06 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 51

KERIS KYAI SETAN KOBER 51
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 19 : SULTAN TRENGGANA GUGUR 3
"Dua hari yang lalu, Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia di Panarukan, jenazahnya saat ini dibawa naik perahu menuju kotaraja" kata prajurit itu.
Betapa terkejutnya Sunan Prawata ketika mendengar berita ayahandanya telah meninggal dunia. Sesaat Sunan Prawata tertegun, seakan tidak percaya pada perkataan prajurit yang duduk didepannya.
"Kau bilang ayahanda Sultan telah meninggal dunia?" tanya Sunan Prawata.
"Ya Kanjeng Sunan, Kanjeng Sultan Trenggana memang telah meninggal dunia" kata prajurit itu.
Sunan Prawata mendadak menjadi lemas, kepalanya tertunduk, mulutnya terkatub rapat, tidak tahu apa yang harus di kerjakan, kedua tangannya berusaha menahan tubuhnya yang akan jatuh kesamping.

Ratu Prawata yang duduk dibelakangnya, cepat berdiri dan membantu memegang kedua pundak suaminya, menahannya supaya tidak jatuh kesamping.
Setelah terdiam beberapa saat, Sunan Prawata kemudian mengangkat kepalanya dan menoleh kepada istrinya, samar-samar ia melihat istrinya, Ratu Prawata yang masih menahan kedua lengannya.
"Ratu" kata Sunan Prawata.
"Ya Pangeran.." sahut Ratu Prawata.
"Ratu, kau dengar apa yang dikatakan oleh prajurit Jala Pati ini, ayahanda Sultan telah meninggal di Panarukan" kata Sunan Prawata.
"Ya Pangeran.." kata Ratu Prawata.
"Kita harus ke kotaraja sekarang" ajak Sunan Prawata.
"Baik Pangeran" kata istrinya.
"Prajurit, apa yang menyebabkan Kanjeng Sultan meninggal dunia" tanya Sunan Prawata.
"Saya tidak tahu Kanjeng Sunan" jawab prajurit Jala Pati.
"Baik, nanti akan aku tanyakan kepada Tumenggung Gajah Birawa" kata Sunan Prawata.
Sunan Prawata kemudian berdiri, lalu seorang pengawal memapahnya berjalan masuk ke ruang dalam.
"Prajurit" kata Sunan Prawata kepada seorang pengawalnya.
Seorang prajurit maju melangkah kedepan Sunan Prawata.
"Ya Kanjeng Sunan" kata prajurit itu.
"Kau persiapkan beberapa ekor kuda untuk keberangkatanku bersama Ratu ke kotaraja, dan kau urus keperluan ketiga orang prajurit Jala Pati ini" kata Sunan Prawata.
"Baik Kanjeng Sunan" kata prajurit itu.
Seorang prajurit lainnya segera menuju ke halaman belakang untuk mempersiapkan beberapa ekor kuda yang akan membawa rombongan Sunan Prawata ke kotaraja.
Sementara itu, seorang prajurit lainnya kemudian mendekati ketiga orang prajurit Jala Pati.
"Tunggu dulu sebentar, aku siapkan air minum untuk kalian" kata prajurit pesanggrahan Prawata.
"Terima kasih, kami akan melanjutkan perjalanan ke Jipang, Pajang, Kudus, Kadilangu dan kotaraja Demak" kata utusan itu.
"Baik, aku persiapkan bekal untuk kalian"
"Terima kasih, yang penting sekarang ini kami bisa meminjam tiga ekor kuda, karena kuda yang kami pakai ini adalah kuda milik Ki Buyut Juwana, nanti tolong dikembalikan ke Juwana" kata prajurut Jala Pati.
"Ya, akan aku urus nanti" kata pengawal pesanggrahan Prawata, setelah itu maka iapun masuk kedalam rumah.
Beberapa saat kemudian di halaman telah siap tiga ekor kuda milik Sunan Prawata yang akan dipinjamkan kepada tiga orang prajurit Jala Pati. Dari ruang dalam keluar tiga orang pembantu yang membawa tiga bungkusan berisi bekal yang diberikan kepada para prajurit Jala Pati.
"Terima kasih" kata prajurit Jala Pati setelah menerima pemberian bekal, lalu merekapun segera minta diri untuk meneruskan perjalanan.
"Hati-hati di perjalanan" kata pengawal pesanggrahan Prawata.
"Ya, jangan lupa mengembalikan kuda ke Juwana" kata Rana, kemenakan Ki Buyut Juwana.
Sesaat kemudian tiga ekor kuda keluar dari pesanggrahan Prawata, dan ketika sampai di jalan simpang, maka seorang diantaranya akan berbelok ke kanan.
"Aku belok disini" kata utusan itu sambil melarikan kudanya berbelok menuju Kudus.
Dua orang prajurit Jala Pati lainnya masih memacu kudanya dijalan yang lurus, debupun dihamburkan dari kaki kuda yang berlari kencang.
Dua ekor kuda yang menuju Jipang dan Pajang masih tetap berlari, sebelum memasuki sebuah ara-ara yang luas, maka salah satu kuda berbelok ke kanan menuju Pajang, sedangkan kuda yang satu lagi tetap mengikuti jalan itu menuju Jipang.
Sementara itu, ketika matahari belum mencapai puncaknya, dua buah perahu Jala Pati yang berlayar menyusuri pantai utara melingkari gunung Muria, telah melewati Keling.
Perahupun berjalan terus, angin yang bertiup kencang mendorong perahu itu bergerak cepat ke arah barat.
Ketika matahari sedikit condong ke arah barat, perahupun hampir sampai di Bandar Jepara dan perahupun berlayar agak sedikit kepinggir pantai.
Seorang prajurit Jala Pati yang diutus untuk menyampaikan berita lelayu ke Kalinyamat, telah bersiap terjun ke pantai dengan membawa sebuah bungkusan yang berisi pakaian keprajuritan Jala Pati.
"Jangan lupa setelah dari Kalinyamat, kau langsung pergi ke kotaraja" kata Panji Sokayana.
"Ya Ki Panji" kata prajurit itu.
Ketika disamping kiri perahu terlihat jelas Bandar Jepara yang tidak begitu jauh, maka prajurit Jala Pati itupun berkata kepada Panji Sokayana :"Saya terjun sekarang Ki Panji"
"Ya, hati-hati" kata Panji Sokayana.
Sesaat kemudian prajurit itupun terjun ke laut, berenang menuju Bandar Jepara.
Dengan cepat prajurit Jala Pati itu berenang ke arah pantai menuju Bandar Jepara.
Kayuhan kedua tangannya yang kuat membuatnya melaju cepat ke arah pesisir dan tak lama kemudian, sampailah ia suatu tempat yang tidak jauh dari sebuah bangunan di tepi pantai Jepara,
Prajurit Jala Pati itupun kemudian berlindung dibalik sebuah pohon, dan dengan cepat ia memakai pakaian prajurit yang tersimpan di dalam kotak kayu yang telah dibawanya dari perahu.
Di bandar Jepara, beberapa orang prajurit Jala Pati yang sedang berada di dalam sebuah ruangan terkejut, ketika seorang temannya yang juga berpakaian prajurit Jala Pati tiba-tiba muncul di depan pintu.
"Kau Ragil, bukankah kau ikut berangkat perang bersama Ki Tumenggung Siung Laut ke Panarukan?" tanya prajurit Jala Pati yang bertugas di Bandar Jepara.
"Ya aku memang dari Panarukan" kata Ragil.
"Aku melihat dua buah perahu Jala Pati melintas di depan kita, ternyata menurunkan kau disini" kata prajurit itu.
"Ya aku memang turun disini, dan aku membawa berita yang sangat penting dari Panarukan mengenai Kanjeng Sultan Trenggana" kata Ragil.
"Berita penting apa?" tanya temannya.
"Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia di Panarukan" kata Ragil.
Semua prajurit yang berada dalam ruangan menjadi terkejut, beberapa orang langsung berdiri mendengar berita itu.
"Apa katamu? Kau bilang Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia?" tanya seorang prajurit Jala Pati.
"Ya, dan sekarang aku membutuhkan seekor kuda, aku akan mengabarkan berita lelayu ini ke pesanggrahan Kalinyamat" kata Ragil.
"Baik Ragil, pakailah kudaku, nanti setelah selesai, kudanya di tinggal saja di Kalinyamat, besok pagi biar aku yang mengambil sendiri kesana" kata prajurit yang menawarkan kudanya.
"Ya, kudamu aku pinjam dulu" kata Ragil, lalu iapun menghampiri seekor kuda yang tertambat di sebuah pohon, dan beberapa saat kemudian, seekor kuda telah keluar dari Bandar Jepara menuju Kalinyamat.
Ragil, seorang prajurit Jala Pati memacu kudanya ke selatan, menuju Pesanggrahan Kalinyamat yang tidak begitu jauh dari Bandar Jepara.
Matahari sudah agak condong ke barat ketika seekor kuda yang ditunggangi Ragil, seorang utusan prajurit Jala Pati memasuki halaman pesanggrahan Kalinyamat.
Dua orang prajurit yang menjaga pesanggrahan Kalinyamat mendekati Ragil yang sedang menambatkan tali kekang kudanya.
"Aku ingin bertemu Kanjeng Pangeran Hadiri dan Kanjeng Ratu Kalinyamat, untuk menyampaikan berita penting tentang Kanjeng Sultan Trenggana" kata Ragil.
"Berita penting tentang Kanjeng Sultan? Baik akan saya sampaikan ke Kanjeng Pangeran Hadiri, silahkan duduk di pendapa" kata prajurit itu lalu iapun segera masuk ke ruang dalam, sedangkan Ragil berjalan menuju ke pendapa, kemudian iapun duduk diatas tikar.
Beberapa saat kemudian, ketika Ragil duduk di pendapa, munculah Pangeran Hadiri yang juga disebut Pangeran Hadirin atau Pangeran Kalinyamat, menantu Sultan Trenggana, beserta istrinya Ratu Kalinyamat menghampirinya. Dibelakangnya, dua orang pengawal pesanggrahan Kalinyamat mengikuti langkahnya menuju pendapa.
"Kau dari Panarukan? Kau prajurit yang akan menyampaikan berita mengenai Kanjeng Sultan?" kata Pangeran Hadiri, yang telah duduk di kursi dihadapan Ragil.
"Ya Kanjeng Pangeran, saya baru saja datang dari Panarukan" kata prajurit Jala pati itu.
Dengan hati-hati Ragil menyampaikan berita mengenai meninggalkan Sultan Trenggana di Panarukan.
Ratu Kalinyamat terkejut sekali mendengar berita kematian ayahandanya, Sultan Trenggana, sehingga Sang Ratupun bergeser maju, demikian juga dengan Pangeran Hadiri, yang seperti bermimpi ketika mendengar berita itu.
"Kau bilang ayahanda Sultan telah meninggal dunia" tanya Ratu Kalinyamat dengan suara gemetar, dan sekejap kemudian air matanyapun telah menggenang di matanya .
"Betul Kanjeng Ratu, Kanjeng Sultan Trenggana memang telah meninggal dunia, dan sekarang jenazahnya sedang dalam perjalanan naik perahu ke Demak" kata Ragil.
"Kapan Kanjeng Sultan meninggal dunia?" tanya Pangeran Hadiri.
"Dua hari yang lalu Kanjeng Pangeran" kata prajurit Jala Pati.
“Baik, aku akan ke kotaraja sekarang, prajurit, kau siapkan kudaku" kata Ratu Kalinyamat.
"Ratu, nanti Ratu akan ke kotaraja naik kuda atau naik tandu?" tanya Pangeran Hadiri.
"Naik kuda, biar perjalanan agak cepat" kata Ratu Kalinyamat yang trampil naik kuda.
"Baik, Ki Wasesa, kau siapkan kuda kami dan beberapa prajurit pengawal" kata pangeran Hadiri.
Wasesa, pemimpin pengawal Kalinyamat kemudian turun dari pendapa dan mempersiapkan keperluan perjalanan ke kotaraja yang berjarak tidak begitu jauh lagi.
"Kita bawa beberapa obor" kata Pangeran Hadiri kepada pengawalnya, lalu Sang Pangeranpun bersama Ratu Kalinyamat segera masuk ke ruang dalam bersiap untuk menuju kotaraja.
Matahari telah jauh condong ke barat, beberapa buah obor perlu dibawa untuk menerangi jalan yang menuju ke kotaraja.
"Aku akan mendahului berangkat ke kotaraja sekarang, aku minta sebuah obor" kata Ragil prajurut Jala Pati.
"Baik, akan aku sediakan" kata prajurit Kalinyamat.
"Kuda ini milik salah seorang prajurit Jala Pati, besok akan diambil oleh pemiliknya disini, sekarang aku pinjam seekor kuda untuk ke kotaraja" kata Ragil.
"Baik, segera aku persiapkan" kata prajurit Kalinyamat, lalu iapun kemudian menuju ke kandang kuda, mengambil seekor kuda lalu dituntunnya menuju ke halaman depan. Ragil, prajurit Jala Pati itupun segera turun dari pendapa, berjalan kearah pengawal Kalinyamat yang menuntun kudanya, kemudian iapun minta diri untuk meneruskan perjalanannya ke kotaraja Demak.
"Ini obornya, hati-hati di jalan" kata prajurit lainnya sambil menyerahkan sebuah obor yang masih belum dinyalakan kepada Ragil.
"Terima kasih" kata Ragil menerima obor itu, lalu disangkutkannya ke pelana kudanya, lalu iapun segera menjalankan kudanya keluar dari halaman dan memacunya menuju kotaraja.
Sementara itu, seorang prajurit Jalapati lainnya yang telah berangkat dari pesanggrahan Prawata menuju kotaraja Demak, telah memberitahukan berita lelayu itu ke Panti Kudus, dan Kanjeng Sunan Kuduspun saat itu juga segera bersiap untuk pergi ke kotaraja Demak.
Setelah dari Kudus, maka prajurit itupun kembali memacu kudanya menuju arah kotaraja yang sudah tidak jauh lagi.
"Mudah-mudahan nanti sebelum senja aku sudah bisa sampai ke Kadilangu" katanya dalam hati sambil terus memacu kudanya ke arah barat.
Beberapa saat kemudian, setelah melewati beberapa sungai kecil, maka prajurit itu tiba di sebuah persimpangaan jalan, lari kudanya dibelokkan kekiri menuju pesantren Kadilangu.
"Matahari masih belum terbenam" katanya dalam hati.
Ketika berada didepan regol pesantren Kadilangu, kudanyapun dihentikan, lalu iapun menuntun kudanya memasuki gerbang, setelah itu iapun mengikat tali kekang kudanya di tonggak kayu yang ada di halaman pesantren.
Ketika ada seorang santri yang menemuinya, dikatakannya keperluannya untuk bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga, lalu prajurit itupun menemui Kanjeng Sunan di ruangan dalam. Tidak lama ia berada di ruangan dalam, setelah menyampaikan berita lelayu kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, maka prajurit Jala Pati itupun segera meneruskan perjalanannya ke kotaraja yang tinggal selangkah lagi.
Ketika hari menjelang gelap, prajurit Jala Pati itupun telah sampai di sungai Tuntang, lalu iapun segera menyeberangkan kudanya naik rakit yang telah ada di tepi sungai.
