06 January 2019

SETAN KOBER 60

SETAN KOBER 60
Karya : Apung Swarna
Tidak mudah bagi Sunan Kudus untuk mencarikan jalan keluar persoalan yang dihadapi murid sekaligus kemenakannya yang disayanginya.
"Betapa pelik dan rumit persoalan yang dihadapi Penangsang" kata Sunan Kudus didalam hatinya.
"Menurut perhitunganmu, saat ini kerismu Kyai Setan Kober berada dimana, Penangsang ?" tanya Sunan Kudus.
"Saya tidak tahu bapa Sunan, keris itu mungkin berada di pesanggrahan Prawata, Kalinyamatan, Pajang atau mungkin dibawa oleh salah seorang petinggi Demak, mungkin Ki Patih Wanasalam atau Ki Tumenggung Gajah Birawa" kata Arya Penangsang.

Sunan Kuduspun berpikir, tetapi tetap saja ia belum menemukan jalan yang terbaik untuk menemukan keris itu dan mengembalikannya kepada Arya Penangsang.

"Bagaimana bapa Sunan, apa yang harus saya lakukan ?" tanya Adipati Jipang.
"Penangsang, ini adalah sebuah permasalahan yang sangat sulit, aku belum menemukan jalan keluarnya, nanti akan aku carikan langkah apa yang sebaiknya kau lakukan, coba tunggulah besok pagi, mudah-mudahan sudah ada jalan yang terbaik untukmu" jawab Sunan Kudus.
"Ya bapa Sunan, mudah-mudahan besok pagi sudah ada petunjuk dari bapa Sunan untukku" kata Arya Penangsang.
Malam itu Arya Penangsang ditemani oleh Anderpati masih berbincang dengan Sunan Kudus sampai wayah sepi wong, lalu Sunan Kuduspun mempersilahkan muridnya dan pengikutnya untuk beristirahat di kamar belakang.
Suara cengkerik tanpa henti terus terdengar di malam itu, kadang-kadang diselingi oleh suara burung malam, lalu disusul sayup-sayup terdengar dikejauhan suara gonggongan anjing hutan diarah utara, dikaki gunung Muria.
Ketika gelap malam perlahan-lahan digantikan oleh terbitnya matahari pagi, saat itu di ruang dalam pesanggrahan Kalinyamat tiga orang sedang berbincang untuk mempersiapkan sebuah perjalanan menuju ke Kudus.
"Semua sudah siap Ki Wasesa ?" tanya Pangeran Hadiri kepada pemimpin pengawal pesanggrahan Kalinyamat.
"Sudah Pangeran" jawab Ki Wasesa.
"Berapa orang pengawal yang akan kau bawa ?" tanya Ratu Kalinyamat.
"Seperti biasanya, sepuluh orang pengawal, Kanjeng Ratu" kata Ki Wasesa.
"Dalam keadaan yang tidak menentu seperti ini, jumlah pengawal supaya ditambah dua kali lipat, Ki Wasesa" kata Ratu Kalinyamat.
"Baik Kanjeng Ratu, saya bawa pengawal dua puluh orang, jadi dengan saya menjadi dua puluh satu orang, semuanya berkuda" kata Ki Wasesa.
"Ya, sekarang kau persiapkan para pengawal, secepatnya" kata Pangeran Hadiri.
"Baik Pangeran, saya persiapkan sekarang" kata Ki Wasesa, setelah itu ia kemudian keluar dari ruang dalam, memerintahkan tambahan sepuluh orang pengawal untuk ikut mengawal perjalanan Pangeran Hadiri ke Kudus.
Pangeran Hadiri kemudian mengambil sebuah bungkusan yang didalamnya berisi sebuah keris yang telah menggemparkan tlatah Demak, Kyai Setan Kober.
"Mudah-mudahan Kanjeng Sunan Kudus bisa menyelesaikan persoalan ini dengan bijaksana, yang bersalah akan dihukum" kata Pangeran Hadiri.
"Ya" jawab Ratu Kalinyamat pendek.
Tak lama kemudian Ki Wasesa naik ke pendapa, melaporkan kalau para pengawal semuanya sudah siap mengawal perjalanan Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat ke Panti Kudus.
"Para pengawal semua sudah siap Pangeran" kata Ki Wasesa.
"Ya, kita berangkat serkarang" kata Pangeran Hadiri sambil membawa bungkusannya turun dari pendapa.
Di halaman depan, dua puluh orang pengawal pesanggrahan Kalinyamat telah berdiri disamping kuda yang telah siap menempuh perjalanan ke Kudus.
Pangeran Hadiri kemudian naik ke punggung kuda, disusul oleh Ratu Kalinyamat yang juga naik ke punggung kuda lainnya..
Setelah itu Ki Wasesa dan para pengawal pesanggrahan segera naik ke punggung kudanya masing-masing. 
Pangeran Hadiri lalu menjalankan kudanya berlari perlahan, diikuti oleh kuda Ratu Kalinyamat, dibelakangnya berlari kuda yang ditunggangi Ki Wasesa bersama dua puluh orang pengawal.
Dua puluh tiga ekor kuda berlari perlahan menuju Kudus, angin pagi yang segar mengusap wajah para pengawal pesanggrahan Kalinyamat.
Debupun mengepul dari kaki-kaki kuda yang berderap dijalan yang menuju arah tenggara, menuju Kudus.
Sementara itu, di Kraton Demak, Adipati Hadiwijaya bersama empat orang pengikutnya, telah bersiap akan menuju ke pesantren Kadilangu.
"Kita berjalan kaki saja" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Aku berangkat dulu Wenang Wulan, jaga Kanjeng Ratu selama aku berada di Kadilangu" kata Adipati Pajang.
"Silakan Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
Sesaat kemudan mereka berlima berjalan ke arah selatan, lalu berbelok ke timur menuju arah Kadilangu
Cuaca pagi hari yang cerah, ditambah jarak dari Kraton ke Kadilangu yang tidak begitu jauh, membuat perjalanan kelima orang Pajang itu berjalan lancar.
"Apakah rakit yang dulu ada ditepi sungai Tuntang masih tetap berada disana ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
Keempat pengikutnya tidak ada yang menjawab, sudah lama mereka tidak pernah bepergian jauh, dan saat ini mereka semuanya tidak mengetahui keadaan di tepi sungai Tuntang.
Setelah mereka berjalan beberapa saat, maka tibalah mereka di tepi barat sungai Tuntang.
"Itu rakitnya" kata Pemanahan sambil jarinya menunjuk ke sebuah rakit yang tertambat di tepi sungai.
Lima orang Pajang itu kemudian berjalan menuju ke tepi sungai, lalu merekapun naik keatas rakit.
"Rakit ini baru saja dibuat, bambunya masih baru" kata Penjawi.
"Ya, mungkin para santri atau penduduk sekitar Kadilangu yang membuatnya, sebagai ganti rakit yang lama yang bambunya telah lapuk" kata Juru Martani, lalu iapun mengambil sebuah galah bambu yang berada di atas rakit, lalu iapun menancapkan ke sungai lalu mendorong galah itu ke arah belakang, sehingga rakit itupun bergerak kedepan.
Beberapa saat kemudian rakitpun merapat ketepi sebelah timur sungai Tuntang, lalu mereka berlima berjalan melanjutkan perjalanan yang tinggal beberapa langkah lagi.
Kelima orang Pajang itu terus melangkahkan kakinya dan tak lama kemudian sampailah mereka di depan regol pesantren Kadilangu.
"Mudah-mudahan Kanjeng Sunan Kalijaga tidak sedang bepergian" kata Adipati Hadiwjaya.
Adipati Hadiwijaya mengucap salam dan dari dalam regolpun terdengar jawaban, setelah itu dua orang santri berlari menuju regol pesantren.
"Selamat datang di Kadilangu Kanjeng Adipati Hadiwijaya beserta para priyagung dari Kadipaten Pajang" kata salah seorang santri yang menyambutnya.
"Terima kasih, apakah Kanjeng Sunan Kalijaga berada di tempat ?" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ada, Kanjeng Sunan Kalijaga berada di ruang dalam, silahkan masuk" kata salah seorang santri Kadilangu.
"Terima kasih, aku akan ke ruang dalam" kata Adipati Pajang.
Setelah mencuci kaki, mereka berlima kemudian naik ke pendapa, lalu berjalan menuju ke ruang dalam.
Sunan Kalijaga yang telah mendapat laporang mengenai kedatangan Adipati Hadiwijaya dan para pengikutnya telah menunggu diruang dalam.
Ketika para tamu mengucap salam, maka Sunan Kalijaga yang sedang duduk diatas tikar segera menjawab salam mereka.
"Masuklah Hadiwijaya" kata
Sunan Kalijaga mempersilahkan tamunya untuk masuk ke ruang dalam.
Mereka berlima kemudian bergantian mencium tangan Sunan Kalijaga, lalu mereka duduk di tikar dihadapan Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Kau selamat Hadiwijaya" kata Sunan Kalijaga.
"Atas doa restu Kanjeng Sunan, kami berlima dalam keadaan sehat" kata Hadiwijaya.
"Selain Pemanahan dan Penjawi, siapakah yang kau ajak kemari Hadiwijaya ?" tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan, ini adalah Sutawijaya, anak kakang Pemanahan yang sudah saya jadikan anak angkat, lalu ini adalah kakang Juru Martani, pengasuh Sutawijaya sejak masih kecil" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Jadi Sutawijaya adalah cicit dari Ki Ageng Sela ?" tanya Sunan Kalijaga.
"Betul Kanjeng Sunan" kata Pemanahan.
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang santri masuk ke ruang dalam sambil membawa air minum yang berada didalam tiga buah kendi..
"Silakan diminum airnya Hadiwijaya, diminum Pemanahan" kata Sunan Kalijaga.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Penjawi.
Sambil minum air bening, merekapun berbincang tentang keadaan Kasultanan Demak sepeninggal Sunan Prawata.
"Dulu kau datang terlambat sampai di pesanggrahan Prawata, Hadiwijaya " kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan, jarak dari Prawata ke Pajang tidak cukup ditempuh dalam satu hari, sehingga kami terlambat dan tidak bisa menghadiri pemakaman Sunan Prawata" jawab Adipati Pajang.
"Ya memang jenazah Sunan Prawata sebaiknya langsung dimakamkan, tidak usah menunggu terlalu lama" kata Kanjeng Sunan.
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Hadiwijaya.
"Menurut perhitunganmu, siapakah yang membunuh Sunan Prawata, Hadiwijaya" kata Kanjeng Sunan.
"Kalau tidak salah, kemungkinan yang menyuruh Rangkud membunuh Sunan Prawata adalah Penangsang, Kanjeng Sunan" jawab Sang Adipati,
"Ya, perhitunganku juga demikian, dan mulai sekarang kau harus selalu bersikap waspada, Hadiwijaya"
"Ya, Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya.
"Apalagi saat ini Penangsang juga mempunyai hak atas tahta Kasultanan Demak yang kosong" kata Sunan Kalijaga.
"Ya, Kanjeng Sunan, Penangsang juga berhak atas tahta Demak karena ia adalah putra Pangeran Sekar Seda Lepen, dan merupakan cucu dari eyang Patah" kata Adipati Hadiwijaya.
"Betul Hadiwijaya, dan kemarin keris Kyai Setan Kober sudah dipakai untuk membunuh dua orang, dan ketahuilah Hadiwijaya, keris Kyai Setan Kober adalah keris yang sangat berbahaya" kata Kanjeng Sunan.
"Ya Kanjeng Sunan" kata Adipati Pajang.
"Selama keris itu berada ditangan Arya Penangsang, maka semua orang yang mempunyai hak atas tahta Kasultanan Demak berada dalam bahaya" kata Sunan Kalijaga.
"Kau harus tetap waspada Hadiwijaya, dan kau harus mempunyai sebuah rangkapan pusaka, sebuah keris yang bisa menandingi keampuhan keris Kyai Setan Kober" kata Kanjeng Sunan.
"Kau tunggu disini sebentar" kata Sunan Kalijaga, lalu Kanjeng Sunanpun berdiri dan berjalan masuk ke kamarnya.
Sesaat kemudian Sunan Kalijaga keluar dari kamar sambil membawa sebuah keris, lalu keris itupun diletakkan diatas sebuah meja kecil.
Setelah duduk kembali diatas tikar, Kanjeng Sunan Kalijaga kemudian berkata :"Kau harus punya rangkapan Hadiwijaya, ini adalah keris milikku, Kyai Carubuk yang mampu menandingi keampuhan keris Kyai Setan Kober"
Adipati Hadiwijaya melihat ke arah meja kecil, yang diatasnya terdapat sebuah keris pusaka Kadilangu Kyai Carubuk yang berwarangka gayaman, milik Sunan Kalijaga yang kekuatannya seimbang dengan keris Kyai Setan Kober.
"Keris pusaka Kyai Carubuk" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ya, ini adalah pusaka Kadilangu" kata Sunan Kalijaga.
Adipati Hadiwijaya tidak berkata apapun, ia hanya memandang kagum kepada pusaka Kadilangu yang baru kali ini dilihatnya.
"Hadiwijaya, keris apa yang kau bawa sekarang ?" tanya Sunan Kalijaga.
"Saya membawa keris Kyai Naga Siluman, pusaka dari Pengging Witaradya warisan dari eyang Adipati Dayaningrat yang sekarang telah menjadi pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang, Kanjeng Sunan" jawab Adipati Hadiwijaya.
Sunan Kalijaga mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Hadiwijaya, kerismu Kyai Naga Siluman sebaiknya kau simpan dulu, mulai hari ini kau pakai keris Kyai Carubuk, karena keadaan semakin tidak menentu, setiap saat bisa terjadi benturan antara Jipang dengan Kalinyamat atau dengan para pengikutmu"
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Nah, kau lepas dulu kerismu Kyai Naga Siluman" kata gurunya.
Adipati Hadiwijaya kemudian melepas keris Kyai Naga Siluman yang selalu dipakainya, lalu keris itupun diberikan kepada Pemanahan.
"Kakang Pemanahan, kau bawa dulu keris Kyai Naga Siluman ini" kata Sang Adipati.
Pemanahanpun mengulurkan tangannya lalu iapun menerima keris sipat kandel Kadipaten Pajang, Kyai Naga Siluman,
Sunan Kalijaga kemudian mengambil keris Kyai Carubuk yang berada diatas meja, lalu diberikan kepada Adipati Hadiwijaya sambil berkata ;"Hadiwijaya, sekarang aku berikan keris pusaka Kyai Carubuk ini kepadamu, kau pakai keris pusaka ini untuk berjaga-jaga kalau suatu saat kau berhadapan dengan Arya Penangsang yang selalu membawa keris Kyai Setan Kober"
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya yang menerima keris Kyai Carubuk, lalu keris itupun disengkelitkan di tubuhnya.
"Kalau tidak terpaksa sekali, kau tidak perlu menghunus keris Kyai Carubuk dari warangkanya, Hadiwijaya" kata Kanjeng Sunan.
"Ya Kanjeng Sunan" kata Adipati Pajang.
"Setelah Sunan Prawata dan Prameswari terbunuh oleh Rangkud, sekarang aku telah menentukan sikap terhadap para calon Sultan Demak selanjutnya" kata Sunan Kalijaga.
"Meskipun tidak ada pengakuan dari Jipang kalau yang menyuruh Rangkud adalah Penangsang, tetapi dengan diketemukan Rangkud mati terbunuh dan ditangannya masih tergenggam keris Kyai Setan Kober milik guru Penangsang, maka mau tidak mau semua tuduhan tertuju ke Arya Penangsang" lanjut Sunan Kalijaga.
"Meskipun Arya Penangsang juga mempunyai hak atas tahta Kasultanan Demak,dan dia adalah keturunan laki-laki, cucu dari Sultan Patah, tetapi aku kurang setuju kalau Penangsang menjadi Sultan Demak selanjutnya" kata Kanjeng Sunan selanjutnya.
"Apa jadinya, kalau Kasultanan Demak nanti dipimpin oleh seorang Sultan yang pemarah, jauh dari rasa sabar, serta mengutamakan kekuatan kanuragan untuk mencapai semua tujuannya" lanjut Sunan Kalijaga.
"Saat ini, selain Penangsang dan Pangeran Timur yang masih anak-anak, tinggal kau dan Pangeran Hadiri yang masih mempunyai hak atas tahta Kasultanan Demak, meskipun kau dan Pangeran Hadiri hanya sebatas menantu dari Sultan Trenggana" kata Kanjeng Sunan.
"Nah Hadiwijaya, itulah sekilas kenapa keris pusaka Kadilangu, Kyai Carubuk aku berikan kepadamu" kata sunan Kalijaga selanjutnya.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Kau akan menginap di Kadilangu, Hadiwijaya ?" tanya gurunya.
"Tidak Kanjeng Sunan, nanti setelah sholat ashar, kami akan kembali ke kraton karena besok pagi kami akan pulang ke Pajang" kata Adipati Pajang.
"Ya, pagi ini kalian tetap bergantian mengaji meskipun hanya sebentar, lainnya bisa beristirahat di kamar belakang" lanjut Sunan Kalijaga.
Lima orang dari Pajang itupun kemudian bergantian mengaji, dan ketika matahari telah sampai di puncak langit terdengar suara kentongan yang menandakan sudah masuk waktu dhuhur, waktunya sholat dhuhur berjamaah di pesantren Kadilangu.
Sementara itu, Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat yang menuju Kudus dan di kawal oleh Ki Wasesa beserta dua puluh orang pengawal pesanggrahan Kalinyamat telah menyeberangi sungai Serang di daerah Tanggul Angin.
Setelah itu, kuda merekapun berlari menuju Panti Kudus, debupun mengepul dibelakang kaki kuda di siang yang panas terik itu.
Beberapa ratus langkah sebelum sampai di Panti Kudus, Pangeran Hadiri menghentikan laju rombongannya lalu memanggil pemimpin pengawalnya maju kedepan.
"Ki Wasesa, sebaiknya hanya lima orang pengawal saja yang ikut ke Panti Kudus, sedangkan pengawal lainnya menunggu disini" kata Pangeran Hadiri.
"Baik Pangeran" jawab Ki Wasesa.
Ki Wasesa kemudian memerintahkan lima orang pengawal untuk ikut mengawal Pangeran Hadiri ke Panti Kudus.
"Sarju, kau ikut aku ke Panti Kudus bersama tiga orang yang lain, sisanya tunggu disini sampai aku kembali " kata Ki Wasesa.
"Baik Ki" jawab Sarju.
Sesaat kemudian Pangeran Hadiri yang membawa bungkusan berisi keris Kyai Setan Kober bersama enam orang lainnya telah melaju menuju Panti Kudus.
Saat itu, di ruang dalam Panti Kudus, Arya Penangsang dan pemimpin prajurit Jipang, Anderpati sedang menghadap Sunan Kudus untuk berpamitan akan pulang ke jipang.
"Saya mohon diri bapa Sunan, saya dan Nderpati akan pulang ke Jipang sekarang" kata Penangsang.
"Pulanglah nanti setelah selesai sholat Ashar Penangsang" kata gurunya.
"Tidak bapa Sunan, saya akan pulang sekarang, lalu apa yang harus saya lakukan, apakah untuk menemukan kembali keris Kyai Setan Kober saya harus menjadikan pesanggrahan Prawata, Kalinyamatan dan Kadipaten Pajang sebagai karang abang ?" kata Arya Penangsang.
"Sabar dulu, Penangsang" jawab Sunan Kudus.
Arya Penangsang hampir menjawab, tetapi perkataan yang hampir keluar dari mulutnya, telah ditelannya kembali.
"Jangan pernah membuat sebuah desa menjadi karang abang Penangsang, karena orang-orang yang tidak bersalah bisa saja menjadi korban akibat perbuatanmu" kata gurunya.
Arya Penangsang tidak menjawab, ia hanya terdiam mendengar perkataan gurunya.
"Jangan bertindak tergesa-gesa, karena sampai sekarang aku belum mendapatkan jalan yang terbaik untuk menemukan kerismu yang hilang itu" kata Sunan Kudus.
"Ya bapa Sunan, tetapi sebelum melangkah, saya butuh petunjuk bapa Sunan, karena saya akan pulang sekarang" kata Arya Penangsang.
"Sabarlah Penangsang, kalian jangan pulang sekarang, nanti saja setelah kita sholat Ashar" kata gurunya.
"Maaf bapa Sunan, saya ingin pulang sekarang" kata Adipati Jipang yang bersikeras akan pulang ke Jipang saat itu juga.
Sunan Kudus termenung sejenak, ia prihatin dengan sikap muridnya yang kurang mempunyai sifat sabar.
Belum sempat Sunan Kudus menjawab, seorang santri telah memasuki ruang dalam sambil berkata :"Kanjeng Sunan, ada tamu dari dalem Kalinyamatan, Pangeran Hadiri beserta Kanjeng Ratu Kalinyamat"
Ketiga orang yang berada di ruang dalam menjadi terkejut, Sunan Kudus tidak mengira, ketika Arya Penangsang berada di Panti Kudus, pada saat yang bersamaan, Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat juga datang ke Kudus
"Ya, pergilah kau ke belakang, persiapkan minuman untuk mereka" kata Sunan Kudus.
"Baik Kanjeng Sunan" kata santri itu, kemudian iapun segera berjalan ke belakang untuk mempersiapkan minuman.
"Penangsang dan Pangeran Hadiri saat ini tidak boleh bertemu" kata Sunan Kudus dalam hati.
"Penangsang dan kau Nderpati, kalian bersembunyilah di dalam kamar, ada tamu Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat" perintah gurunya.
"Saya harus bersembunyi ? Tidak bapa Sunan, saya akan tetap berada disini, nanti semua orang akan mengira kalau ternyata Arya Penangsang takut kepada orang-orang Kalinyamatan" kata Penangsang keras.
"Cepat Penangsang, masuklah ke kamarmu sebelum mereka masuk ke ruang dalam, jangan membantah, kau harus mematuhi semua perintah gurumu" kata Sunan Kudus dengan tegas.
Arya Penangsang yang merasa tidak sependapat dengan perkataan Sunan Kudus, masih duduk terdiam, hingga gurunya berkata keras :"Cepat Penangsang, masuk ke kamarmu bersama Nderpati, sekarang !".
Arya Penangsang dan Anderpati kemudian bangkit berdiri, lalu mereka berdua dengan cepat masuk ke kamarnya.
"Tutup pintu kamarmu, sebelum aku panggil, kalian berdua jangan keluar dari kamar" kata gurunya tegas.
Penangsang kemudian menutup pintu kamarnya, lalu pintu itupun diselarak dengan palang pintu.
Setelah Arya Penangsang menutup pintu kamarnya, Sunan Kuduspun menghela nafas panjang, ia merasa betapa sulit mengendalikan kemauan dan keinginan yang meledak-ledak dari murid sekaligus kemenakannya itu.
Di depan regol Panti Kudus, Pangeran Hadiri beserta Ratu Kalinyamat turun dari kudanya, diikuti oleh pengawalnya, Ki Wasesa dan empat orang lainnya.
Beberapa orang santri akan meminta tali kendali kudanya, tetapi Pangeran Hadiri berkata :"Terima kasih, biarlah kuda-kuda ini berada disini, kami hanya sebentar, Kanjeng Sunan Kudus berada di tempat ?"
"Ada Pangeran, Kanjeng Sunan berada di ruang dalam" kata santri itu.
"Ki Wasesa, kau tunggu didepan pendapa, bersiagalah, kalau kau kupanggil, kau harus cepat masuk kedalam bersama para pengawal yang lain" kata Pangeran Hadiri.
"Baik Pangeran" kata Ki Wasesa.
Pangeran Hadiri yang membawa sebuah bungkusan, segera berjalan ke pendapa Panti Kudus, diikuti oleh istrinya, Ratu Kalinyamat.
Di ruang dalam, Sunan Kudus telah bersiap menunggu kedatangan kedua orang penguasa dalem Kalinyamatan.
Beberapa saat kemudian terdengar ucapan salam dari Pangeran Hadiri yang akan memasuki pendapa, kemudian Sunan Kuduspun bangkit berdiri sambil menjawab salamnya.
Sunan Kudus berjalan ke arah pintu ruang dalam sambil mempersilahkan mereka masuk ke ruang dalam.
"Silahkan masuk Pangeran dan Ratu Kalinyamat, silahkan duduk didalam" kata Sunan Kudus.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Pangeran Hadiri, kemudian Pangeran Hadiri mendekati Sunan Kudus lalu mencium tangan Sunan Kudus yang merupakan salah satu dari Walisanga.
"Kalian berdua selamat Pangeran" kata Sunan Kudus.
"Atas doa restu Kanjeng Sunan, kami semuanya selamat" kata Pangeran Kalinyamat.
Didalam kamar, Arya Penangsang dan Anderpati mencoba mencari lubang kecil, diantara sambungan dinding kayu dikamarnya.
Setelah mendapat celah yang kecil, mereka kemudian mengintip ke ruang dalam, dilihatnya Sunan Kudus duduk dihadap oleh Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat.
"Itu yang laki-laki namanya Pangeran Hadiri atau sering disebut juga Pangeran Kalinyamat, penguasa dalem Kalinyamatan, yang letaknya tidak jauh dari bandar Jepara, sedangkan yang perempuan adalah istrinya, Ratu Kalinyamat, putri dari Sultan Trenggana" bisik Penangsang hampir tidak kedengaran.
"Wajah Pangeran Hadiri seperti bukan wajah orang Jawa, Kanjeng Adipati" bisik Anderpati.
"Ya, nenek moyangnya berasal dari sebuah negeri yang jauh, jauh sekali, harus menyeberangi lautan air, setelah itu juga harus menyeberangi lautan pasir yang sangat luas" bisik Penangsang.
Anderpati menganggukkan kepalanya, selama ini yang ia ketahui hanya lautan air, tidak terbayang di dalam pikirannya, kalau ditempat yang sangat jauh, ada sebuah negeri yang mempunyai lautan pasir yang luas sekali.
"Lautan pasir itu mungkin terasa sangat panas di waktu siang hari" kata Anderpati dalam hati.
"Mereka pasti membawa banyak pengawal yang menunggu di depan pendapa" bisik Arya Penangsang.
"Untung, para pengawal Pangeran Hadiri tidak menuju ke halaman belakang Kanjeng Adipati, kalau mereka kesana, pasti mereka akan melihat Gagak Rimang yang berada di halaman belakang" bisik Anderpati.
Arya Penangsang hanya menganggukkan kepalanya, kemudian iapun kembali mengintip dari celah-celah dinding, mengamati apa yang akan terjadi di ruang dalam.
"Pangeran berangkat ke sini dengan para pengawal?" tanya Sunan Kudus.
"Ya, mereka sekarang berada di depan pendapa Kanjeng Sunan" kata Pangeran Hadiri.
"Tadi berangkat dari dalem Kalinyamatan Pangeran ?" kata Sunan Kudus.
"Ya Kanjeng Sunan, kami berangkat tadi pagi" jawab Pangeran Kalinyamat.
"Apakah Pangeran Hadiri mempunyai keperluan yang penting, sehingga Pangeran dan Ratu Kalinyamat sudi datang ke Panti Kudus ini" kata Sunan Kudus.
"Ya Kanjeng Sunan, saya mempunyai sebuah persoalan yang penting, karena persoalan itu ada hubungannya dengan Kanjeng Sunan Kudus" jawab Pangeran Hadiri.
Pembicaraan mereka terhenti ketika seorang santri masuk ke dalam ruangan sambil membawa dua buah kendi berisi air jernih dan beberapa mangkuk kecil dari gerabah.
"Silakan diminum dulu Pangeran" kata Sunan Kudus, kemudian merekapun minum air beberapa teguk.
Setelah itu, pembicaraan antara penguasa Kalinyamatan dan Sunan Kuduspun kembali dilanjutkan.
"Apa yang bisa aku bantu Pangeran" kata Sunan Kudus.
"Saya membawa sebuah keris, Kanjeng Sunan" kata Pangeran Hadiri sambil membuka bungkusan yang dibawanya, lalu mengeluarkan sebuah keris pusaka yang telah disimpannya beberapa hari di dalem Kalinyamatan, keris Kyai Setan Kober.
Didalam kamar, Arya Penangsang yang sedang mengintip ke ruang dalam, bergetar hatinya ketika melihat keris yang dibawa oleh Pangeran Hadiri.
"Ternyata kerisku berada ditangan kakangmas Hadiri" kata Penangsang dalam hati, ingin ia segera membuka pintu lalu melompat mengambil kerisnya, tetapi ia teringat larangan gurunya untuk tidak membuka pintu kamar sebelum namanya dipanggil oleh Sunan Kudus.
Keris yang dibawa oleh Pangeran Hadiri kemudian diserahkan kepada Sunan Kudus, yang menerima keris itu dengan kedua tangannya.
"Apakah Kanjeng Sunan Kudus mengenal keris itu ?" tanya Pangeran Hadiri.
Sunan Kudus tidak menjawab, tetapi tangannya memegang ukiran keris, lalu menarik bilah keris itu dari warangkanya, kemudian dilihat dan diperhatikannya bilah keris itu secara cermat.
"Hm keris ini masih utuh, semuanya sudah bersih, tidak ada noda darah yang tertinggal di bilahnya" katanya dalam hati.
Bilah keris itu kemudian dimasukkan kembali kedalam warangkanya, lalu keris itupun diletakkan diatas meja kecil.
"Ya, aku mengenalnya, ini adalah keris Kyai Setan Kober" kata Sunan Kudus.
"Betul Kanjeng Sunan, keris itu sewaktu diketemukan di kamar Sunan Prawata masih dalam keadaan berlumuran darah" kata Pangeran Hadiri.
Sunan Kudus terdiam sejenak, kemudian dengan tenang iapun berkata :"Kalau begitu, Pangeran Hadiri menuduh aku sebagai pembunuh Sunan Prawata ?"
"Bukan begitu Kanjeng Sunan, saya percaya bahwa Kanjeng Sunan tidak terlibat secara langsung dalam peristiwa pembunuhan di pesanggrahan Prawata" kata Pangeran Hadiri.
Sunan Kudus menganggukkan kepalanya, ia masih menunggu kalimat selanjutnya dari Pangeran Hadiri.
"Ketika diketemukan, keris itu masih berlumuran darah dan masih dalam genggaman telapak tangan Rangkud, prajurit Jipang yang juga telah mati, sedangkan didekatnya tergeletak jenazah Sunan Prawata dan Prameswari" kata Pangeran Hadiri.
"Ya, lalu menurut Pangeran, siapakah yang bersalah dalam pembunuhan ini ?" tanya Sunan Kudus.
"Rangkud adalah prajurit Jipang sedangkan keris Kyai Setan Kober adalah milik Kanjeng Sunan Kudus, guru Arya Penangsang, maka sudah jelas, Arya Penangsanglah yang harus bertanggung jawab atas meninggalnya dua orang itu, Kanjeng Sunan" kata Pangeran Hadiri.
Mendengar perkataan itu, Arya Penangsang yang berada di dalam kamar, menjadi marah, tetapi ia masih teringat perintah gurunya untuk tetap berada di dalam kamar.
"Jadi menurut Pangeran Hadiri, Penangsanglah yang harus bertanggung jawab atas kematian Sunan Prawata dan Prameswari, begitu Pangeran ?" kata Sunan Kudus.
"Betul Kanjeng Sunan" kata Pangeran Hadiri.
"Menurutku semua itu keliru Pangeran, Sunan Prawata terbunuh karena ia telah ngunduh wohing pakarti, ia telah memetik buah perbuatannya sendiri, Sunan Prawata telah mendapatkan balasan dari apa yang ia perbuat dulu, ingat Pangeran, dulu Sunan Prawata telah membunuh ayahanda Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen yang tidak bersalah dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober, jadi memang sudah sepantasnya kalau Sunan Prawata ternyata juga terbunuh oleh keris yang sama" kata Sunan Kudus.
"Tetapi Kanjeng Sunan" kata Ratu Kalinyamat.
"Ada apa Ratu" tanya Sunan Kudus.
"Kenapa Rangkud juga membunuh Prameswari ?" tanya Ratu Kalinyamat.
"Kematian Prameswari adalah tanggung jawab Rangkud sendiri, kalau Rangkud tidak mati sampyuh, ia bisa ditanya kenapa ia membunuh Prameswari, dan ia yang harus bertanggung jawab atas pembunuhan itu, tetapi kini pembunuhnya juga telah mati, berarti persoalan kematian Prameswari, menurutku sekarang telah selesai, tidak ada yang bisa dituntut, Ratu" kata Sunan Kudus.
Mendengar perkataan Sunan Kudus, Ratu Kalinyamat menjadi sakit hati, ia melihat Sunan Kudus membela Arya Penangsang, dengan membebankan semua kesalahan kepada Rangkud yang telah mati.
"Tetapi Kanjeng Sunan, yang bersalah tetap harus dihukum" kata Ratu Kalinyamat.
"Siapakah menurut Ratu, yang telah bersalah dalam pembunuhan Sunan Prawata dan Prameswari ?" tanya Sunan Kudus.
"Penangsang !" jawab Ratu Kalinyamat tegas.
Didalam kamar, Penangsang yang sedang mengintip pembicaraan itu badannya menjadi gemetar, tangannya mengepal, seakan-akan ia mau melompat menerkam Pangeran Hadiri dan Ratu Kalinyamat, tetapi ia terhalang oleh larangan gurunya,
"Kalau Ratu menganggap Arya Penangsang telah bersalah dan harus dihukum, siapakah yang berhak menghukum Penangsang, Ratu ?" tanya Sunan Kudus.
"Yang berhak menghukum adalah Kanjeng Sunan Kudus sebagai guru Penangsang" kata Ratu Kalinyamat.
"Betul Ratu, aku memang berhak menghukum Penangsang, tetapi dalam peristiwa pembunuhan Sunan Prawata dan Prameswari, aku menganggap kalau Penangsang tidak bersalah, jadi aku tidak akan menghukumnya" kata Sunan Kudus.
Ratu Kalinyamat semakin sakit hati mendengar pembelaan Sunan Kudus terhadap Penangsang.
Suasana menjadi tegang, sesaat kemudian Sunan Kuduspun berkata :"Selain aku yang menjadi gurunya, siapa lagi yang berhak menghukum Adipati Jipang, Ratu ?" tanya Sunan Kudus.
Ratu Kalinyamat tidak menjawab, ia menunggu kalimat selanjutnya dari Sunan Kudus.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment