16 January 2019

KERIS KYAI SETAN KOBER 32

KERIS KYAI SETAN KOBER 32
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 12 : PENDADARAN PRAJURIT PAJANG1
Ketika pagi hari itu di Kadipaten Jipang, para prajurit Wira Manggala sedang sibuk berkeliling diseluruh Jipang, serta mempersiapkan acara pasewakan yang pertama, di Kadipaten Pajang di ruang dalam, Adipati Hadiwijaya sedang berbincang dengan para nayaka praja Kadipaten Pajang.
Adipati Hadiwijaya duduk dikursi, dan dihadapannya duduk dibeberapa dingklik pendek, semua nayaka praja Kadipaten Pajang ditambah Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela yang saat itu masih berada di Pajang. 
"Kakang Pemanahan, bagaimana dengan rencana peresmian pembentukan prajurit Pajang?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Peresmian prajurit akan kita adakan tiga hari hari lagi Kanjeng Adipati, Prajurit yang lulus pendadaran semuanya dua ratus empat puluh orang, sedangkan saat ini senjata kita hanya seratus buah pedang pendek dan dua puluh buah mata tombak" kata Ki Pemanahan.
"Baik, nanti dibagi menjadi dua kesatuan, masing-masing terdiri dari seratus orang bersenjata pedang pendek, sedangkan yang dua puluh orang menjadi prajurit bersenjatakan tombak, sisanya dua puluh orang nanti akan dilatih secara khusus untuk menjadi pasukan sandi, pasukan telik sandi Kadipaten Pajang" kata Adipati Hadiwijaya. 

"Sedangkan setiap seratus prajurit masing-masing mendapat lima puluh buah pedang, sambil menunggu senjata yang kita pesan dari pande besi dari desa Butuh dan pande besi dari Banyubiru" kata Sang Adipati.
"Ya Kanjeng Adipati, hanya mata tombaknya belum ada landeyannya" jawab Pemanahan.
"Segera akan kita buatkan landeyannya, dan nanti kedua kesatuan prajurit itu yang seratus orang dipimpin oleh Penatus Pemanahan, dan yang seratus lagi akan dipimpin oleh Penatus Penjawi" kata Adipati Hadiwjaya. 
"Baik Kanjeng Adipati" kata Ki Pemanahan.
"Sedangkan yang dua puluh orang pasukan yang bersenjatakan tombak dan dua puluh pasukan telik sandi akan dilatih oleh Wenang Wulan” kata Adipati Pajang.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan
"Selanjutnya, Patih Mancanegara, aku akan pergi ke Tingkir sekarang, disana aku akan menginap semalam dan besok aku akan pulang kembali ke Pajang, selama aku tidak ada di tempat, kau bersama nayaka praja yang lain, dan bekerja sama dengan pasukan Wira Manggala dibawah pimpinan Ki Lurah Wasana menjaga ketenteraman tlatah Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
"Kalau ada persoalan yang sangat penting, susul aku ke Tingkir" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik, Kanjeng Adipati" kata Patih Mancanegara.
"Wenang Wulan, kau ikut aku ke Tingkir, siapkan kudanya, kita berangkat sekarang" kata Adipati Hadiwijaya. 
"Baik, Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
Adipati Hadiwijayapun segera membubarkan pertemuan, lalu iapun masuk ke kamar mengambil keris kyai Naga Siluman, dipakai dilambungnya, di sebelah depan kiri, lalu iapun keluar ke halaman belakang.
Dihalaman belakang dilihatnya beberapa nayaka praja, dan di dekatnya telah siap Wenang Wulan bersama dua ekor kuda, sesaat kemudian adipati Hadiwijayapun kemudian naik kepunggung kuda diikuti oleh Wenang Wulan.
"Aku berangkat sekarang" kata Adipati Hadiwijaya.
"Hati-hati Kanjeng Adipati" kata Pemanahan
Hadiwijaya mengangguk, dan dengan perlahan-lahan ia menggerakkan kudanya maju kedepan, dan setelah agak jauh, bersama Wenang Wulan ia melarikan kudanya menuju ke desa Tingkir. 
Debu mengepul dari dua ekor kuda yang berlari tidak begitu kencang, suasana pagi yang cerah di tlatah Pajang, dan terlihat beberapa kali berpapasan dengan orang yang berjalan berlawanan arah. Di beberapa tempat ada beberapa orang membuka lahan untuk dibangun rumah, mereka menebang beberapa pohon.
Menyaksikan hal tersebut Adipati Hadiwijaya berniat singgah sejenak, maka iapun mengajak Wenang Wulan untuk menghentikan kudanya.
Wenang Wulanpun turun dari kudanya, lalu mendekati orang yang sedang bekerja, kemudian iapun memperkenalkan orang yang berkuda bersamanya adalah Adipati Pajang, Hadiwijaya.
"Ya, kami sudah tahu" kata orang itu.
"Dari mana kalian tahu?" tanya Adipati Hadiwijaya. 
"Kami kemarin ikut melihat pasewakan, meskipun kami hanya diluar Sasana Sewaka" kata orang yang sedang bekerja menebang pohon. 
"Siapa namamu?" tanya Sang Adipati.
"Wage, Kanjeng Adipati" jawab orang itu
"Kau sudah lama mbabat alas Wage?" 
"Baru dua pasar Kanjeng Adipati" jawab Wage.
"Kau berasal dari mana?" 
"Disebelah Gunung Tidar Kanjeng Adipati" jawab Wage
"Ya, semoga kau kerasan disini, ajak teman-temanmu untuk pindah ke Pajang" kata Adipati Pajang.
"Baik Kanjeng Adipati"
Setelah itu Adipati Hadiwijaya mengajak Wenang Wulan untuk meneruskan perjalanan. Ketika mereka melihat ada beberapa orang yang juga sedang bekerja babat alas, maka sekali lagi Adipati Hadiwijaya mengajak Wenang Wulan untuk singgah sebentar.
"Darimana kalian?" tanya Kanjeng Adipati.
"Dari Gunung Kidul, Kanjeng Adipati" jawab orang itu
"Kenapa kau pindah ke Pajang?"
"Tanah di Pajang lebih subur dari tanah di Gunung Kidul, Kanjeng Adipati" kata orang yang sedang membersihkan pepohonan.
Hadiwijaya menganggukkan kepalanya dan iapun berkata:"Ajak saudara atau temanmu pindah ke Pajang"
Demikianlah Adipati Hadiwijaya beberapa kali berhenti, menyapa rakyatnya yang mulai banyak berdatangan, pindah ke Pajang. Kedua kuda itu masih terus berlari, jalan dari Pajang ke Tingkir yang sedikit menanjak bisa dilaluinya dengan mudah.
Dua ekor kuda itu terus berlari dengan kecepatan sedang, menuju desa Tingkir, tak lama kemudian sampailah mereka di jalan simpang, ada sebuah pertigaan, jalan yang kekiri menuju ke Pengging, sedangkan jalan yang lurus menuju ke desa Tingkir atau bisa terus sampai ke Banyubiru. Kedua ekor kuda itu berlari lurus, beberapa kali mereka menyeberangi beberapa sungai kecil yang melintang di jalan, sekali sekali mereka melihat ke gunung Merapi yang terlihat gagah, tegak disebelah kirinya.
Adipati Hadiwijaya dan Wenang Wulan masih melarikan kudanya, dan tak lama kemudian didepan mereka ada sebuah pertigaan lagi, jalan yang kekanan menuju Sima, sedangkan jalan yang lurus menuju ke desa Tingkir dan mereka berduapun mengambil jalan yang lurus, melarikan kudanya kearah desa Tingkir.
Mataharipun semakin tinggi, menjelang tengah hari mereka telah sampai di batas desa Tingkir, kecepatan kudanyapun dikurangi, sebentar lagi mereka akan sampai ke rumah Nyai Ageng Tingkir. Sesaat kemudian kuda mereka berdua memasuki halaman rumah Nyai Ageng Tingkir, dan tampak di halaman, Suta dan Naya beserta Ganjur sedang menjemur gabah, 
Hadiwijaya bersama Wenang Wulan segera menghentikan kudanya, lalu merekapun turun dari punggung kuda, lalu Wenang Wulanpun mengikatkan tali kendali kudanya ke tonggak yang berada di sudut halaman. Ganjur bersama Suta dan Naya segera menghampiri Adipati Hadiwijaya, dan ketika mereka berada dihadapannya, merekapun berdiri dengan tangan ngapurancang.
"Selamat datang Kanjeng Adipati Hadiwijaya, selamat datang di desa Tingkir" kata Ganjur.
"Ah paman Ganjur, yang biasa saja, paman tahu namaku dari mana?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Dari bakul sinambi wara, ada beberapa orang yang singgah di desa Tingkir" kata Ki Ganjur.
"Ya paman, biyung sekarang dimana?"
"Dikamarnya, biyungmu sedang tidur" jawab Ki Ganjur.
"Ya. mari kita masuk kedalam, Wenang Wulan, mari kita ke pendapa" ajak Sang Adipati.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan. Kemudian mereka berlima berjalan menuju ke pendapa, Hadiwijaya duduk di amben, sedangkan yang lainnya duduk bersila dibawah. 
"Adi Suta, kau ambil buah kelapa muda untuk Kanjeng Adipati Hadiwijaya, ah sekarang bagaimana aku memanggilmu, Karebet?" tanya Ki Ganjur. 
"Paman sebaiknya memanggilku Hadiwijaya, itu adalah nama yang diberikan oleh Kanjeng Sultan Demak kepadaku" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik Hadiwijaya, nah adi Suta kau ambil dua butir kelapa muda" kata Ganjur kepada Suta. 
"Baik kakang Ganjur" kata Suta, lalu iapun segera bangkit dan berjalan turun ke halaman, untuk mencari buah kelapa muda. Setelah saling mengabarkan keselamatan masing-masing, lalu Ganjurpun bertanya :"Kau dari Demak atau dari Pajang, Hadiwijaya"
"Dari Pajang paman, berangkat tadi pagi" jawab Sang Adipati.
"Biyungmu sekarang sudah semakin pelupa, tadi pagi biyungmu sudah makan, eh baru saja biyungmu minta makan lagi, katanya belum makan, setelah makan, kemudian biyungmu tidur lagi" kata Ganjur.
"Ya paman, tidak apa-apa, biar saja, biyung memang sudah tua" kata Hadiwijaya.
Pembicaraan mereka terhenti ketika Suta datang dengan membawa dua butir kelapa muda yang sudah di paras dengan sebuah bendo.
"Air kelapanya diminum Hadiwijaya" kata Ganjur.
"Terima kasih paman" kemudian Adipati Hadiwijaya dan Wenang Wulanpun minum air kelapa muda yang telah disuguhkan oleh Suta.
"Paman Ganjur, paman Suta dan paman Naya, aku ada persoalan yang penting yang akan aku bicarakan dengan paman bertiga" kata Hadiwijaya, kemudian Ganjurpun segera menggeser tempat duduknya agak mendekat ke tempat Hadiwijaya yang sedang duduk di amben.
"Paman bertiga, beberapa hari lagi Kraton Demak akan punya gawe, besok akan ada pahargyan pengantin, pernikahan putri Sekar Kedaton, putri dari Kanjeng Sultan Trenggana" kata Hadiwijaya.
"Lalu pengantin laki-lakinya, kau atau orang lain Hadiwijaya?" tanya Ki Ganjur.
"Aku paman" kata Adipati Hadiwijaya sambil tersenyum.
Mendengar jawaban Hadiwijaya, Ganjurpun menggeleng-gelengkan kepalanya, heran atas perjalanan hidup kemenakannya, Karebet, yang bernasib sangat baik.
Diingatnya bagaimana ketika waktu itu ia bekerja di kotaraja Demak, di dalem Suranatan, suatu saat ia kedatangan kemenakannya, Karebet yang saat itu diantar oleh Suta dan Naya, lalu Karebet cepat sekali bisa menjadi prajurit Wira Tamtama, lalu meningkat menjadi seorang lurah prajurit, setelah beberapa bulan ia diusir dari kotaraja Demak, Karebetpun bisa kembali menjadi seorang Lurah Wira Tamtama, lalu tanpa diduga Karebet diangkat menjadi Adipati dan diberi nama Hadiwijaya.
"Sekarang malah Karebet akan menikah dengan putri Sekar Kedaton Kasultanan Demak, enak sekali" kata Ganjur dalam hati.
Melihat pamannya menggeleng-gelengkan kepalanya, Hadiwijayapun berkata :"Kenapa paman menggelengkan kepala?"
"Aku heran atas perjalanan hidupmu Karebet, eh Hadiwijaya" kata Ganjur.
"Heran kenapa paman?" tanya Adipati Pajang.
"Sejak kau datang ke kotaraja Demak, kau sering membuat aku bingung dan berdebar-debar, tetapi yang paling aku takuti adalah ketika kita menghadap Tumenggung Gajah Birawa yang badannya tinggi besar" kata Ganjur. 
"Tidak apa-apa Paman, Ki Tumenggung Gajah Birawa meskipun badannya tinggi besar seperti seekor gajah, tetapi hatinya baik" kata Hadiwijaya sambil tersenyum.
"Ya betul, Ki Tumenggung Gajah Birawa adalah orang yang tidak pernah marah" kata Ganjur.
"Ya paman, seorang Tumenggung yang baik hati dan tidak sombong" kata Adipati Hadiwijaya.
"Kau akan menginap disini Hadiwijaya?" tanya Ganjur.
"Ya paman, nanti malam aku menginap disini, besok pagi aku kembali ke Pajang" jawab Sang Adipati.
"Ya, menginaplah disini meskipun hanya semalam"
Hadiwijayapun diam sebentar, lalu iapun segera akan menyampaikan inti dari persoalannya datang ke Tingkir.
"Paman Ganjur masih kuat kalau naik kuda sampai ke kotaraja Demak?" tanya Hadiwijaya.
"Maksudmu bagaimana Hadiwijaya? Aku akan kau ajak ke kotaraja Demak?" tanya Ganjur.
"Aku hanya bertanya saja paman, apakah paman masih kuat kalau paman naik kuda ke kotaraja Demak?" tanya Adipati Pajang.
"Kuat, masih kuat, aku masih kuat menunggang kuda sampai ke kotaraja, kau juga tahu, beberapa candra yang lalu saja aku masih kuat berjalan kaki dari kotaraja Demak ke Tingkir" kata Ganjur.
"Aku hanya bertanya saja paman" kata Hadiwijaya.
"Tidak bisa, kau harus mengajak aku Hadiwijaya, aku harus ikut ke kotaraja, ikut acara pahargyan pengantin" kata pamannya. 
"Aku hanya ingin mengetahui saja, apakah paman masih kuat berkuda ke kotaraja, tidak ada maksud lain"
"Tidak bisa Hadiwijaya, aku harus kau ajak ke kotaraja, aku adalah wakil dari biyungmu" kata Ganjur.
"Nanti paman lelah, kita pergi hampir dua pasar paman, kita akan melaksanakan acara lamaran, setelah itu dilanjutkan pahargyan pengantin" kata Hadiwijaya.
"Dua pasar tidak apa apa, kalau cuma pergi selama dua pasar, badanku masih kuat, hari ini sejak pagi aku menjemur gabah, kalau kau tidak percaya, kau bisa bertanya kepada adi Suta dan adi Naya" kata pamannya. 
Hadiwijayapun menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Aku khawatir paman Ganjur tidak kuat kalau berkuda dari pagi sampai sore"
"Kuat. Aku masih kuat meskipun harus berkuda sehari penuh, aku ingin melihat kau jadi pengantin Karebet, eh Hadiwijaya" kata Ganjur.
"Baik, nanti paman aku ajak ikut pergi ke kotaraja, ditemani oleh paman Suta, sedangkan paman Naya ditinggal di Tingkir" kata Kanjeng Adipati.
"Baik Kanjeng Adipati, saya ikut ke kotaraja bersama kakang Ganjur" kata Suta menyanggupi.
"Sedangkan paman Naya nanti menyiapkan dua buah pedati, bersiap di pinggir hutan Sima, menjemput barang-barang yang akan dibawa dari kotaraja" 
"Kapan aku berangkat ke Sima?" tanya Naya.
"Nanti akan ada orang yang akan saya utus ke Tingkir, dan bersama paman Naya, pergi ke tepi hutan Sima, lalu membawa pedati yang berisi barang-barang dari Demak itu menuju ke Pajang"
"Lalu kapan aku berangkat bersama kakang Ganjur ke kotaraja?"
"Paman Suta berangkat sepasar hari lagi, langsung menuju Kadilangu menemui Kanjeng Sunan Kalijaga, nanti paman berangkat bersama utusan dari Pajang" kata Kanjeng Adipati.
"Aku menunggu sampai datang utusan dari Pajang?" tanya Suta.
Adipati Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, lalu Kanjeng Adipaipun berkata lagi :"Ya paman, nanti paman Suta membawa tiga ekor kuda yang membawa beban berisi padi dan hasil palawija lainnya"
"Berarti nanti ada enam ekor kuda?" tanya Suta.
"Ya, kita perlu lima ekor kuda dari Tingkir, nanti utusan dari Pajang sudah membawa kuda sendiri" 
"Baik, besok lusa aku persiapkan, dua ekor kuda untukku dan untuk kakang Ganjur, tiga ekor kuda lainnya akan diberi beban, lusa aku persiapkan juga belasan ikat padi dan palawija yang akan dibawa ke Demak" kata Suta.
Percakapan mereka yang berada di pendapa terhenti, ketika dari arah ruang dalam, didepan pintu berdiri seorang perempuan tua, yang semua rambutnya telah berwarna putih, sedang membetulkan rambutnya, mengkonde kebelakang meskipun hanya sebuah konde yang kecil karena rambutnya sudah banyak yang rontok.
"Ternyata ada tamu dua orang priyayi, Ganjur sudah kau bawakan air untuk minum tamu ini?" tanya perempuan tua itu.
"Itu biyungmu" kata pamannya, Ganjur.
Adipati Hadiwijaya berdiri lalu berjalan menghampiri Nyai Ageng Tingkir, memeluk biyungnya, memegang tangannya lalu menciumnya.
"Aku bukan tamu biyung, aku Karebet" kata Hadiwijaya.
"Karebet, Karebet, aku ingat sekarang, kau juga tinggal di desa Tingkir, Karebet?" tanya biyungnya.
"Aku Karebet biyung, aku anakmu, Karebet" kata Sang Adipati.
"Karebet? Anakku? Ya, aku punya anak, kau anakku Karebet" kata Nyai Ageng Tingkir, lalu iapun memeluk anaknya erat-erat dan dibasahinya dengan air mata.
"Karebet, kemana saja kau selama ini, sudah beberapa candra biyungmu kau tinggal sendiri, kau saja masih suka berjalan jauh naik ke gunung?"
"Ya biyung"
"Kau jangan pergi lagi Karebet, temani biyungmu yang sudah tua ini" kata biyungnya.
"Ya biyung"
"Yu, Karebet akan melamar gadis, Karebet akan menjadi pengantin" kata Ganjur.
"O ya" mata Nyai Ageng Tingkir berbinar-binar kegirangan ;"Nanti aku akan mempunyai seorang cucu, Karebet, prawan mana yang akan kau jadikan istri, prawan dari Tingkir? Atau Pengging? Atau dari Sima? Jangan khawatir Karebet, nanti biyungmu yang akan melamarkannya untukmu, padi kita masih banyak, lumbung kita selalu penuh, palawija kita juga masih banyak, rumah kita besar, nanti ajak istrimu tinggal disini, dan nanti setiap hari aku akan menggendong cucuku" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Ya biyung" kata Hadiwijaya.
"Kau makan dulu Karebet, kau pasti lapar" kata biyungnya, dan dengan tangannya yang sudah lemah, Nyai Ageng Tingkir menarik lengan Hadiwijaya masuk kedalam ruangan dalam.
"Ya biyung" kata Hadiwijaya, lalu iapun berkata kepada Wenang Wulan; "Paman Ganjur, Wenang, aku akan makan dulu"
"Silahkan Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
Nyai Ageng Tingkir bersama Hadiwijaya kemudian berjalan ke ruangan dalam, lalu biyungnyapun mengambilkan nasi dan sayur bayam ditambah sepotong ikan asin, lalu diletakkannya di amben yang ada di ruangan dalam.
"Makanlah dulu Karebet" kata biyungnya.
Adipati Hadiwijaya tidak mau mengecewakan biyungnya, maka iapun lalu makan makanan yang telah disediakan untuknya, disebelahnya, duduk biyungnya yang meladeninya makan, persis beberapa warsa yang lalu, ketika Nyai Ageng Tingkir yang saat itu badannya masih kuat, yang selalu memanjakan anak angkatnya, Karebet. 
"Karebet, kalau kau menjadi pengantin, aku ingin punya seorang cucu laki-laki" kata Nyai Ageng Tingkir, sambil tersenyum membayangkan ia telah mempunyai seorang cucu laki-laki.
"Ya biyung" kata Hadiwijaya sambil mengunyah nasi dan ikan asin.
"Cucu perempuan aku juga senang, nanti cucuku kalau sudah besar bisa membantuku di dapur" kata biyungnya.
"Ya biyung"
Setelah selesai makan, maka biyungnya membereskan semua peralatan makan, dan dibawanya kebelakang, maka Adipati Hadiwijayapun segera menuju ke pendapa lagi, menemui Ganjur yang masih menunggunya dengan duduk bersila.
"Paman, aku sudah disuruh makan" kata Adipati Hadiwijaya 
"Ya Hadiwijaya, nanti anakmas Wenang Wulan biar makan bersama saya" kata Ganjur.
"Paman bertiga, silakan kalau mau meneruskan pekerjaan menjemur gabah, aku akan disini dulu bersama biyung" kata Kanjeng Adipati.
"Ya, aku masih kuat bekerja dari pagi sampai sore" kata pamannya.
Demikianlah, sehari itu Nyai Ageng Tingkir seakan-akan tidak mau berpisah dengan anak angkat yang telah diasuhnya sejak berumur tiga tahun, yang selama ini telah dikasihinya dengan sepenuh hati.
Malam hari di desa Tingkir yang dingin, hampir tengah malam, Karebet saat itu belum tidur, hanya berpikir tentang biyungnya yang semakin tua, besok pagi kalau biyungnya melihatnya pulang ke Pajang, ia khawatir biyungnya akan terus menerus menangis sepanjang hari. Malam semakin larut, ketika dari jauh terdengar lamat-lamat suara kentongan yang ditabuh dengan irama dara muluk, maka Hadiwijayapun telah terbuai di alam mimpi tentang Sekar Kedaton. 
Ketika matahari mulai menampakkan dirinya di bang wetan, kabut tipis masih menyelimuti desa Tingkir yang tidak jauh dari kaki gunung Merbabu. Pagi itu penduduk desa Tingkir sudah memulai menggeliat bangun, pagi-pagi mereka telah membawa cangkul untuk bekerja di sawah dan ladang disekitar hutan Tingkir.
Nyai Ageng Tingkir, yang pagi itu tidak mau berpisah dengan anaknya Karebet, selalu mengikuti dibelakang kemanapun Hadiwijaya melangkah, dan ketika matahari sudah agak tinggi, kabut sudah menghilang dari atas tanah, Hadiwijayapun berkata perlahan kepada Ganjur dan Wenang Wulan :" Kita pulang nanti pada saat biyung tidur" 
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, Nyai Ageng Tingkirpun mengeluh pada anaknya ;" Kakiku lelah sekali Karebet"
"Ya biyung, biyung tidur saja, nanti aku yang akan memijat kaki biyung" kata Hadiwijaya.
Biyungnya kemudian berbaring di amben, dan anaknyapun perlahan-lahan memijat kakinya yang lelah.
"Kalau kau menjadi pengantin, dan aku punya cucu, akan kau beri nama siapa cucuku nanti Karebet?" kata biyungnya. 
"Nanti biyung saja yang memberi nama cucu biyung" kata Hadiwijaya.
Biyungnya tersenyum, seakan-akan dia sudah berhadapan dengan bayi yang mungil, cucunya yang akan diberinya sebuah nama.
"Pada waktu diberi nama, nanti akan aku buatkan bubur merah yang manis, bubur yang diberi gula aren yang cair" kata Nyai Ageng Tingkir
"Ya biyung" kata Hadiwijaya sambil terus memijat biyungnya, dan ketika ia melihat biyungnya memejamkan matanya, maka perlahan lahan Hadiwijaya berdiri dan melangkah keluar.
Ketika sampai dipintu, ia terkejut ketika mendengar suara :"Kau mau kemana Karebet, kakiku masih lelah"
"Tidak kemana-mana biyung" kata Hadiwijaya lalu iapun berbalik, kembali memijat biyungnya yang ternyata belum tidur.
"Kau pijat aku lagi Karebet" kata biyungnya pelan.
"Ya biyung, ini biyung sedang dipijat" kata Hadiwijaya sambil terus memijat kaki biyungnya.
Agak lama Hadiwijaya memijat kaki Nyai Ageng Tingkir, dan ketika terlihat biyungnya tersenyum, seperti sedang bermimpi bermain dengan cucunya, maka Hadiwijayapun perlahan keluar dari pintu, berjalan menuju ke pendapa. 
Di pendapa, terlihat Ganjur, Suta, Naya dan Wenang Wulan sedang duduk menunggu ia selesai memijat biyungnya.
"Biyung sudah tidur paman, aku pulang ke Pajang sekarang" kata Hadiwijaya kepada Ganjur. 
"Ya, biar nanti aku yang akan merawat biyungmu" kata pamannya.
"Mari Wenang, kita berangkat sekarang, kita tuntun dulu kuda kita sampai diluar halaman" kata Hadiwijaya
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan.
"Paman Ganjur, paman Suta dan paman Naya, mari kita keluar dari halaman, kita berjalan ke depan saja" kata Adipati Hadiwjaya, 
Adipati Hadiwijaya dan Wenang Wulan kemudian menuntun kudanya keluar halaman, diikuti oleh Ganjur, Suta dan Naya. Perlahan-lahan mereka berlima berjalan keluar halaman menuju ke jalan yang menuju arah selatan. Setelah agak jauh dari rumah Nyai Ageng Tingkir, Adipati Hadiwjaya kemudian naik ke atas punggung kuda, setelah itu diikuti oleh Wenang Wulan.
Setelah berada diatas kudanya, Adipati Hadiwijaya berkata kepada pamannya Ganjur, Suta dan Naya.
"Paman bertiga, aku berangkat sekarang, jangan lupa rawat biyung, paman" kata Hadiwijaya pamit kepada pamannya.
"Ya Hadiwijaya, hati-hati dijalan" kata pamannya Ganjur. 
Keduanyapun kemudian menjalankan kudanya perlahan-lahan, semakin lama semakin cepat berlari menuju Pajang. Semakin lama desa Tingkir semakin jauh berada dibelakang mereka, dan kuda-kuda mereka terus berlari ke arah selatan. Debu mengepul dari belakang kaki kuda, tak berapa lama kemudian, debu itupun hilang tertiup angin. Dua tiga kali mereka menyeberangi sungai yang melintang dijalan, dan merekapun memberi kesempatan minum dan beristirahat bagi kuda-kuda mereka.
Matahari sudah condong kebarat, ketika dua ekor kuda itu memasuki Pajang, dan ketika sampai di depan dalem Kadipaten, terlihat Patih Mancanegara menyambutnya bersama nayaka praja yang lain. Ngabehi Wilamarta kemudian memegang tali kendali kuda Sang Adipati kemudian membawanya ke halaman belakang.
Ketika siang telah berganti menjadi malam, matahari telah tenggelam di cakrawala, beberapa orang tampak duduk di dingklik dibawah cahaya pelita di ruang dalem Kadipaten.
Malam itu Adipati Hadiwijaya dihadap oleh semua nayaka praja beserta Lurah Wasana dari Wira Manggala Demak dan disana tampak pula Ki Ageng Nis Sela. 
"Patih Mancanegara, coba kau laporkan apa yang terjadi di Pajang selama dua hari aku pergi ke Tingkir" tanya Adipati Hadiwijaya. 
"Semua aman Kanjeng Adipati, semua pekerjaan lancar, tidak ada sesuatupun yang terjadi, mengenai persoalan pekerjaan nanti akan disampaikan oleh Ki Pemanahan" kata Patih Mancanegara. 
"Ya" jawab Hadiwijaya.
"Kanjeng Adipati, saya laporkan pembuatan sumur dan pakiwan sudah selesai sejak kemarin, kamar pakiwan-nya sudah rapat, lalu tukangnya saya perintahkan untuk membuat dua puluh buah landeyan untuk kelengkapan persenjataan para prajurit yang bersenjata tombak" kata Pemanahan. 
"Ya, mudah-mudahan dua puluh tombak itu bisa selesai pada waktu peresmian para prajurit Pajang dua hari lagi" kata Hadiwijaya.
"Kanjeng Adipati, hari ini sudah ada sepuluh buah landeyan yang telah selesai dikerjakan, mudah-mudahan besok sore sudah bisa selesai semuanya" kata Pemanahan.
"Lalu persiapan untuk peresmian prajurit Pajang bagaimana?" tanya Adipati Pajang.
"Persiapan sudah selesai Kanjeng Adipati, kita perintahkan kepada semua calon prajurit, untuk berkumpul di tanah lapang depan dalem Kadipaten" jawab Pemanahan.
"Nanti beberapa orang yang mempunyai beberapa kelebihan akan kita angkat sebagai Lurah prajurit" kata Sang Adipati.
"Semuanya berjumlah dua ratus empat puluh prajurit, rencananya nanti akan ada berapa kesatuan Kanjeng Adipati" tanya Pemanahan.
"Ki Pemanahan memimpin seratus prajurit dari kesatuan Wira Tamtama Pajang, sedangkan Ki Penjawi juga memimpin seratus prajurit dari kesatuan Wira Braja Pajang" kata Adipati Hadiwijaya:" Sedangkan yang dua puluh adalah prajurit bersenjatakan tombak, yang dua puluh orang lagi adalah prajurit sandi yang akan dilatih oleh Wenang Wulan. 
Lurah Wasana yang berasal dari kesatuan Wira Manggala yang sedang mendengarkan perkataan Adipati Hadiwijaya, mengangguk-anggukkan kepalanya, kesatuan Wira Tamtama dan Wira Braja, keduanya adalah prajurit bukan dari kesatuan tempur. Wira Tamtama Pajang adalah pengawal Adipati lapis dalam, sedangkan kesatuan Wira Braja Pajang adalah pengawal Adipati lapis luar.
"Saat ini kita kesulitan tentang pakaian keprajuritan bagi para prajurit, Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Ya, perlahan-lahan nanti akan kita buatkan pakaian keprajuritan untuk prajurit Wira Tamama dan prajurit Wira Braja Pajang" kata Hadiwijaya. 
"Ya Kanjeng Adipati" kata Pemanahan.
"Lalu bagaimana perkembangan pembuatan dalem Kepatihan dan dalem Ksatrian kakang Pemanahan" tanya Sang Adipati.
"Tiga empat pasar lagi kemungkinan sudah bisa selesai Kanjeng Adipati, mudah-mudahan sepulang dari kotaraja Demak, semua sudah selesai, nanti setelah tukang yang membuat landeyan sudah selesai, maka tukangnya bisa diperbantukan untuk pembuatan dalem Kepatihan dan Kesatrian" kata Pemanahan.
"Ya, mudah-mudahan tidak lama setelah kita pulang dari kotaraja Demak semua perkerjaan telah selesai" kata Hadiwijaya, lalu iapun menambahkan :" Tentang perjalananku ke Tingkir semua lancar, nanti paman Ganjur akan aku ajak ke kotaraja, salah satu dari kita akan berangkat bersama rombongan dari Tingkir, itu nanti tugas dari Wenang Wulan" 
"Baik Kanjeng Adipati" kata Wenang Wulan dan iapun bersedia untuk menjemput Ganjur dan Suta kemudian berangkat bersama rombongan dari Tingkir menuju kotaraja Demak. 
"Nanti Wenang Wulan berangkat lebih dulu ke Tingkir sehari lebih cepat daripada saat kita berangkat ke kotaraja Demak" kata Kanjeng Adipati.
"Baik Kanjeng Adipati" jawab Wenang Wulan.
(bersambung)

4 comments:

  1. Alur ceritanya mengalir, menjadikan pembaca seolah berada pada situasi tersebut

    ReplyDelete
  2. Kalau sudah baca gak mau brenti ....

    ReplyDelete
  3. Klo sdh baca, jadi ketagihan..., penginnya baca terus

    ReplyDelete