05 January 2019

SETAN KOBER 64

SETAN KOBER 64
Karya: Apung Swarna
"Baik, kakang Juru Martani, aku berangkat ke Kadilangu sekarang" kata Adipati Hadiwijaya.
"Silakan Kanjeng Adipati" kata Juru Martani.
"Silakan ayahanda" kata Sutawijaya.
Adipati Hadiwijaya kemudian berjalan turun dari pendapa, diikuti oleh Pemanahan dan Penjawi.
Ketika mereka bertiga berjalan melewati Kaputren, maka dua orang prajurit penjaga kaputren segera berdiri dan menunduk hormat kepada Adipati Hadiwijaya.
Adipati Hadiwijayapun membalas mengangguk, tetapi tiba-tiba Sang Adipatipun berhenti lalu berjalan menghampiri salah seorang prajurit Wira Tamtama itu,

"Kau Tumpak" kata Adipati Hadiwijaya.

"Ya Kanjeng Adipati" kata Tumpak, prajurit Wira Tamtama itu.
"Kau bertugas di kaputren ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Ya, Kanjeng Adipati" jawab Tumpak.
Adipati Hadiwijaya tersenyum, menepuk pundak Tumpak sambil berkata :"Kau adalah temanku yang baik dari dulu sampai sekarang"
Tumpakpun juga tersenyum :"Ya Kanjeng Adipati"
"Tumpak dan kau prajurit, aku akan keluar dulu" kata Adipati Hadiwijaya kepada kedua prajurit itu.
"Silahkan Kanjeng Adipati" kata kedua prajurit itu.
Adipati Hadiwijaya lalu berjalan meninggalkan kaputren, berjalan menuju pintu gerbang Kraton, diikuti oleh Pemanahan dan Penjawi.
Tumpak dan temannya memandang Adipati Hadiwijaya yang terus berjalan meninggalkan kaputren.
"Kakang Tumpak, kakang dulu dengan Karebet sama-sama menjadi prajurit, sekarang Karebet sudah menjadi seorang Adipati, bernama Adipati Hadiwijaya, kenapa kakang Tumpak masih tetap saja menjadi seorang prajurit ?" tanya temannya sambil tertawa.
Tumpakpun juga ikut tertawa :"Kenapa aku tidak bisa menjadi seorang Adipati, karena aku tidak mampu menaklukkan seekor macan gembong di hutan Prawata".
"Dan kakang tidak mampu menaklukkan seekor buaya raksasa di sungai Tuntang" kata temannya.
"Dan aku tidak mampu menaklukkan hati Sekar Kedaton" kata Tumpak sambil tertawa lepas.
"Dan wajah kakang Tumpak tidak setampan wajah Adipati Hadiwijaya" kata temannya.
"Ya, Kanjeng Adipati memang orang yang tampan, disamping ketampanannya, tidak ada orang yang punya kemampuan olah kanuragan seperti Adipati Hadiwijaya" kata Tumpak sambil tersenyum, tetapi senyumnya hilang ketika ia teringat sesuatu :"Yang bisa mengimbangi mungkin cuma Adipati Jipang, Arya Penangsang"
"Aku lebih senang kalau yang menjadi Sultan Demak pengganti Sunan Prawata adalah Adipati Hadiwijaya, daripada Penangsang yang pemarah itu" kata Tumpak kepada temannya, tetapi kemudian ia melanjutkan lagi :"Eh, kau jangan bilang kepada kepada siapapun"
Keduanya masih tertawa sambil memandang ketiga orang itu yang telah berjalan menuju gerbang Kraton.
Setelah keluar dari pintu gerbang maka Hadiwijaya bersama Pemanahan dan Penjawi, berjalan menuju ke selatan, dan beberapa saat kemudian, merekapun berbelok ke timur menuju sungai Tuntang.
Setelah menyeberangi sungai Tuntang dengan menggunakan rakit, beberapa saat kemudian mereka bertiga telah tiba di pesantren Kadilangu.
Dibelakang regol, terlihat ada seorang santri yang sedang mengurus tanaman, maka Adipati Hadiwijaya kemudian mengucap salam, dan santri itupun membalasnya.
"Mari, silakan masuk Kanjeng Adipati beserta Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, Kanjeng Sunan Kalijaga sedang berada di ruang dalam, silakan masuk ke ruang dalam" kata santri itu.