"Aku akan ke Kepatihan dulu, menemui Patih Wanasalam, setelah itu baru ke Kraton menemui Kanjeng Adipati Arya Penangsang" kata utusan itu, lalu iapun segera ke menjalankan kudanya menuju Kepatihan. Kudanyapun dijalankan menuju ke arah barat, tanpa melalui alun-alun, prajurit itupun lewat jalan pintas yang tembus dari Kadilangu ke Kepatihan.
Tidak lama prajurit itupun telah berada didepan Kepatihan yang dijaga oleh dua orang prajurit Wira Manggala. Setelah menambatkan kudanya maka prajurit Jala Pati itupun segera berjalan menuju regol Kepatihan menemui prajurit penjaga.
"Aku baru saja datang dari Panarukan, mau bertemu dengan Gusti Patih Wanasalam, akan menyampaikan berita penting tentang Kanjeng Sultan" kata utusan itu.
"Baik, duduklah di pendapa, aku akan menyampaikan kepada Gusti Patih Wanasalam di ruang dalam" kata prajurit penjaga Kepatihan.
Hari telah berangsur menjadi gelap, seorang prajurit keluar dari ruang dalam, kemudian menyalakan lampu minyak kecil yang menempel pada tiang pendapa. Prajurit Jala Pati segera menuju ke pendapa, duduk disana menunggu kedatangan Patih Wanasalam.
Sesaat kemudian dari ruang dalam, keluarlah patih Wanasalam menemui prajurit Jala Pati yang telah menunggunya.
"Kau dari Panarukan? Kau bawa berita tentang Kanjeng Sultan?" tanya Patih Wanasalam sambil duduk di kursi.
"Ya Gusti Patih, saya mengabarkan, dua hari yang lalu Kanjeng Sultan Trenggana telah meninggal dunia di Panarukan, dan sekarang jenazahnya dibawa naik perahu Jala pati menuju kotaraja" kata prajurit itu.
Patih Wanasalam terkejut, beberapa saat iapun terdiam, kemudian iapun bertanya dengan suara bergetar :"Kanjeng Sultan telah meninggal dunia? Betulkah yang kau katakan itu?"
"Betul Gusti Patih, Kanjeng Sultan memang telah meninggal dunia, terbunuh di Panarukan" kata prajurit Jala Pati.
"Siapa yang telah membunuhnya?" tanya Patih Wanasalam.
"Saya tidak tahu Gusti Patih" jawab prajurit itu.
"Baik, lalu siapa saja yang telah kau beritahu tentang berita duka ini?" tanya Ki Patih.
"Ada empat orang prajurit Jala Pati yng disebar untuk memberitahukan ke pesanggrahan Prawata, pesanggrahan Kalinyamat, Panti Kudus, pesantren Kadilangu, Kadipaten Jipang dan Kadipaten Pajang, kelihatannya hanya utusan yang ke Kadipaten Pajang yang malam ini belum bisa sampai ke hadapan Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata utusan itu.
"Adipati Jipang berada di Kraton, nanti biar aku yang memberitahukan kesana" kata Patih Wanasalam.
"Kalau begitu, tugas saya sudah selesai, saya mohon diri Gusti Patih" pamit prajurit itu.
"Ya, beristirahalah" kata patih Wanasalam.
Prajurit Jala Pati itu kemudian turun dari pedapa, lalu keluar dari regol, menjalankan kudanya dan hilang di kegelapan malam.
Patih Wanasalam kemudian memanggil dua orang prajurit untuk naik ke pendapa.
"Ketahuilah, Kanjeng Sutan telah meninggal dunia, kau siapkan kudaku, aku akan ke Kraton sekarang, sedangkan kau, pergilah ke dalem Jaya Santikan, katakan kepada Ki Tumenggung Jaya Santikan, supaya menemui aku di Kraton, sekarang" kata Ki Patih.
"Baik Gusti Patih" kata dua orang prajurit itu bersamaan.
Kedua orang prajurit itupun melaksanakan tugas yang diperintahkan kepadanya, yang seorang menuju halaman belakang, segera menyiapkan seekor kuda untuk Patih Wanasalam yang akan pergi ke Kraton, sedangkan yang seorang lagi segera pergi ke dalem Jaya Santikan, menemui Tumenggung Jaya Santika, pandega prajurit kesatuan Patang Puluhan.
Prajurit yang menuju kebelakang segera menuntun seekor kuda yang tegar, tunggangan Patih Wanasalam.
Beberapa saat kemudian Patih Wanasalampun telah berada di punggung seekor kuda, lalu iapun melarikan kudanya keluar dari Kepatihan menuju ke Kraton.
Kudanyapun dilarikan tidak begitu kencang, dalam hati ia tidak menyangka kalau Kanjeng Sultan gugur di Panarukan.
"Hm kematian memang salah satu dari tiga rahasia hidup manusia" kata Patih Wanasalam dalam hati.
Senjapun telah berganti menjadi malam, meskipun bulan bersinar agak terang, tetapi suasana yang remang-remang telah menyelimuti di sudut kotaraja Demak, dan ketika malam sudah mencapai wayah sepi bocah, seorang prajurit yang berangkat dari Kalinyamat dengan membawa sebuah obor telah tiba di alun-alun kotaraja Demak.
Ketika tiba di alun-alun, obornya yang telah padam di buangnya sebelum sampai di gerbang Kraton.
Ragil, prajurit Jala Pati yang baru saja tiba dari Kalinyamat telah turun dari kudanya, dan iapun melihat ada beberapa kesibukan di halaman Kraton.
Dari luar terlihat belasan prajurit yang sedang berkumpul di belakang pintu gerbang.
Beberapa orang prajurit Wira Manggala, telah berada di punggung kudanya, mereka telah bersiap untuk berangkat keluar kraton.
Ketika seorang prajurit Wira Manggala keluar dari pintu gerbang dan berjalan mendekatinya, maka iapun bertanya :"Ada apa?"
"Ada berita penting, Kanjeng Sultan Trengana telah meninggal dunia" kata prajurit Wira Manggala itu.
"O, ya, terus kau akan kemana" kata prajurit Jala Pati
"Beberapa prajurit Wira Manggala akan memberitahukan ke semua Panji dan Rangga, sedangkan aku akan ke dalem lor, memberitahukan kepada para Lurah dan prajurit yang berada disana" kata prajurit Wira Manggala.
Ragil, prajurit Jala Pati itupun mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku akan ke dalem lor dulu" kata prajurit Wira Manggala.
"Ya, silahkan" kata prajurit Jala Pati.
Prajurit Wira Manggala itupun kemudian berjalan menuju dalem lor, meninggalkan prajurit Jala Pati yang masih berda di depan pintu Kraton.
"Ternyata utusan yang berangkat dari Juwana telah tiba di Kraton" katanya dalam hati, kemudan iapun menjalankan kudanya perlahan-lahan meninggalkan Kraton.
Sementara itu, dua buah perahu Jala Pati yang menyusuri pantai, yang dipimpin oleh Panji Sokayana telah memasuki muara sungai Tuntang.
Beberapa layar telah digulung, para prajuritpun segera mendayung perahu itu menyusuri sungai Tuntang menuju ke kotaraja.
Perlahan-lahan dua buah perahu itupun terus bergerak ke selatan, menyusuri sungai Tuntang yang berkelok-kelok menuju kotaraja Demak.
Malampun semakin dalam, ketika sudah mencapai wayah sepi wong, dua buah perahu Jala Pati itupun telah sampai di penyeberangan kotaraja,
Kedua buah perahu itupun kemudian berhenti agak ke selatan, supaya nanti kalau perahu yang membawa jenazah tiba, bisa tepat berhenti di penyeberangan.
Panji Sokayana kemudian naik ke tepian, lalu bersama dua orang prajurit Jala Pati, mereka berjalan cepat menuju ke Kraton, sedangkan para prajurit Jala Pati lainnya tetap berada di penyeberangan, menunggu perahu yang membawa jenazah Sultan Trenggana.
Beberapa saat kemudian, mereka telah tiba di gerbang Kraton, dan ternyata di Kratonpun suasana telah menjadi ramai. Tiga orang itu kemudian masuk ke Kraton, dan merekapun kemudian berjalan menuju pendapa. Para prajurit Patang Puluhan telah banyak yang berada didepan Sasana Sewaka, berbaur dengan beberapa orang Panji dan Rangga. Ada juga sekelompok prajurit Wira Manggala, Wira Braja dan Wira Tamtama yang berada di depan pendapa Kraton,
Panji Sokayana segera berjalan naik ke pendapa, mencari Patih Wanasalam, sedangkan dua orang pengawalnya menunggu di depan pendapa.
Didalam pendapa, duduk Patih Wanasalam dengan beberapa orang kerabat Kraton, mereka menunggu kabar selanjutnya dari para prajurit yang datang dari Panarukan.
Disamping Patih Wanasalam, beberapa orang telah berada bersamanya, disebelahnya terlihat Putra Mahkota Kasultanan Demak, Sunan Prawata, kemudian Pangeran Hadiri yang disebut juga Pangeran Kalinyamat, lalu duduk pula Adipati Jipang Arya Penangsang, sedangkan agak jauh dibelakang terlihat Ratu Prawata bersama Ratu Kalinyamat.
Agak jauh disebelahnya, tampak Kanjeng Sunan Kudus sedang duduk bersama Kanjeng Sunan Kalijaga.
Ketika melihat Panji Sokayana, Patih Wanasalampun berdiri menghampiri Ki Panji yang berjalan ke arahnya
"Ki Patih, jenazah Kanjeng Sultan, sewaktu diberangkatkan naik perahu dari Panarukan, terpaut waktu setengah malam dengan keberangkatan saya" kata Panji Sokayana.
"Ya berarti sekitar fajar nanti jenazah Kanjeng Sultan akan tiba di sini" kata Patih Wonosalam.
"Ya Ki Patih, mungkin agak sedikit terlambat" kata Ki Panji.
"Baik, kalau begitu, biar para prajurit beristirahat sampai fajar nanti" kata Patih Wanasalam.
"Ya Ki Patih, saya mohon pamit, akan kembali ke perahu" kata Panji Sokayana.
"Ya Ki Panji" kata Patih Wanasalam.
Panji Sokayana kemudian berjalan turun dari pendapa, lalu bersama kedua orang prajurit Jala Pati, mereka kembali ke perahu yang berada di sungai Tuntang, untuk beristirahat.
Setelah itu Patih Wanasalam memanggil Tumenggung Jaya Santika dan memerintahkan kepada semua prajurit untuk beristirahat sampai terbitnya fajar nanti.
Tidak semua orang yang berada di pendapa bisa beristirahat, Patih Wanasalam, Tumenggung Jaya Santika bersama semua keluarga Kratonpun berunding mencari tempat yang akan dijadikan untuk makam Kanjeng Sultan Trenggana.
Atas saran dari Kanjeng Sunan Kaljaga dan Kanjeng Sunan Kudus, maka beberapa orang segera membuat lubang makam di halaman masjid, disebelah utara bangunan masjid Demak. Malam itu hampir semua orang tidak bisa tidur nyenyak, mereka menunggu kedatangan jenazah Sultan Trenggana yang masih berada dalam perjalanan.
Sementara itu, seorang prajurit Jala Pati yang menjadi utusan untuk menyampaikan kabar lelayu ke Jipang, telah menemui nayaka praja Jipang saat menjelang matahari terbenam sore tadi. Utusan itu tidak dapat bertemu dengan Adipati Jipang, karena Arya Penangsang saat itu sedang berada di kotaraja Demak, saat itu yang berada di dalem Kadipaten Jipang hanya Patih Matahun.
Patih Matahunpun akan segera mengirim utusan, pandega prajurit Jipang, Rangkud, ke kotaraja Demak untuk menghadap Arya Penangsang,
Sedangkan utusan yang satu lagi, prajurit Jala Pati yang menuju Kadipaten Pajang, tidak mampu mencapai Pajang malam itu juga, sehingga harus bermalam di sebelah utara gunung Kemukus.
"Besok pagi aku baru sampai di Pajang" kata prajurit itu sambil membetulkan letak kerudung kain panjangnya.
"Mudah-mudahan Kanjeng Adipati Hadiwijaya beserta Ratu Pajang bisa segera berangkat ke kotaraja Demak" desis utusan itu. Malam itu suasana di sebelah utara gunung Kemukus tidak terlalu gelap, bulanpun bersinar menerangi bumi Demak yang saat itu sedang berduka.
Di kotaraja, sebagian prajurit Jala Pati yang berada di perahu dapat tidur dengan nyenyak, sedangkan sebagian lagi sama sekali tidak dapat memejamkan matanya.
Di ujung malam, ketika di langit di sebelah timur telah membayang warna merah, maka semua prajuritpun telah terbangun, mereka segera bergantian membersihkan dirinya di sungai Tuntang yang airnya mengalir bening.
Setelah membersihkan dirinya, maka para prajuritpun telah memakai kembali pakaian keprajuritan mereka, bersiap untuk berbaris di jalan yang berada di depan penyeberangan.
Ketika hari telah menjadi agak terang, datanglah Adipati Jipang, Arya Penangsang bersama Tumenggung Jaya Santika ke tepi sungai Tuntang, sedangkan dibelakangnya berjalan para prajurit Patang Puluhan dan beberapa prajurit Wira Manggala, mereka bersiap mengawal jenazah Kanjeng Sultan setelah turun dari perahu menuju Kraton.
Dibelakang mereka, tampak seorang prajurit Wira Manggala yang berjalan sambil menuntun seekor kuda,
Hari sudah terlihat terang, mataharipun telah naik di langit sebelah timur, dan dari kejauhan di arah utara, terlihat samar-samar beberapa perahu mendekat, menuju ke arah mereka.
"Itu perahunya sudah datang" kata seorang prajurit yang melihat kedatangan perahu yang pertama kali, sambil tangannya menunjuk ke arah perahu. Semua orang menengok kearah utara, beberapa perahu telah terlihat mendekat, semakin lama semakin jelas.
Arya Penangsang lalu memerintahkan seorang prajurit Wira Manggala yang membawa seekor kuda, untuk berangkat ke Kraton, memberi kabar kedatangan jenazah Kanjeng Sultan.
Sesaat kemudian, seekor kuda telah dipacu meninggalkan tepian sungai Tuntang menuju Kraton, dan sekejap kemudian kuda itupun telah hilang dari pandangan, terhalang beberapa pohon yang tumbuh di tepi jalan yang menuju alun-alun.
Ketika perahu telah semakin mendekat, Panji Sokayana kemudian mengatur para prajurit Jala Pati untuk berbaris rapi ditepi sungai, demikian juga dengan para prajurit Wira Manggala yang diatur oleh seorang lurah prajurit, sedangkan Tumenggung Jaya Santika telah mengatur barisan prajurit Patang Puluhan, sedangkan Adipati Jipang, Arya Penangsang telah bersiap didepan barisan, didampingi oleh Tumenggung Jaya Santika.
Beberapa saat kemudian, perahu yang membawa jenazah Kanjeng Sultan telah merapat di tepi sungai, lalu terlihat para Tumenggung yang berada didalam perahu, semua turun ke tepian, Tumenggung Gajah Birawa kemudian turun dari perahu, diikuti oleh beberapa Tumenggung lainnya, berjalan menuju ke tempat Adipati Arya Penangsang bersama Tumenggung Jaya Santika.
Arya Penangsang segera maju menyongsong kedatangan para Tumenggung, dan setelah berunding dengan Tumenggung Gajah Birawa, maka iapun memerintahkan para prajurit untuk membawa turun jenazah Sultan Trenggana yang berada didalam bandusa.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment