06 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 47

KERIS KYAI SETAN KOBER 47
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 19 : KERIS PUSAKA, TOMBAK PUSAKA 2(dua)
"Baik Kanjeng Adipati, besok akan saya kumpulkan semua prajurit Jipang di depan dalem Kadipaten" kata Rangkud.
Setelah mereka berbicara beberapa saat, maka Adipati Jipangpun mengambil kerisnya lalu menuju ke ruang dalam untuk beristirahat. Beberapa saat kemudian, Rangkudpun telah meninggalkan Dalem Kadipaten untuk menemui beberapa orang yang akan mengabarkan ke semua prajurit Jipang untuk berkumpul semuanya di depan Dalem Kadipaten besok pagi.
Keesokan harinya, ketika matahari menyinarkan sinarnya di ufuk timur, seluruh tlatah Jipang seakan-akan telah terbangun, tiga ratus prajurit yang baru saja lulus dari pendadaran, telah bersiap untuk menuju Dalem Kadipaten.

Mataharipun telah mulai memanjat naik dilangit, para prajurit Jipangpun telah mulai berdatangan memenuhi halaman Dalem Kadipaten.
Semakin siang semakin banyak, dan ketika tiga ratus prajurit Jipang telah berkumpul, maka Rangkud bersama para prajurit yang berasal dari lereng gunung Lawu pun mulai mengatur barisan.
Setelah barisan telah terlihat rapi, maka dari pendapa Kadipaten, berjalanlah Adipati Jipang, Arya Penangsang diapit oleh Patih Matahun dan seorang abdi sekaligus prajuritnya yang setia, Rangkud,.
Dibelakang Adipati Jipang, berjalanlah seorang prajurit yang membawa songsong Kadipaten Jipang, songsong yang didapat dari Kasultanan Demak, sebagai songsong resmi Kadipaten Jipang.
Kemudian Arya Penangsang segera naik ke sebuah dingklik yang lebar, dan sedikit agak tinggi, seperti sebuah panggung kecil, sehinga dapat terlihat dari semua prajurit jipang yang berada di depan Dalem Kadipaten.
Arya Penangsang yang berdiri diatas dingklik yang agak tinggi, merasa bangga hatinya, ketika ia mengedarkan pandangannya berkeliling, terlihat para prajurit Jipang yang memenuhi tempat didepan Dalem Kadipaten.
"Mereka semua adalah prajurit Jipang, mereka harus menjadi prajurit yang tangguh, mereka harus tidak kalah dengan prajurit Kasultanan Demak, apalagi dengan prajurit Kadipaten Pajang" katanya dalam hati.
Setelah mengucap salam, maka Adipati Jipangpun berbicara didepan para prajuritnya :”Kalian semua adalah para prajurit pilihan, yang lulus dan telah dipilih dari seribu lebih para pemuda yang ikut pendadaran beberapa waktu yang lalu. Prajurit Jipang adalah prajurit yang tangguh, yang akan membela tanah pusaka kita Jipang Panolan dengan sekuat tenaga, sampai maut menjemput kita".
Arya Penangsang kemudian memberi perintah kepada semua prajurit untuk meningkatkan kemampuan tempur dengan rajin berlatih setiap hari.
"Setelah ini berlatihlah dengan tekun, tingkatkan kemampuan olah kanuraganmu, aku akan melihatmu dari atas pendapa Kadipaten" kata Sang Adipati.
Sesaat kemudian, setelah selesai memberikan perintah dan petuah, maka Adipati Jipangpun turun dari dingklik dan menuju ke pendapa bersama Patih Matahun, diikuti oleh prajurit pembawa songsong Kadipaten.
Di pendapa Arya Penangsang duduk di sebuah kursi, disampingnya duduk Patih Matahun, sedangkan Rangkud berjalan turun dari pendapa lalu bergabung dengan para Soreng yang berasal dari lereng gunung Lawu.
Mataharipun naik semakin tinggi, para prajurit Jipang masih giat berlatih sehingga membuat bangga Sang Adipati.
Waktupun terus berlalu dengan teratur, setiap hari matahari terbit di langit sebelah timur, dan tenggelam disebelah barat.