"Terima kasih" kata Adipati Hadiwijaya, mereka bertiga kemudian mencuci kaki, lalu naik ke pendapa dan berjalan menuju ke ruang dalam.
Ketika tiba didepan pintu, mereka bertiga mengucap salam, dan dijawab oleh Sunan Kalijaga yang berada di ruang dalam.
"Masuklah Hadiwijaya" kata Sunan Kalijaga.
Hadiwijaya beserta Pemanahan dan Penjawi, mencium tangan Sunan Kalijaga, lalu merekapun duduk di hadapan gurunya.
"Kalian selamat Hadiwijaya beserta Pemanahan dan Penjawi ?" tanya Sunan Kalijaga.
"Atas pangestu Kanjeng Sunan, kami dalam keadaan sehat" jawab Hadiwijaya.
"Kelihatannya ada yang penting Hadiwijaya" tanya Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya, lalu iapun menceritakan pertemuannya dengan uwanya Kebo Kanigara.
Setelah selesai bercerita, maka Adipati Hadiwijayapun terdiam, ia menunggu pertimbangan dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Jadi menurut Ki Kebo Kanigara, kau dianjurkan segera mendirikan Kasultanan Pajang, begitu ?" tanya Sunan Kalijaga.
"Betul Kanjeng Sunan" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Memang persoalan tahta Demak saat ini agak rumit dan mengkhawatirkan Hadiwijaya" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Hadiwijaya.
"Kau dan Penangsang sama-sama berhak atas tahta Kasultanan Demak, dan Penangsang pasti tidak akan mundur, dan kau juga jangan mundur Hadiwijaya, dan yang aku khawatirkan adalah, akan banyak sekali yang menjadi korban akibat perebutan tahta Demak ini" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan"
"Nanti, dengan berdirinya Kasultanan Pajang, bukan berarti Penangsang akan melepaskan nafsunya untuk menjadi seorang Sultan di Kasultanan Demak, dia tetap akan berusaha mewujudkan keinginannya untuk menjadi seorang Sultan, dan ia akan menjadi semakin bernafsu untuk membunuhmu, Hadiwijaya" kata Sunan Kalijaga.
Hadiwijaya menarik napas panjang, lalu iapun berkata :"Ya Kanjeng Sunan, kelihatannya saya memang dianggap sebagai orang yang akan merintangi keinginannya dan dianggap sebagai pesaing utama untuk menduduki dampar kencana Kasultanan Demak" kata Adipati Hadiwijaya.
"Betul kata Ki Kebo Kanigara, sebaiknya kau lepaskan tahta Kasultanan Demak, lalu kau dirikan Kasultanan di Pajang sebagai ganti Kasultanan Demak yang telah berakhir" kata Sunan Kalijaga.
"Bagaimana kalau Penangsang marah karena saya mendirikan Kasultanan Pajang, Kanjeng Sunan" tanya Adipati Hadiwijaya.
'Sama saja Hadiwijaya, sekarangpun Penangsang telah marah dan membunuh Pangeran Hadiri, dan sebentar lagi ia akan semakin marah dan berusaha untuk membunuhmu" kata gurunya.
"Bagaimana kalau Penangsang justru memanfaatkan berdirinya Kasultanan Pajang dengan mengangkat dirinya sendiri menjadi Sultan di Demak, karena saya dianggap telah melepaskan hak atas tahta Demak, Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya.
"Tidak semudah itu bagi Penangsang untuk menjadi Sultan Demak saat ini, karena harus sepengetahuan Ratu Kalinyamat, yang merupakan anak dari Sultan Trenggana, padahal suami Ratu Kalinyamat, Pangeran Hadiri telah dibunuh oleh Penangsang" kata Sunan Kalijaga.
"Dan ingat, yang paling penting adalah, saat ini para Tumenggung serta para prajurit Demak yang berjumlah puluhan ribu orang itu tidak semua setuju kalau Penangsang menjadi Sultan di Demak" kata gurunya, lalu Kanjeng Sunanpun melanjutkan :"Kalau ada orang yang bisa mempersatukan dan menggerakkan para Tumenggung dan para prajurit itu menyerang Jipang, maka Penangsang tidak akan mampu bertahan"
"Ya Kanjeng Sunan"
"Penangsang telah melakukan sebuah kesalahan besar dengan membunuh Pangeran Hadiri, berbeda dengan Sunan Prawata yang dulu telah membunuh ayahanda Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen, Pangeran Hadiri tidak punya salah apapun terhadap Penangsang, jadi Penangsang membunuh Pangeran Hadiri hanya karena Pangeran Hadiri adalah orang yang akan menjadi Sultan Demak selanjutnya" kata Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga terdiam sebentar, sesaat kemudian Kanjeng Sunanpun berkata :"Sudah jelas, sasaran pembunuhan selanjutnya adalah kau Hadiwijaya"
"Ya Kanjeng Sunan"
"Kau harus waspada Hadiwijaya, dalam diri Penangsang tersimpan beberapa aji yang mempunyai kekuatan penghancur yang dahsyat" lanjut Kanjeng Sunan.
Hadiwijaya mendengarkan dengan cermat kalimat dari gurunya.
"Sama seperti aji milik Sultan Trenggana, Penangsangpun mempunyai aji Tameng Waja, dan hati-hatilah terhadap aji Panglebur Jagad yang dimiliki oleh Penangsang yang mampu menghancurkan semua benda kasatmata" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan"
"Patih Jipang yang bernama Matahun juga berilmu tinggi, kemampuan ilmu kanuragannya hanya sedikit dibawah Adipati Jipang" kata Sunan Kalijaga.
"Meskipun tidak berterus terang, Sunan Kudus terlihat telah membela muridnya, terbukti Sunan Kudus tidak menghukum Penangsang, meskipun Penangsang telah diketahuinya melakukan kesalahan, yaitu tanpa sebab telah membunuh Pangeran Hadiri" kata Sunan Kalijaga.
"Kalau kau terbunuh juga Hadiwijaya, maka tanpa dapat dicegah, Penangsanglah yang nanti akan menjadi Sultan Demak selanjutnya" kata Kanjeng Sunan selanjutnya.
Pembicaraan mereka terhenti beberapa saat, seorang santri telah memasuki ruang dalam dengan membawa kendi berisi air minum.
"Diminum dulu airnya, Hadiwijaya, Pemanahan dan Penjawi" kata gurunya.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya.
Setelah mereka bertiga minum air, aka Adipati Hadiwijaya bertanya kepada Sunan Kalijaga :"Jadi bagaimana dengan rencana saya mendirikan Kasultanan Pajang, Kanjeng Sunan"
Sunan Kalijaga menarik napas panjang, lalu Kanjeng Sunanpun berkata :"Ya, Kasultanan Demak memang sudah berakhir, lanjutkan saja niatmu untuk mendirikan Kasultanan Pajang, justru kalau kau dan Penangsang masih tetap memperebutkan tahta Demak, maka persoalan ini akan berlarut-larut, sehingga akan membuat resah dan bingung semua kawula Demak".
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Jangan lupa Hadiwijaya, kau sendirilah yang harus menjelaskan tentang berdirinya Kasultanan Pajang kepada Ratu Kalinyamat, karena sebelum Kasultanan Demak mempunyai seorang Sultan yang baru, Ratu Kalinyamatlah yang dianggap berkuasa atas semua kawula di Demak ini" kata gurunya.
"Ya Kanjeng Sunan"
Pembicaraan terhenti lagi, ketika seorang santri masuk ke ruangan dengan membawa buah pisang dan belimbing yang diletakkan diatas piring yang terbuat dari gerabah.
"Ini ada pisang dan belimbing, ayo dimakan dulu Hadiwijaya, Pemanahan dan kau Penjawi" kata Sunan Kalijaga.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" jawab ketiganya.
Merekapun lalu mencicipi beberapa buah yang disuguhkan dihadapan mereka.
"Ilmu Lembu Sekilanmu sudah cukup baik Hadiwijaya, sudah mampu menahan tusukan senjata tajam, sehingga aku tidak perlu memberikan pusaka Kadilangu, Kutang Antakusuma kepadamu" kata Sunan Kalijaga sambil tersenyum.
Adipati Hadiwijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Saya telah diberi keris pusaka Kyai Carubuk saja sudah terima kasih, Kanjeng Sunan"
"Ya, keris itu jangan sampai lepas dari tubuhmu Hadiwijaya, kalau kau pergi kemanapun, sebaiknya keris itu tetap kau bawa" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Hadiwijaya, Pemanahan dan Penjawi, kalau kau ingin beristirahat, istirahatlah di kamar belakang, kalau kau ingin mengaji, mengajilah bergantian" kata Kanjeng Sunan.
Setelah itu, mereka bertiga mengaji bergantian, dan merekapun berada di pesantren Kadilangu sampai setelah sholat ashar.
Setelah matahari condong kebarat mereka bertiga pamit pulang kembali ke kraton, kemudian merekapun melakukan persiapan untuk melakukan perjalanan pulang esok hari.
Malam harinya ketika kegelapan telah menyelimuti bumi Demak, Ratu Mas Cempaka kesulitan untuk memejamkan matanya, pikirannya melayang-layang, memikirkan ibundanya yang sekarang tinggal bersama cucunya Pangeran Pangiri, lalu angan-angannya berpindah ke kakaknya Ratu Kalinyamat yang telah kehilangan Pangeran Hadiri, setelah itu berpindah lagi memikirkan suaminya yang akan mendirikan sebuah Kasultanan.
"Tidurlah Ratu, kita besok akan berangkat pagi" kata Adipati Hadiwijaya.
Ketika gelap malam sudah berakhir, fajarpun telah membuat langit di bang wetan menjadi merah, rombongan Adipati Hadiwijaya sudah bersiap-siap akan segera berangkat meninggalkan kotaraja Demak menuju Pajang.
Enam ekor kuda sudah siap di depan Kraton Kilen, ibu suri telah berkenan datang melepas kepergian putri dan menantunya.
"Hati-hati dijalan Ajeng" kata ibu suri sambil memeluk Ratu Mas Cempaka..
"Ya Kanjeng ibu" kata Ratu Pajang.
Sementara itu, di pagi yang dingin, di depan pendapa Kadipaten Jipang, Arya Penangsangpun sedang bersiap akan naik ke punggung kuda hitamnya Gagak Rimang.
Arya Penangsang teringat ketika kemarin siang, datang seorang utusan dari Kudus, memintanya untuk segera menghadap gurunya Sunan Kudus.
"Apakah Bapa Sunan dalam keadaan sehat ?" tanya Penangsang waktu itu.
"Kanjeng Sunan sudah beberapa hari ini sakit, Kanjeng Adipati" kata santri Kudus itu.
"Baik, besok pagi aku akan berangkat kesana" kata Adipati Jipang, dan pagi ini, Arya Penangsang bersama Anderpati telah bersiap untuk berangkat ke Kudus.
"Nderpati, kau bawa dua buah obor ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Anderpati sambil memegang dua buah obor yang terbuat dari bambu dan diselipkan di pelana kuda, untuk berjaga-jaga kalau sampai di Kudus malam hari.
"Paman Matahun, aku berangkat sekarang" kata Arya Penangsang sambil naik ke atas punggung Gagak Rimang.
"Silahkan Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
Sesaat kemudian Arya Penangsang yang berada dipunggung Gagak Rimangpun melaju, lari meninggalkan dalem Kadipaten Jipang, diikuti oleh Anderpati yang melarikan kudanya yang berwarna coklat, berpacu dibelakang Gagak Rimang.
Patih Matahun masih memandang kuda - kuda yang meninggalkan debu yang berhamburan, sampai kuda-kuda itu berbelok ditikungan dan tidak terlihat lagi.
Gagak Rimang, kuda perkasa yang berlari kencang dan tidak dapat dikejar oleh kuda Anderpati, sehingga penunggangnya, Arya Penangsang terpaksa agak memperlambat lari kudanya.
Hutan tipis disebelah utara Jipang telah dilewati, tetapi kuda-kuda itu masih terus berlari, berpacu berurutan, Gagak Rimang berlari didepan, dibelakangnya berlari kuda yang berwarna coklat, debupun mengepul dari derap kaki kuda yang semuanya berlari kencang.
Beberapa kali mereka memberi kesempatan kuda-kudanya untuk minum serta beristirahat, dan ketika matahari terbenam, mereka berdua belum juga sampai di Kudus.
"Anderpati, kita masih maju sedikit lagi, setelah itu kita akan menyalakan obor" kata Adipati Jipang.
Kuda-kuda merekapun terus maju, akhirnya Anderpatipun berhenti lalu menyalakan dua buah obor yang dibawanya.
Mereka berdua menjalankan kudanya perlahan-lahan menuju Panti Kudus, dan ketika hari telah memasuki wayah sepi wong, Sang Adipati dan Anderpati telah sampai didepan regol Panti Kudus.
Keduanya turun dari kudanya yang kelelahan, dan ketika dua orang santri berlari mendekati mereka lalu memegang kendali kudanya, maka Arya Penangsangpun bertanya :"Bapa Sunan sudah tidur ?"
"Belum, Kanjeng Sunan berada di kamarnya" jawab santri itu.
"Apakah sakitnya Bapa Sunan terlihat parah ?" tanya Penangsang.
"Tidak parah, tetapi Kanjeng Sunan, beberapa hari kelihatannya berada di kamar terus" kata santri disebelahnya.
Kedua santri itu lalu meminta obor yang masih menyala, lalu keduanya menuntun dua ekor kuda itu ke halaman belakang.
Adipati Jipang bersama Anderpati mencuci muka dan mencuci kaki, lalu keduanya berjalan menuju pendapa yang saat itu tidak ada seorangpun.
Keduanya naik ke pendapa, lalu merekapun masuk ke ruang dalam, ketika sampai didepan kamar gurunya, Arya Penangsangpun mengucap salam, dan dari dalam kamar Sunan Kuduspun telah menjawab salamnya.
Penangsangpun kemudian masuk kedalam kamar sedangkan Anderpati duduk menunggu diruang dalam.
"Kau tunggu disini dulu Nderpati" kata Arya Penangsang.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Anderpati.
Didalam kamar, Penangsang melihat Sunan Kudus sedang berbaring di atas amben, begitu Sunan Kudus melihat Penangsang datang, maka Sunan Kuduspun berusaha untuk bangun dan duduk ditepi pembaringan.
Penangsang mencium tangan gurunya sambil berkata :"Bapa Sunan masih sakit, sebaiknya Bapa Sunan berbaring saja, jangan bangun dulu"
"Aku tidak sakit, hanya beberapa hari ini aku agak lelah saja, kau selamat Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Atas doa restu Bapa Sunan saya selamat" jawab Penangsang sambil memandang wajah Sunan Kudus yang agak pucat, beberapa saat kemudian wajah gurunya berangsur angsur menjadi bercahaya, kedatangan murid yang disayanginya ternyata mampu membuat Sunan Kudus menjadi segar.
Arya Penangsang memandang wajah Sunan Kudus, terlihat wajah gurunya sudah sangat tua, tidak tersisa kegagahan Sunan Kudus yang dulu pernah menjadi Senapati Agung Kasultanan Demak memimpin pasukan segelar sepapan menggempur Kerajaan Majapahit.
"Peristiwa itu sudah terjadi hampir sembilan windu yang lalu ketika Bapa Sunan menggantikan eyang Sunan Ngudung sebagai Senapati Agung Demak berperang melawan Majapahit" kata Penangsang didalam hatinya :"Sembilan windu yang lalu, waktu yang sudah lama sekali"
"Mungkin sewaktu menjadi Senapati Agung pasukan Demak, saat itu usia Bapa Sunan sekitar tiga atau empat windu, hmm Bapa Sunan memang dikaruniai umur yang panjang" kata Penangsang didalam hatinya.
Meskipun Sunan Kudus hatinya senang karena kedatangan Penangsang, tetapi ia melihat muridnya baru saja melakukan perjalanan yang jauh, perjalanan dari pagi sampai malam hari.
"Penangsang, sebetulnya aku ingin berbincang lama denganmu, tetapi sekarang sudah malam dan kau pasti lelah, beristirahatlah dulu dikamar belakang, besok kita akan berbicara banyak" kata Sunan Kudus sambil menepuk pundak kemenakannya.
"Ya Bapa Sunan, saya akan ke pakiwan dulu" kata Penangsang, lalu iapun bangkit berdiri, lalu berjalan ke pakiwan diikuti oleh Anderpati.
Malam itu Arya Penangsang dan Anderpati tidur nyenyak di Panti Kudus, tubuhnya yang lelah setelah sehari penuh berkuda dari Jipang, terasa nyaman sekali ketika tubuh itu dibaringkan diatas amben.
Sunan Kuduspun juga telah tidur nyenyak, hatinya menjadi tenang setelah bertemu dengan muridnya yang dikasihinya, Penangsang.
Pagi itu, gunung Muria masih berdiri tegak, berdiri sendiri, jauh dari gunung-gunung yang lain, kabut tipis samar-samar masih menyelimuti puncaknya yang berjumlah beberapa buah.
Tidak jauh dari kaki gunung Muria sebelah selatan, terlihat dua orang sedang berjalan-jalan menghirup segarnya udara pagi.
Matahari belum terlalu tinggi, embun-embunpun masih menempel di ujung daun, ketika dua orang itu melewati sebuah jembatan yang terbuat dari bambu lalu memasuki ladang jagung milik pesantren Kudus.
"Kau sudah tahu kalau Pangeran Hadiri meninggal dunia ?" kata salah seorang dari mereka, seorang yang telah berusia lanjut, Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" sahut salah seorang yang berusia muda, berperawakan sedang dengan kumis melintang.
"Kau tahu dari mana" tanya gurunya.
"Dari prajurit sandi Jipang, Bapa Sunan" jawab Penangsang yang dadanya berdebar-debar mendengar pertanyaan gurunya.
"Kau yang membunuhnya ?" tanya Sunan Kudus.
Arya Penangsang menunduk, ia belum menjawab pertanyaan gurunya.
"Kau yang membunuh Pangeran Hadiri, Penangsang ?" tanya Sunan Kudus sekali lagi.
Agak lama Arya Penangsang berdiam diri, sesaat kemudian terdengar jawabannya perlahan :"Ya Bapa Sunan, saya yang membunuhnya"
"Kenapa kau bunuh dia ?" tanya Sunan Kudus.
"Saya mau bertanya Bapa Sunan, berhakkah saya atas tahta Kasultanan Demak ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya, kau memang berhak Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Lebih berhak mana antara Penangsang dibandingkan dengan kakangmas Pangeran Hadiri maupun Adimas Hadiwijaya, Bapa Sunan ?" tanya Penangsang.
"Ya, menurutku, kau memang lebih berhak menjadi Sultan Demak, karena kau adalah laki-laki keturunan langsung dari Sultan Demak yang pertama, Raden Patah, sedangkan Pangeran Hadiri dan Hadiwijaya hanya sebagai menantu Sultan Trenggana" kata Sunan Kudus.
"Salahkah saya Bapa Sunan, kalau saya memperjuangkan hak saya sebagai Sultan Demak yang sebetulnya memang merupakan hak saya ?" tanya Penangsang.
Sunan Kudus menarik napas panjang, dan sesaat kemudian, Kanjeng Sunanpun berkata :"Kau memperjuangkan hakmu untuk menjadi seorang Sultan di Demak memang tidak salah Penangsang, tetapi cara yang kau tempuh dengan membunuh Pangeran Hadiri, itu merupakan suatu kesalahan"
"Saya mohon maaf Bapa Sunan" kata Arya Penangsang perlahan.
Sunan Kudus tidak menjawab, mereka berdua masih berjalan disekitar ladang jagung, lalu mereka meniti jembatan kecil dari batang pohon yang melintang diatas sungai kecil.
"Kasihan Kanjeng Ratu Kalinyamat" kata Sunan Kudus.
"Maafkan saya Bapa Sunan" kata Penangsang sekali lagi.
Sunan Kudus tidak menjawab, kakinya masih melangkah perlahan di jalan setapak di sekitar Panti Kudus.
"Untuk menjadi Sultan Demak, saat ini halangannya tinggal satu, Bapa Sunan, tinggal menyingkirkan adimas Hadiwijaya" kata Arya Penangsang.
Sekejap Sunan Kudus menoleh kearah muridnya, tapi Kanjeng Sunan tidak berbicara apapun, setelah itu pandangannyapun lurus kedepan lagi
"Bantu saya untuk menyingkirkan adimas Hadiwijaya, Bapa Sunan" pinta Penangsang kepada gurunya.
Mereka masih terus berjalan, Panti Kuduspun menjadi semakin dekat.
"Saya ingin memperjuangkan hak saya Bapa Sunan, bantu saya untuk membunuh adimas Hadiwijaya, selama adimas Hadiwijaya masih hidup, hak saya sebagai Sultan Demak tidak akan dapat terlaksana, Bapa Sunan" pinta Penangsang sekali lagi.
Sunan Kudus tidak menjawab permintaan Penangsang, mereka terus berjalan lurus ke arah Panti Kudus yang sudah dekat.
"Kita sudah sampai di rumah, Penangsang, aku ingin istirahat sebentar di kamar, setelah ini kau sebaiknya mengaji lagi"
"Baik Bapa Sunan" kata Arya Penangsang.
Demikianlah, Arya Penangsang bersama Anderpati berada di Panti Kudus hingga beberapa hari, dan Penangsangpun senang melihat gurunya telah sembuh dari sakitnya, dan telah pulih kembali seperti beberapa waktu yang lalu.
