03 January 2019

SETAN KOBER 71

SETAN KOBER 71
Karya : Apung Swarna
Setelah keduanya duduk di kursi, maka Sultan Hadiwijaya mengambil keris Kyai Setan Kober yang terselip di pinggang belakangnya, lalu diserahkannya keris itu kepada Arya Penangsang sambil berkata :"Apakah ini keris Kyai Setan Kober milik kakangmas Penangsang ?"
"Ya adimas, keris ini memang milikku" jawab Penangsang sambil menerima keris pusaka miliknya.
"Aku mengucapkan terima kasih kakangmas, karena kakangmas telah sudi menghukum Singaprana yang telah mencoba membunuh Sultan Pajang" kata Sultan Hadiwijaya.
Mendengar kata-kata Sultan Hadiwijaya, telinga Arya Penangsang seperti tersentuh api.
"Ya, Singaprana memang pantas dihukum mati karena ia gagal dalam melaksanakan tugasnya" kata Penangsang.

"Betul kakangmas Penangsang, tubuh Sultan Pajang memang tidak bisa dilukai oleh senjata apapun meskipun senjata itu adalah pusaka sipat kandel Kadipaten Jipang, Kyai Setan Kober" kata Sultan Hadiwijaya.

Suasana ruangan di pendapa Panti Kudus tiba-tiba terasa panas, kemarahan Arya Penangsang sudah mencapai puncaknya, iapun segera berdiri dari tempat duduknya, matanya memandang tajam kepada Sultan Hadiwijaya, giginya bergetar beradu seperti akan menelan Sultan Hadiwijaya hidup-hidup.
Didepannya, dengan cepat Sultan Pajang, Hadiwijaya juga telah berdiri dari tempat duduknya, Aji Lembu Sekilan yang sudah dibangunkannya sejak awal, kini sudah manjing sepenuhnya dalam tingkat kemampuannya yang tertinggi.
Disamping Aji Lembu Sekilan, Sultan Hadiwijaya telah memakai rangkapan sebuah sabuk Jalu Sengara, sebuah ikat pinggang yang diujungnya terdapat sebuah timang yang berwarna hitam, sebuah timang yang terbuat dari wesi aji, pemberian dari Ki Buyut Banyubiru.
Penangsang, secepat ia berdiri, cepat pula ia mencabut keris Kyai Setan Kober dari warangkanya, sedangkan Adipati Hadiwijaya, tak kalah cepat dari Penangsang, juga telah mencabut keris Kyai Carubuk.
Ditangan Arya Penangsang kini telah tergenggam keris pusaka Kyai Setan Kober, keris pemberian Sunan Kudus, sedangkan ditangan Sultan Hadiwijaya telah tergenggam keris Kyai Carubuk, keris pemberian Sunan Kalijaga.
"Adimas Sultan, keris pusaka Kyai Setan Kober memang tidak bisa menembus ilmu kebal Sultan Pajang karena pusaka itu dipegang oleh Singaprana yang pekerjaannya tiap hari membelah kayu, tetapi kalau yang memegang keris ini adalah Arya Penangsang, gunungpun bisa runtuh terkena pusaka ini" kata Penangsang.
"Kakangmas Penangsang, masih lebih hebat keris pusaka yang aku bawa, ini adalah keris Kyai Carubuk, yang ampuh sekali, pusaka ini adalah milik Sultan Pajang yang tidak tertandingi oleh pusaka manapun" kata Kanjeng Sultan Hadiwijaya.
"Adimas Hadiwijaya, tidak ada seorangpun yang bisa bertahan hidup walaupun kulitnya hanya tergores seujung rambut oleh kerisku Kyai Setan Kober" teriak Arya Penangsang dengan suara yang bergetar.
"Kakangmas Penangsang, aji Tameng Waja tidak ada artinya kalau yang menggoresnya adalah keris Kyai Carubuk" kata Sultan Hadiwijaya tak kalah kerasnya.
Penangsang semakin terbakar hatinya, matanya seakan-akan mengeluarkan bara pembunuhan, nafasnya seperti mengeluarkan sebuah kidung kematian, dan dengan perlahan-lahan dibangunkannya semua kekuatan aji Panglebur Jagad yang ada pada dirinya, dan dihimpunnya aji yang nggegirisi itu di telapak tangannya yang memegang hulu keris Kyai Setan Kober.
"Meskipun Karebet mempunyai aji Lembu Sekilan rangkap tujuh, tetapi kalau terkena keris Kyai Setan Kober yang dirangkapi dengan aji Panglebur Jagad, pasti keris Kyai Setan Kober akan mampu menembus sampai ke punggungnya" kata Penangsang dalam hati.
Ketika Sultan Hadiwijaya melihat kearah Arya Penangsang, Kanjeng Sultan terkejut ketika melihat ujung bilah keris Kyai Setan Kober merah membara.
"Hm aji Panglebur Jagad" katanya dalam hati, dan dengan cepat iapun membangunkan aji Hasta Dahana, dan dengan segera ia memindahkan keris Kyai Carubuk ke tangan kiri, dan iapun akan berusaha untuk menyentuh dada Penangsang dengan tangan kanannya yang berisi aji Hasta Dahana.
Tangan kiri Sultan Hadiwijaya yang mampu bergerak secepat dan sekuat tangan kanannya, siap untuk membenturkan Keris Kyai Carubuk dengan Keris Kyai Setan Kober, sedangkan telapak tangan Sultan Hadiwijaya yang berisi aji Hasta Dahana siap utuk menghanguskan dada Arya Penangsang pada sentuhan yang pertama.
Ketika aji Panglebur Jagad sudah manjing dalam telapak tangan Arya Penangsang yang membawa keris Kyai Setan Kober, terlihat ujung bilah keris Kyai Setan Kober semakin merah membara sehingga mengeluarkan asap tipis, maka bersiaplah Penangsang untuk membenturkan ilmu dan pusakanya dengan ilmu Sultan Hadiwijaya.
"Hanya ada satu pilihan, mukti atau mati" kata Arya Penangsang dalam hatinya
Melihat Adipati Jipang telah siap menyerang, Patih Matahunpun segera berdiri, diikuti oleh Anderpati, Sorengpati dan Sorengrana, sorot mata Patih Matahun menatap tajam ke arah Pemanahan, Penjawi, Juru Martani dan Sutawijaya.
Pemanahan, ketika melihat Patih Matahun berdiri, maka iapun juga segera berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan, diikuti oleh Penjawi, Juru Martani dan Sutawijaya.
Sultan Hadiwijaya menatap Arya Penangsang tajam, matanya tak lepas dari ujung Keris pusaka Setan Kober yang terlihat semakin merah membara, dan ketika Aji Hasta Dahana telah manjing di telapak tangannya, maka Sultan Hadiwijayapun begeser mengambil jarak, mengambil ancang-ancang untuk sebuah benturan ilmu sekaligus benturan pusaka.
Sultan Hadiwijaya percaya sepenuhnya bahwa keris Kyai Carubuk pemberian Sunan Kalijaga mampu mengimbangi kekuatan keris Kyai Setan Kober milik Arya Penangsang, baik kekuatan yang kasatmata maupun kekuatan yang tidak kasatmata.
Sultan Hadiwijaya juga mempunyai rasa percaya diri yang besar, dalam puncak ilmu Hasta Dahana, meskipun Arya Penangsang dilindungi oleh aji Tameng Waja, tetapi apabila telapak tangannya bisa menghantam dada, aji Tangan Api-nya diharapkan mampu membakar dada Penangsang.
Kanjeng Sultanpun juga tidak mau melakukan sebuah tindakan yang akibatnya bisa berbahaya, Sultan Hadiwijaya tidak mau membentur keris pusaka Setan Kober yang dirangkapi dengan aji Panglebur Jagad hanya dengan mengandalkan aji Lembu Sekilan.
Ketika Arya Penangsang bersiap akan melompat menerkam Sultan Hadiwijaya dengan keris Setan Kobernya, maka Sultan Adiwijaya juga sudah siaga sepenuhnya, tangan kirinya bersiap untuk menangkis serangan keris Kyai Setan Kober dengan keris Kyai Carubuk, sedangkan tangan kanannya yang telah berisi Aji Hasta Dahana siap untuk menebah dada Arya Penangsang, tetapi tiba-tiba telah terjadi sebuah peristiwa yang tak terduga, yang telah membuat keduanya terkejut.
Dari ruangan dalam muncul Kanjeng Sunan Kudus, yang terlihat kaget ketika melihat keduanya bersiap untuk saling menyerang.
"Hai berhenti !! Kalian berdua ini seperti anak kecil saja, tidak sepantasnya kalian berdua memegang keris ligan, ayo Kanjeng Sultan Hadiwijaya sarungkan kerismu, dan kau Penangsang, sarungkan juga kerismu" kata Sunan Kudus.
Sutan Hadiwijaya yang menghormati Sunan Kudus sebagai salah seorang Walisanga, segera mengendorkan aji Hasta Dahana, kemudian Sultan Hadiwijaya menyarungkan keris Kyai Carubuk kedalam wrangkanya.
Dada Arya Penangsang masih terasa bergolak dan sorot matanya masih memperlihatkan kemarahan, tetapi ia belum mengendorkan aji Panglebur Jagad, dan ditangannya masih tergenggam keris Kyai Setan Kober yang membara diujung bilahnya.
Disudut pendapa, Pemanahan, Penjawi, Juru Martani dan Sutawijaya yang menyaksikan peristiwa itu menjadi cemas dan tercekat hatinya, ketika mereka menyaksikan junjungannya Kanjeng Sultan Hadiwijaya sudah menyarungkan kerisnya, berdiri tanpa senjata, sedangkan dua langkah didepannya, berdiri Arya Penangsang yang masih memegang keris Kyai Setan Kober.
Mereka khawatir, dengan sebuah lompatan yang cepat, Arya Penangsang pasti mampu menerkam Sultan Hadiwijaya, kalaupun Kanjeng Sultan mampu menangkis, maka tubuhnya pasti tergores keris Kyai Setan Kober, dan setiap goresan pusaka itu akan berarti maut.
Pemanahan akan berteriak memperingatkan Sultan Hadiwijaya, tetapi suara yang akan dikeluarkan seakan-akan ditelan kembali, dia khawatir justru teriakan itu malah seperti mengingatkan Arya Penangsang untuk segera menyerang Sultan Hadiwijaya.
Dibelakang Ki Pemanahan, berdiri anaknya yang sudah menjadi anak angkat Sultan Hadiwijaya, Danang Sutawijaya yang tangannya telah meraba hulu keris Kyai Sapuhasta yang dipakainya dengan cara nyote, merasa kecewa, atas gagalnya perang tanding ini, sebetulnya ia ingin menyaksikan kehebatan ayah angkatnya, Kanjeng Sultan Pajang yang mempunyai bermacam-macam aji jaya kawijayan berbenturan ilmu dengan ilmu Adipati Jipang, Arya Penangsang.
"Cepat Penangsang, sarungkan kerismu, cepat, tunggu apalagi Penangsang, cepat sarungkan kerismu" kata Sunan Kudus.
Suasana di pendapa Panti Kudus saat ini menjadi sunyi senyap, tak ada suara apapun, hanya terlihat Arya Penangsang menuruti perintah gurunya, iapun berusaha mengendorkan Aji Penglebur Jagad, tetapi kesunyian itu kembali dikejutkan oleh suara Sunan Kudus :"Ayo Penangsang, kau tunggu apalagi, cepat sarungkan kerismu"
Perlahan-lahan, seiring dengan memudarnya aji Panglebur jagad, maka bara di ujung bilah keris Kyai Setan Kober menjadi semakin suram dan akhirnya menjadi padam, dan Arya Penangsangpun kemudian segera menyarungkan kerisnya Kyai Setan Kober kedalam wrangkanya.
Sunan Kudus yang melihat Penangsang mengendorkan aji Panglebur Jagad dan telah menyarungkan kerisnya, hanya bisa menarik napas dalam-dalam.
Patih Matahun bersama muridnya, Anderpati yang berdiri disudut pendapa berseberangan dengan Pemanahan, merasa kecewa dan menyesal ketika melihat Adipati Arya Penangsang menyarungkan kerisnya.
"Hmm seharusnya Kanjeng Adipati tanggap ing sasmita, sehingga anak dari Pengging itu terbunuh, kenapa keris Kyai Setan Kober malah dimasukkan ke dalam warangkanya? Seharusnya keris Kyai Setan Kober ditusukkan ke tubuh Sultan Hadiwijaya yang tidak bersenjata" kata Patih Matahun dalam hati.
"Tadi sebetulnya Kanjeng Adipati dengan mudah bisa membunuh Sultan Hadiwijaya, mudah sekali, semudah memijit wohing ranti" desis Anderpati yang juga merasa kecewa.
Sorengpati dan Sorengrana juga menyesalkan junjungannya tidak menggunakan kesempatan yang baik itu untuk membunuh Sultan Hadiwijaya.
Kesempatan emas untuk membunuh Sultan Hadiwijaya sudah terlewat, dan tidak akan ada kesempatan emas yang kedua bagi Arya Penangsang.
"Hampir saja nimas Ratu Cempaka menjadi janda" kata Arya Penangsang.
"Hampir saja burung gagak di Kudus berpesta makan daging seorang Adipati" kata Sultan Hadiwiaya
"Sudahlah, kalian akhiri saja perselisihan ini" kata Sunan Kudus.
Arya Penangsang menarik napas dalam-dalam, kesempatan untuk membentur ilmu melawan Sultan Hadiwijaya telah digagalkan oleh gurunya.
"Silakan kalian berdua duduk kembali" kata Sunan Kudus.
Keduanya tidak menjawab, Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang kemudian duduk di kursi semula.
Mengetahui Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang telah duduk kembali, maka semua pengikut dari Pajang dan Jipang juga kembali duduk bersila dilantai pendapa.
"Hormat saya untuk Kanjeng Sunan Kudus" kata Sultan Hadiwijaya.
"Ya, sama-sama Kanjeng Sultan, hormat saya untuk Kanjeng Sultan Pajang" kata Sunan Kudus.
"Saya mohon maaf Kanjeng Sunan, saya sebagai tamu di Panti Kudus, telah berbuat diluar unggah-ungguh, saya telah bertengkar dengan kakangmas Penangsang, padahal maksud kedatangan saya semula adalah untuk musyawarah ilmu dengan Kanjeng Sunan Kudus" kata Sultan Hadiwijaya.
"Ya, karena situasi yang tidak memungkinkan dan suasana yang masih panas, maka sebaiknya acara musyawarah ilmu dibatalkan saja Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus.
"Betul, memang sebaiknya acara musyawarah ilmu dibatalkan saja, Kanjeng Sunan" kata Sultan Pajang.
"Kalau begitu, silahkan Kanjeng Sultan beristirahat di kamar belakang" kata Sunan Kudus.
"Kalau acara musyawarah ilmu ini dibatalkan, kami akan langsung pulang ke Pajang, Kanjeng Sunan" kata Sultan Hadiwijaya.
"Begitu tergesa-gesa Kanjeng Sultan ?" tanya Sunan Kudus.
Sultan Hadiwijaya tersenyum, lalu Kanjeng Sultanpun berkata :"Ya Kanjeng Sunan, ada beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan segera"
"Baiklah Kanjeng Sultan, jadi Kanjeng Sultan beserta rombongan akan pulang ke Pajang sekarang ?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Kanjeng Sunan, kami mohon pamit" kata Kanjeng Sultan, lalu Sultan Hadiwijaya bangkit berdiri dari kursinya, menyalami Sunan Kudus, diikuti oleh Pemanahan, Penjawi, Juru Martani dan Sutawijaya.
"Silahkan Kanjeng Sultan, semoga selamat diperjalanan" kata Sunan Kudus.
"Terima kasih, kami mohon pamit kakangmas Penangsang" kata Kanjeng Sultan.
"Ya" jawab Arya Penangsang pendek tanpa melihat kearah Sultan Hadiwijaya..
Sultan Hadiwijaya berjalan turun dari pendapa bersama ke empat pengikutnya, lalu menghampiri kudanya yang dijaga oleh beberapa orang santri.
"Sekarang kita menuju pesanggrahan Danaraja di kaki gunung Muria" kata Kanjeng Sultan kepada pengikutnya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Pemanahan.
Beberapa saat kemudian, lima ekor kuda telah berjalan keluar dari regol Panti Kudus menuju ke selatan.
Tidak jauh dari regol Panti Kudus, Sultan Hadiwijaya menghentikan kudanya, karena ditepi jalan telah berdiri dua orang nayaka praja Pajang, Ngabehi Wuragil bersama Wenang Wulan.
Pemanahan, Penjawi, Juru Martani an Sutawijaya juga menghentikan kudanya dibelakang kuda Kanjeng Sultan.
"Ngabehi Wuragil dan Wenang Wulan, kemarilah" kata Kanjeng Sultan.
Kedua orang itu kemudian berjalan menghampiri Sultan Hadiwijaya.
"Musyawarah iilmu dengan Kanjeng Sunan Kudus dibatalkan, Wenang Wulan, sekarang kau pergilah ke tempat pasukan kita di hutan Pajimatan katakan pada Ngabehi Wilamarta, supaya memimpin para prajurit kembali ke Pajang, sedangkan Ngabehi Wuragil ikut dalam rombongan ke bukit Danaraja" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Ngabehi Wuragil dan Wenang Wulan.
"Wenang Wulan, kau tunggu kami di Kraton Demak, di Demak aku akan menemui Patih Wanasalam" kata Sultan Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Wenang Wulan.
"Kakang Pemanahan, mari perjalanan kita lanjutkan ke bukit Danaraja, menemui kakangmbok Ratu Kalinyamat" kata Sultan Pajang, setelah itu kudanya dilarikan ke arah bukit Danaraja yang terletak tidak jauh dari bandar Jepara
Pemanahan, Penjawi serta yang lainnya juga melarikan kudanya mengikuti kuda Kanjeng Sultan, hanya Wenang Wulan yang menjalankan kudanya menuju hutan didekat desa Pajimatan.
Sultan Hadiwijaya memacu kudanya tidak begitu kencang, derap kaki kuda terdengar di sekitar kaki gunung Muria, angin pagi yang kencang bertiup dari depan, dan debupun telah dihamburkan oleh kaki-kaki kuda rombongan berkuda dari Pajang.
Sementara itu, setelah Sultan Pajang meninggalkan Panti Kudus, Arya Penangsang merasa sangat kecewa terhadap gurunya, Kanjeng Sunan Kudus.
Arya Penangsang bangkit dari kursinya, lalu Sang Adipatipun berkata keras kepada gurunya :"Bapa Sunan, kenapa Bapa Sunan memisah saya dan adimas Hadiwijaya yang sudah siap bertarung ? Kalau Bapa Sunan tadi tidak keluar dari ruang dalam dan tidak memisah kami yang sudah siap bertarung, tentu sekarang adimas Hadiwijaya telah aku bunuh"
"Apakah kalau kau bertarung melawan Sultan Hadiwijaya, kau yang akan memenangkan pertarungan itu Penangsang ?" tanya Sunan Kudus.
"Saya yang akan menang Bapa Sunan, adimas Hadiwijaya tidak akan mampu menahan keris Kyai Setan Kober yang telah membara di ujung bilahnya" kata Penansang.
"Ah kau Penangsang, sudah berkali-kali aku ingatkan, kau harus bersabar, sekarangpun kau masih belum bisa bersabar, sehingga kali inipun kau telah mengalami kekalahan" kata Sunan Kudus.
"Saya mengalami kekalahan ? Tidak Bapa Sunan, saya tidak kalah, sekarang juga saya bersama lima puluh orang prajurit Jipang yang berada di hutan Tanggul Angin akan mengejar rombongan Sultan Hadiwijaya" kata Arya Penangsang.
"Jadi kau kesini membawa lima puluh orang prajurit Jipang yang sekarang berada di hutan Tanggul Angin ?" tanya gurunya.
"Ya Bapa Sunan, para prajurit Jipang sudah siap mengejar rombongan adimas Hadiwijaya" kata Arya Penangsang.
"Kau bersama lima puluh orang prajurit Jipang akan mengejar mereka dan kau sendiri yang akan bertarung melawan Sultan Hadiwijaya satu lawan satu ?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan, kali ini adimas Sultan Hadiwijaya tidak akan dapat menghindar lagi" kata Adipati Jipang.
"Penangsang, meskipun kau bersama puluhan prajurit Jipang yang kuat, jangan sekali-kali kau berani mengejar rombongan Sultan Hadiwijaya" kata Sunan Kudus.
"Kenapa Bapa Sunan ?" tanya Penangsang.
"Saat ini, kalau kau melawan Sultan Hadiwiaya, ibarat seperti timun mungsuh duren, kau sebagai timun melawan Sultan Hadiwijaya sebagai duriannya, kau akan kalah Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Bapa Sunan ! Seharusnya Bapa Sunan memberi semangat kepada saya, bukan malah memperlemah tekad saya seperti ini" kata Arya Penangsang.
"Penangsang, saat ini kau memang tidak akan dapat mengalahkan Sultan Hadiwijaya, kau tahu apa sebabnya kenapa kau akan kalah ?" tanya gurunya.
"Tidak tahu Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Aku sudah memberi kesempatan untuk membunuh Sultan Hadiwijaya dengan mudah, tapi kesempatan itu tidak kau pergunakan Penangsang" kata Kanjeng Sunan.
"Bapa Sunan memberi kesempatan kepada saya ? Kapan ? Saya tidak pernah merasa diberi kesempatan dan kemudahan untuk membunuh adimas Hadiwijaya, Bapa Sunan" bantah Penangsang.
"Kau ingat ketika aku berkata kepadamu, ayo Penangsang, kau tunggu apalagi, cepat sarungkan kerismu, kau dengar itu Penangsang, waktu itu kau masih memegang keris Kyai Setan Kober yang dirangkapi aji Panglebur Jagad, dan saat itu kau hanya berjarak selangkah dua langkah dari Sultan Hadiwijaya yang telah menyarungkan kerisnya" kata gurunya.
"Ya Bapa Sunan, saya sudah menuruti perintah Bapa Sunan, saya juga telah menyarungkan keris Kyai Setan Kober" kata Arya Penangsang
Arya Penangsang terkejut ketika Sunan Kudus berkata :"Penangsang ! Seharusnya kau sarungkan keris Kyai Setan Kober di tubuh Sultan Hadiwijaya".
Mata Penangsang terbelalak ketika mendengar perkataan gurunya, ternyata dia tidak tanggap atas isyarat yang diberikan oleh gurunya.
"Paman Matahun !!" teriak Arya Penangsang.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" jawab Patih Matahun.
"Paman Matahun, apakah kau mengerti tentang isyarat yang diberikan oleh Bapa Sunan ?" tanya Arya Penangsang.
"Saya mengerti Kanjeng Adipati" kata Matahun.
"Kenapa kau tidak bilang kepadaku paman Matahun ?!!" bentak Sang Adipati.
"Saya tidak bisa berteriak Kanjeng Adipati, kalau saya berteriak supaya Kanjeng Adipati menyarungkan keris Kyai Setan Kober di tubuh Sultan Hadiwijaya, maka Kanjeng Sultanpun mengetahui kalau dirinya akan ditusuk keris oleh Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
Arya Penangsangpun tertegun, betapa hatinya telah menyesal dan kecewa, ternyata dirinya kurang tanggap terhadap isyarat yang diberikan oleh Sunan Kudus.
"Kalau waktu itu aku tusuk adimas Hadiwijaya dengan keris Kyai Setan Kober yang dilambari aji Panglebur Jagad, maka sekarang adimas Hadiwijaya tentu sudah mati" kata Arya Penangsang kecewa dan menyesali dirinya sendiri.
"Satu lagi, kenapa aku melarang kau mengejar rombongan Sultan Hadiwijaya, karena kau telah melakukan sebuah kesalahan yang besar Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Kesalahan? Saya tidak pernah membuat kesalahan apapun, Bapa Sunan" kata Adipati jipang.
Arya Penangsang menjadi kaget ketika gurunya berkata :"Apakah kau mematuhi laranganku untuk tidak duduk di kursi ini Penangsang ?"
Kembali Arya Penangsang tertegun, ia sama sekali tidak ingat larangan gurunya karena hatinya saat itu sedang diliputi rasa amarah terhadap Sultan Hadiwijaya.
"Maafkan saya Bapa Sunan, saya sama sekali tidak teringat akan larangan Bapa Sunan, saya memang duduk dikursi yang berada di sebelah timur Bapa Sunan" kata Arya Penangsang.
"Semua sudah terlanjur Penangsang, tidak bisa diulangi lagi" kata Sunan Kudus.
Arya Penangsang hanya bisa terdiam mendengar perkataan gurunya, Sang Adipati tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Semua telah terjadi dan kau sekarang telah menanggung akibatnya" kata gurunya.
"Saya mohon maaf, Bapa Sunan" pinta Arya Penangsang.
"Mulai sekarang kalau kau bertarung, kau tidak akan dapat memenangkan pertarungan, kau akan kalah Penangsang" kata Sunan Kudus
"Saya Bapa Sunan ? Saya tidak akan dapat memenangkan pertarungan melawan siapapun ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya, untuk seterusnya kalau kau bertarung melawan siapapun, kau tidak akan dapat memenangkan pertarungan itu, dan kau akan kalah sepanjang hidupmu, karena kau telah melanggar laranganku, Penangsang" kata gurunya.
Mendengar perkataan gurunya, Arya Penangsang menjadi cemas.
"Mohon ampun Bapa Sunan, saya memang bersalah melanggar perintah Bapa Sunan, tetapi semua itu saya lakukan tidak dengan sengaja" kata Arya Penangsang.
"Sekarang apa keinginanmu Penangsang ?" tanya Kanjeng Sunan.
"Mohon Bapa Sunan mengampuni kesalahan saya dan mencabut hukuman yang telah dijatuhkan kepada saya" pinta Arya Penangsang.
"Tidak bisa Penangsang, mulai saat ini kau akan menjadi pecundang terus menerus sepanjang hidupmu" kata gurunya.
"Apakah tidak bisa ditebus dengan sebuah laku atau sebuah perbuatan tertentu sehingga hukuman saya bisa dicabut, Bapa Sunan" kata Arya Penangsang.
"Bisa Penangsang, tetapi apakah kau sanggup melakukannya ?" tanya Kanjeng Sunan Kudus.
"Sanggup Bapa Sunan, laku seberat apapun, saya sanggup melakukannya" kata Arya Penangsang
"Apakah kau sanggup menahan nafsu ragawi selama empat puluh hari ?" tanya Sunan Kudus.
"Sanggup, eh maksud Bapa Sunan bagaimana ? Apa yang harus saya lakukan ?" tanya Arya Penangsang.
"Kau sanggup melakukan puasa dari pagi sampai sore selama empat puluh hari ?" tanya gurunya.
"Sanggup Bapa Sunan" jawab Sang Adipati.
"Apakah kau sanggup menahan nafsu amarah selama kau menjalankan puasa itu ?" kata Sunan Kudus.
"Sanggup Bapa Sunan" jawab Adipati Jipang.
"Kau harus sabar, tidak boleh marah, banyak melakukan sedekah, banyak membantu kawula dari daerah manapun, bukan hanya kawula Jipang saja" kata Kanjeng Sunan.
"Sanggup Bapa Sunan" kata Penangsang.
"Kau harus bersikap memberi, paring sandang wong kawudan, paring pangan wong kaluwen, paring teken wong kalunyon, apakah kau sanggup melakukannya Penangsang ?" tanya gurunya.
"Sanggup Bapa Sunan" kata Arya Penangsang.
"Itu kau lakukan secara terus menerus selama empat puluh hari" kata Sunan Kudus.
"Baik Bapa Sunan, akan saya jalankan selama empat puluh hari tanpa berhenti" kata Arya Penangsang.
"Baiklah, besok pagi kau sudah mulai melakukan puasa, sekarang kau beristirahatlah dulu, ingat, jangan pernah sekalipun kau bertarung sebelum puasamu selama empat puluh hari berakhir, ingat Penangsang" kata Sunan Kudus, setelah itu Kanjeng Sunan masuk ke ruang dalam, meninggalkan muridnya di pendapa.
Di pendapa, Arya Penangsang memandang gurunya yang sedang memasuki ruang dalam, kepalanyapun tertunduk lesu, lalu dipanggilnya Patih Matahun supaya agak mendekat.
"Paman Matahun, kau perintahkan Sorengyuda untuk membawa para prajurit pulang ke Jipang, sedangkan kita akan menginap semalam lagi, kita akan pulang besok pagi" kata Adipati Jipang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Kau harus membantu aku paman, siapapun jangan membuat aku marah sebelum laku puasa yang aku jalani berakhir, selama empat puluh hari" kata Arya Penangsang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
Dengan kepala tertunduk, Arya Penangsang berjalan menuju ke kamarnya, Sang Adipatipun menyesal kenapa bisa terjadi peristiwa seperti ini.
Ketika Arya Penangsang sedang beristirahat, sementara itu, diarah barat laut pesantren Kudus, rombongan Sultan Hadiwijaya masih terus memacu kudanya menuju bukit Danaraja di kaki gunung Muria.
Mereka melarikan kudanya melingkari gunung Muria, beberapa kali mereka berhenti memberi kesempatan kudanya beristirahat, dan ketika matahari telah mencapai puncak langit, sampailah mereka di pesanggrahan Danaraja.
Lima orang pengawal Kalinyamatan yang sekarang menjaga pesanggahan belari mendekati kuda Sultan Pajang.
"Selamat datang di pesanggrahan Danaraja, Kanjeng Sultan Hadiwijaya" kata salah seorang pengawal Danaraja.
"Kau Ki Wasesa" kata Sultan Hadiwijaya, sambil turun dari kudanya, dan diikuti oleh lima orang pengikutnya.
Kuda-kuda para tamu dari Pajang segera dituntun ke belakang untuk diberi makan dan minum.
"Betul Kanjeng Sultan, hamba Wasesa pengawal Kanjeng Ratu Kalinyamat, silakan Kanjeng Sultan beristirahat di ruang dalam" kata Wasesa.
Enam orang tamu berjalan naik ke pendapa, lalu menuju ruang dalam, disana Sultan Hadiwijaya duduk di kursi dihadap oleh lima orang pengikut Kanjeng Sultan beserta pemimpin pengawal Ki Wasesa.
"Ki Wasesa" kata Sultan Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Wasesa.
"Ki Wasesa, aku datang di Danaraja ini karena mendapat surat dari Kanjeng Ratu Kalinyamat" kata Sultan Pajang.
"Sendika Kanjeng Sultan" jawab Wasesa.
"Sekarang dimanakah Kanjeng Ratu Kalinyamat bertapa ?" tanya Sultan Pajang.
"Kanjeng Ratu Kalinyamat berada di dalem yang satu lagi, sedang tapa wuda sinjang rikma, Kanjeng Ratu berada di ruang dalam Kanjeng Sultan" kata Wasesa.
"Siapakah yang tiap hari melayani keperluan Kanjeng Ratu ?" tanya Sultan Hadiwijaya.
"Dua orang kemenakannya, sepasang gadis yang belum dewasa, Semangkin dan Prihatin, keduanya putra Kanjeng Sunan Prawata swargi" kata Wasesa.
Sultan Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, lalu Kanjeng Sultanpun berkata :"Semangkin dan Prihatin, dua orang prawan kencur putri dari kakangmas Sunan Prawata ?"
"Betul Kanjeng Sultan" kata Wasesa.
"Coba kau menghadap Kanjeng Ratu Kalinyamat, kau katakan Sultan Pajang ingin bertemu dengan Kanjeng Ratu" kata Sultan Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan, hamba kesana sekarang" kata Wasesa, setelah itu iapun bergeser mundur, lalu berjalan keluar dari ruang dalam.
(bersambung)

No comments:

Post a Comment