Demikianlah, beberapa hari telah berlalu, Arya Penangsangpun telah berangkat ke kotaraja Demak dengan menunggang Gagak Rimang dan memakai keris yang menjadi sipat kandel Kadipaten Jipang, Kyai Setan Kober.
Di kotaraja Demak, Adipati Jipang sebagai Pandega pasukan cadangan Kasultanan Demak hanya bisa menunggu perintah dari Senapati Agung Sultan Trenggana, perintah untuk menyerbu benteng kota Panarukan.
Setiap hari yang dapat dilakukannya adalah berlatih meningkatkan kemampuan olah kanuragannya, dan memperdalam aji kebanggaannya, aji Panglebur Jagad :"Aku tidak akan memilih lawan, siapapun nanti Senapati bang wetan yang akan menjadi lawanku di Panarukan".
Sementara itu, di Kadipaten Pajang, Adipati Hadiwijaya bersama para nayaka praja Pajang sedang menerima laporan dari seorang prajurit sandi yang baru saja datang dari Panarukan.
"Jadi setelah laporan prajurit sandi yang pertama, sampai sekarang pasukan Demak masih terus mengepung Panarukan?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, dari mulai awal pengepungan sampai sekarang sudah lebih dari satu setengah candra" kata prajurit sandi itu.
"Kanjeng Sultan Trenggana belum memerintahkan untuk mendobrak pintu benteng?" tanya Sang Adipati.
"Belum Kanjeng Adipati" jawab prajurit itu.
"Tidak ada berita penting lainnya?" tanya Adipati Pajang.
"Tidak ada Kanjeng Adipati, hanya terlihat pasokan bahan makanan yang terus menerus datang dari Surabaya, Tuban dan dari kotaraja Demak sendiri" kata prajurit yang bertugas di Panarukan.
"Pasukan Jala Pati masih mengepung dari arah laut?"
"Ya Kanjeng Adipati, tetapi yang berada di perahu hanya separo saja, sedangkan prajurit Jala Pati yang separo lainnya ikut mengepung di darat bersama Tumenggung Siung Laut" kata prajurit sandi itu.
"Ya, kalau tidak ada berita lainnya, silakan kalau kau mau istirahat, prajurit" kata Adipati Pajang.
"Terima kasih Kanjeng Adipati, saya mohon pamit" kata prajurit sandi itu.
Setelah itu, maka prajurit sandi itupun turun dari pendapa, dan berjalan lurus ke barat meninggalkan dalem Kadipaten.
Di pendapa, Adipati Hadiwijaya masih meneruskan perbincangan dengan nayaka praja Kadipaten Pajang.
"Kelihatannya Kanjeng Sultan Trenggana ragu-ragu akan mendobrak pintu benteng" kata Adipati Hadiwijaya mengemukakan pendapatnya.
"Ya Kanjeng Adipati, kelihatannya Kanjeng Sultan telah menghitung, kalau mendobrak pintu benteng, akan terlalu banyak korban yang berjatuhan di kedua belah pihak" kata Patih Mancanegara..
"Apa pendapatmu Kakang Pemanahan?" tanya Sang Adipati.
"Kanjeng Adipati, pengepungan yang terlalu lama, akan merugikan kedua belah pihak, menghabiskan dana yang banyak, dan para prajurit telah dihinggapi rasa jenuh, seharusnya dalam waktu sepasar dua pasar, empat buah pintu benteng Panarukan sudah bisa didobrak, sehingga pasukan Demak bisa masuk ke dalam benteng" kata Pemanahan.
"Ya, memang sebaiknya begitu, dengan menggunakan kekuatan ajiannya, tiga empat orang Tumenggung dari pasukan Demak mampu mendobrak pintu benteng Panarukan" kata Hadiwijaya sambil menganggukkan kepalanya.
Beberapa saat mereka masih berada di pendapa, setelah itu Adipati Hadiwijaya masuk kedalam kamar, menceritakan kepada Kanjeng Ratu Mas Cempaka tentang keadaan pasukan Demak yang masih berada di Panarukan.
"Jadi sampai saat ini Ayahanda Sultan masih mengepung benteng Panarukan?" tanya Sang Ratu.
"Ya Ratu, masih sama seperti keadaan satu setengah candra yang lalu"kata Adipati Pajang.
Demikianlah, telah dua candra sejak pahargyan pengantin, Adipati Hadiwijaya menjadi suami Sang Ratu. Kadang-kadang Sang Ratu diajaknya berlatih naik kuda jinak yang berwarna coklat di halaman belakang. Selama dua bulan, ternyata keadaan Ratu Mas Cempaka belum juga terlihat tanda-tanda akan menjadi hamil.
Yang dapat dilakukan Adipati Pajang adalah menanti, kapan suatu saat sang Ratu Mas Cempaka akan bisa mengandung dan bisa mendapatkan seorang putra.
Beberapa hari kemudian, pada suatu malam, setelah lewat tengah malam, Adipati Hadiwijaya terbangun dari tidurnya, karena ia bermimpi, seakan-akan didepannya terlihat sebuah tombak yang ngedap-edapi, Kyai Plered, pusaka turun temurun milik keluarga Ki Ageng Sela.
Semuanya terjadi didalam mimpi, ketika tombak Kyai Plered akan diraihnya, tiba-tiba Adipati Hadiwijayapun telah terbangun.
Esok harinya, sehari penuh Adipati Pajang telah terganggu oleh bayangan tombak Kyai Plered yang tidak mau hilang dari pelupuk matanya.
Malam harinya, pada saat Sang Adipati berdua dengan Ratu Pajang, maka dengan hati-hati Adipati Hadiwijaya mengatakan keinginannya kepada Ratu Mas Cempaka.
"Ratu, aku punya keinginan, mudah-mudahan Ratu setuju, kita menjalani berumah tangga sudah lebih dari dua bulan sejak pahargyan pengantin, tetapi ternyata Ratu belum juga mengandung, bagaimana kalau Danang Sutawijaya, anak dari kakang Pemanahan, kita ambil sebagai anak angkat, yang nantinya dapat menjadi lanjaran, menjadi sebuah pancingan agar supaya Ratu bisa lebih cepat mendapatkan seorang anak" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, hamba senang sekali kalau kita nanti mempunyai seorang anak angkat yang dapat menjadi lanjaran, mempercepat datangnya seorang anak kandung didalam pernikahan kita" kata Ratu Pajang.
"Ya Ratu, besok aku akan berbicara dengan kakang Pemanahan" kata Adipati Pajang.
Malampun telah berlalu, setelah langit menjadi terang, saat itu Pemanahan yang sedang berada di halaman rumahnya menjadi heran, ketika datang seorang prajurit yang mengatakan, ia diperintahkan untuk menghadap Kanjeng Adipati di ruang dalam Kadipaten.
"Baik, aku akan menghadap sekarang" kata Pemanahan.
Setelah membersihkan dirinya, maka Pemanahanpun bergegas menuju dalem Kadipaten.
"Tidak biasanya Kanjeng Adipati memanggilku disaat pagi hari seperti ini" katanya dalam hati.
Beberapa saat kemudian Pemanahanpun tiba di dalem Kadipaten dan ternyata Kanjeng Adipati telah duduk diatas kursi, menunggunya di ruang dalam. Setelah mengucap salam, maka Pemanahanpun duduk bersila di depan Sang Adipati.
"Kakang Pemanahan, kau pasti heran, kenapa pagi ini kau kupanggil ke dalem Kadipaten" kata Adipati Hadiwijaya sambil tersenyum.
"Ya Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Aku sudah berbicara dengan Kanjeng Ratu, aku minta tolong kepadamu, demi terwujudnya keinginanku dan keinginan Kanjeng Ratu" kata Kanjeng Adipati.
Adipati Hadiwijaya melihat ke arah Pemanahan, dilihatnya saudara seperguruannya itu sedang menundukkan kepala, bersiap mendengarkan semua perintahnya.
"Kakang Pemanahan, aku inginkan, anakmu Danang Sutawijaya dapat aku ambil sebagai anak angkatku, biarlah si Jebeng pindah dari Sela, ke Pajang" kata Adipati Pajang.
Pemanahan terkejut, anaknya Danang Sutawijaya diminta untuk dijadikan anak angkat oleh Adipati Pajang.
"Ini merupakan sebuah kehormatan yang besar bagi keluarga Ki Ageng Sela" kata Pemanahan didalam hatinya..
"Terima kasih Kanjeng Adipati, kalau anak saya Sutawijaya akan dijadikan anak angkat, tetapi saya belum bisa menjawab sekarang, karena yang menentukan adalah Sutawijaya sendiri" jawab Pemanahan.
"Ya kau harus segera berangkat ke Sela untuk menemui Danang Sutawijaya, kakang Pemanahan" kata Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, tetapi apakah saya diperbolehkan memohon sesuatu?" tanya Pemanahan.
"Ya, katakanlah apa keinginanmu"
"Kalau Jebeng Sutawijaya berdiam di Pajang, bagaimana dengan pemomongnya yang mengasuhnya sejak kecil, Ki Juru Martani, apakah Ki Juru diperbolehkan ikut pindah ke Pajang" kata Pemanahan.
Adipati Hadiwijaya tersenyum, Ki Juru Martani bukan seorang yang lemah, ilmu perguruan Sela sudah dikuasainya, tidak berbeda dengan Pemanahan maupun Penjawi, kalau Ki Juru berada di Pajang, bisa menambah kekuatan Kadipaten Pajang.
"Kakang Pemanahan, ajaklah Ki Juru Martani ke Pajang, sampaikan kepadanya, kalau Ki Juru mau ikut bergabung ke Pajang, aku akan sangat berterima kasih" kata Adipati Pajang.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Kakang Pemanahan, berangkatlah ke Sela sekarang, temui anakmu Sutawijaya dan pemomongnya Ki Juru Martani, ajak dia kesini karena Sutawijaya akan aku jadikan anak angkat" kata Adipati Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Kakang Pemanahan, kau akan pergi sendiri atau berdua bersama kakang Penjawi?" tanya Sang Adipati.
"Sebaiknya kami berangkat berdua bersama adi Penjawi" kata Pemanahan.
"Baiklah, berangkatlah sekarang, mumpung hari masih pagi, bawalah bekal secukupnya" kata Adipati Hadiwijaya.
"Saya mohon pamit Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Ya kakang, mudah-mudahan semuanya selamat" kata Adipati Pajang.
Sesaat kemudian Pemanahanpun keluar dari dalem Kadipaten, bersiap mengadakan perjalanan ke Sela bersama Penjawi.
Tak berapa lama dua ekor kuda berlari keluar dari bulak amba yang sekarang telah menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Pajang.
Dua ekor kuda yang dipunggungnya terdapat Pemanahan dan Penjawi, terus berlari, mereka berdua melarikan kudanya menuju Sela,
"Kita lewat mana kakang Pemanahan, lewat desa Sima, atau sedikit memutar lewat desa Tingkir, atau kita lewat disebelah timur hutan Sima?" tanya Penjawi.
"Kalau kita lewat Sima, apalagi lewat Tingkir, jaraknya terlalu jauh, kita sekarang menuju ke arah timur, lalu berbelok ke arah timur laut, dan nanti kita akan lewat disebelah utara gunung Kemukus" kata Pemanahan.
Mereka berdua, Pemanahan dan Penjawi, sudah terbiasa melakukan sebuah perjalanan jauh, merekapun menguasai seluk beluk perbintangan, sehingga meskipun berjalan pada malam hari, mereka tidak merasa khawatir akan tersesat,
Mataharipun semakin tinggi, mereka berkuda tidak terlalu cepat, setelah melewati disebelah timur hutan Sima, dan ketika mata memandang ke sebelah selatan, tampak sebuah bukit yang tinggi, gunung Kemukus yang berdiri tegak dibelakang mereka.
Mereka terus berkuda ke arah timur laut, setelah beberapa kali beristirahat, mataharipun sudah condong ke barat, sebentar lagi akan menyentuh cakrawala.
"Kita bermalam disini atau berjalan terus kakang Pemanahan?" tanya Penjawi.
Pemanahan memandang sekeliling, lalu dipandanginya kedua ekor kuda yang kelelahan setelah berlari seharian.
"Sebaiknya kita bermalam didepan, yang disebelahnya mengalir sebuah sungai" kata Pemanahan.
"Baik kakang" kata Penjawi.
Ketika matahari telah tenggelam, merekapun beristirahat disebuah tanah yang kering, dipinggir sungai. Tak banyak yang mereka lakukan, badan yang lelah setelah melakukan perjalanan jauh, membuat mereka mudah tertidur.
Ketika malam yang gelap telah berganti menjadi terang, mataharipun memancarkan sinarnya yang menyilauan mata, maka mereka berdua membersihkan dirinya bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju Sela yang sudah tidak terlalu jauh lagi.
Mataharipun semakin tinggi, dua ekor kuda itupun semakin mendekati desa Sela yang tidak terlalu jauh dengan desa Tarub.
"Sebelum matahari mencapai puncaknya, kita sudah sampai di Sela" kata Penjawi..
"Ya adi" sahut Pemanahan.
Sebelum tengah hari, kedua kuda itu telah memasuki batas desa Sela.
"Kita langsung pulang kerumah kita, atau bertemu dulu dengan Ki Ageng Sela?" tanya Penjawi.
"Sebaiknya kita pulang dulu kerumah, nanti sore menjelang matahari terbenam, kita bertemu dan berbicara di rumah eyang Sela" kata Pemanahan.
Perlahan lahan keduanya menjalankan kudanya menuju rumah mereka.
Sore harinya, ketika lembayung senja telah membayang, Pemanahanpun terlihat sedang berjalan menuju kesebuah rumah yang paling besar di desa Sela, rumah Ki Ageng Sela.
Langkah kaki Pemanahan terayun ringan, ketika ia memasuki regol rumah yang dihuni oleh eyangnya.
Dari regol, Pemanahan berjalan lurus, kemudian iapun naik ke pendapa.
Di pendapa telah duduk diatas tikar, eyangnya Ki Ageng Sela, lalu disampingnya duduk pula ayahnya, Ki Ageng Nis Sela, lalu adik angkatnya Penjawi yang telah datang lebih awal di rumah itu.
"Silakan duduk Pemanahan" kata eyangnya, Ki Ageng Sela yang telah melihat kedatangannya.
Setelah mencium tangan ayah dan eyangnya, maka Pemanahan kemudian duduk disebelah Penjawi.
Suasana di pendapa menjadi sedikit agak terang karena telah dipasang sebuah lampu minyak.
"Penjawi juga baru saja datang, Pemanahan" kata eyangnya.
Pemanahan memandang eyangnya, yang saat ini telah terlihat semakin tua dan rapuh.
Eyangnya, Ki Ageng Sela, dulu semasa masih muda, pernah menggemparkan seluruh tlatah Kasultanan Demak karena mempunyai kecepatan gerak yang luar biasa, sehingga mampu menangkap petir.
"Kau selamat Pemanahan?" tanya eyangnya Ki Ageng Sela.
"Atas pangestu eyang dan ayahanda, saya dan adi Penjawi dalam keadaan selamat" jawab Pemanahan.
"Kapan kalian berangkat dari Pajang?" tanya Ki Ageng Sela.
"Kemarin pagi eyang" kata Pemanahan.
"Ada titah Kanjeng Adipati Hadiwijaya untukku?" tanya Ki Ageng Sela.
"Tidak ada perintah Kanjeng Adipati untuk eyang Sela, hanya ada satu permintaan dari Kanjeng Adipati untuk Sutawijaya, tetapi dimana Jebeng Sutawijaya sekarang?" tanya Pemanahan.
"Hari ini Sutawijaya pergi berlatih olah kanuragan, ia pergi berdua dengan Juru Martani, biasanya sebelum matahari terbenam, mereka sudah sampai dirumah, entah kenapa sampai saat ini mereka belum pulang" kata Ki Ageng Sela.
Pemanahan mengangguk-anggukkan kepalanya, anaknya Sutawijaya memang diminta oleh eyang buyutnya untuk tidur di rumah eyangnya.
"Mereka berdua naik kuda?" tanya Pemanahan.
"Ya, tetapi kadang-kadang mereka juga berjalan kaki, berita apa yang kau bawa Pemanahan? Ada apa dengan cucu buyutku Sutawijaya?" tanya Ki Ageng Sela
"Ya eyang, ada sedikit permintaan dari Kanjeng Adipati untuk Sutawijaya" kata Pemanahan
Belum selesai Pemanahan berbicara, terdengar derap kaki kuda, dan beberapa saat kemudian dari depan regol, masuklah dua ekor kuda ke halaman rumah Ki Ageng Sela.
Kedua penunggangnya, salah seorang diantaranya naik kuda sambil membawa tombak, terkejut ketika mengetahui di pendapa ada beberapa orang yang sedang berkumpul.
Keduanya kemudian menambatkan kudanya, lalu bergegas menuju ke pendapa.
Dua orang pembantu dirumah Ki Ageng Sela kemudian datang dan membawa dua ekor kuda itu ke halaman kebelakang.
Melihat disana ada Ki Pemanahan, Sutawijaya kemudian mencium tangan ayahnya dan tangan pamannya Penjawi sambil berkata :"Ayah, kapan ayah dan paman Penjawi tiba dari Pajang?"
"Sudah dari tadi siang Sutawijaya" jawab Pemanahan.
"Kau bersihkan dirimu dulu jebeng, setelah itu duduklah disini, ada beberapa hal yang akan kita bicarakan" kata Ki Ageng Sela.
Sutawijaya bersama Juru Martani lalu berjalan ke pakiwan untuk membersihkan dirinya.
Beberapa saat kemudian, setelah selesai membersihkan dirinya maka Sutawijaya dan Juru Martani kemudian duduk di pendapa bersama yang lain.
"Juru" kata Ki Ageng Sela
"Ya eyang" kata Juru Martani.
"Biasanya sebelum matahari terbenam kalian sudah pulang, tetapi kali ini setelah hari menjadi gelap kalian baru datang, dari mana saja kalian pergi hari ini?" tanya Ki Ageng Sela.
"Ya eyang, kami pergi ke timur sampai di sekitar bleduk Kuwu, tetapi ternyata disana ada sedikit gangguan" kata Juru Martani.
"Ada gangguan apa?"
"Kami bertemu dengan dua orang perampok yang membawa pedang terhunus, mereka memaksa akan mengambil kuda kami" kata Juru Martani.
"Lalu?" kata eyangnya.
"Setelah beberapa saat kami bertarung, akhirnya kedua perampok itu melarikan diri" cerita JuruMartani.
"Untunglah, kau telah menyelamatkan momonganmu, Juru" kata Ki Ageng Sela.
"Sutawijaya telah mampu menyelamatkan dirinya sendiri eyang, kami berdua bertempur dengan jumlah lawan yang sama, satu lawan satu" kata Juru Martani, lalu iapun bercerita, ketika sedang beristirahat di daerah sebelah barat bleduk Kuwu, dibawah sebuah pohon, tiba-tiba telah muncul dua orang yang membawa pedang terhunus, berjalan mendekati mereka.
"Kalian adalah orang yang sial, kenapa kalian bertemu dengan kami hari ini?" kata seorang yang bertubuh tinggi kurus.
Juru Martani dan Sutawijayapun kemudian berdiri, dan ketika ia melihat dua orang itu membawa pedang, maka Ki Jurupun mencabut pedang pendeknya, sedangkan ditangan Sutawijaya telah tergenggam sebuah tombak yang ujungnya telah menunduk.
"Apa yang kau inginkan Ki Sanak?" tanya Ki Juru.
"Dua ekor kuda milikmu, kalau kalian berikan itu kepadaku, kalian tidak akan kami bunuh" kata seorang perampok yang bertubuh tinggi besar.
"Jadi aku harus pulang kerumah berjalan kaki?" tanya Sutawijaya, dan kedua tangannya semakin erat memegang landeyan, dan terasa ujung tombaknya pun telah bergetar.
Betapa marahnya perampok yang bertubuh tinggi besar, ketika mendengar ucapan dari seorang anak yang belum dewasa, yang belum hilang pupuk lempuyangnya. Tanpa berkata apapun, perampok yang bertubuh tinggi besar itu berlari melompat kedepan sambil mengayunkan pedangnya, tetapi ia terkejut ketika dadanya telah ditunggu oleh tajamnya sebuah ujung tombak.
"Eiit" teriak perampok itu, tiba-tiba langkahnyapun terhenti, lalu dengan tergesa-gesa iapun kembali melompat mundur kebelakang.
Perampok yang bertubuh tinggi besar menjadi marah sekali, bertahun-tahun ia telah menjadi perampok disekitar daerah bleduk Kuwu ke timur sampai tlatah Jipang, baru kali ia terpaksa melompat mundur hanya karena acungan sebuah ujung tombak yang bergetar mengancam dadanya.
Dengan cepat perampok itu segera mempersiapkan dirinya, sesaat kemudian iapun menyerang dengan ayunan pedang mendatar, dan Sutawijayapun menambutnya dengan serangan ujung tombaknya yang selalu bergetar, sehingga arahnya sulit ditebak.
Sesaat kemudian terjadilah pertarungan satu lawan satu, antara perampok yang bertubuh tinggi besar melawan seorang anak yang belum dewasa.
Pedang perampok itu bekelebat mengancam leher, kemudian berubah menusuk perut lawannya, tetapi lawannya adalah Sutawijaya, cucu buyut dari Ki Ageng Sela yang mampu bergerak secepat tatit.
Ujung tombak Sutawijaya dengan cepat mematuk dada lawannya, mengitari tubuh perampok seperti seekor lebah yang siap menyengat, mendengung dan menyerang tanpa henti, menari dengan lambaran ilmu tombak perguruan Sela.
Sutawijaya memegang landeyan tombaknya dengan kedua tangannya, landeyan tombaknya yang berukuran lebih panjang dari pedang lawannya membuat perampok itu tidak bisa mendekatinya.
Keduanyapun kemudian bertarung sengit, tombak yang digunakan oleh Sutawijaya, meskipun bukan tombak pusaka keluarga Sela, yaitu tombak Kyai Penatas ataupun Kyai Plered yang berasal dari kraton Majapahit, namun tombak itu juga merupakan sebuah tombak yang menggunakan wesi aji pilihan.
Tombak yang bilahnya telah diberi warangan sehingga warnanya berwarna hitam, mempunyai pamor beras wutah yang berwarna agak keputihan, kadang-kadang pamornya terlihat berkeredip memantulkan kilatan sinar matahari.
Tidak jauh dari tempat keduanya bertarung, Juru Martani memandang kearah Sutawijaya, dilihatnya anak yang dimomongnya telah mampu melawan seorang perampok dengan keseimbangan yang baik.
Perampok lainnya yang bertubuh tinggi kurus, telah siap bertarung, iapun mulai menggerakkan tangannya, pedangnyapun diayunkan ke arah lawannya, tetapi Juru Martani tidak mau menjadi sasaran pedang lawannya, maka sekejap kemudian Juru Martanipun menggerakkan pedang pendeknya menyerang kearah leher lawannya.
Perampok itupun menyambut serangannya, pedangnya menyelinap diantara serangan lawannya, tetapi beberapa saat kemudian ia merasakan sebuah tekanan yang berat dari lawannya.
Juru Martani yang berpacu dengan waktu terus menekan perampok yang bertubuh kurus, ia tidak mau kalau momongannya Sutawijaya terluka karena terkena senjata lawannya.
Ilmu pedang perguruan Sela dimainkan dengan kekuatan penuh, mengurung dan menekan permainan pedang lawannya.
Matahari yang memancarkan sinarnya, terus bergerak ke arah barat, seakan tidak perduli dengan dua lingkaran pertarungan di dekat bleduk Kuwu.
Tak lama kemudian Juru Martani ingin mengakhiri pertarungannya, maka perampok yang bertubuh kurus itu diserangnya dengan sebuah putaran pedang yang cepat.
Perampok itu mundur selangkah kebelakang, kepalanya menjadi pening melihat ujung pedang lawannya yang seperti asap menempel pedangnya, dan sebelum ia sadar sepenuhnya, pangkal pedang didekat pergelangan tangannya terkena pukulan pedang lawannya sehingga tangannya menjadi bergetar.
Belum sempat jari-jari tangannya memperbaiki pegangannya, sekali lagi pedangnya dipukul oleh pedang lawannya sehingga pedangnya telah terlempar jatuh ketanah.
Jantung perampok itu berdegup kencang, ia segera melompat jauh kebelakang, lalu terdengar ia bersuit nyaring, dan secepat kilat perampok itupun melarikan diri ke arah timur.
Perampok lainnya yang bertubuh tinggi besar terkejut ketika mendengar suara suitan nyaring, ketika ia menengok kearah temannya, ternyata temannya telah melarikan diri, dan tanpa berpikir panjang lagi, iapun segera lari cepat menyusul temannya yang berlari ke arah timur.
Juru Martani kemudian memungut pedang perampok yang jatuh ke tanah, kemudian mendekati Sutawijaya dan bertanya :"Kau baik-baik saja Danang?"
"Ya siwa Juru, aku tidak apa-apa" kata Danang Sutawijaya.
Lalu kalimat itu diulangi lagi di pendapa rumah eyangnya Ki Ageng Sela, dihadapan pamannya, ayahnya, eyangnya dan eyang buyutnya.
"Aku tidak apa-apa" kata Sutawijaya setelah siwanya Juru Martani selesai bercerita.
"Ya" kata eyang buyutnya :"Tetapi untuk selanjutnya kau harus lebih sering berlatih ilmu perguruan Sela"
"Ya eyang" kata Sutawijaya.
Kemudian Ki Ageng Sela menggeser duduknya menghadap ke Pemanahan.
"Pemanahan, apa yang dikehendaki oleh Kanjeng Adipati Hadiwijaya mengenai Sutawijaya?" tanya Ki Ageng Sela.
"Ya, Kanjeng Adipati Hadiwijaya menghendaki, Sutawijaya diharapkan ikut pindah ke Pajang, disana ia akan dijadikan anak angkat, mudah-mudahan Sutawijaya bisa dijadikan sebagai lanjaran agar supaya Kanjeng Adipati bisa lebih cepat mempunyai anak" kata Pemanahan.
Ki Ageng Sela terkejut, kemudian iapun menarik napas panjang, teringatlah ia kepada perkataan Kanjeng Sunan Giri beberapa puluh warsa yang lalu, bahwa salah seorang keturunannya kelak akan menjadi seorang raja di tanah Jawa.
"Mudah-mudahan Sutawijaya kelak bisa mukti wibawa, ia bisa menjadi raja di tanah Jawa" kata Ki Ageng Sela dalam hati.
"Apa jawabanmu atas permintaan Kanjeng Adipati, Danang?" tanya Pemanahan.
"Saya diminta pindah ke Pajang? Saya akan dijadikan anak angkat oleh pamanda Hadiwijaya?" tanya Sutawijaya.
"Ya, apakah kau bersedia pindah ke Pajang?" tanya ayahnya.
"Mau, mau, saya mau pindah ke Pajang, menjadi anak angkat pamanda Adipati Hadiwijaya" kata Sutawijaya, lalu iapun menggeser duduknya menghadap kepada eyang buyutnya.
"Eyang buyut, bolehkan tombak pusaka Kyai Penatas saya bawa ke Pajang?" tanya Sutawijaya.
"Boleh, tombak Kyai Penatas boleh kau bawa ke Pajang, sekalian kau bawa pula tombak Kyai Pleret" kata Ki Ageng Sela.
Semua yang hadir terkejut, tombak Kyai Pleret adalah tombak pusaka tertinggi keluarga Sela, dan sekarang Ki Ageng Sela telah memerintahkan supaya tombak itu dibawa pindah ke Pajang bersama Sutawijaya.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment