibelokkan, masuk ke halaman rumah dan berhenti didepan pendapa,
Seorang lelaki tua telah berlari-lari kecil, menghampiri Wenang Wulan yang telah turun dari kudanya.
"O kau nayaka praja Kasultanan Pajang, namamu adalah Wenang, ya Wenang Wulan" kata orang tua itu, Ki Purwa, yang membantu di rumah itu sejak jaman Ki Kebo Kenanga.
"Ah Ki Purwa masih hafal nama saya" kata Wenang sambil menyerahkan tali kendali kudanya kepada Ki Purwa.
"Ki Kebo Kanigara ada di rumah Ki ?" tanya Wenang Wulan sambil menurunkan bungkusan yang diikat di samping pelana kudanya.
"Ada di belakang, nanti aku panggilkan, kau duduklah dahulu di pendapa" kata Ki Purwa.
Setelah menambatkan kudanya pada tiang di sudut halaman maka Ki Purwapun segera pergi ke halaman belakang, sedangkan Wenang Wulan naik ke pendapa dan duduk di amben yang ada di sana.
Beberapa saat kemudian, dari dalam muncul Kebo Kanigara, sambil tersenyum iapun berkata :"Wenang, kau membawa bungkusan apa ? Kau akan memberi hadiah kepadaku ?"
"Ya Ki Kebo Kanigara, ini hadiah dari Kasultanan Pajang" jawab Wenang Wulan.
Setelah Kebo Kanigara duduk didepannya, maka Wenang Wulanpun berkata :"Ki Kebo Kanigara, saya diutus Kanjeng Sultan Hadiwijaya untuk menyampaikan bungkusan ini" kata Wenang Wulan sambil menyerahkan bungkusan yang dibawanya dari Pajang.
Kebo Kanigara menerima bungkusan itu, lalu iapun berkata :"Bungkusan ini aku buka sekarang, Wenang"
Sesaat kemudian Kebo Kanigara membuka bungkusan itu yang isinya adalah sepengadeg pakaian prajurit Kasultanan Pajang beserta surat daun lontar yang disimpan didalam sebuah bambu kecil.
Sambil memegang pakaian prajurit, Kebo Kanigara tertawa sambil berkata :"Apakah aku pantas memakai pakaian ini Wenang ?"
"Tentu masih pantas, Ki Kanigara sekarangpun masih terlihat gagah" jawab Wenang Wulan.
"Kelihatannya pakaian ini agak terlalu longgar" kata Ki Kebo Kanigara.
"Tidak apa-apa, kapan Ki Kanigara berangkat ke Jipang" tanya Wenang Wulan.
"Besok pagi" jawab Ki Kebo Kanigara.
"Bagaimana kalau nanti Arya Penangsang marah, apa yang akan Ki Kanigara lakukan ?" tanya Wenang Wulan.
"Lari" jawab Kebo Kanigara sambil tertawa.
Wenang Wulanpun juga ikut tertawa mendengar jawaban dari uwa Sultan Hadiwijaya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika dari ruang dalam muncul Ki Purwa yang sudah terlihat tua, membawa dua buah tempat minum dari potongan bambu.
"Kebetulan aku tadi membuat wedang jahe memakai gula aren untuk Ki Kanigara, diminum dulu Wenang, mumpung masih hangat" kata Ki Purwa sambil meletakkan dua buah tempat minum didepan mereka.
"Terima kasih Ki Purwa" kata Wenang Wulan, Ki Purwapun mengangguk,lalu iapun berjalan kembali ke ruang dalam.
"Para prajurit yang diutus ke beberapa daerah sudah berangkat semua, Wenang ?" tanya Kebo Kanigara.
"Sudah Ki, mereka semua sudah berangkat tadi pagi" jawab Wenang Wulan.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya, lalu iapun berkata :"Wenang, ayo wedang jahenya diminum, wedang ini cukup manis, Ki Purwa telah memberi gula aren agak banyak"
"Ya Ki, terima kasih" kata Wenang Wulan, lalu iapun segera meminumnya, setelah itu beberapa saat Wenangpun masih meneruskan perbincangannya dengan uwa Kanjeng Sultan itu.
Matahari telah naik semakin tinggi, Wenang Wulanpun kemudian berpamitan akan pulang ke Pajang.
"Sudah siang Ki, saya mohon pamit" kata Wenang Wulan.
"Ya, hati-hati di jalan Wenang" kata Kebo Kanigara.
Wenang Wulan kemudian turun dari pendapa, lalu berjalan menuju ke tempat kudanya yang masih tertambat di sudut halaman, Kebo Kanigara kemudian ikut berjalan dibelakangnya.
Beberapa saat kemudian, Wenang Wulanpun telah berada dipunggung kudanya, lalu dijalankannya keluar dari halaman rumah Ki Ageng Pengging, pulang menuju Pajang.
Setelah Wenang Wulan tidak terlihat lagi, maka Kebo Kanigara segera masuk ke dalam rumah dan iapun berkata dalam hati :"Sebentar lagi aku harus berangkat, supaya besok sore bisa sampai di Jipang"
Di pendapa, pakaian prajurit dan bambu kecil yang berisi surat dari daun lontar, segera dibungkus kembali karena akan dibawa ke Jipang.
Sementara itu di pendapa Kadipaten Jipang, saat itu Arya Penangsang sedang duduk berbincang-bincang berdua dengan Patih Matahun.
"Paman Matahun, ada perkembangan kabar yang baru dari Kanjeng Ratu Kalinyamat ?" tanya Arya Penangsang.
"Tidak ada Kanjeng Adipati, masih tetap seperti berita yang dibawa prajurit sandi kemarin dulu, yang mengatakan kalau Kanjeng Ratu Kalinyamat saat ini sedang bertapa telanjang di bukit Danaraja" kata Patih Matahun.
"Lalu dalem Kalinyamatan sekarang dalam keadaan kosong paman Matahun ?" tanya Arya Penangsang.
"Betul Kanjeng Adipati, hanya dijaga oleh beberapa prajurit" kata Patih tua itu.
Arya Penangsang berdiam sejenak, lalu ia kemudian membicarakan beberapa persoalan lainnya.
"Selain itu Paman Matahun, kapan utusan dari gunung Lawu tiba di Jipang" tanya Penangsang,
"Tadi malam, Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Apa katanya?"
"Hari ini Panembahan Sekar Jagad berangkat dari padepokan gunung Lawu, akan bepergian ke Lasem bersama tiga orang muridnya, dan besok pagi, Panembahan akan singgah di Jipang" kata Patih Matahun.
"Ya, nanti juga akan kita jelaskan tentang kematian salah seorang murid Padepokan Sekar Jagad yang gugur di Kudus kemarin" kata Penangsang.
Patih Matahun mengangguk, lalu iapun berkata :"Ya Kanjeng Adipati, nanti saya yang akan menjelaskan soal kematian Soka kepada Panembahan Sekar Jagad"
"Panembahan akan bemalam di Jipang ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, semalam atau dua malam" kata Patih Matahun.
"Baik, persiapkan saja kamar untuk Panembahan" kata Adipati Jipang.
"Panembahan Sekar Jagad nanti akan tidur di Kepatihan, Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Ya, atur sajalah paman Matahun" kata Penangsang.
Pembicaraan mereka terhenti, ketika Anderpati berjalan menaiki pendapa bersama seseorang.
"Kau Nderpati, ada apa ?" tanya Sang Adipati.
"Seorang prajurit sandi Jipang yang bertugas di daerah Pajang akan melaporkan perkembangan yang terjadi di Pajang, Kanjeng Adipati" kata Anderpati.
"Kau majulah kedepan, prajurit" kata Arya Penangsang.
Prajurit sandi itupun menggeser duduknya maju kedepan.
"Coba katakan apa yang kau lihat di Pajang" kata Sang Adipati.
"Kanjeng Adipati, kemarin pagi, di Sasana Sewaka Pajang telah diadakan pasewakan yang dihadiri oleh nayaka praja dan para bebahu sekadipaten Pajang" cerita prajurit itu.
"Ya" kata Arya Penangsang.
"Dalam pasewakan itu, Adipati Hadiwijaya telah mengumumkan berdirinya Kasultanan Pajang dan yang menjadi Sultan Pajang adalah Sultan Hadiwijaya sendiri" kata prajurit sandi itu.
"Apaaaa ??!!!" teriak Arya Penangsang sambil bangkit dari tempat duduknya.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment