06 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 46

KERIS KYAI SETAN KOBER 46
KARYA : APUNG SWARNA#*#
BAB 18 : KERIS PUSAKA, TOMBAK PUSAKA 1
Dua puluh delapan perahu telah bergerak perlahan menjauh dari pesisir, didayung oleh para prajurit Jala Pati, sebagian dipimpin oleh Panji Sokayana, sebagian lagi dipimpin oleh Rangga Pawira.
Panji Sokayana memandang ke pesisir, ketika jarak yang terbentang dianggap sudah cukup maka sauhpun diturunkan ke dasar laut, supaya perahu tidak bergerak terseret arus laut maupun tertiup angin yang kencang.
Ketika perahu sudah menurunkan sauh pemberat dan berhenti tidak jauh dari pantai, maka di setiap perahu secara bergantian telah ditugaskan beberapa prajurit yang terus menerus memandang ke arah selatan, untuk melihat apakah ada isyarat yang nanti akan diberikan oleh Senapati Agung, apabila pasukan Demak akan mendobrak pintu benteng kota Panarukan.
Sementara itu disekitar lingkaran luar benteng kota Panarukan, terdapat pasukan Demak dan bang kulon memanjang temu gelang, yang sedang berkemah,

Didepan gubug kesatuan Wira Manggala, empat orang prajurit sandi telah menerima tugas dari Tumenggung Surapati untuk bersiap pergi ke Surabaya, ke Kadipaten Tuban dan ke kotaraja Demak.
Merekapun telah memilih empat ekor kuda yang tegar, yang akan membawa mereka dalam waktu beberapa hari. Setelah menerima bekal berupa bahan makanan yang diperlukan untuk menempuh perjalanan jauh, maka beberapa saat kemudian berangkatlah empat ekor kuda beserta penunggangnya ke arah barat.
Perjalanan empat orang berkuda dengan menyusuri pantai, dapat ditempuh dengan waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan darat pasukan segelar sepapan.
Setelah keempat orang prajurit sandi Demak meninggalkan Panarukan, maka pada siang harinya, dua orang pemuda dengan mengendarai kuda juga meninggalkan daerah Panarukan menuju ke barat.
"Adipati Hadiwijaya harus mengetahui kalau pasukan Demak yang sedang mengepung kota Panarukan bisa berlangsung dalam waktu yang lama, bisa berlangsung beberapa pasar bahkan bisa beberapa candra" kata salah seorang prajurit sandi itu.
Dua orang yang mengendarai kuda itu, ternyata adalah dua orang prajurit sandi Pajang, yang baru saja meninggalkan tempat tugasnya di Panarukan, dalam perjalanan kembali ke Pajang untuk melaporkan keadaan di Panarukan.
Kedua kuda itu berjalan tidak terlalu cepat, dan dari belakang yang terlihat hanya debu yang dihamburkan oleh kedua kaki kuda itu
"Meskipun kita telah mendapat tugas ke Pajang, tetapi di sekitar Panarukan masih ada delapan orang prajurit sandi Kadipaten Pajang lainnya, dan nanti setelah sampai di Pajang, akan ada prajurit sandi lainnya yang berangkat ke Panarukan lagi" kata salah seorang prajurit itu.
"Mudah-mudahan kalau pasukan Demak mendobrak pintu gerbang benteng Panarukan, mereka bisa cepat melapor ke Pajang" jawab prajurit yang lainnya, temannya tidak menjawab, iapun mempercepat lari kudanya, dan kudanyapun berlari semakin lama semakin cepat.
Beberapa hari telah berlalu, empat orang prajurit sandi Demak yang berangkat dari Panarukan, seorang diantaranya telah sampai di Surabaya, sedangkan yang tiga orang lainnya meneruskan perjalanan ke Tuban. Setelah telah sampai di Tuban, seorang diantaranya menghadap bupati Tuban, sedangkan dua orang lainnya memacu kudanya menuju kotaraja Demak.
Setelah melewati Lasem, Juwana, Pati dan Kudus, akhirnya setelah beberapa hari berada dipunggung kuda, maka ketika matahari telah condong ke barat, sampailah keduanya dipinggir sungai Tuntang.
Dengan naik sebuah rakit, dua orang prajurit sandi itu tiba di tepi sungai sebelah barat sungai Tuntang, dan sebentar lagi mereka akan sampai di Kraton Demak.
Setiba di kraton, keduanya kemudian menambatkan tali kendali kudanya didekat pintu gerbang, lalu memasuki kraton yang dijaga oleh dua orang prajurit, kemudian kedua prajurit sandi itu berpisah, salah seorang dari mereka berjalan menghadap Patih Wanasalam di Kepatihan.
Setelah menunggu sejenak, maka prajurit sandi itupun diterima menghadap Patih Wanasalam disebuah ruangan dalam di Kepatihan.
Didalam ruangan dalam, prajurit itupun duduk bersila didepan Patih Wanasalam.
"Kau prajurit sandi yang bertugas di Panarukan?" kata Patih Wanasalam.
"Ya Ki Patih" kata prajurit itu.
"Ada berita apa dari Panarukan?" tanya Ki Patih.
Prajurit itupun menceritakan tentang jalannya pertempuran pasukan Demak melawan pasukan Panarukan yang berakhir dengan pengepungan kota Panarukan.
"Jadi benteng kota Panarukan dikepung temu gelang oleh pasukan Demak?" tanya Ki Patih.
"Ya Ki Patih, dan itu bisa berlangsung lama" kata prajurit sandi.
"Lalu apa perintah Kanjeng Sultan kepadaku?"
"Kanjeng Sultan meminta Ki Patih untuk mengirim bahan makanan ke Panarukan" kata prajurit itu.
"Baik, besok segera akan dikirim bahan makanan ke Panarukan, kau besok akan kembali ke Panarukan juga?" tanya Patih Wanasalam.
"Ya Ki Patih, saya besok berangkat ke Panarukan bersama dengan bahan makanan itu" jawab prajurit sandi.
"Setiap sepasar sekali, aku kirim puluhan kuda yang membawa bahan makanan ke Panarukan" kata Patih Wanasalam
Sementara itu, seorang prajurit sandi lainnya sedang berjalan ke arah yang lain, prajurit itu akan menghadap pemimpin pasukan cadangan Demak, Arya Penangsang.
Prajurit itupun segera mencari Adipati Jipang di Kraton Kilen, tetapi ketika sampai di tikungan dekat Kesatrian, dilihatnya Adipati Jipang Arya Penangsang berada dibawah pohon belimbing, tangannya terlihat sedang mengusap-usap leher kuda hitam kesayangannya, Gagak Rimang.
Prajurit sandi itu kemudian melangkah mendekati Adipati Jipang, setelah berada didekatnya, maka iapun membungkuk hormat.
"Kanjeng Adipati, saya prajurit sandi Demak yang bertugas di Panarukan, akan menyampaikan berita perkembangan pertempuran di Panarukan" kata prajurit itu.
"Ya, kau datang dari Panarukan? Kau sampaikan disini saja semuanya" kata Adipati Jipang.
"Baik Kanjeng Adipati, kami berangkat dari Panarukan berdua, prajurit sandi yang satu lagi sedang menghadap Ki Patih Wanasalam untuk meminta kiriman bahan makanan ke Panarukan" kata prajurit itu.
"Ya" kata Arya Penangsang.
"Saat ini pasukan Demak sedang mengepung benteng kota Panarukan temu gelang" kata prajurit sandi itu.
"Jadi saat ini Kanjeng Sultan belum menyerbu ke dalam benteng?" tanya Arya Penangsang.
"Belum Kanjeng Adipati, menurut perkiraan Ki Tumenggung Surapati, pengepungan kemungkinan dapat berlangsung beberapa pasar bahkan mungkin bisa selama beberapa candra" kata prajurit sandi itu.
"Ya, sejak keberangkatan pasukan Demak ke Panarukan sampai sekarang, waktunya sudah tiga pasar" kata Arya Penangsang
"Perintah dari Kanjeng Sultan, setiap saat pasukan cadangan harus siap diberangkatkan ke Panarukan" kata prajurit sandi.
"Baik, kapanpun Kanjeng Sultan memerintahkan, prajurit cadangan siap diberangkatkan ke Panarukan" kata Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati, hanya itu saja pesan dari Kanjeng Sultan" kata prajurit sandi. Setelah menyelesaikan tugasnya menyampaikan pesan Kanjeng Sultan Trenggana, maka prajurit sandi itupun segera mohon diri.
Malam harinya dengan menunggang kuda hitam Gagak Rimang, Arya Penangsang menuju dalem Jaya Santikan, tempat tinggal Tumenggung Jaya Santika, pandega prajurit Patang Puluhan.
Didepan regol dalem Jaya Santikan, Arya Penangsang melihat seorang abdi Katumenggungan sedang berjalan cepat menyambut kedatangannya.
"Silakan masuk kedalam Kanjeng Adipati" kata abdi Katumenggungan itu sambil memegang tali kendali kuda Gagak Rimang.
"Ki Tumenggung ada dirumah?" tanya Arya Penangsang.
"Ada dirumah Kanjeng Adipati, Ndara Menggung berada didalam" jawab abdi itu.
Arya Penangsangpun kemudian berjalan masuk ke dalam dan disana sudah menunggu Tumenggung Jaya Santika yang sedang duduk di sebuah dingklik agak besar.
Melihat kedatangan Adipati Jipang, maka Tumengung Jaya Santika segera berdiri menyambutnya.
Setelah saling mengabarkan keselamatan dan berbicara beberapa persoalan, maka Arya Penangsangpun kemudian menceritakan pertemuannya dengan seorang prajurit sandi.
"Saat ini prajurit Demak telah mengepung benteng kota Panarukan, dan besok pagi, Ki Patih Wanasalam akan mengirim bahan makanan ke Panarukan" kata Adipati jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Tumengung Jaya Santika.
"Pasukan cadangan Demak harus siap setiap saat diberangkatkan ke Panarukan" kata Penangsang selanjutnya.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Ki Tumenggung.
"Ki Tumenggung, besok pagi aku ingin pulang ke Jipang menginap semalam dua malam, nanti kalau Kanjeng Sultan memerintahkan pasukan cadangan segera berangkat, silahkan Ki Tumenggung yang memimpin pemberangkatkan pasukan, dan jangan lupa kirim utusan ke Jipang, nanti kita bisa bertemu di Lasem" kata Adipati Jipang.
"Baik Kanjeng Adipati, kalau Kanjeng Sultan memerintahkan untuk berangkat, nanti pasukan akan saya pimpin sampai di Lasem, Kanjeng Adipati bisa berangkat dari Jipang langsung ke Lasem" kata Tumenggung Jaya Sentika.
"Baik Ki Tumenggung, jangan lupa kirim penghubung ke Jipang" kata Arya Penangsang.
Mereka berdua masih berbincang beberapa saat, hingga Penangsang mohon diri pulang ke Kraton.
Malam itu setelah pulang dari dalem Jaya Santikan, sambil melamun tentang Jipang yang sudah ditinggal selama setengah candra, Arya Penangsang merasa rindu dengan gurunya, Kanjeng Sunan Kudus.
Guru yang sangat mengasihinya, tidak berbeda dengan anaknya sendiri, bersedia menurunkan semua ilmunya lahir batin.
Sejak kecil, disamping tinggal di dalam Kraton Demak, Penangsang sering tinggal di tempat Sunan Kudus, yang merupakak kakak dari ibunya, putri Sunan Ngudung dari Jipang Panolan.
"Bapa Sunan Kudus sangat mengasihiku, besok pagi aku akan singgah di Panti Kudus" kata Penangsang dalam hati.
Sepeninggal ayahnya Pangeran Suryawiyata yang dulu sewaktu masih di Kraton Demak biasa dipanggil dengan nama Pangeran Sekar, maka seakan-akan Sunan Kuduslah yang telah menjadi ganti ayahnya.
Penangsang tidak ingat, pada saat Pangeran Sekar meninggal dunia karena pada saat itu dia masih anak-anak.
Dari penuturan gurunya, Pangeran Sekar meninggal pada saat berada di tepi sungai, sehingga namanya sering disebut sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen.
"Ya, Pangeran Sekar yang meninggal di tepi sungai, dia adalah ayahku, putra Eyang Patah, Sultan Demak Bintara yang pertama" kata Arya Penangsang dalam hati.
Malam semakin larut, Penangsang pun telah tertidur, beberapa kali terdengar suara kepak sayap kelelawar yang memecah kesunyian malam.
Ketika malam telah sampai ke ujungnya, terlihat semburat warna merah di bang wetan, sang suryapun terbit menggantikan tugas dewi rembulan.
Ketika matahari mulai memanjat langit, teranglah seisi bumi Demak, dan di pagi itu terlihat seekor kuda berwarna hitam, Gagak Rimang, sedang berlari ke arah timur dengan Arya Penangsang berada dipunggungnya
Matahari telah naik di langit semakin tinggi, Arya Penangsang telah melewati sungai Serang, lalu dengan cepat dipacunya Gagak Rimang menuju Panti Kudus.
"Mudah-mudahan Bapa Sunan Kudus dalam keadaan sehat" kata Arya Penangsang dalam hati.
Gagak Rimang terus berlari, tak lama kemudian sampailah Arya Penangsang di Panti Kudus, beberapa orang santri berlarian menuju ke arahnya, lalu memegang tali kendali Gagak Rimang.
"Bapa Sunan ada di dalam?" tanya Arya Penangsang.
"Ada Kanjeng Adipati, Kanjeng Sunan berada di ruang dalam, silahkan masuk Kanjeng Adipati" kata santri Kudus.
Setelah mencuci kakinya, Arya Penangsang kemudian masuk ke ruangan dalam, dan ketika Kanjeng Sunan Kudus melihat murid yang dikasihinya, maka Kanjeng Sunan Kuduspun berdiri memeluk muridnya, setelah itu Arya Penangsang kemudian meraih dan mencium tangan gurunya.
"Duduklah Penangsang" kata Kanjeng Sunan Kudus.
"Terima kasih bapa Sunan" kata Penangsang.
Arya Penangsang kemudian duduk di sebuah tikar berhadapan dengan Sunan Kudus, lalu keduanyapun berbicara tentang berbagai macam persoalan.
Pembicaraan keduanyapun terhenti ketika seorang santri masuk ke ruangan sambil membawa sebuah kendi berisi air.
"Minum dulu Penangsang" kata Sunan Kudus.
"Terima kasih Bapa Sunan" kata Adipati Jipang.
Beberapa saat kemudian Arya Penangsangpun bercerita tentang perang Panarukan serta dirinya yang dijadikan pandega pasukan cadangan Kasultanan Demak yang setiap saat harus siap untuk diberangkatkan ke bang wetan.
"Jadi saat ini pasukan Demak sedang mengepung benteng kota Panarukan?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" kata Penangsang
"Setiap saat Kanjeng Sultan bisa memerintahkan kau bersama pasukan cadangan, berangkat berperang ke Panarukan?" tanya Kanjeng Sunan.
"Ya Bapa Sunan" kata Penangsang
Wajah Sunan Kudus berubah cemas, ia sangat mengkhawatirkan keselamatan murid yang disayanginya kalau sampai harus berangkat perang ke bang wetan.
Sebagai seorang yang pernah menjadi seorang Senapati Perang Demak Bintara beberapa puluh tahun yang lalu, Sunan Kudus mengetahui, di tlatah bang wetan banyak orang yang memiliki kemampuan ilmu jaya kawijayan yang tinggi.
Kanjeng Sunan Kudus tidak mengetahui siapakah nanti yang akan menjadi lawan Arya Penangsang di Panarukan.
"Hm bagaimana kalau lawannya nanti ternyata mempunyai ilmu yang lebih tinggi?" kata Kanjeng Sunan Kudus dalam hati.
"Kau tunggu disini dulu, Penangsang" kata Sunan Kudus.
Kanjeng Sunan kemudian bangkit berdiri lalu berjalan masuk ke kamarnya, dan tanpa ragu-ragu Sunan Kudus mengambil sebuah pusaka miliknya, sebuah keris yang ngedab-edabi, yang namanya telah menggetarkan seluruh tlatah Demak, Kyai Setan Kober.
Sejenak kemudian, Kanjeng Sunan Kudus keluar dari kamar sambil membawa keris Kyai Setan Kober, dan kembali menemui Arya Penangsang yang masih menunggu di ruangan dalam.
Setelah Kanjeng Sunan duduk di tikar berhadapan dengan muridnya, maka keris itupun diletakkannya diatas meja kecil.
"Penangsang, kalau kau jadi berangkat ke Panarukan, berhati-hatilah, jangan sekali-kali kau merendahkan kemampuan lawanmu" kata Kanjeng Sunan Kudus.
"Ya Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Sebelum berangkat ke Panarukan, kau kuberi bekal, bawalah keris pusakaku ini, jadikanlah ini sebagai sipat kandel Kadipaten Jipang" kata Sunan Kudus, lalu diambilnya keris Kyai Setan Kober dan diberikannya kepada muridnya, Arya Penangsang.
Arya Penangsangpun kemudian menerima keris itu, dilihatnya sebuah keris yang bagus, mempunyai wrangka gayaman, dengan ukiran yang berwarna coklat tua, keris milik Sunan Kudus adalah bukan sebuah keris kebanyakan seperti yang biasa dimiliki oleh kawula Demak.
"Bapa Sunan, terima kasih saya telah diberi kepercayaan untuk merawat pusaka ini, keris ini akan saya bawa ke Panarukan dan untuk seterusnya, keris ini akan saya jadikan sebagai sipat kandel Kadipaten Jipang Panolan" kata Penangsang.
"Ya Penangsang, itu keris pusaka milikku yang telah kuberikan kepadamu, berhati-hatilah kau membawa keris itu, dan sebaiknya untuk saat ini, keris itu jangan kau perlihatkan kepada orang lain" kata gurunya.
"Ya, Bapa Sunan, keris ini adalah keris yang luar biasa, lalu apa nama keris ini Bapa Sunan?' tanya Arya Penangsang.
"Ya, Penangsang, keris itu memang bukan keris biasa, nama keris itu adalah Kyai Setan Kober" kata Sunan Kudus.
Arya Penangsang terkejut ketika nama keris itu disebut oleh gurunya, dadanya bergetar, darahnya mengalir kencang, sehingga tangannya yang memegang keris itupun menjadi gemetar.
"Kyai Setan Kober" kata Arya Penangsang dengan suara yang bergetar, menyebut nama sebuah keris yang pernah menggemparkan Kasultanan Demak.
"Ya, itu adalah keris Kyai Setan Kober, atau disebut juga Kyai Bronggot Setan Kober, keris itu memang milikku dan sekarang keris itu aku berikan kepadamu" kata Sunan Kudus.
Gejolak di hati Arya Penangsang belum reda, ditangannya kini tergenggam sebuah keris pusaka milik Sunan Kudus, Kyai Setan Kober, yang selama ini hanya pernah didengar namanya saja. Keris itu sekarang telah menadi miliknya yang akan dibawa ke manapun ia pergi dan keris itu akan dijadikan sebagai sipat kandel Kadipaten Jipang.
"Paman Matahun pasti tahu mengenai keris Kyai Setan Kober, besok aku akan bertanya kepadanya" kata Penangsang dalam hati.
"Sekarang, lepaskan kerismu yang kau pakai, lalu pakailah keris Kyai Setan Kober itu" kata gurunya. Penangsangpun kemudian melepas keris yang dipakainya, lalu digantikannya dengan keris pemberian gurunya, Kyai Setan Kober.
"Kerismu yang lama, kau masukkan ke dalam bungkusanmu" kata Kanjeng Sunan.
"Baik Bapa Sunan" kata Penangsang.
"Kau berangkat nanti setelah makan siang" kata gurunya
Dan merekapun berbincang, hingga matahari mencapai puncaknya.
Setelah sholat dhuhur berjamaah, maka Sunan Kudusppun mengajak muridnya untuk makan siang berdua, sedangkan para santri yang lainnya makan di ruangan samping.
"Makan yang banyak, Penangsang" kata Sunan Kudus
"Ya Bapa Sunan" kata Penangsang sambil mengambil nasi yang berada di dalam cething.
Sambil makan Arya Penangsang masih berpikir tentang keris Kyai Setan Kober yang kini telah disengkelitnya.
"Bapa Sunan Kudus memang sayang kepadaku, dulu semasa anak-anak, semua kemauanku diturutinya" katanya dalam hati,
"Tambah lagi nasinya Penangsang" kata gurunya.
"Sudah Bapa Sunan, sudah kenyang" kata Arya Penangsang.
Setelah selesai makan siang, maka Penangsangpun bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanannya ke Jipang.
"Bapa Sunan, saya berangkat ke Jipang sekarang" kata Arya Penangsang.
"Ya Penangsang, mudah-mudahan semua selamat" kata Kanjeng Sunan.
Kanjeng Sunan Kudus lalu mengantar muridnya sampai didepan regol, lalu menatap muridnya yang duduk diatas punggung Gagak Rimang sampai hilang di tikungan jalan.
Gagak Rimang, seekor kuda berwarna hitam yang tangguh, berlari kencang menuju Jipang yang terletak disebelah tenggara kota Kudus.
Setelah beberapa kali beristirahat, maka ketika matahari hampir tenggelam, Adipati Jipang merasa perlu beristirahat.
"Malam ini terlalu gelap, aku tidak bisa melanjutkan perjalanan, terpaksa harus bermalam di jalan" kata Penangsang.
Malam itu, Penangsang berusaha untuk tidur bersandar disebuah batu besar.
"Malam ini aku terpaksa tidur sendiri, Rangkud yang dulu aku ajak ke Demak, sudah aku suruh pulang ke Jipang, sehari setelah pasukan Demak berangkat ke Panarukan" katanya dalam hati.
Malam yang gelap, dikejauhan terdengar lolongan beberapa anjing hutan, tetapi suara anjing hutan yang gaduh itu mendadak telah berhenti.
"Suara lolongan srigala tiba-tiba telah terdiam, pasti didekatnya ada seekor harimau" desis Penangsang.
Arya Penangsang mengangkat mukanya, meskipun ada seekor harimau kumbang, bahkan kalaupun ada seekor harimau gembong didekatnya, Penangsang tidak akan merasa takut, apalagi didekatnya ada kuda hitamnya, Gagak Rimang.
"Kalau ada harimau atau sekawanan srigala berjalan mendekati tempat ini, Gagak Rimang pasti akan ribut terlebih dulu" kata Arya Penangsang dalam hati.
Malam semakin larut, hanya suara beberapa binatang malam yang terdengar terus menerus.
Suara lolongan sekawanan anjing hutan terdengar semakin jauh.
"Mereka menjauh " desis Penangsang. Menjelang tengah malam Arya Penangsangpun telah tertidur, dan malam telah berakhir, fajarpun terbit diarah timur di hiasi suara kicau burung di atas pohon.
"Siang nanti aku akan sampai di Jipang" kata Penangsang didalam hatinya.
Setelah membersihkan dirinya, maka Penangsangpun kembali melanjutkan perjalanannya ke tanah kelahiran ibunya yang sekarang telah menjadi sebuah Kadipaten miliknya, Jipang Panolan.
Di Jipang, matahari hampir mencapai puncaknya ketika empat orang yang berada di pendapa dalem Kadipaten Jipang sedang duduk beralaskan tikar, dan mereka adalah Arya Mataram, Patih Matahun, Rangkud dan Anderpati.
Patih Matahun yang telah tua tapi masih tangkas, saat itu terlihat sedang berbicara dengan seorang pemuda yang mempunyai sorot mata yang tajam seperti sorot mata seekor macan, yang telah diangkat menjadi muridnya, Anderpati.
"Nderpati, sekarang kau sudah menjadi prajurit Jipang, dalem Kepatihan yang sedang kau bangun telah hampir selesai, kalau bangunan sudah siap ditempati, nanti kau tinggal saja di kepatihan bersama aku" kata Patih Matahun.
"Baik Ki Patih" kata Anderpati.
"Aku hanya seorang diri di Kepatihan, tiada kawan untuk berbincang" kata Paih Matahun.
"Ya Ki Patih" jawab Anderpati.
"Tetapi jangan lupa, setiap hari kau harus berlatih, supaya ilmu kanuraganmu cepat meningkat, sekarang kau akan pergi ke dalem Kepatihan?" kata gurunya.
"Ya Ki Patih, aku mohon diri, akan meneruskan pekerjaan di dalem Kepatihan" kata Anderpati.
"Baik Nderpati" kata Ki Patih, dan Anderpatipun segera berlalu, menuju dalem Kepatihan.
Ketika Anderpati sudah tidak terlihat, Patih Matahun mendengar derap seekor kuda yang berlari mendekati dalem Kadipaten.
"Suara Gagak Rimang" desisnya, lalu iapun bersama Rangkud dan Arya Mataram, mereka segera turun ke halaman menyongsong kedatangan Adipati Jipang.
Rangkud segera meraih tali kendali Gagak Rimang, lalu iapun memanggil seorang abdi untuk merawat Gagak Rimang, memberi makan dan minum kuda kesayangan Arya Penangsang.
Arya Penangsangpun kemudian turun dari punggung kuda hitamnya lalu mereka berempat berjalan menuju pendapa dalem Kadipaten.
"Selama aku tinggal ke Demak lebih dari hampir empat pasar, keadaan Jipang baik-baik saja Paman?" tanya Penangsang sambil berjalan naik ke pendapa.
"Ya Kanjeng Adipati, semua dalam keadaan baik" kata Patih Matahun..
Di pendapa Arya Penangsangpun segera akan membersihkan dirinya yang baru saja menempuh sebuah perjalanan jauh.
"Kalian bertiga tunggu disini, aku akan membersihkan badan dulu" kata Adipati Jipang.
"Baik Kanjeng Adipati'" kata Patih Matahun, dan mereka bertiga kemudian duduk diatas tikar menunggu selesainya Adipati jipang yang sedang membersihkan badan.
Beberapa saat kemudian Arya Penangsangpun keluar lalu mereka berempat duduk di tikar saling berhadapan.
"Bagaimana paman, apa yang terjadi di Jipang selama aku tinggal ke Demak?" tanya Arya Penangsang.
"Jipang selama ini dalam keadaan baik, sekarang Jipang sudah mempunyai prajurit, Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Kau lakukan pendadaran prajurit paman Patih?" tanya Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Berapa jumlah prajurit yang dimiliki oleh Jipang, paman Matahun?" Tanya Arya Penangsang.
"Tiga ratus lebih Kanjeng Adipati, dan pada hari-hari tertentu mereka dilatih olah kanuragan oleh para murid Panembahan Sekar Jagad" kata Matahun.
"Bagus" kata Penangsang.
Patih Matahun, Arya Mataram maupun Rangkudpun terdiam, mereka menanti perintah selanjutnya dari Adipati Jipang.
"Paman Patih, Arya Mataram dan kau Rangkud, lusa aku harus kembali ke kotaraja Demak lagi" kata Penangsang, lalu iapun bercerita tentang pengepungan kota Panarukan oleh pasukan Demak dibantu oleh ribuan prajurit dari bang kulon.
"Aku sebagai pemimpin pasukan cadangan harus siap diberangkatkan setiap saat, oleh sebab itu, lusa aku akan kembali ke Demak lagi" kata Penangsang.
"Kalian bertiga, apakah ada yang mengetahui, keris apa yang kubawa saat ini" kata Arya Penangsang sambil melepas keris yang dipakainya, dan meletakkannya diatas meja kecil.
"Apakah kalian tahu nama keris ini?" tanya Penangsang
Patih Matahun terkejut, pengalamannya yang banyak, umurnya yang sudah tua dan telah kenyang dengan asam garam kehidupan, merasa pengaruh keris itu kuat sekali, sehingga membuat aliran darahnya menjadi semakin kencang.
"Keris ini adalah sebuah keris yang wingit" kata Patih Matahun.
"Ya kakangmas, keris ini membuat badanku gemetar, kata Arya Mataram.
"Kalian bertiga dengarlah, terutama kau Mataram, keris ini sekarang menjadi milikku, nama keris ini adalah Kyai Setan Kober" kata Arya Penangsang.
Mendengar itu, Patih Matahunpun terkejut, wajahnya berubah merah membara, lalu berganti lagi menjadi pucat pasi, untung saja, Adipati Jipang saat itu sedang menatap ke Arya Mataram, sehingga perubahan wajah patih Matahun tidak terlihat oleh Arya Penangsang.
Kilatan mata Patih Matahunpun menyiratkan sebuah dendam yang membara, yang telah merasuk mendarah daging pada dirinya.
"Pengecut' kata Patih Matahun dalam hati.
"Memang seorang pengecut" kata Patih Matahun sekali lagi didalam hatinya, sambil mengepalkan jari-jari tangannya.
Jari tangan Patih Matahun masih mengepal, pandangan matanya penuh dendam yang telah menyatu dengan aliran darahnya.
Teringatlah Patih Matahun pada sebuah peristiwa yang menggemparkan seluruh tlatah Kasultanan Demak yang terjadi beberapa puluh tahun yang lalu, peristiwa yang sudah lama, hampir seumur Penangsang sendiri.
Pada saat itu ia telah mengabdi kepada ayah Penangsang, Pangeran Suryawiyata atau Pangeran Sekar, yang telah menjadi menantu dari Sunan Ngudung di Jipang Panolan.
Saat itu Pangeran Suryawiyata, sedang melaksanakan sholat di tepi sebuah sungai, tanpa diduga, dari arah belakang muncul seseorang yang ditangannya telah memegang sebuah keris terhunus, lalu dengan cepat keris itu dipakai untuk menusuk punggung Pangeran Sekar.
Keris yang dipakai untuk membunuh ayah Penangsang adalah sebilah keris milik Kanjeng Sunan Kudus, Kyai Setan Kober yang saat ini telah berada dihadapannya, dan telah menjadi milik Arya Penangsang.
"Membunuh seorang yang sedang sholat dengan menusuk punggungnya dari belakang adalah perbuatan seorang pengecut" kata Patih Matahun dalam hati.
Setelah ditusuk punggungnya, maka Pangeran Sekarpun meninggal ditepi sungai, ya dialah Pangeran Sekar Seda Lepen.
Kilatan sorot mata Patih Matahunpun masih terlihat berbias cahaya dendam yang berbaur menjadi satu dengan alunan kidung kematian.
"Pembunuh itu sekarang masih bisa makan kenyang dan tidur nyenyak, karena Kanjeng Adipati Jipang masih belum diberi tahu, siapakah orang yang telah menjadi pembunuh ayahnya" katanya dalam hati.
"Sekarang Kyai Setan Kober telah berada ditangan Adipati Jipang, pekerjaan membunuh si pengecut Sunan Prawata adalah sebuah pekerjaan yang mudah, semudah mijet wohing ranti" kata Matahun dalam hati.
Sunan Prawata, yang juga bernama Pangeran Arya, atau Bagus Mukmin putra tertua Sultan Trenggana yang saat ini mejadi putra mahkota Kasultanan Demak, dialah orang yang telah membunuh Pangeran Sekar dari belakang.
"Kalau nanti Sultan Trenggana sudah lengser Keprabon, maka Sunan Prawatalah yang akan menjadi penggantinya, sebagai seorang Sultan di Kasultanan Demak. Dari jalur Pangeran Sekar Seda Lepen maka Arya Penangsang masih mempunyai hak untuk menjadi Sultan Demak, dan Arya Penangsang adalah orang yang mempunyai jalur lurus laki-laki dari Sultan Demak yang pertama, Raden Patah” kata Matahun dalam hati, Matahunpun masih teringat ketika pangeran Suryawiyata berteriak keras pada saat punggungnya ditusuk keris Kyai Setan Kober, sambil menunjuk ke arah pembunuhnya :"Bagus Mukmin !! Apakah matamu buta, orang sedang sholat kau tusuk dari belakang!"
"Sekarang, kedua mata Sunan Prawata sudah hampir buta" kata Patih Matahun dalam hati.
"Kenapa pada saat itu keris Kyai Setan Kober milik Sunan Kudus bisa berada di tangan Bagus Mukmin?" pertanyaan itupun telah lama berputar-putar dalam angan-angan Patih Matahun.
"Utang pati nyaur pati, Sunan Prawata, tunggulah kalau sudah tiba saatnya, apabila Kanjeng Adipati sudah mengetahui siapa pembunuh ayahnya, dan aku diperintahkan oleh Kanjeng Adipati untuk membalaskan dendamnya, aku akan bersedia membunuh Sunan Prawata dengan menggunakan keris Kyai Setan Kober, sebagai balasan atas terbunuhnya Pangeran Sekar Seda Lepen" desis Matahun perlahan, tetapi Patih Matahun menjadi terkejut ketika Adipati Jipang berkata kepadanya :"Apa yang kau ketahui tentang keris Kyai Setan Kober, paman Matahun?".
Lamunan Patih Matahun menjadi ambyar, pecah berserakan ketika ia ditanya oleh Adipati Jipang, dengan gugup iapun berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
"Paman Patih Matahun, apa yang kau ketahui tentang keris Kyai Setan Kober?" tanya Arya Penangsang sekali lagi.
"Ya Kanjeng Adipati, setahu saya keris Kyai Setan Kober atau biasa disebut orang sebagai keris Kyai Bronggot Setan Kober adalah sebuah keris milik Kanjeng Sunan Kudus yang luar biasa, sebuah pusaka yang wingit, jangankan orang yang tubuhnya tertusuk keris, hanya tergores seujung rambut saja, orang tidak akan mampu menyaksikan terbitnya matahari esok pagi" kata Patih Matahun.
"Ya, dan sekarang, keris ini sudah diberikan oleh Kanjeng Sunan Kudus kepadaku, dan keris Kyai Setan Kober sekarang telah menjadi sipat kandel Kadipaten Jipang dan nanti beberapa waktu lagi Jipang akan menjadi semakin kuat" kata Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Patih Matahun.
"Rangkud !" panggil Adipati Jipang.
"Ya Kanjeng Adipati" kata Rangkud.
"Kapan akan ada latihan para prajurit Jipang yang baru?" tanya Arya Penangsang.
"Besok pagi Kanjeng Adipati" kata Rangkud.
"Bagus, aku ingin lihat mereka, besok kau kumpulkan semua prajurit Jipang" demikian perintah Adipati Jipang
"Baik Kanjeng Adipati" jawab Rangkud.
"Aku ingin berbicara dihadapan prajurit Jipang" kata Arya Penangsang.
(bersambung)

3 comments:

  1. Saya pembaca tulisan anda dari group WA, sampai bab 45. Sangat luar biasa, saya berusaha cari tulisan ini dan baru sekarang ketemu. Dan saya harap ini asli tulisan anda, karena banyak sekali blog yang sama. Entah siapa yang up load ulang karya orang... saya menghormati penulis... teruslah berkarya.


    Pencipta akan terus mencipta, pembajak selamanya akan terus membajak.


    Salam Literasi.

    Mudji Isa
    Pebulis : GARUDEYA Jejak Majapahit Yang Hilang
    IG : @mudjiisa
    Bassist : d'rumus

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dari episode 1 sampe episode 30 an kalo g salah sdh d upload sejak thn 2014 oleh pengarang yg sama d blog yg berbeda...

      Delete