Sepasarpun telah lewat, hingga tiba saatnya Arya Penangsang untuk kembali pulang ke Jipang.
Pagi itu, ketika hari masih gelap, setelah melakukan kewajibannya sholat subuh berjamaah, Sunan Kudus telah berdiri didepan pendapa, sedangkan didepannya, duduk diatas punggung kuda hitamnya, muridnya Arya Penangsang dan dibelakangnya duduk pula pandega prajurit Jipang, Anderpati.
"Saya pulang sekarang Bapa Sunan" kata Penangsang, pamit kepada gurunya.
"Ya, hati-hati dijalan Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" jawab Arya Penangsang, lalu iapun menjalankan Gagak Rimang berjalan meninggalkan Panti Kudus, Anderpatipun juga menjalankan kudanya dibelakang kuda junjungannya.
Sunan Kudus masih melihat ke arah mereka, hingga keduanya melewati regol dan berbelok dan melarikan kudanya menuju ke arah Jipang Panolan.
Mataharipun merambat naik di langit bang wetan, Arya Penangsang yang berada diatas punggung Gagak Rimang terus berlari meninggalkan daerah Kudus, diikuti oleh Anderpati yang naik seekor kuda berwarna coklat.
Sementara itu, di dalem Kadipaten Pajang, Adipati Hadiwijaya sedang mempersiapkan diadakannya sebuah pasewakan untuk merubah Kadipaten Pajang menjadi sebuah Kasultanan yang besar.
Di ruang dalam, sedang berkumpul Adipati Hadiwijaya beserta semua nayaka praja Pajang, yang sedang membicarakan rencana akan diadakannya sebuah pasewakan di Kadipaten Pajang.
"Kakang Pemanahan, bagaimana persiapan mengenai acara pasewakan nanti ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
Pemanahan mengeser duduknya sedikit kedepan, lalu iapun segera menjawab :"Semuanya sudah siap Kanjeng Adipati"
"Lalu kapan akan dilaksanakannya pasewakan itu kakang Pemanahan ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Sebaiknya empat pasar lagi Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Empat pasar lagi ? Apa tidak terlalu lama kakang Pemanahan ?" tanya Adipati Pajang.
"Ya Kanjeng Adipati, dua puluh hari kelihatannya sudah cukup, supaya jaraknya tidak terlalu dekat dengan meninggalnya Pangeran Hadiri beberapa pasar yang lalu" jawab Pemanahan.
"Bagaimana pertimbanganmu Patih Mancanagara" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Betul Kanjeng Adipati, memang sebaiknya tidak usah terlalu dekat dengan hari pemakaman Pangeran Hadiri" kata Patih Mancanagara.
"Ya baiklah, kita akan mengadakan pasewakan dua puluh hari lagi, dan ingat, ini harus kita rahasiakan, jangan ada seorangpun yang mengetahui rencana kita yang akan membentuk sebuah Kasultanan" kata Adipati Hadiwijaya.
Demikianlah para nayaka praja Kadipaten Pajang mempersiapkan adanya sebuah pasewakan, tetapi sehari sebelum pasewakan, ada sebuah berita yang dibawa oleh seorang prajurit sandi Pajang, sebuah berita yang menggemparkan tlatah Demak.
Pagi itu, ketika semuanya sedang berkumpul di ruang dalam, seorang prajurit masuk kedalam dan mengatakan ada seorang prajurit sandi yang akan menghadap Adipati Hadiwijaya.
"Suruh dia menghadapku" kata Adipati Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata prajurit itu, lalu iapun keluar ruangan, dan sesaat kemudian masuklah seorang prajurit yang berpakaian seorang petani.
"Kau prajurit sandi ?" tanya Sang Adipati.
"Betul Kanjeng Adipati" kata prajurit sandi itu.
"Berita apa yang kau bawa ?" tanya Adipati Pajang.
"Saya dari Kalinyamatan, Kanjeng Adipati" kata prajurit sandi.
"Ya, ada apa dengan Kanjeng Ratu Kalinyamat ?" tanya Adipati Hadiwijaya. 
"Kanjeng Ratu Kalinyamat telah pergi meninggalkan dalem Kalinyamatan beserta semua emban dan sebagian besar para pengawal Kalinyamatan" kata prajurit sandi itu.
"Pergi kemana ?" tanya Sang Adipati.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment