02 January 2019

SETAN KOBER 77

SETAN KOBER 77
Karya : Apung Swarna

Beberapa orang prajurit telah meletakkan senjata yang mereka bawa, tombak maupun pedang pendek, lalu merekapun membuka bungkusan yang berisi bekal yang telah mereka bawa dari kotaraja Pajang.
Seorang prajurit yang merasa lapar makan dengan lahapnya :"Enak sekali aku makan siang ini, mudah-mudahan setelah perang melawan Jipang telah selesai, aku masih bisa makan enak seperti ini"

Disebelahnya, ia melihat seorang prajurit melotot kepadanya, lalu iapun berkata :"Kenapa kau melotot kepadaku"

Temannya tidak menjawab, ia mengambil bumbung yang berisi air, lalu iapun meminumnya.
"Hm agak seret nasi ini masuk di kerongkonganku" katanya setelah ia selesai mendorong nasi itu dengan air yang diminumnya.
Prajurit itu tidak menjawab, iapun meneruskan makan bekalnya yang tertunda.
Ketika para prajurit Pajang sedang makan dan beristirahat, pada saat itu di Sela, Pemanahan telah selesai memilih lima ratus orang Sela, yang akan diberangkatkan menuju ke Jipang.
Belasan orang laskar Sela yang mempunyai kelebihan dalam olah kanuragan, telah berkumpul di pendapa, disana telah duduk Ki Ageng Sela bersama Nis Sela, Pemanahan, Juru Martani dan Sutawijaya.
Dihadapan belasan orang laskar Sela, Pemanahanpun berkata :"Meskipun pakaian laskar Sela bukan pakaian seorang pajurit, tetapi kemampuan perorangan kalian tidak kalah dari kemampuan seorang prajurit".
"Lusa kita berangkat ke hutan di sebelah barat bledug Kuwu, nanti kita akan bergabung dengan prajurit Pajang yang sekarang masih dalam perjalanan menuju kesana, mereka dipimpin oleh Ki Penjawi" kata Pemanahan.
Keesokan harinya, dihalaman rumah Ki Ageng Sela, Juru Martani sedang berbincang dengan Sutawijaya dan beberapa orang laskar Sela, mereka membicarakan persiapan untuk keberangkatan laskar Sela besok pagi.
"Tiang bendera untuk kesatuan prajurit Wira Tamtama, Wira Yudha, Wirabraja dan Wira Manggala sudah selesai dibuat ?" tanya Juru Martani kepada salah seorang laskar Sela.
"Sudah Ki" kata seorang laskar dari Sela.
"Yang paling panjang, untuk tiang bendera Gula Kelapa, juga sudah selesai ?" Jawab orang itu.
"Sudah Ki" kata laskar Sela.
"Ada berapa ekor kuda beban dan pedati yang memuat beras dan jagung yang akan kita bawa ?" tanya Juru Martani.
"Selama beberapa hari, dimulai esok pagi, kuda beban yang berangkat semuanya sepuluh ekor dan sebuah pedati, serta sepuluh orang juru adang menuju hutan didekat bledug Kuwu, selain itu, sepuluh ekor kuda beban lainnya akan terus berjalan menuju perbatasan Kadipaten Jipang." jawab seorang laskar Sela.
"Ya" kata Juru Martani, kemudian Ki Juru melihat kearah Sutawijaya, dan dilihatnya ditangan Sutawijaya telah tergenggam landeyan tombak yang ujungnya akan dipasang bilah tombak pusaka Kasultanan Pajang, Kyai Pleret.
Landeyan itu berukuran agak panjang, landeyan kesayangan Sutawijaya yang selalu dipakai untuk permainan sodoran.
"Wa Juru, landeyan ini yang sering aku pakai ini kuat sekali, terbuat dari kayu walikukun, berat dan panjangnya seimbang, enak dipakai untuk bermain sodoran" kata Sutawijaya kepada pemomongnya, Juru Martani.
"Ya, anggap saja ini sebuah permainan sodoran, siapapun lawanmu nanti di peperangan. Kau harus bisa melukai lawanmu dengan tombak pusaka Kyai Pleret, bukan hanya dengan tombak tumpul yang ujungnya terbuat dari kayu bulat sebesar buah manggis" kata Juru Martani.
"Ya wa, mudah-mudahan aku bisa mengalahkan lawanku, siapapun dia" kata Sutawijaya.
"Kau adalah keturunan darah Sela, cucu buyut Ki Ageng Sela, kau jangan mengecewakan eyang buyutmu" kata Juru Martani.
Sutawijaya menganggukkan kepalanya, ia bertekad tidak akan mengecewakan keluarga Sela, ia harus berperang dengan menggunakan ketrampilan dan kemampuannya yang tertinggi.
Pembicaraan mereka terhenti ketika beberapa orang yang berjalan memasuki halaman dengan menuntun beberapa ekor kuda yang akan dipakai untuk berperang melawan Jipang.
Sutawijaya kemudian memandang kuda-kuda yang dituntun memasuki regol, dan dibawa ke belakang halaman.
"Berapa ekor kuda yang akan dibawa perang ke Jipang wa Juru ?" Tanya Sutawijaya.
"Lima ekor kuda" jawab Juru Martani.
"Kudaku jangan lupa dibawa juga ke Jipang wa Juru, kuda gagah berwarna coklat, kuda jantan itu larinya kencang, nanti aku akan naik kudaku yang berwarna coklat itu." kata Sutawijaya.
Sesaat Juru Martani memandang ke arah Sutawijaya, tetapi kemudian Ki Jurupun berkata :"Ya".
Sutawijaya memandang tajam kearah beberapa kuda yang dituntun ke halaman belakang.
"Kenapa dua ekor kuda betina itu juga dibawa kebelakang wa ? Apakah kuda-kuda betina itu akan dibawa ke Jipang ?" tanya Sutawijaya.
"Ya, besok kuda itu dibawa ke Jipang, bersama beberapa kuda jantan lainnya" jawab Juru Martani.
"Kenapa dua ekor kuda betina itu harus dibawa ke Jipang wa, di kandang kuda yang berada di belakang, kita masih mempunyai beberapa kuda jantan yang gagah" kata Sutawijaya.

"Kuda betina itu hanya untuk cadangan, karena ....he Sutawijaya, kita harus segera memasang pancasula Kyai Wajra di ujung tiang bendera Gula Kelapa, ayo kita pasang di pendapa" kata Juru Martani, dan tanpa menunggu jawaban Sutawijaya, Juru Martanipun berjalan menuju pendapa dan terus berjalan masuk ruang dalam, mengambil pancasula Kyai Wajra, lalu dibawanya kembali ke pendapa.
Sutawijaya mengikuti langkah Juru Martani menuju pendapa, lalu iapun segera mengambil tiang bendera yang telah dipersiapkan untuk bendera Gula Kelapa.
"Apakah ujung tiangnya sudah diberi lobang ?" tanya Juru Martani.
"Sudah wa, tinggal memberi lilitan kain, supaya pesi tombaknya erat melekat di ujung tiang bendera" kata Sutawijaya.
Juru Mertani membuka tutup tombak pancasula Kyai Wajra, lalu mengambil secarik kain putih yang berukuran lebar sejari dan panjang dua jengkal, kemudian kain putih itupun dililitkan pada pesi tombak dan dimasukkan pada lobang yang telah dibuat di ujung tiang, dan dengan sedikit menekan bersamaan dengan diputarnya bilah pancasula, maka pesi Kyai Wajra masuk dan terikat erat pada ujung tiang bendera.
"Sudah erat wa Juru" kata Sutawijaya.
"Ya, tutup bilahnya aku pasang dulu" kata Juru Martani, lalu iapun memasang tutup bilah pancasula Kyai Wajra.
"Sudah, sekarang kau masukkan tiang bendera ini diploncon yang berada diruang dalam" kata Juru Martani.
"Baik wa Juru" kata Sutawijaya, lalu iapun masuk ke ruang dalam dan memasukkan tiang bendera itu di ploncon yang masih kosong.
Setelah itu Sutawijaya turun ke halaman belakang, melihat beberapa orang yang sedang memberi makan kuda jantan dan betina yang akan dibawa besok pagi ke Jipang.
"Tadi wa Juru belum menjawab pertanyaanku, kenapa dua ekor kuda betina ini ikut dibawa ke Jipang ?" tanya Sutawijaya dalam hati.
Sementara itu ketika laskar Sela sedang mempersiapkan keberangkatannya ke Jipang besok pagi, saat itu di dalem Kadipaten Jipang Panolan, Adipati Jipang, Arya Penangsang sedang menerima laporan dari Patih Matahun.
"Jadi Panembahan Sekar Jagad tiga hari lagi akan singgah di Jipang ?" tanya Arya Penangsang.
"Betul Kanjeng Adipati, kakang Panembahan Sekar Jagad tiga hari lagi dalam perjalanan dari Lasem, akan singgah dan menginap di Jipang" kata Patih Matahun.
"Tiga hari lagi, tepat puasaku sudah memasuki hari terakhir paman, itu adalah hari ke empat puluh, tidak terasa aku kuat menjalankan semua perintah guruku, Bapa Sunan Kudus" kata Penangsang.
"Ya Kanjeng Adipati, ternyata Kanjeng Adipati sekarang sudah menjadi semakin sabar" kata Patih Matahun.
Arya Penangsangpun mengangguk anggukkan kepalanya, ia juga merasa heran, mengapa sekarang dirinya bisa menjadi semakin sabar.
"Dimana adikku Arya Mataram ?" tanya Adipati Jipang.
"Berlatih olah kanuragan bersama Nderpati di tepi bengawan Sore, Kanjeng Adipati" jawab Patih Matahun.
"Hm anak itu harus lebih sering berlatih ilmu kanuragan, ilmunya dari dulu tidak pernah mengalami kemajuan" kata Arya Penangsang.
"Ya, sepertinya saat ini Nderpati telah dapat melampaui ilmu kanuragan Raden Mataram, Kanjeng Adipati" kata Patih Jipang itu.
"Pemalas !. Mulai saat ini Arya Mataram harus lebih sering berlatih ilmu kanuragan" guman Adipati Jipang.
Hari itu tidak terjadi kejadian apapun, tidak ada perstiwa yang mengejutkan di Kadipaten Jipang, semuanya berjalan wajar, seperti biasanya.
Siang telah berganti menjadi malam, bumi Jipang yang terang telah berubah menjadi gelap, malampun menjadi sepi, hanya terdengar suara cengkerik yang tidak terputus, diselingi suara lolongan anjing hutan yang tidak terlalu jauh dari dalem kadipaten.
"Hm tidak biasanya anjing hutan sampai mendekati rumah ini" gumam Arya Penangsang yang ternyata belum tidur.
Ketika waktu telah memasuki tengah malam, suara kentongan yang ditabuh dengan nada dara muluk telah terdengar diseluruh Jipang Panolan, maka Arya Penangsang pun telah tertidur lelap.
Pagi harinya, ketika sinar matahari pagi menyentuh bumi Jipang, maka Arya Penangsang berjalan-jalan disekitar dalem Kadipaten jipang, tanpa menyadari Kadipaten Jipang beberapa saat lagi akan diterkam oleh gabungan prajurit Pajang bersama laskar dari Sela.
Siang itu, kesibukan di Sela telah meningkat, sepuluh orang juru adang yang menuntun sepuluh ekor kuda beban dan sebuah pedati, tadi pagi telah diberangkatkan ke hutan disebelah barat bledug Kuwu, ditambah dengan sepuluh ekor kuda yang dituntun langsung menuju perbatasan Jipang Panolan.
Lima ratus orang dari Sela, telah memenuhi jalan-jalan disekitar dalem Ki Ageng Sela, siap diberangkatkan ke Jipang.
Di pendapa, telah berkumpul Ki Ageng Sela, Nis Sela, Pemanahan, Juru Martani dan Sutawijaya.
Pemanahanpun berpamitan kepada ayah dan eyangnya, karena ia segera akan berangkat mengikuti sayembara, membunuh Arya Penangsang.
"Hati-hati cucuku Pemanahan, kau harus waspada, tetapi aku percaya kepada rencana Juru Martani, mudah-mudahan yang direncanakan bisa berhasil semuanya" kata Ki Ageng Sela.
"Ya Eyang, saya mohon pamit, saya segera berangkat ke Jipang bersama lima ratus laskar Sela" kata Penangsang.

"Ya, hati-hatilah Pemanahan cucuku, waspadalah menghadapi orang-orang Jipang, terutama menghadapi Adipati Jipang Arya Penangsang dan Patih Matahun yang berilmu tinggi" kata Ki Ageng Sela
"Ya eyang" jawab Pemanahan.
"Ayah, saya mohon pamit" kata Pemanahan kepada ayahnya Nis Sela.
"Ya, mudah-mudahan gabungan laskar Sela bersama prajurit Pajang bisa mendapat kemenangan" kata Nis Sela.
"Terima kasih ayah, saya berangkat sekarang" kata Pemanahan.
Setelah Pemanahan mundur, maka Juru Martanipun maju kedepan, disusul oleh cucu buyut Ki Ageng Sela yang belum dewasa penuh, Sutawijaya,
"Saya mohon pamit eyang Sela" kata Sutawijaya.
"Ya cucu buyutku Sutawijaya, berbuatlah sebaik-baiknya, jangan sekali-kali kau menganggap ringan lawanmu, turutilah semua perintah pemomongmu Juru Martani, semoga kau diberi kemenangan" kata Ki Ageng Sela.
Setelah itu Sutawijayapun mohon diri kepada kakeknya, Nis Sela.
"Ya, Sutawijaya kau jangan mengecewakan ayahandamu Sultan Hadiwijaya, lakukanlah yang terbaik di peperangan" kata eyangnya Nis Sela.
"Ya eyang" jawab Sutawijaya
Kemudian Pemanahan diikuti oleh, Juru Martani dan Sutawjaya yang menggenggam tombak Kyai Pleret, turun dari pendapa menemui beberapa orang pemimpin laskarnya yang berada di halaman.
Empat orang pimpinan laskar Sela adalah putra dari Nyai Gede Pakis Kidul, yaitu Wirataka, Wirasuta, Wiranala, dan Wiraseca segera berjalan maju menemui Pemanahan.
"Sebentar lagi kita berangkat" kata Pemanahan.
"Baik Ki" kata ke empat pimpinan laskar Sela itu bersamaan.
Di halaman depan pendapa telah bersiap empat ekor kuda jantan dan di tempat yang agak jauh juga telah bersiap dua ekor kuda betina, yang akan ikut berperang ke Jipang.
Pemanahan melihat ke atas, matahari sudah sedikit condong kebarat, dan laskar Sela yang sudah terbagi dalam belasan kelompok, sudah siap untuk diberangkatkan.
"Kita naik kuda" kata Pemanahan, lalu iapun segera naik di punggung seekor kuda, diikuti oleh ketiga orang lainnya.
"Mari kita berangkat, kelompok terdepan supaya berangkat sekarang juga" kata Pemanahan, lalu perlahan-lahan Pemanahan membawa laskar Sela bergerak kelompok demi kelompok menuju ke arah timur.
Laskar Sela yang mempunyai kemampuan olah kanuragan tak kalah dengan kemampuan seorang prajurit, telah berangkat perang dengan dada tengadah, mereka membawa senjata pendek maupun panjang, tak ketinggalan puluhan busur dan anak panah juga telah dibawanya pula.
Beberapa orang membawa tiang bendera untuk kesatuan prajurit, dan seorang laskar Sela terlihat membawa tiang bendera yang agak panjang, dan diujungnya terdapat pusaka Kasultanan Pajang, pancasula Kyai Wajra.
Di kelompok belakang, dua orang laskar Sela juga naik dua ekor kuda betina yang berjalan perlahan mengikuti langkah laskar yang menuju ke arah timur.
Mataharipun terus bergerak di langit, dan ketika matahari telah condong kebarat, Pemanahan telah sampai dihutan sebelah barat bleduk Kuwu.
"Kita cari keberadaan adi Penjawi" kata Pemanahan kepada Juru Martani.
"Ya, adi Penjawi berada disekitar hutan ini" jawab Juru Martani.
"Coba dua orang dari kalian berjalan agak jauh di depan" kata Pemanahan memerintahkan kepada laskarnya.
Dua orang segera berlari mendahului laskar Sela, lalu berjalan di bagian depan sambil mencari keberadaan prajurit Pajang yang diimpin oleh Ki Panjawi.
Laskar Selapun terus berjalan, dan tak lama kemudian tampaklah beberapa puluh orang sedang berkelompok dan beristirahat di hutan tipis di depan mereka.
"Itu adi Penjawi" kata Pemanahan ketika ia melihat Penjawi bersama Lurah Prayoga dan Lurah Prayuda sedang berdiri di depan para prajurit Pajang.
Penjawipun berjalan maju kedepan, menyongsong laskar Sela yang semakin mendekat.
"Laskar Sela sudah datang semuanya kakang Pemanahan ?" tanya Penjawi ketika melihat Pemanahan dan kedua orang lainnya telah turun dari kuda.
"Sudah, semua kelompok sudah berada dibelakangku, bagaimana dengan para prajurit Pajang, apakah sudah lengkap semuanya ?" kata Pemanahan
"Belum, masih ada dua kelompok yang belum datang, mudah-mudahan sebentar lagi mereka akan tiba disini" kata Penjawi.
Ketika lembayung senja hampir menghilang, datanglah dua kelompok terakhir para prajurit Pajang.
"Sekarang semuanya sudah lengkap kakang Pemanahan, kesatuan Wira Tamtama, Wirabraja, Wira Yudha, dan Wira Manggala" kata Penjawi.
"Baik, kita bermalam disini, besok pagi kita berangkat menuju Jipang, Wirataka, Wirasuta, Wiranala, dan Wiraseca, kau perintahkan semua laskar Sela untuk beristirahat" kata Pemanahan.
"Baik Ki" kata ke empat orang itu, lalu merekapun kemudian berjalan berkeliling, memerintahkan semua laskar Sela untuk beristirahat.

Malam itu, setelah mendapat jatah makan malam, pasukan gabungan para prajurit Pajang dan laskar Sela, beristirahat serta bermalam dihutan yang tidak begitu lebat di dekat bleduk Kuwu
Ratusan orang prajurit Pajang maupun laskar Sela bertebaran di dipinggir hutan Kuwu.
Untuk menahan dingin, puluhan orang berselimut kain panjang, mereka berusaha untuk bisa tidur.
"Besok pagi kita masih belum mulai berperang, baru besok lusa kita berhadapan dengan prajurit Jipang" kata seorang prajurit Pajang.
Prajurit lainnya yang diajak berbicara tidak menjawab, angan-angannya masih melayang ke keluarganya yang ditinggal di kotaraja Pajang.
"Mudah-mudahan aku bisa kembali selamat ke kotaraja Pajang" kata prajurit itu.
"Hm perang, kenapa penyelesaian suatu masalah harus dengan sebuah peperangan ?" guman prajurit itu.
Malampun telah berakhir, dan pada keesokan harinya, di pagi yang sejuk, gabungan prajurit Pajang dan laskar dari Sela meneruskan perjalanan, bergerak maju ke Jipang.
Mataharipun memanjat langit semakin tinggi, dan setelah melewati bleduk Kuwu, terlihat Lurah Kastawa dengan tergesa-gesa menghadap ke Pemanahan.
"Ada apa Ki Lurah Kastawa ? Apakah ada yang penting ?" tanya Pemanahan.
"Ya ki, di barisan belakang, ada dua orang yang mencurigakan, mereka mengamati gerakan pasukan dan mengikuti kita beberapa ratus langkah, setelah kami kejar dengan menggunakan kuda, mereka tertangkap dan mereka mengaku rumahnya di Kuwu, akan pergi ke ladang mengambil buah kelapa" kata Lurah Kastawa.
"Ki Lurah Prayoga, coba kau berhentikan pasukan sebentar, aku akan tanya dulu orang-orang yang mencurigakan ini, Ki Lurah Kastawa, bawa kemari kedua orang itu" kata Pemanahan.
Lurah Prayoga kemudian berteriak menghentikan gerak maju pasukan Pajang, sedangkan Lurah Kastawa melangkah pergi ke arah belakang pasukan, dan tak lama kemudian Lurah Kastawa datang lagi dengan membawa dua orang yang terikat kedua tangannya.
"Ini dua orang yang telah kami tangkap Ki" kata Lurah Kastawa.
"Siapa namamu ki sanak" tanya Pemanahan kepada dua orang tawanan itu.
"Nama saya Sampe" kata salah seorang yang terikat tangannya.
"Yang seorang lagi, siapa namamu ?" tanya Pemanahan.
"Nama saya Semi" kata tawanan yang satu lagi.
"Kenapa kau mengikuti pasukan kami ?" tanya Pemanahan.
"Kami berdua tidak mengikuti pasukan ini Ki, kami berdua akan mengambil beberapa buah kelapa" kata orang itu.
"Kau orang Jipang ?" tanya Juru Martani.
"Bukan Ki, saya orang Kuwu, rumah saya disini, disekitar daerah sini" kata orang itu.
"Kuwu termasuk daerah Sela, kalian pasti mengenal orang-orang Sela, kalian berdua mengenal aku ?" tanya Pemanahan.
"Kenal, Ki Pemanahan, cucu Ki Ageng Sela yang sekarang berada di Pajang" kata salah seorang yang terikat tangannya.
"Bagus, kau betul, namaku memang Pemanahan" kata Pemanahan sambil menganggukkan kepalanya, tidak heran orang itu mengenalnya karena setiap orang disekitar Sela maupun orang yang pernah berada di kotaraja Pajang pasti mengenalnya.
"Kau kenal aku ? Siapakah namaku ?" tanya Juru Martani.
"Ki Juru Martani" jawab keduanya.
"Bagus, kau betul, namanya memang Ki Juru Martani" kata Pemanahan, dan sesaat kemudian Pemanahan melambaikan tangannya, memanggil dua orang pemimpin laskar Sela, Wiranala dan Wirasuta supaya mendekat ke arahnya.
Setelah Wiranala dan Wirasuta berada didekatnya, maka Pemanahanpun bertanya :"Kalian kenal dengan kedua orang ini ? Ini adalah dua orang pimpinan laskar Sela, kalau kalian orang Kuwu, kalian pasti mengenalnya"
Kedua orang tawanan itu tidak bisa menjawab, dan Pemanahanpun berkata :"Tahan mereka !!. Mereka berdua adalah prajurit sandi Jipang, ikat mereka berdua di belakang, suruh mereka mengikuti pasukan ini sampai pekerjaan kita selesai".
Ki Lurah Kastawa lalu membawa kedua tawanan itu ke barisan yang ada di belakang.
"Kita meneruskan perjalanan" kata Pemanahan, dan beberapa saat kemudian, pasukan Pajangpun kembali bergerak maju menuju Jipang.
Gerak maju pasukan Pajang berjalan lancar dan ketika matahari telah condong kebarat, merekapun telah memasuki tlatah Jipang.
"Ini wilayah Jipang" kata Juru Martani.
"Ya, kita sudah memasuki daerah Kadipaten Jipang" kata Pemanahan.
"Mudah-mudahan pasukan sandi Jipang yang lainnya tidak melihat gerakan prajurit kita" kata Penjawi.
"Pasukan sandi Jipang biasanya berada di kotaraja Pajang, jarang yang berada dihutan seperti ini" kata Juru Martani.
"Apalagi kita semuanya berjalan berkelompok dan selalu lewat dipinggir hutan" kata Penjawi.
Pemanahan menanggukkan kepalanya, kemudian iapun berkata :"Ya, kecuali kalau kita kebetulan berpapasan dengan mereka, seperti dua orang prajurit sandi Jipang yang telah kita tangkap tadi"

Merekapun berjalan terus, tak lama kemudian mereka melihat, didepan mereka ada beberapa ekor kuda yang sedang beristirahat, kuda itu membawa beban berupa bahan pangan yang telah dibawa dari Sela.
"Itu kuda-kuda kita" kata Penjawi, lalu iapun memerintahkan kepada orang-orang yang menuntun kuda-kuda yang memuat bahan pangan itu untuk berjalan terus.
Pasukan gabungan Pajang dan Sela terus berjalan, dan ketika matahari telah condong ke barat, Pemanahanpun menghentikan kudanya :"Kita jangan terlalu dekat dengan dalem Kadipaten Jipang, kita sebaiknya berhenti dan bermalam disini, besok pagi kita langsung bergerak dalam gelar perang menuju tepi barat Bengawan Sore".
"Ki Lurah Prayoga dan Wiranala, kalian perintahkan semua pasukan untuk bermalam disini" kata Pemanahan.
"Baik Ki" kata kedua orang itu, kemudian keduanya memerintahkan semua pasukan untuk beristirahat dan bermalam di tempat itu.
Ketika malam merayap semakin dalam, bulanpun masih belum bulat, di pinggir hutan yang biasanya sepi, kali ini dipenuhi oleh pasukan gabungan para prajurit Pajang dan laskar dari Sela.
Ribuan bintangpun berkelip diatas hutan tanpa menghiraukan apa yang akan terjadi esok hari di tepi Bengawan Sore.
Dipinggir hutan, ratusan prajurit dan laskar dari Sela tidur berselimut kain panjang, menahan dingin di bumi Jipang yang terasa sampai menusuk tulang.
"Dingin sekali udara di hutan ini" kata seorang prajurit.
Temannya, seorang prajurit yang berbaring disebelahnya tidak berkata apapun juga.
Ketika semburat merah terlihat semakin jelas di langit sebelah timur, dan lintang panjer rina juga telah mulai menampakkan dirinya semakin terang, jauh lebih cemerlang dibandingkan dengan ribuan bintang lainnya.
Bumi Jipangpun terbangun, para petani telah banyak yang berangkat ke sawah, dan di hutan yang berada tidak jauh dari mereka, ratusan laskar Sela dibantu ratusan prajurit Pajang, telah bersiap untuk menyerang Jipang.
"Kita berangkat nanti setelah matahari agak tinggi, kita menuju Bengawan Sore" kata Pemanahan kepada Lurah Prayoga.
"Ki lurah, sekarang kumpulkan semua pimpinan prajurit Pajang dan pimpinan laskar Sela" perintah Pemanahan.
"Baik Ki" kata Lurah Prayoga.
Sesaat kemudian, Lurah Prayoga segera mengumpulkan semua lurah prajurit maupun pemimpin kelompok laskar Sela,
Tak beberapa lama, semua pimpinan laskar Sela maupun lurah prajurit Pajang telah berkumpul dihadapan Pemanahan, Penjawi, Juru Martani dan Sutawijaya.
"Para lurah prajurit dan pimpinan laskar Sela, kita persiapkan gelar perang Garuda Nglayang mulai dari sekarang, aku nanti yang akan menjadi Senapati Agung berada diinduk pasukan bersama Sutawijaya, Ki Lurah Sakri dan Ki Lurah Kastawa, nanti di sayap kiri gelar Garuda Nglayang, Ki Penjawi sebagai senapati pengapit kiri, dibantu oleh Ki Lurah Prayoga, Wirataka, dan Wirasuta, sedangkan di sayap kanan Ki Juru Martani sebagai senapati pengapit kanan, dibantu oleh Ki Lurah Prayuda, Wiranala, dan Wiraseca" kata Pemanahan.
"Para prajurit Wira Tamtama sebagian akan mengawal bendera Gula Kelapa, sedangkan sebagian lagi bersama prajurit Wira Manggala melapis prajurit yang berada paling depan, prajurit Wira Yudha" kata Pemanahan selanjutnya.
"Para prajurit Wirabraja yang bersenjata tombak, masing-masing lima belas orang bersiap di induk pasukan, di sayap kanan maupun kiri bersiap menghadapi kakak seperguruan Matahun, Panembahan Sekar Jagad, kalau orang itu berada di peperangan" kata Pemanahan.
"Kita tidak mengetahui dimana Panembahan Sekar Jagad berada, kalau ia berada di salah satu sayap pasukan Jipang, maka pasukan Wirabraja yang lainnya, yang tidak melawan Panembahan kita persiapkan untuk melawan patih Matahun" kata Pemanahan selanjutnya.
"Hati-hati, patih Jipang yang telah tua itu berilmu tinggi" kata Pemanahan.
"Apa yang akan kau tanyakan Ki Lurah Prayoga" kata Pemanahan ketika melihat Lurah Prayoga seperti akan bertanya.
"Bagaimana dengan Senapati Agung pasukan Jipang, siapa yang akan menjadi lawan Arya Penangsang ?" tanya Lurah Prayoga.
"Tentu menjadi kuwajibanku sebagai Senapati Agung Pajang untuk melawan Arya Penangsang" kata Pemanahan.
"Nanti sebelum tengah hari, kita berangkat ke tepi Bengawan Sore yang sudah tidak jauh lagi" kata Pemanahan.
Mataharipun memanjat semakin tinggi, dan ketika Pemanahan merasa waktunya sudah tiba, maka iapun segera memerintahkan semua pasukan untuk berangkat menuju tepi Bengawan Sore, di arah jalan yang menuju dalem Kadipaten Jipang.
Empat orang Lurah prajurit dan empat orang pimpinan laskar Sela segera mengatur keberangkatan semua pasukan, dan kelompok demi kelompok, pasukan Pajangpun segera bergerak ke arah dalem kadipaten Jipang.
Ketika pasukan Pajang sedang bergerak maju, saat itu di ruang dalam Kadipaten Jipang, Arya Penangsang yang tidak menyadari akan datangnya bahaya yang mengancam dirinya, sedang tersenyum menerima tamu, kakak seperguruan Patih Matahun yang berilmu tinggi, Panembahan Sekar Jagad dari lereng gunung Lawu bersama dua orang cantriknya.
"Silahkan duduk Panembahan" kata Arya Penangsang kepada tamunya.
"Terima kasih Kanjeng Adipati" jawab Panembahan Sekar Jagad.
(bersambung)

1 comment:

  1. Kiyai fatulloh main togel juga ? Bukan main..tapi aneh..

    ReplyDelete