04 January 2019

SETAN KOBER 68

SETAN KOBER 68
Karya : Apung Swarna
Singaprana tidak menjawab, ia mengedarkan pandangannya berkeliling, disudut kamar terlihat sebuah songsong Kasultanan Pajang yang dimasukkan ke dalam sebuah ploncon, dan songsong itu masih dalam keadaan tertutup.
Disebelahnya ada tiga buah gledeg tempat pakaian, lalu ada pula sebuah meja berukir dan empat buah tempat duduk yang semuanya terbuat dari kayu jati, lalu dilihatnya pula Kanjeng Prameswari yang tidur di pojok pembaringan menghadap ke dinding, dan dilihatnya pula Kanjeng Sultan yang sedang tidur pulas berselimut kain panjang dipinggir pembaringan, hanya terdengar dengkurnya yang pelan dan teratur.

"Betul, ini adalah kamar Kanjeng Sultan, disudut itu terdapat songsong Kasultanan" kata Singaprana sambil tangannya menunjuk songsong Kasultanan Pajang.

Disudut yang lain, diatas sebuah meja kecil, dilihatnya sebuah ploncon keris dalam keadaan kosong.
"Ploncon itu kosong, dimana kerisnya sekarang ?" tanya Singaprana dalam hati.
Di dinding tergantung sebuah lampu minyak, yang nyala apinya mampu menerangi kamar itu.
Singaprana lalu mengambil keris Kyai Setan Kober yang terselip di tubuhnya, tangan kirinya memegang gandar keris, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat ukiran kerisnya, lalu pelan-pelan Singaprana mencabut bilah keris itu dari warangkanya.
Empat orang pajineman Jipang itu kini telah menggenggam senjatanya, tiga orang membawa belati dan seorang lagi telah menghunus keris pusaka.
Singaprana segera melangkah maju mendekati Sultan Hadiwijaya yang sedang tidur di pembaringan, dan dengan cepat tangannya yang menggenggam keris Kyai Setan Kober bergerak menusuk dada kanjeng Sultan dengan sekuat tenaga.
Singaprana yang mempunyai tenaga yang besar, yang mampu membelah kayu dengan ayunan kapaknya, berharap keris Kyai Setan Kober akan mampu menusuk tubuh Sultan Hadiwijaya, tetapi alangkah terkejutnya Singaprana, ternyata keris pusaka Kyai Setan Kober itu tak mampu menyentuh tubuh Sultan Hadiwijaya.
Beberapa kali ujung bilah keris itu ditikamkan pada tubuh Sultan Hadiwijaya, tetapi bilah keris itu tak mampu melukai tubuh Kanjeng Sultan, keris itu seperti tertahan oleh sebuah perisai yang tak terlihat.
Ketiga saudaranya yang berada di belakangnya juga merasa heran atas kejadian itu, mereka melihat berkali-kali Singaprana menikam Sultan Hadiwijaya, tetapi tidak ada satupun yang berhasil menyentuh tubuh Kanjeng Sultan.
Ketika Singaprana akan menikam lagi, tiba-tiba ia terkejut ketika tangan kanannya yang memegang keris tergetar karena terbentur benda keras, dan sebelum Singaprana sadar, keris Kyai Setan Kober telah lenyap dari tangannya, dan tiba-tiba pandangannya berubah menjadi gelap karena matanya telah tertimpa kain panjang yang dipakai untuk selimut Sultan Hadiwijaya.
Ketiga saudaranya terkejut ketika Singaprana tertimpa selimut Sultan Hadiwijaya dan terlempar dua tiga langkah kebelakang lalu tergeletak tidak bisa bangun kembali, pingsan.
Ketika mengetahui Singaprana terlempar, maka Wanengpati, Jagasatru dan Kertijaya yang masing-masing bersenjatakan sebuah belati, secara bersamaan melompat maju ke depan menyerang Sultan Hadiwijaya, tetapi langkah mereka terhenti ketika dilihatnya Sultan Hadiwijaya telah berdiri di tepi pembaringan sambil tangannya mengacungkan keris Kyai Setan Kober.
Ketiga orang pajineman Jipang sadar, setiap goresan keris Kyai Setan Kober ditubuhnya, meskipun hanya seujung rambut, akan berakibat maut bagi mereka.
Belum sempat ketiga orang itu mempersiapkan diri untuk menyerang kembali, mereka terkejut ketika dari pintu yang telah terbuka, tiba-tiba masuklah beberapa nayaka praja Pajang dengan pedang terhunus.
Wanengpati melihat kearah pintu, dilihatnya Patih Mancanegara masuk kedalam kamar bersama enam orang nayaka praja lainnya.
Ketujuh orang nayaka praja Pajang itu segera mengepung tiga orang yang berada didalam kamar Kanjeng Sultan.
"Menyerahlah" kata Pemanahan.
Wanengpati yang terkepung, mencoba untuk mencari celah untuk melarikan diri, iapun dengan cepat menyerang seorang pemuda yang berdiri di dekat pintu.
Pisau belatinya berkelebat cepat menusuk pundak pemuda itu, tetapi yang diserang adalah Wenang Wulan, pemuda yang telah berguru sampai ke Segara Anakan.
Wenang Wulan mundur selangkah, lalu dengan cepat pedang pendeknya bergerak memukul pisau belati lawannya.
Terjadilah benturan dua buah senjata, belati Wanengpati berbenturan dengan pedang pendek Wenang Wulan, dan tenaga Wanengpati bukanlah tandingan tenaga Wenang Wulan.
Tangan Wanengpati terasa pedih dan iapun tak mampu mempertahanan pisau belatinya, sehingga belatinya terlempar kesamping dan menancap di dinding kamar.
"Menyerahlah" kata Pemanahan.
Jagasatru dan Kertijaya menggeser badannya, mereka berdua tidak mau menyerah, pisau belati Jagasatru bergetar menyerang orang yang berada dihadapannya, Patih Mancanegara.
Patih Mancanegara menggerakan pedangnya kedepan, jangkauan pedang yang lebih panjang, membuat Jagasatru menarik tangannya kembali. 
Sementara itu, ketika semua orang perhatiannya tertuju kepada Jagasatru yang menyerang Patih Mancanegara, Kertijaya menggeser tubuhnya kesamping, lalu tangannyapun bergerak cepat, dan sesaat kemudian pisau belatinya telah meluncur cepat kearah dada Sultan Hadiwijaya.
Kertijaya bersorak dalam hati ketika ia melihat Sultan Hadiwijaya saat itu sedang memandang kearah Patih Mancanegara yang berhadapan dengan Jagasatru, dan tidak melihat ketika sebuah belati bergerak cepat meluncur mengancam dadanya.

Tetapi Kertijaya terkejut, ketika pisau belati yang telah ia lempar itu runtuh ke lantai sebelum menyentuh tubuh Sultan Hadiwijaya.
Pemanahan hanya menengok sesaat kepada Sultan Hadiwijaya yang masih tetap memandang kepada Patih Mancanagara, dan tidak menghiraukan belati yang telah jatuh kelantai, setelah itu pandangan Pemanahan kembali menatap tajam kepada tiga orang yang masih berdiri dihadapannya.
"Menyerahlah" kata Pemanahan sambil memandang kearah orang-orang yang telah memasuki kamar Sultan Hadiwijaya.
Jagasatru, satu-satunya pajineman Jipang yang masih memegang senjata tidak menjawab, pandangan matanya menyapu delapan orang yang berdiri mengepungnya dan ia tidak melihat satu celahpun yang dapat dipergunakan untuk melarikan diri.
"Ini peringatan terakhir, menyerahlah, kalau tidak, kalian akan jadi pangewan-ewan di alun-alun Pajang" kata Pemanahan.
"Cepat !!. Menyerahlah !!" kata Pemanahan.
Jagasatru melihat sekali lagi, didepannya telah berdiri tujuh orang nayaka praja Pajang yang semuanya masih memegang pedang pendek, ditambah Sultan Hadiwijaya yang masih memegang keris Kyai Setan Kober, sebuah kekuatan sangat besar yang tidak akan dapat dilawan oleh tiga orang pajineman Jipang.
Sesaat kemudian Jagasatru melempar pisau belatinya ke sudut kamar sambil berkata "Kami menyerah"
"Tetap diam disitu, jangan bergerak, kalian orang Jipang utusan Arya Penangsang ?" tanya Patih Mancanagara
Ketiga orang itupun terdiam, mereka ragu-ragu untuk menjawab, hingga Patih Mancanegara berkata keras :"Jawab !"
"Ya Ki Patih, kami semua utusan dari Adipati Jipang, Arya Penangsang" kata Jagasatru.
"Apa tugas kalian di Pajang ?" tanya Patih Mancanagara.
"Membunuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Jagasatru.
"Siapa nama kalian semua ?" tanya Patih Mancanagara.
"Nama saya Jagasatru, ini Wanengpati dan ini Kertijaya, yang pingsan itu bernama Singaprana" kata Jagasatru.
Sultan Hadiwijaya maju selangkah kedepan, tangannya masih menggenggam keris Kyai Setan Kober.
"Kakang Pemanahan" kata Sultan Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
"Singkirkan orang Jipang ini dari kamarku, besok aku sendiri yang akan menghukum mati mereka di alun-alun" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
Pemanahan kemudian berkata kepada orang Jipang itu :"Kau panggul temanmu yang pingsan ke kamar belakang dulu, kalau kalian berusaha melarikan diri, aku pastikan kau akan mati perlahan-lahan disini".
Pajineman Jipang itu tidak menjawab, Wanengpati segera memanggul Singaprana yang masih pingsan, dan merekapun segera bersiap keluar dari kamar Sultan Hadiwijaya.
"Kakang Pemanahan" kata Sultan Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Pemanahan.
"Bawa mereka ke dalem Wenang Wulan" perintah Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan, hamba mohon pamit" kata Pemanahan, setelah itu iapun berjongkok mengambil tiga buah pisau belati milik orang Jipang yang beterbaran didalam kamar, sedangkan keris Kyai Setan Kober tetap dipegang oleh Sultan Hadiwijaya.
Tiga orang pajineman Jipang, salah seorang diantaranya memanggul seorang kawannya yang pingsan, berjalan keluar dari kamar menuju ke halaman belakang, sedangkan dibelakang dan disampingnya berjalan enam orang nayaka praja Kasultanan Pajang yang membawa pedang pendek ditangannya.
Setelah melewati halaman belakang dan melintasi beberapa kebun sampailah mereka di sebuah rumah yang ditempati oleh Wenang Wulan.
Mereka semuanya naik ke pendapa, kemudian mereka berempat semuanya dimasukkan kedalam suatu ruangan kosong dibagian belakang.
"Kalian jangan mencoba melarikan diri, di luar ruangan ini akan dijaga oleh belasan orang prajurit Pajang, kalau kalian melarikan diri, kalian akan kami permainkan seperti mainan rampogan di alun-alun, dan kalian akan dijadikan sebagai harimaunya" kata Pemanahan.
"Kalian berempat duduk dipojok sana, jangan coba-coba bergerak kemari" kata Patih Mancanagara.
Setelah itu Patih Mancanagara berkata kepada Pemanahan :"Kakang Pemanahan, siapa yang akan berjaga disini ?"
"Wenang Wulan, adi Penjawi dan Ngabehi Wuragil yang akan menjaga disini, sekarang aku akan memanggil para prajurit untuk datang kemari" kata Pemanahan.
Setelah itu Pemanahan segera keluar dan turun dari pendapa
Wanengpati menurunkan Singaprana dari pundaknya, dan dengan lesu ketiganya duduk disudut kamar kosong itu.
"Kakang Singaprana pingsan terkena lemparan selimut Kanjeng Sultan" kata Jagasatru.
"Ya, sampai sekarang dia belum sadar" kata Kertijaya.
"Kita sial betul malam ini, ternyata Kanjeng Sultan hanya berpura-pura tidur" kata Wanengpati.
"Ya, ternyata Kanjeng Sultan berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep kita" kata Jagasatru.
"Bukan hanya Kanjeng Sultan saja, ternyata semua nayaka praja Pajang juga telah berhasil membebaskan diri dari pengaruh sirep Megananda" kata Wanengpati.
"Seharusnya kita dengarkan nasehat orang tua kita, keberangkatan kita ke Pajang harusnya ditunda sehari" kata Jagasatru.
"Sudah terlanjur" kata Kertijaya, dan iapun menggeser duduknya ketika ia melihat tubuh Singaprana bergerak-gerak.
"Kakang Singaprana sudah mulai sadar" kata Kertijaya.
Wanengpati dan Jagasatru segera mendekat, mereka menggoncang tubuh Singaprana sambil berkata :"Kakang Singaprana, bangun kakang, sadarlah kakang"

Singaprana membuka matanya, lalu iapun berkata :"Kepalaku masih pusing"
Wanengpati dan Jagasatru tidak menjawab, mereka membiarkan Singaprana memejamkan matanya.
"Kakang Singaprana beristirahatlah dulu" kata Wanengpati perlahan.
"Ya, biarlah kakang Singaprana mengumpulkan kekuatannya dulu" kata Kertijaya dan beberapa saat mereka masih membiarkan Singaprana berbaring dilantai.
"Hukuman apa yang akan kita terima besok pagi ?" tanya Jagasatru.
"Tadi Kanjeng Sultan berkata kita akan dihukum mati di alun-alun Pajang" kata Wanengpati.
"Yah, kita memang sudah berusaha membunuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Kertijaya.
"Sekarang kita tidak bisa berbuat apapun juga, melarikan diripun sudah tidak bisa lagi" kata Jagasatru.
"Ya, apalagi keris Kyai Setan Kober sekarang telah berada ditangan Kanjeng Sultan" kata Wanengpati.
"Betapa marahnya Kanjeng Adipati Arya Penangsang kalau tahu kerisnya hilang" kata Jagasatru.
Mereka bertiga terkejut, ketika melihat Singaprana yang baru sadar dari pingsannya, tiba-tiba bangkit dan berusaha duduk sambil berkata :"Dimana Kanjeng Sultan, dimana Kanjeng Sultan ?"
"Tenang kakang Singaprana, kakang baru saja sadar dari pingsan" kata Wanengpati.
"Dimana Kanjeng Sultan, apakah dia sudah mati ?" tanya Singaprana.
"Tidak kakang, Kanjeng Sultan tidak mati, justru kitalah yang tertangkap" kata Kertijaya.
"Kita tertangkap ?" tanya Singaprana.
"Ya, kita ditahan di rumah dibelakang Kraton" kata Jagasatru
Singaprana tertegun sejenak, betapa dia menjadi heran, kenapa dia dan ketiga saudaranya bisa tertangkap oleh para prajurit Pajang, bahkan kata Wanengpati, dia baru saja tidak sadarkan diri, pingsan.
"Dimana keris Kyai Setan Kober ?" tanya Singaprana.
"Keris Kyai Setan Kober sekarang di tangan Kanjeng Sultan" kata Wanengpati.
"Apa ? Keris Kyai Setan Kober sekarang berada ditangan Kanjeng Sultan ?" tanya Singaprana.
"Ya " jawab Wanengpati.
"Waduh, bagaimana kalau Kanjeng Adipati nanti bertanya tentang keris itu ?" kata Singaprana.
Ketiga saudaranya tidak menjawab, mereka juga tidak tahu apa yang sebaiknya mereka kerjakan.
"Sudahlah, kita juga belum tahu bagaimana nasib kita nanti, apakah kita dihukum mati ataukah kita masih diberi kesempatan untuk bisa hidup" kata Wanengpati..
"Kanjeng Sultan akan membunuh kita di alun-alun Pajang" kata Jagasatru.
Wanengpati tidak menjawab, iapun memandang kearah pintu, diihatnya Wenang Wulan, seorang pemuda yang tadi telah membentur dan melemparkan belatinya hingga menancap di dinding, sedang berbicara dengan para prajurit Pajang yang baru saja datang.
"Para prajurit yang menjaga kita sudah datang" kata Jagasatru.
"Ya, kita memang tidak dapat melarikan diri" kata Wanengpati lesu.
Malampun semakin larut, tengah malampun telah dilewati, Patih Mancanagara beserta Pemanahan, Juru Martani dan Ngabehi Wilamarta sudah pulang ke rumahnya, tinggallah Wenang Wulan, Penjawi dan Ngabehi Wuragil yang menjaga para tawanan bersama belasan prajurit Pajang.
Malampun berganti pagi, dan pagi itu matahari bersinar cerah, di ruang dalam Kraton Kasultanan Pajang, Sultan Hadiwijaya duduk disebuah dingklik besar, dihadapannya duduk bersila dilantai, para nayaka praja Pajang, Patih Mancanagara, Pemanahan, Ngabehi Wilamarta, Juru Martani dan putra dalem Mas Ngabehi Loring Pasar.
Disudut pendapa, terdapat dua buah bungkusan besar yang terikat rapi, tidak ada seorangpun para nayaka praja Pajang yang tahu isi bungkusan itu.
"Ngabehi Wilamarta" kata Sultan Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Ngabehi Wilamarta.
"Kau bawa para tawanan kemari" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Ngabehi Wilamarta sambil menyembah, dan sesaat kemudian iapun telah berjalan menuju ke dalem Wenang Wulan.
Beberapa saat kemudian Ngabehi Wilamarta telah sampai di dalem Wenang Wulan dan bertemu dengan Ngabehi Wuragil, Penjawi serta Wenang Wulan yang sedang menjaga para tawanan.
"Ki Penjawi, para tawanan supaya dibawa menghadap Kanjeng Sultan di ruang dalam" kata Ngabehi Wilamarta.
"Baik, Wenang, kau cari tali, ikat mereka" kata Penjawi.
Wenang Wulan kemudian berjalan ke halaman belakang, dicarinya beberapa tali yang kuat, lalu dibawanya ke tempat ruangan tempat menahan orang-orang Jipang.
"He kau kemari ! Yang lainnya tetap disitu" kata Wenang sambil tangannya menunjuk ke arah Singaprana.
Singaprana bangkit berdiri dengan wajah lesu, terbayang dia akan dibawa ke alun-alun, tanpa senjata dia berada ditengah lapangan, dikepung oleh puluhan prajurit Pajang bersenjata tombak, atau dia berdiri di atas panggung, lalu dadanya dihantam oleh Kanjeng Sultan dengan menggunakan aji Hasta Dahana, sehingga di dadanya akan membekas gambar telapak tangan yang berwarna hitam.
"Kata beberapa orang, Kanjeng Sultan Hadiwijaya memang mempunyai aji Hasta Dahana" kata Singaprana dalam hati, sambil berjalan pelan-pelan menuju Wenang Wulan.
"Kesalahanku memang terlalu besar, telah berani mencoba membunuh Kanjeng Sultan" kata Singaprana sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Cepat !" kata Wenang Wulan memerintah, sambil membawa tali sepanjang satu depa.
"Kedua tanganmu, ulurkan kemari" kata Wenang Wulan.
Singaprana mengulurkan kedua tangannya, lalu Wenang Wulanpun mengikat erat kedua tangan Singaprana.
Setelah kedua tangan Singaprana terikat kuat, Wenang Wulan memanggil tawanan yang seorang lagi :"He kau kemari !" katanya sambil tangannya menunjuk ke arah Jagasatru.

Jagasatru bangkit berdiri, kakinya terasa berat sekali, dengan langkah yang lesu, ia melangkah maju menuju Wenang Wulan yang sedang berdiri didepan pintu,
"Ulurkan kedua tanganmu" kata Wenang Wulan.
Jagasatru kemudian mengulurkan kedua tangannya, sesaat kemudian Wenang Wulanpun mengikatnya menggunakan tali yang kuat.
Setelah itu Wenang Wulan memanggil berurutan kedua pajineman yang lain, Wanengpati dan Kertijaya, kemudian tangan mereka juga diikat erat-erat.
Beberapa saat kemudian, dengan tangan terikat, keempat pajineman Jipang dibawa keluar dari dalem Wenang Wulan menuju ke ruang dalam Kraton Pajang.
Mereka berjalan memutar menuju pendapa, dan mulai dari pendapa, tawanan dari jipang itu sudah berjalan dengan cara laku dodok menuju pintu ruang dalam.
Ngabehi Wilamarta masuk ke ruang dalam, menyembah kepada Sultan Hadiwijaya, kemudian iapun berkata :"Para tawanan sudah berada di pendapa Kanjeng Sultan"
"Suruh mereka menghadapku sekarang" kata Sultan Hadiwijaya.
Keempat orang Jipang itupun segera dibawa kehadapan Sultan Hadiwijaya, dan dihadapan Kanjeng Sultan, orang-orang Jipang itu semuanya telah menundukkan kepala.
"Kalian orang-orang Jipang telah melakukan sebuah kesalahan yang sangat besar terhadap Sultan Pajang" kata Sultan Hadiwijaya.
Singaprana dan ketiga saudaranya hanya bisa mununduk lesu, menunggu hukuman yang akan dijatuhkan kepada mereka.
"Hukuman apa yang tepat untuk empat orang yang telah berani mencoba membunuh Sultan Pajang ?" kata Sultan Hadiwijaya.
Keringat dingin telah keluar dari tubuh keempat orang jipang yang terikat kedua tangannya.
"Kalian berempat akan dihukum mati, atau sekarang kalian ingin berperang tanding ? Silakan kalian pilih lawan, mana yang akan kalian pilih, melawan para nayaka praja Kasultanan Pajang seorang lawan seorang atau melawan sekelompok prajurit Pajang ?" tanya Kanjeng Sultan.
Keempat orang Jipang tidak ada yang berani menjawab pertanyaan Sultan Hadiwijaya, mereka masih menundukkan kepalanya.
"Hai orang Jipang, ketahuilah, Sultan Pajang adalah seorang Sultan yang ber budi bawa leksana, seorang Sultan yang besar, yang kuasanya seluas wilayah bekas Kasultanan Demak" kata Sultan Hadiwijaya.
"Wenang Wulan, lepaskan tali ikatan mereka" kata Sultan Hadiwijaya.
Semua orang yang berada didalam ruang dalam terkejut, tak terkecuali ke empat orang pajineman Jipang.
Wenang Wulan bergeser maju kedepan, tali yang mengikat tangan ke empat orang Jipang itupun kemudian dilepaskannya.
Semua orang yang berada di ruang dalam berpikir, meskipun tali ikatan tangan mereka dilepas, empat orang Jipang ini tidak bisa berbuat apapun dihadapan Sultan Hadiwijaya.
"Hai orang Jipang, dengarkan, Sultan Pajang adalah seorang pengampun dan baik hati, kesalahan kalian kali ini aku ampuni, pulanglah kalian ke Jipang sekarang juga" kata Sultan Hadiwijaya.
Keempat orang Jipang seperti bermimpi mendengar kalimat pengampunan dari Sultan Hadiwijaya, nyawa mereka yang sudah sampai di ubun-ubun, telah kembali memasuki tubuh mereka.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Singaprana, lalu iapun bersujud di kaki Sultan Hadiwjaya, diikuti oleh ketiga saudaranya,
Sultan Hadiwijaya membiarkan keempat orang pajineman Jipang itu bersujud dikakinya.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata keempat orang Jipang itu, lalu mereka berempat kemudian duduk sambil menundukkan kepalanya.
"Pengampunan kepada kalian tidak akan aku cabut kembali, ucapanku adalah ucapan seorang Raja, sabda pandita ratu, datan kena wola wali, kalian pulanglah ke Jipang, tetapi, keris Kyai Setan Kober biar berada di Pajang dulu" kata Sultan Hadiwijaya.
"Wenang Wulan, dua buah bungkusan yang berada di sudut itu kau bawa ke pendapa, berikan kepada empat orang ini, untuk bekal mereka kalau kembali ke Jipang" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Wenang Wulan, lalu iapun membawa kedua bungkusan itu ke pendapa.
"Sekarang kembalilah kalian ke Jipang, sampaikan salamku kepada kakangmas Arya Penangsang" kata Sultan Hadiwijaya sambil tersenyum.
Keempat orang itupun kembali bersujud dikaki Sultan Hadiwijaya.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata empat orang Pajineman Jipang, setelah itu mereka, duduk dan menyembah kepada Sultan Hadiwijaya, lalu bergeser mundur keluar dari ruang dalam.
Setelah Singaprana dan ketiga saudaranya telah sampai di pendapa, mereka melihat Wenang Wulan sedang berdiri disebelah dua buah bungkusan yang telah dibawanya dari ruang dalam.
"Ini dua buah bungkusan untuk bekal kalian, bawalah pulang ke Jipang" kata Wenang Wulan.
"Terima kasih Raden" kata Singaprana, lalu iapun memanggul satu bungkusan, sedangkan yang sebuah bungkusan lainnya dipanggul oleh Wanengpati.
"Kuda-kuda yang kalian bawa, kalian taruh dimana ?" tanya Wenang Wulan.
"Di pinggir hutan di sebelah timur, Raden" kata Singaprana.
"Hati-hatilah diperjalanan" kata Wenang Wulan.
"Terima kasih Raden, kami mohon pamit" kata Singaprana.
"Ya" kata Wenang Wulan sambil melihat mereka keluar dari pendapa menuju ke regol.
"Kanjeng Sultan Hadiwijaya pasti punya maksud tertentu dengan membebaskan ke empat orang Jipang ini, Kanjeng Sultan bukan seorang yang bodoh" kata Wenang Wulan dalam hati.

Wenang Wulan masih berdiri di pendapa memandang ke empat orang Jipang yang berjalan keluar dari regol menuju ke arah timur.
Setelah ke empat orang itu berbelok di tikungan wetan regol, maka Wenang Wulanpun berjalan kembali masuk ke ruang dalam.
Sementara itu, Singaprana dan ketiga saudaranya merasa hidup kembali, setelah beberapa saat yang lalu mereka berputus asa, karena Sultan Hadiwijaya telah berkata akan menjatuhkan hukuman mati terhadap ke empat orang pajineman Jipang.
"Kanjeng Sultan Pajang adalah orang yang bijaksana" kata Singaprana sambil membawa bungkusan pemberian Sultan Hadiwijaya.
"Ternyata kita berempat bernyawa rangkap" kata Kertijaya.
"Ya, yang kita lakukan adalah sebuah kesalahan yang sangat besar, berani mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kanjeng Sultan" kata Wanengpati.
"Bukannya kita dihukum mati, tetapi kita malah disuruh pulang dan diberi bekal dua buah bungkusan besar" kata Jagasatru sambil tersenyum.
"Tetapi bagaimana dengan keris Kyai Setan Kober yang dirampas oleh Kanjeng Sultan ?" kata Kertijaya.
"Kalau kita tidak mampu membawa keris itu pulang ke Jipang, Kanjeng Adipati pasti akan marah nanti" kata Wanengpati.
"Biarlah, kita memang tidak bisa membawa keris itu pulang ke Jipang, lalu apa yang dapat kita lakukan ? Dengan cara apapun, kita tidak mampu mengambil keris itu kembali, kalau nanti Kanjeng Adipati marah besar, ya kita terima, memang selama ini kita telah melakukan kesalahan dalam memperhitungkan kekuatan Kasultanan Pajang" kata Singaprana.
"Ya" kata Jagasatru :"Persoalan keris Kyai Setan Kober, biarkan saja menjadi persoalan antara Kanjeng Adipati Jipang dengan Kanjeng Sultan Hadiwijaya".
Mereka berempat masih berjalan terus, dan tak lama kemudian sampailah mereka di tepi hutan, lalu mereka berbelok sedikit masuk ke dalam hutan.
"Itu kuda-kuda kita" kata Kertijaya.
Singaprana mendekat ke tempat kudanya yang sedang makan rumput, lalu ia meletakkan bungkusan yang dibawanya, diikuti oleh Wanengpati yang juga telah meletakkan bungkusannya.
"Apa isi bungkusan itu ?" tanya Jagasatru,
"Kau kira aku sudah mengetahui isinya ?" jawab Wanengpati
"Mari kita buka bungkusan ini" kata Kertijaya, kemudian iapun membuka tali pengikat bungkusan, lalu mengeluarkan semua isinya.
"Ternyata isinya adalah bahan makanan, jagung, jagungnya masih muda, ketela, ketela pohon, buah-buahan, ini ada dua sisir pisang raja yang besar, ada pula mangga yang manis, pagi ini sebelum berangkat, kita bisa makan dulu" kata Kertijaya.
"Sekarang kita buka bungkusan yang satu lagi" kata Singaprana, lalu iapun membuka tali pengikatnya.
Singaprana kemudian mengambil isi bungkusan, ada empat buah kain panjang yang terlipat rapi.
"Itu kain yang bagus" kata Jagasatru.
"Ya, ini sama seperti kain yang sering dipakai para nayaka praja di Demak" kata Singaprana.
"Kain yang halus, kita masing-masing mendapat hadiah sebuah kain panjang yang bagus" kata Wanengpati.
Singaprana lalu mengeluarkan beberapa barang lagi, ada ikat pinggang, empat buah ikat pinggang yang lebar.
"Ikat pinggang, kita diberi hadiah ikat pinggang yang ada timangnya berkilauan" kata Kertijaya.
"Timangnya dari emas, ya timang ini dari emas, itu milik kita" kata Jagasatru.
"Ya, semua ini adalah hadiah dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata Wanengpati, kemudian iapun mengeluarkan beberapa lembar kain lagi dari dalam bungkusan itu.
"Ini kain untuk bahan baju kita, ini ikat kepalanya" kata Wanengpati sambil tersenyum.
Singaprana kemudian mengambil barang lainnya, sebuah keris yang bagus.
"Keris, ini keris yang bagus, tetapi kenapa kita cuma diberi sebuah saja ? Harusnya kita semua diberi empat buah keris, jadi seperti jumlah kain panjang, satu orang mendapat hadiah sebuah keris" kata Jagasatru.
"Sudahlah, sudah untung kita tidak dibunuh di alun-alun Pajang" kata Kertijaya.
Singaprana mengamati keris yang dipegangnya, sebuah keris dengan warangka gayaman yang halus,
Perlahan-lahan Singaprana mencabut bilah keris dari warangkanya, sebuah keris lurus yang berwarna hitam.
"Sebuah keris yang bagus, bilahnya lurus, dapur Brojol, tangguh Pajang, dengan pamor Beras Wutah" kata Singaprana dalam hati.
"Lihat, pamornya bagus sekali, banyak sekali berupa garis putih berjejer yang meliuk-liuk berkeredip tertimpa sinar matahari" kata Wanengpati.
"Ya, karena aku yang tertua, sebaiknya keris ini nanti aku yang memakainya" kata Singaprana.
Ketiga saudaranya hanya berdiam diri, meskipun ketiganya punya keinginan yang sama ingin memiliki keris itu, tetapi keris hadiah dari Kanjeng Sultan hanya ada sebuah.
"Ayo kita makan pisang dulu, setelah itu kita pulang kembali ke Jipang" kata Singaprana.
Ke empat orang Pajineman Jipang lalu memakan beberapa pisang raja yang ada dihadapan mereka.
"Nanti malam kita membakar jagung dan ketela pohon" kata Jagasatru.
Beberapa saat kemudian, setelah semuanya selesai, ke empat utusan Arya Penangsang telah berada dipunggung kudanya, berlari meninggalkan kotaraja Pajang menuju ke arah timur, Jipang.
Singaprana berkuda paling depan, sambil tersenyum, tangan kanannya meraba sebuah keris pemberian Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang terselip di pinggang depan, sebuah keris lurus yang mempunyai pamor Beras Wutah.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment